Friday, March 1, 2019

FILSAFAT SCOLASTISISME dalam Pendidikan Anak Usia Dini



Istilah Skolastik adalah kata sifat yang berasal dari kata school, yang berarti sekolah. Jadi, skolastik berati aliran atau yang berkaitan dengan sekolah. Terdapat beberapa pengertian dari corak khas skolastik, sebagai berikut :
a. Filsafat yang mempunyai corak semata-mata agama.
b. Filsafat yang mengabdi pada teologi atau filsafat yang rasional.
c. Suatu sistem filsafat yang termasuk jajaran pengetahuan alam kodrat.
d. Filsafat Nasrani karena banyak dipengaruhi oleh ajaran gereja.
Filsafat Skolastik ini dapat berkembang dan tumbuh karena beberapa faktor berikut :
A. Faktor Religius
Faktor religius adalah keadaan lingkungan saat itu yang berperikehidupan religius.
B. Faktor Ilmu Pengetahuan
Masa Skolastik terbagi menjadi tiga periode, yaitu:
1. Skolastik Awal (berlangsung dari tahun 800 – 1200)
Saat ini merupakan zaman baru bagi bangsa eropa. Hal ini ditandai dengan skolastik yang di dalamnya banyak diupayakan pengembangan ilmu pengetahuan di sekolah-sekolah. Kurikulum pengajarannya meliputi studi duniawi atau artes liberales, meliputi tata bahasa, retorika, dialektika (seni berdiskusi), ilmu hitung, ilmu ukur, ilmu perbintangan, dan musik.
Diantara tokoh-tokohnya adalah Aquinas (735 – 805), Johannes Scotes Eriugena (815 – 870), Peter Lombard (1100 – 1160), John Salisbury (1115 – 1180), Peter Abaelardus (1079 – 1180).
2. Skolastik Puncak (berlangsung dari tahun 1200 – 1300)
Masa ini merupakan kejayaan skolastik yang berlangsung dari tahun 1200 – 1300 dan masa ini juga disebut mas berbunga. Berikut ini beberapa faktor mengapa masa skolastik mencapai pada puncaknya.
a. Adanya pengaruh dari Aristoteles, Ibnu Rusyd, Ibu Sina sejak abad ke-12.
b. Tahun 1200 didirikan Universitas Almamater di Prancis.
c. Berdirinya ordo-ordo. Banyaknya perhatian orang terhadap ilmu pengetahuan. Tokoh-tokohnya memegang peran di bidang filsafat dan teologi, seperti Albertus de Grote, Thomas Aquinas, Binaventura, J.D. Scotus, William Ocham.
 Menurut filsafat, terdapat tiga cara untuk mengenal, yaitu lewat indra, akal dan intuisi. Dengan indera kita akan mendapatkan pengetahuan tentang benda-benda berjasad, yang sifatnya tidak sempurna. Dengan akl kita akan mendapatkan bentuk-bentuk pengertian yang abstrak berdasar pada sajian atau tangkapan indra. Dengan intuisi, kita akan mendapatkan pengetahuan yang lebih tinggi. Hanya dengan intuisi inilah kita akan dapat mempersatukan apa yang oleh akal tidak dapat dipersatukan. Manusia sharusnya menyadari akan keterbatasan akal, sehingga banyak hal yang seharusnya dapat diketahui. Karena keterbatasan akal tersebut, hanya sedikit saja yang dapat diketahui oleh akal. Dengan intuisi inilah diharapkan akan sampai pada kenyataan, yaitu suatu tempat dimana segala sesuatu bentuknya menjadi larut, yaitu Tuhan.
Aliran filsafat scolatisisme terbukti cukup banyak memperhatikan masalah-masalah pendidikan, sehingga cukup berpengaruh terhadap pemikiran dan praktik pendidikan. William T. Harris adalah tokoh aliran pendidikan scolatisisme yang sangat berpengaruh di Amerika Serikat. Bahkan, jumlah tokoh filosof Amerika kontemporer tidak sebanyak seperti tokoh-tokoh scolatisisme yang seangkatan dengan Herman Harrell Horne (1874-1946). Herman Harrell Horne adalah filosof yang mengajar filsafat beraliran scolatisisme lebih dari 33 tahun di Universitas New York.
Belakangan, muncul pula Michael Demiashkevitch, yang menulis tentang scolatisisme dalam pendidikan dengan efek khusus. Demikian pula B.B. Bogoslovski, dan William E. Hocking. Kemudian muncul pula Rupert C. Lodge (1888-1961), profesor di bidang logika dan sejarah filsafat di Universitas Maitoba. Dua bukunnya yang mencerminkan kecemerlangan pemikiran Rupert dalam filsafat pendidikan adalah Philosophy of Education dan studi mengenai pemikirian Plato di bidang teori pendidikan. Di Italia, Giovanni Gentile Menteri bidang Instruksi Publik pada Kabinet Mussolini pertama, keluar dari reformasi pendidikan karena berpegang pada prinsip-prinsip filsafat scolatisisme sebagai perlawanan terhadap dua aliran yang hidup di negara itu sebelumnya, yaitu positivisme dan naturalisme.
Scolatisisme sangat concern tentang keberadaan sekolah. Aliran inilah satu-satunya yang melakukan oposisi secara fundamental terhadap naturalisme. Pendidikan harus terus eksis sebagai lembaga untuk proses pemasyarakatan manusia sebagai kebutuhan spiritual, dan tidak sekadar kebutuhan alam semata. Gerakan filsafat scolatisisme pada abad ke-19 secara khusus mengajarkan tentang kebudayaan manusia dan lembaga kemanuisaan sebagai ekspresi realitas spiritual.
Para murid yang menikmati pendidikan di masa aliran scolatisisme sedang gencar-gencarnya diajarkan, memperoleh pendidikan dengan mendapatkan pendekatan (approach) secara khusus. Sebab, pendekatan dipandang sebagai cara yang sangat penting. Giovanni Gentile pernah mengemukakan, “Para guru tidak boleh berhenti hanya di tengah pengkelasan murid, atau tidak mengawasi satu persatu muridnya atau tingkah lakunya. Seorang guru mesti masuk ke dalam pemikiran terdalam dari anak didik, sehingga kalau perlu ia berkumpul hidup bersama para anak didik. Guru jangan hanya membaca beberapa kali spontanitas anak yang muncul atau sekadar ledakan kecil yang tidak banyak bermakna.
Bagi aliran scolatisisme, anak didik merupakan seorang pribadi tersendiri, sebagai makhluk spiritual. Mereka yang menganut paham scolatisisme senantiasa memperlihatkan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan ekspresi dari keyakinannya, sebagai pusat utama pengalaman pribadinya sebagai makhluk spiritual. Tentu saja, model pemikiran filsafat scolatisisme ini dapat dengan mudah ditransfer ke dalam sistem pengajaran dalam kelas. Guru yang menganut paham scolatisisme biasanya berkeyakinan bahwa spiritual merupakan suatu kenyataan, mereka tidak melihat murid sebagai apa adanya, tanpa adanya spiritual.
Sejak scolatisisme sebagai paham filsafat pendidikan menjadi keyakinan bahwa realitas adalah pribadi, maka mulai saat itu dipahami tentang perlunya pengajaran secara individual. Pola pendidikan yang diajarkan fisafat scolatisisme berpusat dari scolatisisme. Pengajaran tidak sepenuhnya berpusat dari anak, atau materi pelajaran, juga bukan masyarakat, melainkan berpusat pada scolatisisme. Maka, tujuan pendidikan menurut paham scolatisisme terbagai atas tiga hal, tujuan untuk individual, tujuan untuk masyarakat, dan campuran antara keduanya.

Konsep Pendidikan
Pendidikan scolatisisme untuk individual antara lain bertujuan agar anak didik bisa menjadi kaya dan memiliki kehidupan yang bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis dan penuh warna, hidup bahagia, mampu menahan berbagai tekanan hidup, dan pada akhirnya diharapkan mampu membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik. Sedangkan tujuan pendidikan scolatisisme bagi kehidupan sosial adalah perlunya persaudaraan sesama manusia. Karena dalam spirit persaudaraan terkandung suatu pendekatan seseorang kepada yang lain. Seseorang tidak sekadar menuntuk hak pribadinya, namun hubungan manusia yang satu dengan yang lainnya terbingkai dalam hubungan kemanusiaan yang saling penuh pengertian dan rasa saling menyayangi. Sedangkan tujuan secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara tujuan individual dengan sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam kehidupan yang berkaitan dengan Tuhan.
Guru dalam sistem pengajaran yang menganut aliran scolatisisme berfungsi sebagai: (1) guru adalah personifikasi dari kenyataan si anak didik; (2) guru harus seorang spesialis dalam suatu ilmu pengetahuan dari siswa; (3) Guru haruslah menguasai teknik mengajar secara baik; (4) Guru haruslah menjadi pribadi terbaik, sehingga disegani oleh para murid; (5) Guru menjadi teman dari para muridnya; (6) Guru harus menjadi pribadi yang mampu membangkitkan gairah murid untuk belajar; (7) Guru harus bisa menjadi idola para siswa; (8) Guru harus rajib beribadah, sehingga menjadi insan kamil yang bisa menjadi teladan para siswanya; (9) Guru harus menjadi pribadi yang komunikatif; (10) Guru harus mampu mengapresiasi terhadap subjek yang menjadi bahan ajar yang diajarkannya; (11) Tidak hanya murid, guru pun harus ikut belajar sebagaimana para siswa belajar; (12) Guru harus merasa bahagia jika anak muridnya berhasil; (13) Guru haruslah bersikap dmokratis dan mengembangkan demokrasi; (14) Guru harus mampu belajar, bagaimana pun keadaannya.

Aplikasi dalam Pendidikan Anak Usia Dini
Para guru tidak boleh berhenti hanya di tengah pengkelasan murid, atau tidak mengawasi satu persatu muridnya atau tingkah lakunya. Seorang guru mesti masuk ke dalam pemikiran terdalam dari anak didik, sehingga kalau perlu ia berkumpul hidup bersama para anak didik. Guru jangan hanya membaca beberapa kali spontanitas anak yang muncul atau sekadar ledakan kecil yang tidak banyak bermakna.
Anak didik merupakan seorang pribadi tersendiri, sebagai makhluk spiritual. Mereka yang menganut paham scolatisisme senantiasa memperlihatkan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan ekspresi dari keyakinannya, sebagai pusat utama pengalaman pribadinya sebagai makhluk spiritual. Tentu saja, model pemikiran filsafat scolatisisme ini dapat dengan mudah ditransfer ke dalam sistem pengajaran dalam kelas. Apalagi anak usia dini (AUD) merupakan individu yang masih dalam tahap perkembangan awal dan merupakan titik awal yang menentukan bagi perkembangan berikutnya.
Kurikulum yang digunakan dalam pendidikan yang beraliran scolatisisme harus lebih memfokuskan pada isi yang objektif. Pengalaman haruslah lebih banyak daripada pengajaran yang textbook. Agar supaya pengetahuan dan pengalamannya senantiasa aktual.


No comments:

Post a Comment

Simbol Bilangan atau Angka

  a. Pengertian Angka Memahami suatu angka dapat membantu manusia untuk melakukan banyak perhitungan mulai dari yang sederhana maupaun y...

Blog Archive