Menurut Feldman (1967) ada
beberapa tipe kritik karya seni yaitu :
1. Kritik Populer (popular criticism),
adalah kritik yang ditujukan untuk kalangan umum dengan menggunakan gaya bahasa
dan istilah yang sederhana dan dipahami oleh orang awam. Pada dasarnya
implikasi kritik seni popular ditulis oleh sebagian besar penulis yang tidak
menuntut keahlian kritis. Masyarakat akan terus membuat penilaian kritis, tanpa
mempertimbangkan apakah penilaian yang mereka lakukan tepat atau tidak.
Jenis kritik ini berkembang
diseluruh dunia, termasuk Indonesia. Tipe kritik popular adalah suatu gejala
umum dan kebanyakan dihasilkan oleh para kritikus yang tidak ahli, terutama
dilihat dari aspek profesionalisme kritisme seni.
2. Kritik Jurnalistik (journalistic criticism),
tipe kritik ini ditulis untuk para pembaca surat kabar dan majalah. Tujuannya
memberikan informasi tentang berbagai peristiwa dalam dunia kesenian. Isi dari
kritik Jurnalistik berupa ulasan ringkasan dan jelas mengenai suatu pameran,
pementasan, konser, atau jenis pertunjukan seni lain di tengah mesyarakat.
Karakteristik utama kritik Jurnalistik adalah aspek pemberitahuan.
Kewajiban seorang kritikus
jurnalistik adalah memuaskan rasa ingin tahu para pembaca yang beragam, di
samping untuk menyampaikan fenomena keindahanyang menggugah rasa keindahan.
Pada umumnya kritikus menghindari penulisan yang panjang, agar tidak menyita
kolom pemberitaan secaraberlebihan. Majalah Time dan Tempo di Indonesia
merupakan contoh media yang menerapkan tipe kritik jurnalistik dalam rubric
kesenian mereka.
Karena seringnya kritik tipe
ini ditulis dan waktu penulisan yang terbatas, maka informasi yang disampaikan
memiliki resiko tidak akurat. Penarikan kesimpulan yang cepat dan analisis yang
dangkal menyebabkan kritikus cenderung menyimpulkan interpretasi seninya, tanpa
analisis dan pembuktian yang valid. Bagi seseorang yang cermat mengamati tipe
kritik jurnalistik, akan menyadari pengetahuan atau pemahaman kritikus hanya
berisi sekumpulan opini tentang reputasi seni kontemporer yang sedang
berkembang.
3. Kritik Keilmuan (scholarly criticism),
Kritik ilmiah atau kritik akademi adalah istilah yang digunakan di Indonesia
sebagai alih bahasa dari scholary criticism sebagaimana disebutkan oleh
Feldman. Kritik ilmiah biasanya melakukan pengkajian nilai seni secara luas,
mendalam, dan sistematis, baik dalam menganalisis maupun dalam melakukan kaji
banding kesejarahan critical judgment.
Penilaian kritik ilmiah
sesungguhnya tidak bersifat mutlak, sama seperti pengetahuan lmiah lainnya,
jenis kritik ini bersifat terbuka dan siap dikoreksi oleh siapa saja, demi
penyempurnaan dan mencari nilai karya seni yang sebenarnya. Kritik seni ilmiah
sama sekali tidak bermaksud mengilmiahkan seni, jenis kritik ini hanya meminjam
sarana ilmiah untuk melakukan penilaian seni yang lebih akurat. Misalnya,
menggunakan prosedur penelitian untuk mengumpulkan data yang lengkap, sebagai
bukti konkret untuk melakukan penilaian yang logis, sehingga kesimpulan kritik
yang dihasilkan dapat mengungkap makna seni berdasarkan bukti-bukti yang
dikemukakan.
4. Kritik Pendidikan (pedagogical criticism),
Kritik seni pedagogic diterapkan dalam kegiatan proses belajar mengajar di
lembaga pendidikan kesenian. Jenis kritik ini dikembangkan oleh para dosen dan
guru kesenian, tujuannya terutama mengembangkan bakat dan potensi
artistic-estetik peserta didik, agar memiliki kemampuan mengenali bakat dan
potensinya.
Para pendidik seharusnya
memahami standar nilai dunia seni professional dan mampu berperan sebagai seorang
kritikus, meskipun standar dunia seni profesional tersebut tidak digunakan
sebagai kriteria untuk menilai karya peserta didiknya. Satu hal yang sulit bagi
seorang pendidik seni ialah keterlibatan kapasitas kritisnya dalam proses
pengajaran. Dia harus sadar bahwa kegiatan menganalisis dan menafsirkan karya
murid-muridnya adalah untuk kemajuan dan kepentingan peserta didik itu sendiri.
Kritikus pedagogik membimbing bagaimana proses menganalisis dan menafsirkan
nilai seni dan memahami karakter seni yang dibuatnya.
Sejak karya seni memiliki
implikasi sosial (seni dibuat untuk orang lain, untuk dimiliki, dipakai, atau
dikagumi, maupun untuk dinikmati sendiri) maka para pendidik seni wajib
merespon secara kritis peserta didiknya, mulai dari proses pembuatan karya seni
sampai menyelesaikannya. Pada system pendidikan tradisional, penentuan
selesainya sebuah karya ditentukan oleh dosen atau guru seni. Namun dalam
system pendidikan modern penentuan selesainya sebuah karya seni merupakan hasil
kerja sama antara guru seni dan muridnya.
Jika dilihat dari fungsinya
maka menurut Saini, kritik dapat dibedakan menjadi ;
1. Kritik
Konstruktif yaitu kritik yang dilakukan oleh kritikus teater berisi ulasan dan
tanggapan tentang karya teater akan tetapi memiliki kecenderungan untuk tidak
menjatuhkan senimannya atau membingungkan pembacanya. Jenis kritik ini
bertujuan agar sang seniman mampu meningkatkan kualitas karyanya sehingga
kritik ini bersifat positif dan membangun
2. Kritik
Destruktif yaitu kritik yang dilakukan kritikus teater berisi ulasan dan
tanggapan tajam tentang karya teater dengan kecenderungan pesimis dan negatif,
kadangkala menjatuhkan semangat sang seniman.
No comments:
Post a Comment