Permasalahan
utang piutang memang sudah menjadi hal yang biasa dalam masyarakat, dan bukan
menjadi hal yang baru untuk diangkat dalam sebuah penelitian skripsi maupun
dalam literatur lainnya. Sebelumnya telah banyak buku-buku dan literatur yang
membahas mengenai utang piutang, diantaranya adalah sebagai berikut: Dalam buku
“Fiqih Muamalah “ karyanya Syafi’i membahas
tentang rukun dan syarat utang piutang,
skripsi membahas mengenai utang piutang seperti skripsinya Junainah, yang
berjudul “Tinjauan hukum Islam terhadap pelunasan utang sapi untuk penanaman
tembakau berdasarkan ketentuan kreditur di Desa Sejati Kec. Camplong Kab
Sampang Madura”. Skripsi ini membahas tentang pandangan hukum Islam terhadap
akad utang sapi di Desa Sejati yang dilakukan secara lisan tanpa adanya saksi.
Sedangkan
dalam proses pelunasannya mengikuti krediturnya dengan sebagai jaminan
pengembaliannya dengan sapi yang berumur dan ukurannya sesuai seberapa lamanya
debitur tersebut berhutang. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa akad tanpa
adanya saksi bisa mengakibatkan akadnya tidak sempurna. Sebab menurut para
ulama saksi dalam transaksi adalah wajib sedangkan pelunasan yang berupa sapi
adalah mubah. Demikian ini terdapat kesesuaian antara Hukum Islam yang
mewajibkan utang-utang
dikembalikan dengan benda
yang
sejenis, sepertinya sapi kembali uang itu diharamkan dalam Hukum Islam seperti
hadits yang menerangkan adanya larangan pengembalian utang perak dengan emas.
Sedangkan perpanjangan waktu bagi yang pailit dengan tambahan 5 % adalah haram.
Hal ini dikarenakan jika ada tambahan dalam pembayaran utang yang di syaratkan
oleh kreditur dalam akadnya, menurut kesepakatan ulama’ haram hukumnya.[1]
Jurnal
yang ditulis oleh Ady Cahyadi yang berjudul “mengelola utang dalam perspektif
Islam” hasil penelitiannya menjelaskan bahwa utang adalah muamalah yang
dibolehkan dalam Islam. Utang dapat membawa seseorang kesurga karena niatnya
untuk tolong menolong sesama manusia. Namun utang juga dapat membawa seseorang
terjerumus kedalam api neraka manakala tidak dikelola dengan baik. Permasalahan
akibat utang piutang sering kali muncul karena adab-adab dalam berutang tidak
diperhatikan pemberi utang maupun peminjam. Oleh karena itu utang perlulah
dikelola dengan memperhatikan petunjukpetunjuk Islam baik yang bertuang dalam
al-Quran maupun dalam al-hadits sehingga kegiatan utang piutang dapat membawa
keberkahan dan menjadi solusi bagi umat.[2]
Skripsinya
Eni Dwi Astuti dengan judul “ Ziyadah dalam utang piutang (studi kasus utang
piutang Di Desa Kenteng Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan) skripsi ini
membahas tentang utang piutang dengan bunga atau yang lebih dikenal dengan
istilah anakan. Praktek utang piutang anakan tersebut dengan cara seseorang
berutang kepada orang lain, dalam hal ini adalah orang yang dianggap terkaya di
desa itu atau dari tabungan tahunan ibu-ibu arisan di Desa tersebut. Untuk
memberikan utang sesuai kebutuhan si pengutang.
Sebagai
konsekuensinya, pihak yang berhutang harus mengembalikan yang tersebut beserta
tambahan atau anaknya sesuai dengan perjanjian diawal dan didasarkan atas
keridhoan kedua belah pihak. Dalam utang ini, tabungan atau anakannya
bervariasi antara kreditur yang satu dengan kreditur yang lainnya, yaitu antara
3% sampai 10%. Dengan jangka waktu pengembaliannya bervariasi pada yaitu antara
jangka satu tahun dengan semampunya pihak pengutang dapat melunasi tanggungan
tersebut dan pelunasan dapat dicicil sebulan sekali.
Utang
atau Qardh dalam istilah Arab disebut dengan al-dain Jamaknya al-duyun
dan al-qardh. Pengertian umum utang piutang mencangkup jual beli, sewa
menyewa yang dilakukan secara tidak tunai.[3]
Utang
dalam kamus besar bahasa Indonesia ( KBBI) adalah uang yang dipinjam dari orang
lain yang berkewajiban membayar kembali apa yang sudah diterima.[4]
Qardh
secara bahasa artinya memotong. Karena orang yang memberi pinjaman akan
memotong sebagian hartanya untuk diberikan kepada peminjam.[5]
Utang atau qardh secara istilah adalah memberikan harta kepada orang
yang bisa memanfaatkannya, kemudian orang itu mengembalikannya, dan orang itu
mengembalikan gantinya. Qardh merupakan bentuk tolong menolong dan kasih
sayang. Nabi menyebutnya sebagai Anugerah sebab peminjamnya mendapatkan manfaat
kemudian mengembalikannya kepada yang meminjamkan.
Dimyauddin
Djuwaini menyebutkan bahwa qardh merupakan akad khusus pemberian harta
kepada orang lain dengan adanya kewajiban pengembalian semisalnya. Qardh
adalah penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara peminjam dan pihak yang
memberikan pinjaman yang mewajibkan peminjam melunasi utangnya setelah jangka
waktu tertentu.[6]
Utang
merupakan upaya memberikan pinjaman kepada orang lain dengan syarat pihak
peminjam mengembalikan gantinya. Dalam hal ini qardh dikatakan bahwa qardh
karena memotong sebagian, artinya diutangkan kepada orang lain bahwa utang
menurut bahasa ialah potongan, sedangkan menurut syar’i ialah
menyerahkan uang kepada orang yang bisa memanfaatkannya, kemudian ia meminta
pengembaliannya sebesar uang tersebut. Firdaus mengemukakan, pinjaman qardh
pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali.
Dalam literatur Fiqh, qardh dikategorikan dalam aqad tathawwu’I atau akad saling bantu
membantu dan bukan transaksi komersial.[7]
Qardh
dalam pengertian umum mirip dengan jual beli karena qardh merupakan
bentuk kepemilikan atas harta dengan imbalan harta qardh juga merupakan
salah satu jenis salaf (salam) beberapa ulama seperti dikutip oleh Wahbah
Zuhaili mengatakan bahwa qardh atau utang piutang adalah jual beli itu
sendiri.[8]
Ada
beberapa dasar Hukum utang qardh yang menjadi pegangan para ulama’ agar
saling menolong sesama umat manusia. Yang menjadi dasar hukum utang piutang ini
dapat dijumpai baik dalam Al-Quran maupun Sunah yakni sebagai berikut:
Firman
Allah dalam (Q.S. Al-Maidah 5:2)
وَتَعَاوَنُوأعَلَياَلْبِرِّوَاَلتَّقْوَي
وَلاَتَعَاوَنُاأعَلَيآ آلاءِشْمِوَآلْعُدْوَنِ
وَآتَّقُوأىللّهَ
إنَّآللَّهَشَدِيدُآلْعِقَابِ
Artinya:....Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa
dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran dan berakwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksanya.(QS.Al-Maidah
5:2)
Dalam
ayat tersebut terdapat kalimat “dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan
kebajikan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran”. Bahwa seseorang yang memberikan pinjaman atau utang kepada sesama
muslim harus didasari dengan rasa ikhlas dan niat yang tulus, karena pada
dasarnya menghutangi adalah perbuatan yang baik, karena saling menolong sesama.
Dalam
ayat lain Allah memberikan pedoman kepada sesama muslim agar selalu saling
tolong menolong dan sesuai syariat islam yang terdapat dalam surat At-Taghabun
(64) ayat 17
إنْتُقْرِضُوأآللَّهَقَرْضًاحَسَنًايُضَعِفْهُ لَكُمْ
وَيَغْفِرْلَكُمْ وَآللَّهُ
شَكُورٌحَلِيمٌ
Artinya:”jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah
akan melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu dan Allah maha
pembalas jasa lagi maha penyantun.(Q.S. At-Taghabun (64) ayat 17.
Bahwasanya
Allah akan memberikan seseorang pahala yang akan diterimanya apabila seseorang
tersebut menolong dengan hati yang ikhlas dan memberikan pertolongan dengan
senang hati, Karena memberikan pertolongan kepada sesama merupakan perbuatan
yang dianjurkan.
Selain
dasar hukum yang bersumber di dalam AlQuran maka dikuatkan lagi dengan beberapa
kumpulan hadits sebagai berikut:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَا لِكِ قَا لَ رَ سُوْلُ اللَّهِ
صَلَي اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَمَ رَ أيْتُ لَيْلَهُ أُسْرِى بِي عَلَي بَا بِ ا
لْجَنَّةِ مَكْتُوْبَا : الصَّدَقَةُبِعَشْرِأمْثَلِهَاوَالقَرْضِ
بِشَمَانِيَةِ عَشَرَ فَقُلْتُ يَا جِبْرِيْلُ مَا بَا لُ الْقَرْضِ أفْضَلُ مِنَ
الصَّدَقَة قَلَ لِأَنْ السَّالِاَ يُسَألُ وَعِنْدَهُ وَالْمُسْتَقْرِ ضُ
لاَيَسْتَقْرِضُ إلَأم إلأمِنْ حَاجَةِ (رواه ابن ما جة)
Artinya:”Dari Anas ibn Malik ra berkata, Rasulullah SAW bersabda:”pada malam
aku di isra’kan aku melihat pada sebuah pintu surga tertulis shadaqoh di balas
sepuluh kali lipat dan utang di balas delapan belas kali lipat”: lalu aku
bertanya :”wahai Jibril mengapa mengutangi lebih utama dari pada shadaqoh ?”ia
menjawab :”karena meskipun seorang pengemis meminta-minta namun masih mempunyai
harta, sedangkan seorang yang berutang pastilah karena ia membutuhkannya
(H.R. Ibnu Majah)[9]
Maksud
dari hadits di atas adalah bahwa menghutangi seseorang lebih utama dibandingkan
dengan shodaqoh, karena seseorang yang berutang bahwasanya ia benar-benar tidak memiliki harta untuk
keperluan yang lain, sedangkan seseorang yang diberi shodaqoh maka orang
tersebut masih dikategorikan sebagai orang yang masih mampu untuk membeli
keperluan.
حَدَّ ثَنَا عَبْدُ اللًّهِ ابْنِ مُعَا دٍ : حَدَّ
ثَنَا أَبِي : حَدَّ ثَنَا يُقْبَالُ عَنْ سِمَا كِ بْنِ حَرْبِ حَدَّ ثَنَا
سُوَيْدُبْنُ قَيْسِ قَا لَ حَثْتُ أنَا
وَ مُخْرَفَةٌ العَبْدِ يُّ يَزَّا مِنْ هَجَرَافَأتَيْنَا بِهِ مَكَّةَ فَجَا
ءَنَا رَ سُولُ اللَّهِ يُعْشِي فَسَا وَ مَتَا بِسَرَا وِيْلَ فَبِعْنَاهُ وَ
ثَمَّ رَ جُلٌ يَزِنُ بِا لاَ حْرِ فَقَا لَ لَهُ رَ سُو اللَّهِ (روهابوداود)
Artinya: Ubaidillah bin
Mu’adz menyampaikan kepada kami dari ayahnya, dari Sufyan, dari Simak bin Harto
bahwa Suwaid bin Qais berkata, Aku dan Makhramah Al-Abdibiasa memasok pakaian
dari hajar, lalu kami membawanya ke Mekkah untuk dijual, Rasulullah SAW datang
dan menawar beberapa helai celana. Kami pun menjualnya kepada beliau. Kami
melihat ada seseorang yang menggunakan timbangan untuk menentukan harga.
Rasulullah SAW berkata kepadanya “Timbangan dan lebihkanlah isi timbanganmu”.(H.R
Abu Dawud)[10]
Selain
dasar hukumnya berasal dari
Al-Quran dan AlHadits, Ismail Nawawi menyepakati bahwa qardh boleh
dilakukan. Kesepakatan ulama’ Imam Malik, Syafi’i, dan Hambali boleh memberikan
pinjaman, ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan
dan bantuan saudaranya, tidak ada seorangpun yang memiliki segala barang yang
ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam meminjam sudah menjadi satu bagian dari
kehidupan di dunia ini, dan Islam adalah agama yang sangat memerhatikan segenap
kebutuhan umatnya.[11]
Dari beberapa penjelasan diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa dasar hukum utang dalam Al-Qur’an dan Hadits dianjurkan untuk
saling berbuat kebaikan dengan sesama. Karena pada dasarnya utang bersifat
tolong menolong. Sedangkan Imam Malik, Syafi’i dan Hambali mengatakan boleh
melakukan qardh karena manusia tidak bisa hidup dengan bantuan orang
lain.
[1] Junainah, Tinjauan Hukum
Islam terhadap pelunasan uang sapi untuk penanaman tembakau berdasarkan
ketentuan keditur di DS. Sejati Ke. Camplong Kab Sampang Madura,skripsi sarjana
syariah jurusan Mu’amalah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Digital Lebrary IAIN Sunan
Ampel Surabaya,2009.
[2] Ady Cahyadi, Mengelola
Utang Dalam Perspektif Islam, Jurnal Bisnis dan Manajemen, vol 4/ No 1/ April/ 2014, 67.
[4] Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi keempat (KBBI), (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2008), 1540.
[5] Syaikh Shaleh bin Fauzan
Al-Fauzan, Mulkhas Fiqh Panduan Fiqih
Lengkap Jilid 2 (Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2013), 99.
[7] Ismail Nawawi, Fiqih
Muamalah Klasik dan Kontemporer Hukum Perjanjian Ekonomi Dan Bisnis Dan Social
(Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2012), 178.
[11] Ismail
Nawawi, Fiqih Muamalah Klasik Dan Kontemporer Hukum Perjanjian Ekonomi Dan Bisnis
Dan Sosial, 179.
No comments:
Post a Comment