GERAKAN MUJAHIDIN
Ide-ide pembaharuan yang dicetuskan
Syah Waliyullah di abad kedelapan belas diteruskan oleh anaknya Syah Abdul Aziz
(1746-1823) ke generasi selanjutnya. Syah Abdul Aziz merupakan ulama terkemuka
di zamannya.
Di waktu itu Inggris telah mulai
menanam kekuasaannya di India dan kemajuan peradaban Barat telah mulai
dirasakan rakyat India, baik yang beragama Islam maupun yang beragama Hindu.
Keadaan umat Islam lebih mundur dari umat Hindu inilah yang ingin diatasi oleh
Syah Abdul Aziz dan pemimpin-pemimpin pembaharuan sesudahnya, terutama Sir
Sayyid Ahmad Khan.
Salah seorang dari murid Syah Abdul
Aziz yang kemudian berpengaruh dalam gerakan melaksanakan ajaran-ajaran Syah
Waliyullah adalah Sayyid Ahmad Syahid. Ia lahir di tahun 1786 di Rae Bareli,
suatu tempat yang terletak di dekat Lucknow. Di masa mudanya ia memasuki
pasukan berkuda Nawab Amir Khan. Di sinilah ia memperoleh pengetahuan dan
pengalaman militernya yang di belakang hari berarti baginya dalam memimpin
Gerakan Mujahidin.
Menurut pendapat Sayyid Ahmad, umat
Islam India mundur, karena agama yang mereka anut tidak lagi Islam yang murni,
tetapi Islam yang telah bercampur-baur dengan faham dan praktek yang berasal
dari Persia dan India. Umat Islam India harus dibawa kembali ke ajaran Islam
yang murni. Untuk mengetahui ajaran murni itu orang harus kembali ke Al-Qur’an
dan Hadis.
Yang pertama sekali harus
dibersihkan ialah tauhid yang dianut umat Islam India. Keyakinan mereka harus
dibersihkan dari faham dan praktek kaum tarekat sufi seperti kepatuhan tidak
terbatas kepada guru dan ziarah ke kuburan wali untuk meminta syafa’at. Juga
dari faham animisme dan adat-istiadat Hindu yang masih terdapat dalam kalangan
umat Islam India.
Sayyid Ahmad juga menentang taqlid
pada pendapat ula termasuk di dalamnya pendapat keempat Imam Besar. Oleh karena
itu berpegang pada mazhab tidak menjadi soal yang penting, sungguhpun ia
sendiri adalah pengikut mazhab Abu Hanifah. Karena taqlid ditentang, pintu
ijtihad baginya terbuka dan tidak tertutup. Ijtihad diperlukan untuk memperoleh
interpretasi baru terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis.
Sayyid Ahmad berpendirian bahwa
daerah-daerah yang telah jatuh ke bawah tangan bukan Islam harus kembali ke
tangan Islam. Dar Al-Harb mesti menjadi Dar Al-Islam kembali.
Dengan demikian timbullah perang jihad terhadap dua musuh, Hindu di satu pihak
dan Inggris di pihak lain. Inggris dengan kemajuan ekonomi, ilmu pengetahuan
dan teknologinya ternyata kuta dan payah untuk dikalahkan. Kemungkinan
memperoleh kemenangan lebih banyak jika serangan dihadapkan kepada Sikh.
Sayyid Ahmad dengan Gerakan
Mujahidinnya memulai peperangan terhadap golongan Sikh di India Utara. Ia
serang pusat kekuatan mereka di Akora, sehingga mereka mundur. Ia teruskan
peperangan ke medan datar dan dapat menguasai Pesyawar. Kekuatan militernya
menurut keterangan berjumlah seratus ribu orang. Dengan bantuan Afghanistan ia
mengharap dapat mengembalikan daerah-daerah yang telah lepas dari tangan Islam.
Sokongan dalam menjalankan jihad banyak ia peroleh dari kepala Suku-suku bangsa
yang ada di daerah tersebut.
Dalam pada itu perlawanan dari Sikh
bertambah kuat dengan dapatnya mereka menarik golongan-golongan bukan Islam
lainnya seperti golongan Barakzai, untuk sama-sama melawan Mujahidin. Kekuatan
Sayyid Ahmad berkurang dan dalam pertempuran dengan satu pasukan Sikh di
Balekot ia mati terbunuh di tahun 1831. Dari peristiwa inilah ia mendapat gelar
Syahid.
Bersama Sayyid Ahmad Syahid turut
terbunuh banyak dari para mujahidin. Pengikutnya pecah menjadi dua. Segolongan
berpendapat bahwa kekuatan sudah tidak cukup untuk meneruskan jihad, dan oleh
karena itu mereka memindahkan perhatian pada pendidikan.
Segolongan lagi meneruskan jihad di
bawah pimpinan dua bersaudara Maulvi Wilayat Ali (wafat 1852) dan Maulvi Inayat
Ali (wafat 1858). Setelah keduanya meninggal dunia Gerakan Mujahidin diteruskan
oleh Mauvi Abdulah (wafat 1902) anak dari Maulvi Wilayat Ali.
Pertempuran-pertempuran terus terjadi dengan golonganSikh di Punjab. Kemudian
Punjab jatuh ke bawah tangan Inggris, dan di sini terjadilah pertempuran
langsung antara Mujahidin dengan Inggris.
Pada tanggal 10 Mei 1857 satu
pasukan Hindu di Meerut, suatu kota yang terletak kira-kira 60 km di sebelah
Utara Delhi, memulai perlawanan. Setelah membunuh perwira-perwira Inggris yang
memimpin pasukan itu, mereka keluar ke jalanan lengkap dengan senjata dan
berbaris menuju Delhi. Delhi dikuasai dan Bahadur Syah diangkat sebagai Raja
India. Dengan demikian pecahlah pemberontakan terhadap kekuasaan Inggris yang
dalam sejarah India dikenal dengan nama Pemberontakan 1857.
Ide-ide Syah Waliyullah yang
kemudian ditonjolkan oleh Sayyid Ahmad Syahid dan Gerakan Mujahidin, itulah
yang menjadi pegangan bagi Deoband. Yang diutamakan ialah pemurnian tauhid yang
dianut umat Islam India dari faham-faham salah yang dibawa tarekat dan dari
keyakinan animisme lama. Selanjutnya juga pemurnian praktek keagamaan mereka
dari segala macam bid’ah. Yang ingin diwujudkan Deoband kembali ialah Islam
murni sebagai terdapat di zaman Nabi, Sahabat, Tabi’in dan zaman sesudahnya.
Deoband dengan demikian kuat berpegang pada tradisi klasik. Mazhab yang dianut
Deoband ialah Mazhan Hanafi.
SAYYID AHMAD KHAN
Ia lahir di Delhi pada tahun 1817
dan menurut keterangan berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad
melalui Fatimah dan Ali. Neneknya, Sayyid Hadi, adalah pembesar Islam di Zaman
Alamghir II (1754-1759). Ia mendapat didikan tradisional dalam pengetahuan
agama dan di samping bahasa Arab ia juga belajar bahasa Persia. Sewaktu berusia
delapan belas tahun ia masuk bekerja pada Serikat India Timur. Kemudian ia
bekerja pula sebagai hakim. Tetapi di tahun 1846 ia pulang kembali ke Delhi
untuk meneruskan studi.
Di masa Pemberontakan 1857 ia banyak
berusaha untuk mencegah terjadinya kekerasan dan dengan demikian banyak
menolong orang Inggris dari pembunuhan. Pihak Inggris menganggap ia telah
banyak berjasa bagi mereka dan ingin membalas jasanya, tetapi hadiah yang
dianugerahkan Inggris kepadanya ia tolak. Gelar Sir yang kemudian diberikan
kepadanya dapat ia terima. Hubungannya dengan pihak Inggris menjadi baik dan
ini ia pergunakan untuk kepentingan umat Islam India.
Sayyid Ahmad Khan berpendapat bahwa
peningkatan kedudukan umat Islam India, dapat diwujudkan hanya dengan bekerja
sama dengan Inggris. Inggris telah merupakan penguasa yang terkuat di India,
dan menentang kekuasaan itu tidak akan membawa kebaikan bagi umat Islam India. Hal
ini akan membuat mereka tetap mundur dan akhirnya akan jauh ketinggalan dari
masyarakat Hindu India.
Ia berusaha meyakinkan pihak Inggris
bahwa dalam Pemberontakan 1857, umat Islam tidak memainkan peranan utama. Untuk
itu ia keluarkan pamflet yang mengandung penjelasan tentang hal-hal yang
membawa pada pecahnya Pemberontakan 1857.
Dalam pada itu ia mengakui bahwa
diantara golongan Islam yang turut dalam Pemberontakan 1857 ada yang melakukan
perbuatan-perbuatan tidak baik dan tercela, dan perbuatan-perbuatan itu ia cap
sebagai perbuatan kriminal. Tetapi kalau hanya segolongan umat Islam yang
bersalah tidaklah pada tempatnya untuk menganggap semua umat Islam India
bersalah. Tidak pada tempatnya pihak Inggris menaruh rasa curiga terhadap umat
Islam India.
Atas usaha-usahanya dan atas sikap
setia yang ia tunjukkan terhadap Inggris, Sayyid Ahmad Khas akhirnya berhasil
dalam merubah pandangan Inggris terhadap umat Islam India. Sayyid Ahmad Khan
melihat bahwa umat Islam India mundur karena mereka tidak mengikuti
perkembangan zaman. Peradaban Islam klasik telah hilang dan telah timbul
peradaban baru di Barat. Dasar peradaban baru ini ialah ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Ilmu-pengetahuan dan teknologi
modern adalah hasil pemikiran manusia. Oleh karena itu akal mendapat
penghargaan tinggi bagi Sayyid Ahmad Khan. Tetapi sebagai orang Islam yang
percaya wahyu, ia berpendapat bahwa kekuatan akal bukan tidak terbatas.
Karena ia percaya pada kekuatan dan
kebebasan akal, sungguhpun mempunyai batas, ia percaya pada kebebasan dan
kemerdekaan manusia dalam menentukan kehendak dan melakukan perbuatan. Dalam
kata lain, ia mempunyai faham qadariah (free will and free act)
dan tidak faham jabariah atau fatalisme. Manusia, demikian pendapatnya,
dianugerahi Tuhan daya-daya, diantaranya daya berpikir, yang disebut akal, dan
daya fisik untuk mewujudkan kehendaknya. Manusia mempunyai kebebasan untuk
mempergunakan daya-daya yang diberikan Tuhan kepadanya itu.
Masyarakat manusia senantiasa
mengalami perubahan dan oleh karena itu perlu diadakan ijtihad baru untuk
menyesuaikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dengan suasana masyarakat yang
berubah itu. Dalam mengadakan ijtihad, ijma’ dan qias baginya
tidak merupakan sumber ajaran Islam yang bersifat absolut. Hadis juga tidak
semuanya dapat diterimanya, karena ada Hadis buat-buatan. Hadis dapat ia terima
sebagai sumber hanya setelah diadakan penelitian yang seksama tentang
keasliannya.
Inilah pokok-pokok pemikiran Sayyid
Ahmad Khan mengenai pembaharuan dalam Islam. Ide-ide yang dimajukannya banyak
persamaannya dengan pemikiran Muhammad Abduh di Mesir.
SAYYID AMIR ALI
Sayyid Amir Ali berasal dari
keluarga Syi’ah yang di zaman Nadir Syah (1736 – 1747) pindah dari Khurasan di
Persia ke India. Keluarga itu kemudian bekerja di Istana Raja Mughal. Sayyid
Amir Ali lahir di tahun 1849, dan meninggal dalam usia tujuh puluh sembilan
pada tahun 1928. Pendidikannya ia peroleh di perguruan tinggi Muhsiniyya yang
berada di dekat Kalkuta. Disinilah ia belajar Bahasa Arab. Selanjutnya ia
belajar bahasa Inggris dan kemudian juga sastra Inggris dan hukum Inggris.
Di tahun 1869 ia pergi ke Inggris
untuk meneruskan studi untuk meneruskan studi dan selesai di tahun 1873, dengan
memperoleh kesarjanaan dalam bidang hukum. Selesai dari studi ia kembali ke
India dan pernah bekerja sebagai pegawai pemerintah Inggris, pengacara, hakim
dan guru besar dalam hukum Islam. Yang membuat ia terkenal adalah aktivitasnya
dalam bidang politik dan buku karangannya The Spirit of Islam dan A Short History of the Saracens.
Di tahun 1877 ia membentuk National
Muammedan Association, sebagai wadah persatuan umat Islam India, dan
tujuannya ialah untuk membela kepentingan umat Islam dan untuk melatih mereka
dalam bidang politik. Perkumpulan ini mempunyai tiga puluh empat cabang di
berbagai tempat di India.
Di tahun 1883 ia diangkat menjadi
salah satu dari ketiga anggota Majlis Wakil Raja Inggris di India. Di tahun
1904 ia meninggalkan India dan menetap untuk selama-lamanya di Inggris. Dalam
hubungan ini baik disebut bahwa ia beristrikan wanita Inggris. Di sana ia
diangkat di tahun 1909 menjadi anggota India yang pertama dalam Judicial
Committee of Privacy Council.
Sayyid Amir Ali berpendapat dan
berkeyakinan bahwa Islam bukanlah agama yang membawa kepada kemunduran.
Sebaliknya Islam adalah agama yang membawa kepada kemajuan dan untuk
membuktikan hal itu ia kembali ke dalam sejarah Islam Klasik. Karena ia banyak
menonjolkan kejayaan Islam di masa lampau ia dicap penulis-penulis Orientalis,
sebagai seorang apologis, seorang yang memuja dan rindu kepada masa lampau dan
mengatakan kepada lawan : Kalau kamu sedang maju sekarang, kami juga pernah
mempunyai kemajuan di masa lampau.
Pemikir pertama yang kembali ke
sejarah lama untuk membawa bukti bahwa agama Islam adalah agama rasional dan
agama kemajuan, ialah Sayyid Amir Ali. Bukunya The Spirit of Islam dicetak
untuk pertama kali di tahun 1891. dalam buku itu ia kupas ajaran-ajaran Islam
mengenai tauhid, ibadat, hari akhirat, kedudukan wanita, perbudakan, sistem
politik, dan sebagainya.
Sayyid Amir Ali menegaskan bahwa apa
yang harus dipercayai orang Islam ialah yang berikut. Di akhirat nanti tiap
orang harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya di dunia ini. Kesenangan
dan kesengsaraan bergantung pada perbuatannya di hidup pertama. Tetapi dalam
pada itu Tuhan bersifat Pengasih dan Kasih serta rahmatNya akan dilimpahkanNya
secara adil kepada semua makhlukNya.
Filosof dan sufi berpendapat bahwa
balasan yang akan diterima di akhirat memanglah balasan spiritual dan bukan
balasan jasmani. Ayat-ayat yang menggambarkan surga dan neraka dalam bentuk
jasmani tidak mereka fahami menurut arti harfi dan letterleknya, tetapi menurut
arti majazi atau metaforisnya. Yang dimaksud oleh ayat-ayat itu, ialah
kesenangan dan kesengsaraan rohani yang dekat menyerupai kesenangan dan
kesengsaraan jasmani yang dialami orang dalam surga dan neraka yang demikian
bentuknya.
Apa sebabnya Al-Qur’an mengandung
ayat-ayat yang memberikan gambaran jasmani itu, kalau yang dimaksud adalah
kesenangan dan kesengsaraan rohani? Sayyid Amir Ali memberi penjelasan seperti
berikut. Nabi Muhammad datang bukanlah hanya untuk golongan kecil masyarakat
yang sudah maju dalam tingkat pemikirannya, tetapi juga untuk golongan
masyarakat awam yang masih terikat pada hal-hal yang bersifat materi dan tidak
begitu sanggup dapat menangkap hal-hal yang bersifat abstrak. Kepada golongan
terakhir ini balasan di akhirat harus digambarkan dalam bentuk jasmani.
Dalam membahas soal perbudakan, Sayyid Amir Ali menerangkan bahwa sistem
perbudakan sudah semenjak zaman purba ada dalam masyarakat manusia seluruhnya.
Bangsa Yahudi, Yunani, Romawi, dan Jerman di masa lampau mengakui dan memakai
sistem perbudakan. Agama Kristen, demikian ia selanjutnya menulis, tidak
membawa ajaran untuk menghapus sistem perbudakan.
Pindah ke soal kemunduran umat Islam, ia berpendapat bahwa sebabnya
terletak pada keadaan umat Islam di zaman modern menganggap bahwa pintu ijtihad
telah tertutup dan oleh karena itu mengadakan ijtihad tidak boleh lagi, bahkan
merupakan dosa. Orang harus tunduk kepada pendapat ulama abad kesembilan
Masehi, yang tidak dapat mengetahui kebutuhan abad kedua puluh. Perubahan
kondisi yang dibawa perubahan zaman tidak dipentingkan. Pendapat ulama yang
disusun di beberapa abad yang lalu diyakini masih dapat dipakai untuk zaman
modern sekarang.
Dalam uraiannya mengenai pemikiran dan falsafat dalam Islam, Sayyid Amir
Ali menjelaskan bahwa jiwa yang terdapat dalam Al-Qur’an bukanlah jiwa
fatalisme, tetapi jiwa kebebasan manusia dalam berbuat, jiwa bahwa manusia
bertanggung jawab atas perbuatannya. Nabi Muhammad, demikian ia menulis lebih
lanjut, berkeyakinan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan
kemauan. Apa yang hendak ditegaskan pemimpin pembaharuan ini sebenarnya ialah
bahwa Islam bukan dijiwai oleh faham kada dan kadar atau jabariah,
tetapi oleh faham qadariah, yaitu faham kebebasan manusia dalam kemauan
dan perbuatan (free will and free act). Untuk memperkuat pendapat ini ia
bawa ayat-ayat dan hadits. Faham qadariah inilah selanjutnya yang menimbulkan
rasionalisme dalam Islam. Faham Qadariah dan rasionalisme, kedua inilah pula
yang menimbulkan peradaban Islam zaman klasik.
IQBAL, JINNAH DAN PAKISTAN
MUHAMMAD
IQBAL
Muhammad Iqbal berasal dari keluarga
golongan menengah di Punjab dan lahir di
Sialkot pada tahun 1876. untuk meneruskan studi ia kemudian pergi ke Lahore dan
belajar di sana sampai ia memperoleh gelar kesarjanaan M.A. di kota itulah ia
berkenalan dengan Thomas Arnold, seorang Orientalis, yang menurut keterangan
mendorong pemuda Iqbal untuk melanjutkan studi di Inggris. Di Tahun 1905 ia
pergi ke negara ini dan masuk ke Universitas Cambridge untuk mempelajari
filsafat. Dua tahun kemudian ia pindah ke Munich di Jerman dan disinilah ia
memperoleh gelar Ph.D dalam tasawwuf. Tesis doctoral yang dimajukannya berjudul
: The Development of Metaphysics in Persia (Perkembangan Metafisika di
Persia).
Pada tahun 1908 ia berada kembali di
Lahore dan di samping pekerjaannya sebagai pengacara ia menjadi dosen filsafat.
Bukunya The Reconstruction of Religious Thought in Islam adalah hasil
ceramah-ceramah yang diberikannya di beberapa universitas di India. Kemudian ia
memasuki bidang politik dan di tahun 1930 dipilih menjadi Presiden Liga
Muslimin. Di dalam Perundingan Meja Bundar di London ia turut dua kali
mengambil bagian. Ia juga menghadiri Konferensi Islam yang diadakan di
Yerusalem. Di tahun 1933 ia diundang ke Afghanistan untuk membicarakan
pembentukan Universitas Kabul. Dalam usia enam puluh dua ia meninggal di tahun
1938.
Sama dengan pembaharu-pembaharu
lain, ia berpendapat bahwa kemunduran umat Islam selama lima ratus tahun
terakhir disebabkan oleh kebekuan dalam pemikiran. Hukum dalam Islam telah
sampai kepada keadaan statis. Kaum konservatif dalam Islam berpendapat bahwa
rasionalisme yang ditimbulkan golongan Mu’tazilah akan membawa kepada
disintegrasi dan dengan demikian berbahaya bagi kestabilan Islam sebagai
kesatuan politik.
Sebab lain terletak pada pengaruh zuhd
yang terdapat dalam ajaran tasawwuf. Menurut tasawwuf yang mementingkan zuhd,
perhatian harus dipusatkan kepada Tuhan dan apa yang berada di sebalik alam
materi. Hal itu akhirnya membawa kepada keadaan umat kurang mementingkan soal
kemasyarakatan dalam Islam.
Islam pada hakekatnya mengajarkan dinamisme,
demikian pendapat Iqbal. Al-Qur’an senantiasa menganjurkan pemakaian akal
terhadap ayat atau tanda yang terdapat dalam alam seperti matahari, bulan,
pertukaran siang menjadi malam dan sebagainya. Konsep Islam mengenai alam
adalah dinamis dan senantiasa berkembang. Kemajuan serta kemunduran dibuat
Tuhan silih berganti di antara bangsa-bangsa yang mendiami bumi ini. Ini
mengandung arti dinamisme.
Faham dinamisme Islam yang
ditonjolkan inilah yang membuat Iqbal mempunyai kedudukan penting dalam pembaharuan
di India. Dalam syair-syairnya ia mendorong umat Islam supaya bergerak dan
jangan tinggal diam. Intisari hidup adalah gerak, sedang hukum hidup ialah
menciptakan, maka Iqbal berseru kepada umat Islam supaya bangun dan menciptakan
dunia baru. Begitu tinggi ia menghargai gerak, sehingga ia menyebut bahwa kafir
yang aktif lebih baik dari muslim yang suka tidur.
Dalam pembaharuannya Iqbal tidak
berpendapat bahwa Baratlah yang harus dijadikan sebagai model. Kapitalisme dan
imperialisme Barat tak dapat diterimanya. Barat menurut penilaiannya amat
banyak dipengaruhi oleh materialisme dan telah mulai meninggalkan agama. Yang
harus diambil umat Islam dari Barat hanyalah ilmu pengetahuannya.
MUHAMMAD ALI JINNAH
Muhammad Ali Jinnah adalah anak
seorang saudagar dan lahir di Karachi pada tanggal 25 Desember 1876. Di masa
remaja ia telah pergi ke London untuk meneruskan studi dan disanalah ia
memperoleh kesarjanaannya dalam bidang hukum di tahun 1896. Pada tahun itu juga
ia kembali ke India dan bekerja sebagai pengacara di Bombay. Tiada lama sesudah
itu ia menggabungkan diri dengan Partai Kongres India. Politik patuh dan setia
pada Pemerintah Inggris yang terdapat dalam Liga Muslimin tidak sesuai dengan
jiwanya. Oleh karena itu ia menjauhkan diri dari Liga Muslimin sampai pada
tahun 1913, yaitu ketika organisasi ini merubah sikap dan menerima ide
pemerintahan sendiri bagi India sebagai tujuan perjuangan. Mulai dari waktu itu
sampai akhir hayatnya sejarah hidup dan perjuangannya banyak terkait dengan
Liga Muslimun dan perjuangan umat Islam India untuk menciptakan Pakistan.
Pada tahun 1913 itu juga Jinnah
dipilih menjadi Presiden Liga Muslimin. Pada waktu itu ia masih mempunyai
keyakinan bahwa kepentingan umat Islam India dapat dijamin melalui
ketentuan-ketentuan tertentu dalam Undang-undang Dasar. Untuk itu ia mengadakan
pembicaraan dan perundingan dengan pihak Kongres Nasional India. Salah satu
hasil dari perundingan ialah Perjanjian Lucknow 1916. Menurut perjanjian itu
umat Islam India akan memperoleh
daerah pemilihan terpisah dan ketentuan ini dicantumkan dalam Undang-undang
Dasar India yang akan disusun kelak kalau telah tiba waktunya.
Di bawah pimpinan Jinnah kali ini,
Liga Muslimin berubah menjadi gerakan rakyat yang kuat. Di masa-masa sebelumnya
Liga hanya merupakan perkumpulan golongan atas yang terdiri dari hartawan,
pegawai tinggi, dan intelegensia. Hubungan dengan umat Islam awam boleh dikata
belum ada.
Pada tahun 1937 diadakan pemilihan
daerah di India. Di dalam pemilihan ini Liga Muslimin tidak memperoleh suara
yang berarti, sedang Partai Kongres mendapat kemenangan besar. Atas kekalahan
itu Liga Muslimin mulai tidak diindahkan lagi oleh Partai Kongres dan dalam
hubungan ini Nehru pernah mengatakan bahwa yang ada di India hanya dua kekuatan
politik, yaitu Partai kongres dan Pemerintah Inggris. Golongan Nasional India
merasa kuat untuk mengangkat anggota-anggotanya menjadi menteri di
daerah-daerah, dan kalaupun ada yang diangkat dari golongan Islam, maka mereka
adalah pengikut Partai Kongres dan bukan pengikut Liga Muslimin.
Jinnah kelihatannya belum putus asa
untuk mengadakan persesuaian faham dengan Partai Kongres, mengenai masa depan
India. Didorong oleh kekuatan baru yang diperoleh Liga Muslimin di waktu itu,
ia mengadakan perundingan-perundingan dengan organisasi itu, tetapi selalu
berakhir dengan kegagalan.
Pengalaman-pengalaman ini membuat
Jinnah merubah haluan politiknya. Kepercayaannya kepada Partai Kongres hilang
dan keyakinan timbul dalam dirinya bahwa kepentingan umat Islam India tidak
bisa lagi dijamin melalui perundiangan dan penyantuman hasil perundingan dalam
Undang-Undang Dasar yang akan disusun. Kepentingan umat Islam India bisa
terjamin hanya melalui pembentukan negara tersendiri dan terpisah dari negara
umat Hindu di India.
Masalah ini dibahas di rapat tahunan
Liga Muslimin yang diadakan di Lahore pada tahun 1940. atas rekomendasi dari
panitia yang khusus dibentuk untuk itu, sidang kemudian menyetujui pembentukan
negara tersendiri untuk umat Islam India sebagai tujuan perjuangan Liga Muslimin.
Negara itu diberi nama Pakistan, tetapi perincian mengenai Pakistan belum ada,
baik mengenai daerahnya, maupun mengenai corak pemerintahannya.
Dalam pada itu Jinnah mulai
menjelaskan apa yang dimaksud dengan Pakistan. Negara baru itu akan mencakup
enam daerah. Daerah Perbatasan Barat Laut, Balukhistan. Sindi dan Punjab di
sebelah Barat serta Bengal dan Assam di sebelah Timur. Penduduk Islam dari
daerah ini 70 persen dari seluruh penduduk. Pemerintahaan di daerah-daerah itu
akan berada di tangan umat Islam, dengan tidak melupakan turut sertanya
golongan non-Islam dalam pemerintahan dan jumlahnya akan disesuaikan dengan
persentase mereka di tiap-tiap daerah.
Sokongan umat Islam India kepada
Jinnah dan Liga Muslimin bertambah kuat lagi dan ini ternyata dari hasil
pemilihan 1946. Umpamanya di Assam, Liga Muslimin memperoleh 31 dari 34 kursi
dan di Sindi 29 dari 34 kursi. Di Dewan Pusat (Central Assembly) seluruh
kursi yang disediakan untuk golongan Islam, dapat diperoleh oleh Liga Muslimin.
Di tahun 1942 Inggris telah
mengeluarkan janji akan memberi kemerdekaan kepada India sesudah Perang Dunia
II selesai. Pelaksanaannya mulai dibicarakan dari tahun 1945, tetapi
pembicaraan selalu mengalami kegagalan. Akhirnya Pemerintah Inggris memutuskan
untuk membentuk Pemerintahan Sementara yang terdiri atas orang-orang yang
ditentukan Inggris menunjuk Presiden Partai Kongres Nasional India, Pandit
Nehru, untuk menyusun Pemerintahan Sementara. Huru-hara timbul dan Jinnah
diminta supaya turut menyusun Pemerintahan Sementara itu. Ia menunjuk lima
pemimpin Liga Muslimin untuk turut serta dalam pemerintahan, tetapi huru-hara
tak dapat diatasi.
Setahun kemudian keluarlah putusan
Inggris untuk menyerahkan kedaulatan kepada dua Dewan konstitusi satu untuk
Pakistan dan satu untuk India. Pada tanggal 14 Agustus 1947 Dewan konstitusi
Pakistan dibuka dengan resmi dan keesokan harinya 15 Agustus 1947 Pakistan
lahir sebagai negara bagi umat Islam India. Jinnah diangkat menjadi Gubernur
Jenderal dan mendapat gelar Qaid-i-Azam (Pemimpin Besar) dari rakyat
Pakistan. Ia masih sempat menghayati hasil perjuangannya setahun lebih. Ia
meninggal pada bulan September 1948 di Karachi.
No comments:
Post a Comment