Wednesday, March 13, 2019

Resume Pembaruan Islam di Mesir

BAB I : Pendudukan Napoleon dan Pembaharuan di Mesir

            Alexander Macedonia pernah menguasai Eropa dan Asia sampai ke India, dan Napoleson ingin mengikuti jejak Alexander ini. Tempat strategis untuk menguasai kerajaan besar seperti yang dicita-citakannya itu adalah Cairo dan bukan Roma atau Paris. Inilah beberapa hal yang mendorong Perancis dan Napoleon untuk menduduki Mesir.
            Mesir pada waktu itu berada di bawah kekuasaan kaum Mamluk, sejak ditaklukan oleh Sultan Salim pada tahun 1517, daerah ini merupakan bagian dari kerajaan Usmani. Kaum Mamluk berasal dari budak-budak yang dibeli di Kaukatus, suatu daerah pegunungan yang terletak di daerah perbatasan antara Rusia dan Turki. Mereka dididik kemiliteran. Setelah jatuhnya prestise Sultan-sultan Usmani, mereka tidak mau tunduk lagi kepada Istambul bahkan menolak pengiriman hasil pajak yang mereka pungut dengan cara kekerasan dari rakyat Mesir ke Istambul.
            Napoleon mendarat di Alexandaria pada tanggal 2 Juni 1798 dan keesokan harinya kota pelabuhan yang penting ini jatuh. Sembilan hari kemudian, Rasyid, suatu kota sebelah Timur Alexandaria jatuh pula. Pada tanggal 21 Juli tentara Napoleon sampai di daerah tersebut antara kaum Mamluk dan Tentara Napoleon, kaum Mamluk kalah dan lari ke Cairo tetapi tidak mendapat dukungan dari rakyat Mesir. Akhirnya, tidak sampai tiga minggu yaitu tanggal 22 Juli Napoleon dapat menguasai Mesir.
            Usaha Napoleon untuk menguasai daerah-daerah lainnya tidak berhasil akhirnya, pada tanggal 18 Agustus 1799 Napoleon meninggalkan Mesir. Napoleon datang ke Mesir membawa dua set alat percetakan dengan huruf latin, Arab dan Yunani, untuk kepentingan ilmiah. Kemudian dibentuklah suatu lembaga yang bernama Institut d’Egypte, yang mempunyai 4 bagian yaitu : bagian ilmu Pasti, Bagian Ilmu Alam, Bagian Ekonomi-Politik dan Bagian Sastra-Seni. Lembaga ini boleh dikunjungi oleh rakyat Mesir, terutama para ulamanya yang diharapkan akan menambah pengetahuan mereka tentang Mesir, adat-istiadatnya, bahasa dan agamanya, disinilah orang-orang Mesir dan umat Islam pertama kali mempunyai kontak langsung dengan peradaban Eropa yang baru lagi asing bagi mereka itu.
            Abd Al Al-Rahmah Al-Jabarti, seorang ulama dari Al-Azhar di mesir penulis sejarah, pernah mengunjungi lembaga tersebut pada tahun 1799. Yang  menarik perhatiannya yaitu perpustakaan besar yang mengandung buku-buku, bukan hanya dalam bahasa-bahasa Eropa, tetapi juga buku-buku agama dalam bahasa Arab, Persia dan Turki. Kesimpulan dalam kunjungan itu ia tulis dengan kata-kata sebagai berikut : “ Saya lihat di sana benda-benda dan percobaan-percobaan ganjil yang menghasilkan hal-hal yang besar untuk dapat ditangkap oleh akal seperti yang ada pada diri kita sendiri.”

BAB II : MUHAMMAD ALI PASYA

            Salah satu di antara perwira dari pasukan-pasukan yang disediakan itu bernama Muhammad Ali, seorang  keturunan Turki yang lahir di Kawalla, Yunani, pada tahun 1765, dan meninggal di Mesir pada tahun 1849. Ketika tentara Perancis keluar dari Mesir di tahun 1801, beliau mulai turut memainkan peranan penting dalam kekosongan kekuasaan politik yang timbul sebagai akibat dari kepergian tentara itu. Muhammad Ali berhasil mengadu domba antara lain Mamluk dan Pasya yang datang dari Istambul dengan kerja kerasnya Pasya yang baru dapat dikuasainya. Setelah puncak kekuasaan di Mesir Muhammad melakukan siasat dengan seolah-olah mengampuni kaum Mamluk dan suatu ketika mengundang mereka berpesta di istananya di Bukit Mukattam, setelah mereka masuk ke dalam istana semua pintu dikunci semua dan sebelum pesta dimulai diberi tanda untuk menyembelih mereka, menurut cerita ada 470 kaum hanya ada satu orang yang selamat. Pada akhir 1811 kaum Mamluk di Mesir telah habis.
            Setelah musnahnya kaum Mamluk, Muhammad Ali berkuasa penuh di Mesir dan menjadi wakil sultan. Muhammad Ali bertindak sebagai diktator ia hanya mementingkan kekuatan ekonomi dan kekuatan militer dan kedua hal ini menghendaki ilmu-ilmu modern yang telah dikenal oleh orang Eropa.


BAB III : AL-TAHTAWI

            Ia lahir pada tahun 1801 di Tahta, suatu kota yang terletak di Mesir bagian Selatan, dan meninggal di Cairo pada tahun 1873. ketika berumur 16 tahun ia pergi ke Cairo untuk belajar di Al-Azhar. Setelah lima tahun ia selesai menuntut ilmunya. Ia adalah murid kesayangan dari gurunya Al-Syaikh Hasan Al-Attar yang banyak mempunyai hubungan dengan ahli-ahli ilmu pengetahuan Perancis yang datang dengan Napoleon ke Mesir. Setelah selesai belajar di Al-Azhar, Al-Tahtawi mengajar di sana selama dua tahun kemudian diangkat menjadi Imam tentara pada tahun 1824. dua tahun kemudian diangkat menjadi Imam Mahasiswa-mahasiswa yang dikirim Mohammad Ali, ia tinggal di sana selama 5 tahun
            Al-Tahtawi belajar bahasa Perancis swaktu dalam perjalanan ke Paris. Selama lima tahun di Paris beliau telah menerjemahkan 12 buku dan risalah. Di tahun 1836 didirikan Sekolah Penerjemahan yang dirubah menjadi sekolah bahasa-bahasa Asing. Pimpinan di sekolah diserahkan kepadanya dan menurut keterangan beliau telah hampir menerjemahkan 1000 buah buku ke dalam Bahasa Arab.
            Setelah Muhammad Ali meninggal, diganti oleh cucunya Abbas menjadi Pasya di Mesir karena hal-hal yang kurang senang ia dipindahkan ke Sudan. Abbas wafat pada tahun 1854.
            Al-Tahtawi berpendapat bahwa penerjemahan buku-buku Barat ke dalam bahasa Arab penting, agar umat Islam dapat mengetahui ilmu-ilmu yang membawa kemajuan barat, dan dengan demikian umat Islam berusaha pula memajukan diri mereka. Masyarakat suatu negara, menurut pendapatnya tersusun dari 4 golongan yaitu : Raja, Kaum Ulama, dan ahli-ahli, tentara, dan kaum produsen. Salah satu jalan menuju kesejahteraan menurut Al-Tahtawi ialah berpegang pada agama dan budi pekerti yang baik.

 

BAB IV : JAMALUDDIN AL-AFGHANI

            Jamaluddin lahir di Afghanistan pada tahun 1839 dan meniggal dunia di Istambul di tahun 1897. ketika baru usia 20 tahun ia telah menjadi pembantu bagi pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Di tahun 1864 ia menjadi penasehat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian ia diangkat oleh Muhammad A’zam Khan menjadi Perdana Menteri. Karena Inggris telah mencampuri dunia politik di Afghanistan dan terjadi pergolakan, Al-Afghani lebih memilih tempat kelahirannya dan pergi ke India di tahun 1869. Begitupun ketika tinggal di India ia merasa tidak bebas bergerak karena negara tersebut telah jatuh ke tangan Inggris. Ia lebih memilih pindah ke Mesir pada tahun 1871. rumah tinggalnya dijadikan tempat pertemuan murid-murid dan pengikutnya. Di sanalah beliau memberikan kuliah dan mengadakan diskusi, dan menurut keterangan Muhammad Salam Madkur ada salah seorang muridnya yang menjadi pemimpin kenamaan di Mesir seperti Muhammad Abduh dan Sa’ad Zaghlul, pemimpin kemerdekaan Mesir.
            Ketika ide-ide baru yang disiarkan Al-Tahtawi melalui buku-buku terjemahannya dan karangannya telah mulai meluas di kalangan masyarakat Mesir, diantaranya ide trias politica  dan patriotisme. Telah matang waktunya untuk membentuk suatu partai politik, maka pada tahun 1879 atas usaha Al-Afghani terbentuklah partai Al-Hizb Al-Watani (Partai Nasional). Slogan “Mesir untuk orang Mesir” mulai kedengaran. Tujuan partai ini selanjutnya ialah memperjuangkan pendidikan universal, kemerdekaan pers dan pemasukan unsur-unsur Mesir ke dalam posisi-posisi dalam bidang militer.
            Dari Mesir Al-Afghani pergi ke Paris dan di sini ia dirikan perkumpulan Al-‘Urwah Al-Wusqa. Di antara tujuan yang hendak dicapai ialah memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam dan membawa umat Islam kepada kemajuan. Sewaktu di Eropa Al-Afghani mengadakan perundingan dengan Sir Randolph Churchil dan Drummond Wolf tentang masalah Mesir dan tentang penyelesaian pemberontakan Al-Mahdi di Sudan secara damai. Wolf meminta bantuannya untuk mewujudkan hubungan persahabatan antara kerajaan Usmani, Persia, dan Afghanistan. Persahabatan ketiga negara itu perlu bagi Inggris dalam menentang politik Rusia di Timur Tengah. Tetapi kedua usaha itu tidak membawa hasil.
            Atas undangan Sultan Abdul Hamid, Al-Afghani selanjutnya pindah ke Istambul di tahun 1892. Bantuan dari negara-negara Islam amat dibutuhkan Sultan Abdul Hamid untuk menentang Eropa yang di waktu itu telah kian mendesak kedudukan Kerajaan Usmani di Timur Tengah.
            Karena takut akan pengaruh Al-Afghani yang demikian besar, kebebasannya dibatasi Sultan dan ia tak dapat keluar dari Istambul. Ia tetap tinggal di sana sampai ia wafat di tahun 1897, pada lahirnya sebagai tamu yang mendapat penghormatan, tetapi pada hakekatnya sebagai tahanan Sultan.
            Jalan untuk memperbaiki keadaan umat Islam, menurut Al-Afghani ialah melenyapkan pengertian-pengertian salah yang dianut umat pada umumnya, dan kembali kepada ajaran-ajaran dasar Islam yang sebenarnya. Hati mesti disucikan, budi pekerti luhur dihidupkan kembali, dan demikian pula kesediaan berkorban untuk kepentingan umat. Dengan berpedoman pada ajaran-ajaran dasar umat Islam akan dapat bergerak maju mencapai kemajuan.



BAB V : MUHAMMAD ABDUH

            Ia lahir disuatu desa di Mesir Hilir. Di desa mana tidak dapat diketahui dengan pasti, karena ibu bapaknya adalah orang desa biasa yang tidak mementingkan tanggal dan tempat lahir anak-anaknya. Tahun 1849 adalah tahun yang umum dipakai sebagai tanggal lahirnya. Ada yang mengatakan bahwa ia lahir sebelum tahun itu. Perbedaan pendapat tentang tempat dan tanggal lahir M. Abduh timbul karena suasana kacau yang terjadi di akhir Muhammad Ali (1805 – 1849).
            Bapak Muhammad Abduh bernama Abduh Hasan Khairullah berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir. Ibunya menurut riwayat berasal dari bangsa Arab yang silsilahnya meningkat sampai ke suku bangsa Umar Ibn Al-Khattab. Abduh Hasan Khairullah kawin dengan ibu Muhammad Abduh sewaktu merantau dari desa ke desa itu dan ketika ia menetap di Mahallah Nasr, Muhammad Abduh masih dalam ayunan dan gendongan ibunya. Muhammad Abduh lahir dan menjadi dewasa dalam lingkungan di bawah asuhan ibu bapa yang tak ada hubungannya dengan didikan sekolah, tetapi mempunyai jiwa keagamaan yang teguh.
            Muhammad Abduh mempunyai jiwa keagamaan yang teguh agar kemudian dapat membaca dan menghafal Al-Qur’an. Setelah mahir membaca dan menulis iapun diserahkan kepada satu guru untuk dilatih menghafal Al-Qur’an. Ia dapat menghafalnya dalam masa dua tahun. Kemudian ia dikirim ke Tanta untuk belajar agama di Mesjid Syekh Ahmad di tahun 1862. Setelah dua tahun belajar bahasa Arab, nahu, sarf, fiqh, dan sebagainya, ia merasa tak mengerti apa-apa. Tentang pengalaman ini Muhammad Abduh mengatakan “Satu setengah tahun saya belajar di Mesjid Syekh Ahmad dengan tak mengerti suatu apapun. Ini adalah karena metodenya yang salah, guru-guru mulai mengajak kita dengan menghafal istilah-istilah tentang nahu atau fiqh yang tak kita ketahui artinya. Guru-guru tak merasa penting apa kita mengeerti atau tidak mengerti arti-arti istilah itu. Metode yang dipakai pada waktu itu ialah metode menghafal luar kepala. Pengaruh metode ini masih terdapat dalam zaman kita sekarang terutama di sekolah-sekolah agama.
            Karena yakin bahwa belajar itu tak akan membawa hasil bainya ia pulang ke kampungnya dan berniat akan bekerja sebagai petani. Di tahun 1865, sewaktu ia berumur 16 tahun iapun kawin. Tapi nasibnya rupanya akan menjadi orang besar. Baru saja empat puluh hari kawin, ia dipaksa orang tuanya kembali belajar ke Tanta. Dan disini ia bertemu dengan seorang yang merobah jalan riwayat hidupnya. Orang itu bernama Syekh Darwisy Khadr, paman dari ayah Muhammad Abduh. Syekh Darwisy Khadr telah pergi merantau ke luar Mesir dan belajar agama Islam dan Tasawwuf (Tarikat Syadli) di Libia dan Tripoli. Setelah selesai pelajarannya ia kembali ke kampungnya.
            Setelah beberapa hari membaca buku bersama-sama dengan cara yang diberikan Syekh Darwisy itu, Muhammad Abduhpun berubahlah sikapnya terhadap buku dan ilmu pengetahuan. Ia sekarang mulai mengerti apa yang dibacanya dan ingin mengerti dan mengetahui lebih banyak. Akhirnya ia pergi ke Tanta untuk meneruskan pelajaran.
            Setelah selesai belajar di sini, ia meneruskan studinya ke Al-Azhar di tahun 1866. Di sinilah Muhammad Abduh buat pertama kali berjumpa dengan Al-Afghani, ketika ia bersama dengan mahasiswa lain pergi berkunjung ke tempat penginapan Al-Afghani di dekat Al-Azhar.
            Di tahun 1877 studinya selesai di Al-Azhar dengan mendapat gelaran Alim. Ia mulai mengajar, pertama di Al-Azhar. Diantara buku-buku yang diajarkannya ialah buku akhlak karangan Ibn Mikawaih, Mukaddimah Ibn Khaldun dan Sejarah Kebudayaan Eropa karangan Guizot, yang diterjemahkan Al-Tahtawi ke dalam bahasa Arab di tahun 1857. sewaktu Al-Afghani diusir dari Mesir di tahun 1879, karena dituduh mengadakan gerakan menentang Khedewi Tawfik, Muhammad Abduh yang juga dipandang turut campur dalam soal ini, dibuang keluar kota Cairo. Tetapi di tahun 1880 ia boleh kembali ke Ibukota dan kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintah mesir.
            Peristiwa revolusi Urabi Pasya, Muhammad Abduh turut memainkan peranan. Pada permulaannya ia pergi ke Beirut, dan kemudian ke Paris. Di tahun 1884 ia bersama-sama dengan Al-Afghani mengeluarkan : Al-Urwah Al-Wusqa. Umur majalah ini tak lama dan di tahun 1885 Muhammad Abduh kembali ke Beirut via Tunis, dan mengajar di sana. Di tahun 1894, ia diangkat menjadi anggota Majlis A’la dari Al-Azhar. Sebagai anggota majlis ini ia membawa perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan ke dalam tubuh Al-Azhar sebagai Universitas. Di tahun 1899, ia diangkat menjadi Mufti Mesir. Kedudukan tinggi ini dipegangnya sampai ia meninggal dunia di tahun 1905.
            Ide-ide Muhammad Abduh, sebab yang membawa kepada kemunduran, menurut pendapatnya adalah faham jumud yang terdapat di kalangan umat Islam. Dalam kata jumud terkandung arti keadaan membeku, keadaan statis, tak ada perubahan. Karena dipengaruhi faham jumud umat Islam tidak menghendaki perubahan dan tidak mau menerima perubahan. Umat Islam berpegang teguh pada tradisi.
            Paham Ibn Taimiyah bahwa ajaran-ajaran Islam terbagi dalam dua kategori, ibadat dan mu’amalah (hidup kemasyarakatan manusia) diambil dan ditonjolkan Muhammad Abduh. Ia melihat bahwa ajaran-ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits mengenai ibadat bersifat tegas, jelas dan terperinci. Sebaliknya ajaran-ajaran mengenai hidup kemasyarakatan umat hanya merupakan dasar-dasar dan prinsip-prinsip umum yang tidak terperinci.       


BAB VI : RASYID RIDA

            Rasyid Rida adalah murid Muhammad Abduh yang terdekat. Ia lahir pada tahun 1865 di Al-Qalamun, suatu desa di Lebanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli (Suria). Menurut keterangan, ia berasal dari keturunan Al-Husain, cucu Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu ia memakai gelar Al-Sayyid di depan namanya. Semasa kecil ia dimasukkan ke madrasah tradisional di Al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan membaca Al-Qur’an. Di tahun 1882, ia meneruskan pelajaran di Al-Madrasah Al-Wataniah Al-Islamiah (Sekolah Nasional Islam) di Tripoli. Sekolah ini didirikan oleh Al-Syaikh Husain Al-Jisr, seorang ulama Islam yang dipengaruhi oleh ide-ide modern.
            Rasyid Rida meneruskan pelajarannya di salah satu skeolah agama yang ada di Tripoli. Selanjutnya ia banyak dipengaruhi oleh ide-ide Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh melalui majalah Al-Urwah Al-wustqa. Perjumpaan-perjumpaan dan dialognya denagn Muhammad Abduh meninggalkan kesan yang baik dalam dirinya. Pemikiran-pemikiran pembaharuan yan diperolehnya dari Al-Syaikh Husain Al-Jisr’ dan yang kemudian diperluas lagi dengan ide-ide Al-afghani dan Muhammad Abduh amat mempengaruhi jiwanya.
            Beberapa bulan kemudian iamulai menerbitkan majalah yang termasyur, Al-Manar. Di dalam nomor pertama dijelaskan bahwa tujuan Al-Manar sama dengan tujuan Al-Urwah Al-Wusqa, antara lain mengadakan pembaharuan dalam bidang agama, sosial dan ekonomi, memberantas takhyul dan bid’ah-bid’ah yang masuk ke dalam tubuh Islam, menghilangkan faham fatalisme yang terdapat dalam kalangan umat Islam, serta faham-faham salah yang dibawa tarekat-tarekat tasawwuf, meningkatkan mutu pendidikan dan membela umat Islam terhadap permainan politik negara-negara Barat.
            Rasyid Rida melihat perlunya diadakan tafsiran modern dari Al-Qur’an, yaitu tafsiran yang sesuai dengan ide-ide yang dicetuskan gurunya. Rasyid Rida juga merasa perlunya dilaksanakan ide pembaharuan dalam bidang pendidikan. Untuk itu ia melihat perlu ditambahkan ke dalam kurikulum mata-mata pelajaran berikut : teologi, pendidikan moral, sosiologi, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung, ilmu kesehatan, bahasa-bahasa asing dan ilmu mengatur rumah tangga (kesejahteraan keluarga) yaitu di samping fikih, tafsir, hadis, dan lain-lain yang biasa diberikan di madrasah-madrasah tradisional.
            Sewaktu masih di tanah airnya Rasyid Rida telah pernah memasuki lapangan politik dan setelah pindah ke Mesir ia juga ingin meneruskan kegiatan politiknya. Tetapi atas nasehat Muhammad Abduh, ia menjauhi lapangan politik. Setelah gurunya meninggal dunia, barulah ia memulai bermain politik. Di dalam majalah Al-Manar ia mulai menulis dan memuat karangan-karangan yang menentang pemerintahan absolut Kerajaan Usmani. Selanjutnya juga tulisan-tulisan yang menentang politik Inggris dan Perancis untuk membagi-bagi dunia Arab di bawah kekuasaan mereka masing-masing.
            Di masa tua, sungguhpun kesehatannya telah selalu terganggu, ia tidak mau tinggal diam dan senantiasa aktif. Akhirnya ia meninggal dunia di bulan Agustus 1935, sekembalinya dari mengantarkan Pangeran Su’ud ke kapal di Suez.
            Pemikiran-pemikiran pembaharuan yang dimajukan Rasyid Rida, tidak banyak berbeda dengan ide-ide Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani. Ia juga berpendapat bahwa umat Islam mundur karena tidak lagi menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya.

No comments:

Post a Comment

Simbol Bilangan atau Angka

  a. Pengertian Angka Memahami suatu angka dapat membantu manusia untuk melakukan banyak perhitungan mulai dari yang sederhana maupaun y...

Blog Archive