Wednesday, March 13, 2019

MEMBANGUN INTEGRASI IMTAK DAN IPTEK



Pengantar

Dakwah pada hakikatnya adalah suatu usaha orang beriman untuk mewujudkan Islam dalam semua segi kehidupan baik pada tataran individu, keluarga, masyarakat, maupu umat dan bangsa. Sebagai aktualisasi iman, dakwah merupakan keharusan dan menjadi tugas suci bagi setiap muslim setingkat dengan kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki. Usaha mewujudkan iman dan islam ini dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain : melalui penyiaran Islam (Tabligh), pembudayaan nilai-nilai Islam (al-amr bi al ma’ruf) dan kontrol sosial (al nahy ‘an al munkar). Keteladanan perilaku (uswah hasanah), serta melalui pengembangan pendidikan (al ta’lim wa al tarbiyah) yang sesuai dengan visi-visi dan cita-cita Islam.
Selama ini, penulis melihat pendidikan Islam selain masih menggunakan metode tradisional juga dikotomis. Pola pendidikan seperti ini, hemat penulis tidak memadai lagi untuk merespon perkembangan masyarakat yang sangat dinamis. Dakwah melalui pendidikan, harus dilakukan dengan mengembangkan sistem pendidikan integralistik yang memadukan antara imtak (Iman dan Takwa) dan iptek (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi), pendidikan bernilai dakwah bila pendidikan itu dapat mengantar peserta didik menjadi orang-orang yang benar secara aqidah dan ibadah, serta kuat secara ekonomi, politik dan iptek.
Beberapa universitas Islam sudah mencoba mengembangkan sistem ini, termasuk Universitas Islam As-Syafi’iyah (UIA), penulis menyambut baik IAIN Jakarta di bawah pimpinan Prof. DR. Azyumardi Azra dikembangkan menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Transformasi IAIN menjadi UIN dilakukan dalam rangka pengembangan integrasi ilmu dan agama ini secara lebih baik dan konsepsional.

Kekuatan Iptek

            Hampir menjadi pengetahuan umum (common sense) bahwa dasar dari peradaban modern adalah ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Iptek merupakan dasar dan pondasi yang menjadi penyangga bangunan peradaban modern barat sekarang ini. Masa depan suatu bangsa akan banyak ditentukan oleh tingkat penguasaan bangsa itu terhadap iptek. Suatu masyarakat atau bangsa tidak akan memiliki keunggulan dan kemampuan daya saing yang tinggi, bila ia tidak mengambil dan mengembangkan Iptek. Bisa dimengerti bila setiap bangsa di muka bumi sekarang ini, berlomba-lomba serta bersaing secara ketat dalam penguasaan dan pengembangan iptek.
            Diakui bahwa iptek, disatu sisi telah memberikan “berkah” dan anugrah yang luar biasa bagi kehidupan umat manusia. Namun di sisi lain, iptek telah mendatangkan “petaka” yang pada gilirannya mengancam nilai-nilai kemanusiaan. Kemajuan dalam bidang iptek telah menimbulkan perubahan sangat cepat dalam kehidupan umat manusia. Perubahan ini, selain sangat cepat memiliki daya jangkau yang amat luas. Hampir tidak ada segi-segi kehidupan yang tidak tersentuh oleh perubahan. Perubahan ini pada kenyataannya telah menimbulkan pergeseran nilai-nilai dalam kehidupan umat manusia, termasuk di dalamnya nilai-nilai agama, moral, dan kemanusiaan.
            Di Eropa, sejak abad pertengahan, timbul konflik antara ilmu pengetahuan (sains) dan agama (gereja). Dalam konflik ini sains keluar sebagai pemenang, dan sejak itu sains melepaskan diri dari kontrol dan pengaruh agama, serta membangun wilayahnya sendiri secara otonom. Dalam perkembangannya lebih lanjut, setelah terjadi revolusi industri di Barat, terutama sepanjang abad XVIII dan XIX, sains bahkan menjadi “agama baru” atau “agama palsu” (Psaedo Religion). Dalam kajian teologi modern di Barat timbul mazhab baru yang dinamakan “saintisme” dalam arti bahwa sains telah menjadi isme, ideologi bahkan agama baru.
            Namun sejak pertengahan abad XX, terutama setelah terjadi penyalahgunaan iptek dalam perang dunia I dan perang dunia II, banyak pihak mulai menyerukan perlunya integrasi ilmu dan agama, iptek dan imtak. Pembicaraan tentang iptek mulai dikaitkan dengan moral dan agama hingga sekarang (ingat kasus kloning misalnya). Dalam kaitan ini, keterkaitan iptek dengan moral (agama) diharapkan bukan hanya pada aspek penggunaannya saja (aksiologi), tapi juga pada pilihan objek (ontologi) dan metodologi (epistomologi)-nya sekaligus.

Latar Belakang Perlunya Integrasi Imtak dan Iptek

            Di negara ini, gagasan tentang perlunya integrasi pendidikan imtak dan iptek ini sudah lama digulirkan. Profesor B.J. Habibie, adalah orang pertama yang menggagas integrasi imtak dan iptek ini. Hal ini, selain karena adanya problem dikotomi antara apa yang dinamakan ilmu-ilmu umum (sains) dan Ilmu-ilmu agama (Islam), juga disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa pengembangan iptek dalam sistem pendidikan kita tampaknya berjalan sendiri, tanpa dukungan asas iman dan takwa yang kuat, sehingga dikawatirkan pengemabnagn dan kemajuan iptek tidak memiliki nilai tambah dan tidak memberikan manfaat yang cukup berarrti bagi kemajuan dan kemaslahatan umat dan bangsa dalam arti yang seluas-luasnya.
            Kekhawatiran ini, cukup beralasan, karena sejauh ini sistem pendidikan kita tidak cukup mampu menghasilkan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, sebagaimana diharapkan. Berbagai tindak kejahatan sering terjadi dan banyak dilakukan justru oleh orang-orang yang secara akademik sangat terpelajar, bahkan mumpuni. Ini berarti aspek pendidikan turut menyumbang dan memberikan saham bagi kebangkrutan bangsa yang kita rasakan sekarang. Kenyataan ini menjadi salah satu catatan mengenai raport merah pendidikan nasional kita.
            Secara lebih spesifik, integrasi pendidikan imtak dan iptek ini diperlukan karena empat alasan.
Pertama, sebagaimana telah dikemukakan, iptek akan memberikan berkah dan manfaat yang sangat besar bagi kesejahteraan hidup umat manusia bila iptek disertai oleh asas iman dan takwa kepada Allah SWT. Sebaliknya tanpa asas imtak, iptek biasa disalahgunakan pada tujuan-tujuan yang bersifat destruktif. Iptek dapat mengancam nilai-nilai kemanusiaan. Jika demikian, iptek hanya absah secara metodologis, tetapi batil dan miskin secara maknawi.
Kedua, pada kenyataannya, iptek yang menjadi dasar modernisme, telah menimbulkan pola dan gaya hidup baru yang bersifat sekularistik, materialistik dan hedonistik, yang sangat berlawanan dengan nilai-nilai budaya dan agama yang dianut oleh bangsa kita.
Ketiga, dalam hidupnya, manusia tidak hanya memerlukan sepotong roti (kebutuhan jasmani) tetapi juga membutuhkan imtak dan nilai-nilai sorgawi (kebutuhan spiritual). Oleh karena itu, penekanan pada salah satunya hanya akan menyebabkan kehidupan menjadi pincang dan berat sebelah, dan menyalahi hikmat kebijaksanaan Tuhan yang telah menciptakan manusia dalam kesatuan jiwa raga, lahir dan batin, dunia dan akherat.
Keempat, imtak menjadi landasan dan dasar paling kuat yang akan mengantar manusia menggapai kebahagiaan hidup. Tanpa dasar imtak, segala atribut duniawi seperti harta, pangkat, iptek dan keturunan tidak akan mampu alias gagal mengantar manusia meraih kebahagiaan. Kemajuan dalam semua itu, tanpa iman dan upaya mencari ridha Tuhan, hanya akan menghasikan fatamorgana yang tidak menjanjikan apa-apa selain bayangan palsu (Q.S. An-nur: 39). Maka integrasi imtak dan iptek harus diupayakan dalam format yang tepat sehingga keduanya berjalan seimbang (hand in hand) dan dapat mengantar kita meraih kebaikan dunia (hasanah fi al-Dunya) dan kebaikan akhirat (hasanah fi al-akhirah) seperti do’a yang setiap saat kita panjatkan kepada Tuhan (Q.S. Al-Baqarah:201)

Menuju Integrasi Imtak dan Iptek

            Untuk membangun sistem pendidikan yang mengintegrasikan pendidikan imtak dan iptek dalam sistem pendidikan nasional kita, kita harus melihat kembali aspek-aspek pendidikan kita, terutama berkaitan dengan empat hal berikut ini, yaitu:
1)      Filsafat dan orientasi pendidikan (termasuk di dalamnya filsafat manusia),
2)      Tujuan Pendidikan,
3)      Filsafat ilmu pengetahuan (Episemologi), dan
4)      Pendekatan dan metode pembelajaran.

Dalam filsafat pendidikan konvensional, pendidikan dipahami sebagai proses mengalihkan kebudayaan dari satu generasi ke generasi lain. Filsafat pendidikan semcam ini mengandung banyak kelemahan. Selain dapat timbul degradasi (penurunan kualitas pendidikan) setiap saat, pendidikan cenderung dipahami sebagai transfer of knowledge semata dengan hanya menyentuh satu aspek saja, aspek kognitif dan kecerdasan intelektual (IQ) semata dengan mengabaikan kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) peserta didik. Dengan filosofi seperti itu, peserta didik sering diperlakukan sebagai makhluk tidak berkesadaran. Akibatnya, pendidikan tidak berhasil melaksanakan fungsi dasarnya sebagai wahanan pemberdayaan manusia dan peningkatan harkat dan martabat manusia dalam arti yang sebenar-benarnya.
            Berbicara filsafat pendidikan, mau tidak mau, kita harus membicarakan pula tentang filsafat manusia, soalnya, proses pendidikan itu dilakukan oleh manusia dan untuk manusia pula. Pendeknya, pendidikan melibatkan manusia baik sebagai subjek maupun objek sekaligus. Tanpa mengenal siapa manusia itu sebenarnya, proses pendidikan, akan selalu menemui kegagalan seperti yang selama ini terjadi.
            Manusia dalam pandangan Islam, adalah puncak dari ciptaan Tuhan (Q.S. At-Thiin:4), makhluk yang dimuliakan oleh Allah dan dilebihkan dibanding makhluk lain (Q.S. Al-Isra), merupakan makhluk yang dipercaya oleh Tuhan sebagai Khalifah di muka bumi (Q.S. Al-Baqarah: 30, Shad: 36), manusia dibekali oleh Allah potensi-potensi baik berupa panca indera, akal pikiran (rasio), hati (Qalb), dan sanubari (Q.S As-Sajadh: 9). Dengan demikian, manusia adalah makhluk rasional dan emosional, makhluk jasmani dan rohani sekaligus.
            Bertolak dari filsafat manusia ini, maka pendidikan tidak lain harus dipahami sebagai ikhtiar manusia yang dilakukan secara sadar untuk menumbuhkan potensi-potensi baik yang dimiliki manusia sehingga ia mampu dan sanggup mempertanggung jawabkan eksistensi dan kehadirannya di muka bumi. Dalam perspektif ini, adalah pendidikan manusia seutuhnya, dan harus diarahkan pada pembentukan kesadaran dan kepribadian manusia. Disinilah, nilai-nilai budaya dan agama (imtak). Lalu, apa tujuan pendidikan itu? Dalam pandangan Islam, tujuan pendidikan tidak berbeda dengan tujuan hidup itu sendiri, yaitu beribadah kepada Allah SWT (Q.S. Al-Dzariyat: 56). Dengan kata lain, pendidikan harus menciptakan pribadi-pribadi muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT yang dapat mengantar manusia meraih kebahagiaan dalam kehidupan dunia dan akhirat. Pendidkan Islam berorientasi pada penciptaan ilmuwan (ulama) yang takut bercampur kagum kepada kebesaran Allah SWT (Q.S Fathir: 28), dan berorientasi pada penciptaan intelektual dengan kualifikasi sebagai Ulul Albab yang dapat mengembangkan kualitas pikir dan kualitas dzikir (imtaq dan iptek) sekaligus (Q.S. Ali Imran : 191-193).
            Proses integrasi imtak dan iptek, seperti telah disinggung di muka, pada hemat saya, harus pula dilakukan dalam tataran atau ranah metafisika keilmuan, khususnya menyangkut ontologi dan epistemologi ilmu. Ontologi ilmu menjelaskan apa yang dapat diketahui manusia, sedang epistemologi menjelaskan bagaimana manusia memperoleh pengetahuan itu dan dari mana sumbernya. Dikotomi keilmuan yang terjadi selama ini sesungguhnya bermula dari sini. Untuk itu integrasi imtak dan iptek, harus pula dimulai dari sini. Ini berarti, kita harus membongkar filsafat ilmu sekuler yang selama ini dianut. Kita harus membangun epistemologi islami yang bersifat integralistik yang menegaskan kesatuan ilmu dan kesatuan imtak dan iptek dilihat dari sumbernya, yaitu Allah SWT seperti banyak digagas oleh tokoh-tokoh pendidikan Islam kontemporer semcam Ismail Raji al-Faruqi, Prof. Naquib al Attas, Sayyed Hossein Nasr, dan belakangan Osman Bakar.
            Selain pada aspek filsafat, orientasi, tujuan dan epistemologi pendidikan seperti telah diuraikan di atas, integrasi imtak dan iptek itu perlu dilakukan dengan metode pembelajaran yang tepat. Pendidikan imtak pada akhirnya harus berbicara tentang pendidikan agama (Islam) di berbagai sekolah maupun perguruan tinggi. Untuk mendukung integrasi pendidikan imtak dan iptek dalam sistem pendidikan nasional kita, maka pendidikan agama Islam di semua jenjang pendidikan tersebut harus dilakukan dengan pendekatan yang bersifat holistik, integralistik, dan fungsional.
            Dengan pendekatan holistik, Islam harus dipahami secara utuh, tidak parsial dan partikularistik. Pendidikan Islam dapat mengikuti pola Iman, Islam dan Ihsan, atau pola Iman, Ibadah, dan akhlakul karimah, tanpa terpisah satu dengan yang lain, sehingga pendidikan Islam dan kajian Islam tidak hanya melahirkan dan memperkaya pemikiran dan wacana keislaman, tetapi sekaligus melahirkan kualitas moral (akhlaq al karimah) yang menjadi tujuan dari agama itu sendiri. Pendidikan Islam dengan pendekatan ini harus melahirkan budaya “berilmu amaliah dan beramal ilmiah”. Integrasi ilmu dan amal, imtak dan iptek haruslah menjadi ciri dan sekaligus nilai tambah dari pendidikan Islam.
            Dengan integralistik, pendidikan agama tidak boleh terpisah dan dipisahkan dari pendidikan sains dan teknologi. Pendidikan iptek tidak harus dikeluarkan dari pusat kesadaran keagamaan dan keislaman kita. Ini berarti, belajar sains tidak berkurang dan lebih rendah nilainya dari belajar agama. Belajar sains merupakan perintah Tuhan (Al-Qur’an), sama dan tidak berbeda dengan belajar agama itu sendiri. Penghormatan Islam yang seama ini hanya diberikan kepada ulama (pemuka agama) harus pula diberikan kepada kaum ilmuwan (Saintis) dan intelektual.
            Dengan fungsional, pendidikan agama harus berguna bagi kemashlahatan umat dan mampu menjawab tantangan dan perkembangan zaman demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin. Dalam perspektif  Islam ilmu memang tidak untuk ilmu dan pendidikan tidak untuk pendidikan semata. Pendidikan dan pengembangan ilmu dilakukan untuk kemaslahatan untuk manusia yang seluas-luasnya dalam kerangka ibadah kepada Allah SWT.

            Sementara dari segi metodologi, pendidikan dan pengajaran agama di semua jenjang pendidikan tersebut, tidak cukup dengan metode rasional dengan mengisi otak dan kecerdasan peserta didik semata-mata, sementara jiwa dan spiritualitasnya dibiarkan kosong dan hampa. Pendidikan agama perlu dilakukan dengan memberikan penekanan pada aspek afektif melalui praktik dan pembiasaan, serta melalui pengalaman langsung dan keteladanan perilaku dan amal sholeh. Dalam tradisi intelektual Islam klasik, pada saat mana Islam mencapai puncak kejayaannya, aspek pemikiran teoritik (al aql al nazhari) tidak pernah dipisahkan dari aspek pengalaman praksis (al aql al amali) pemikiran teoritis bertugas mencari dan menemukan kebenaran, sedangkan pemikiran praksis bertugas mewujudkan kebenaran yang hakekatnya tidak pernah terpisah dari realitas kehidupan umat dan bangsa. Dalam paradigma ini, ilmu dan pengembangan imu tdak pernah bebas nilai, pengembangan iptek harus diberi nilai rabbani (nilai ketuhanan dan nilai imtak), sejalan dengan semangat wahyu pertama, iqra’ bismi rabbik. Ini berarti pengembangan iptek tidak boleh dilepaskan dari imtak. Pengembangan iptek harus dilakukan untuk kemaslahatan kemanusiaan yang sebesar-besarnya dan dilakukan dalam kerangka ibadah kepada Allah SWT.

No comments:

Post a Comment

Simbol Bilangan atau Angka

  a. Pengertian Angka Memahami suatu angka dapat membantu manusia untuk melakukan banyak perhitungan mulai dari yang sederhana maupaun y...

Blog Archive