Thursday, January 30, 2020

Tinjauan Hukum Islam Tentang Hutang Piutang



Permasalahan utang piutang memang sudah menjadi hal yang biasa dalam masyarakat, dan bukan menjadi hal yang baru untuk diangkat dalam sebuah penelitian skripsi maupun dalam literatur lainnya. Sebelumnya telah banyak buku-buku dan literatur yang membahas mengenai utang piutang, diantaranya adalah sebagai berikut: Dalam buku “Fiqih Muamalah “ karyanya Syafi’i membahas tentang rukun dan syarat utang piutang, skripsi membahas mengenai utang piutang seperti skripsinya Junainah, yang berjudul “Tinjauan hukum Islam terhadap pelunasan utang sapi untuk penanaman tembakau berdasarkan ketentuan kreditur di Desa Sejati Kec. Camplong Kab Sampang Madura”. Skripsi ini membahas tentang pandangan hukum Islam terhadap akad utang sapi di Desa Sejati yang dilakukan secara lisan tanpa adanya saksi.
Sedangkan dalam proses pelunasannya mengikuti krediturnya dengan sebagai jaminan pengembaliannya dengan sapi yang berumur dan ukurannya sesuai seberapa lamanya debitur tersebut berhutang. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa akad tanpa adanya saksi bisa mengakibatkan akadnya tidak sempurna. Sebab menurut para ulama saksi dalam transaksi adalah wajib sedangkan pelunasan yang berupa sapi adalah mubah. Demikian ini terdapat kesesuaian antara Hukum Islam yang mewajibkan utang-utang dikembalikan dengan benda yang sejenis, sepertinya sapi kembali uang itu diharamkan dalam Hukum Islam seperti hadits yang menerangkan adanya larangan pengembalian utang perak dengan emas. Sedangkan perpanjangan waktu bagi yang pailit dengan tambahan 5 % adalah haram. Hal ini dikarenakan jika ada tambahan dalam pembayaran utang yang di syaratkan oleh kreditur dalam akadnya, menurut kesepakatan ulama’ haram hukumnya.[1]
Jurnal yang ditulis oleh Ady Cahyadi yang berjudul “mengelola utang dalam perspektif Islam” hasil penelitiannya menjelaskan bahwa utang adalah muamalah yang dibolehkan dalam Islam. Utang dapat membawa seseorang kesurga karena niatnya untuk tolong menolong sesama manusia. Namun utang juga dapat membawa seseorang terjerumus kedalam api neraka manakala tidak dikelola dengan baik. Permasalahan akibat utang piutang sering kali muncul karena adab-adab dalam berutang tidak diperhatikan pemberi utang maupun peminjam. Oleh karena itu utang perlulah dikelola dengan memperhatikan petunjukpetunjuk Islam baik yang bertuang dalam al-Quran maupun dalam al-hadits sehingga kegiatan utang piutang dapat membawa keberkahan dan menjadi solusi bagi umat.[2]
Skripsinya Eni Dwi Astuti dengan judul “ Ziyadah dalam utang piutang (studi kasus utang piutang Di Desa Kenteng Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan) skripsi ini membahas tentang utang piutang dengan bunga atau yang lebih dikenal dengan istilah anakan. Praktek utang piutang anakan tersebut dengan cara seseorang berutang kepada orang lain, dalam hal ini adalah orang yang dianggap terkaya di desa itu atau dari tabungan tahunan ibu-ibu arisan di Desa tersebut. Untuk memberikan utang sesuai kebutuhan si pengutang.
Sebagai konsekuensinya, pihak yang berhutang harus mengembalikan yang tersebut beserta tambahan atau anaknya sesuai dengan perjanjian diawal dan didasarkan atas keridhoan kedua belah pihak. Dalam utang ini, tabungan atau anakannya bervariasi antara kreditur yang satu dengan kreditur yang lainnya, yaitu antara 3% sampai 10%. Dengan jangka waktu pengembaliannya bervariasi pada yaitu antara jangka satu tahun dengan semampunya pihak pengutang dapat melunasi tanggungan tersebut dan pelunasan dapat dicicil sebulan sekali.
Utang atau Qardh dalam istilah Arab disebut dengan al-dain Jamaknya al-duyun dan al-qardh. Pengertian umum utang piutang mencangkup jual beli, sewa menyewa yang dilakukan secara tidak tunai.[3]
Utang dalam kamus besar bahasa Indonesia ( KBBI) adalah uang yang dipinjam dari orang lain yang berkewajiban membayar kembali apa yang sudah diterima.[4]
Qardh secara bahasa artinya memotong. Karena orang yang memberi pinjaman akan memotong sebagian hartanya untuk diberikan kepada peminjam.[5] Utang atau qardh secara istilah adalah memberikan harta kepada orang yang bisa memanfaatkannya, kemudian orang itu mengembalikannya, dan orang itu mengembalikan gantinya. Qardh merupakan bentuk tolong menolong dan kasih sayang. Nabi menyebutnya sebagai Anugerah sebab peminjamnya mendapatkan manfaat kemudian mengembalikannya kepada yang meminjamkan.
Dimyauddin Djuwaini menyebutkan bahwa qardh merupakan akad khusus pemberian harta kepada orang lain dengan adanya kewajiban pengembalian semisalnya. Qardh adalah penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara peminjam dan pihak yang memberikan pinjaman yang mewajibkan peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu.[6]
Utang merupakan upaya memberikan pinjaman kepada orang lain dengan syarat pihak peminjam mengembalikan gantinya. Dalam hal ini qardh dikatakan bahwa qardh karena memotong sebagian, artinya diutangkan kepada orang lain bahwa utang menurut bahasa ialah potongan, sedangkan menurut syar’i ialah menyerahkan uang kepada orang yang bisa memanfaatkannya, kemudian ia meminta pengembaliannya sebesar uang tersebut. Firdaus mengemukakan, pinjaman qardh pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali. Dalam literatur Fiqh, qardh dikategorikan dalam aqad tathawwu’I atau akad saling bantu membantu dan bukan transaksi komersial.[7]
Qardh dalam pengertian umum mirip dengan jual beli karena qardh merupakan bentuk kepemilikan atas harta dengan imbalan harta qardh juga merupakan salah satu jenis salaf (salam) beberapa ulama seperti dikutip oleh Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa qardh atau utang piutang adalah jual beli itu sendiri.[8]
Ada beberapa dasar Hukum utang qardh yang menjadi pegangan para ulama’ agar saling menolong sesama umat manusia. Yang menjadi dasar hukum utang piutang ini dapat dijumpai baik dalam Al-Quran maupun Sunah yakni sebagai berikut:
Firman Allah dalam (Q.S. Al-Maidah 5:2)
وَتَعَاوَنُوأعَلَياَلْبِرِّوَاَلتَّقْوَي وَلاَتَعَاوَنُاأعَلَيآ آلاءِشْمِوَآلْعُدْوَنِ  وَآتَّقُوأىللّهَ  إنَّآللَّهَشَدِيدُآلْعِقَابِ
Artinya:....Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran dan berakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksanya.(QS.Al-Maidah 5:2)

Dalam ayat tersebut terdapat kalimat “dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. Bahwa seseorang yang memberikan pinjaman atau utang kepada sesama muslim harus didasari dengan rasa ikhlas dan niat yang tulus, karena pada dasarnya menghutangi adalah perbuatan yang baik, karena saling menolong sesama.
Dalam ayat lain Allah memberikan pedoman kepada sesama muslim agar selalu saling tolong menolong dan sesuai syariat islam yang terdapat dalam surat At-Taghabun (64) ayat 17
إنْتُقْرِضُوأآللَّهَقَرْضًاحَسَنًايُضَعِفْهُ لَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ  وَآللَّهُ شَكُورٌحَلِيمٌ
Artinya:”jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu dan Allah maha pembalas jasa lagi maha penyantun.(Q.S. At-Taghabun (64) ayat 17.

Bahwasanya Allah akan memberikan seseorang pahala yang akan diterimanya apabila seseorang tersebut menolong dengan hati yang ikhlas dan memberikan pertolongan dengan senang hati, Karena memberikan pertolongan kepada sesama merupakan perbuatan yang dianjurkan.
Selain dasar hukum yang bersumber di dalam AlQuran maka dikuatkan lagi dengan beberapa kumpulan hadits sebagai berikut:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَا لِكِ قَا لَ رَ سُوْلُ اللَّهِ صَلَي اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَمَ رَ أيْتُ لَيْلَهُ أُسْرِى بِي عَلَي بَا بِ ا لْجَنَّةِ مَكْتُوْبَا :   الصَّدَقَةُبِعَشْرِأمْثَلِهَاوَالقَرْضِ بِشَمَانِيَةِ عَشَرَ فَقُلْتُ يَا جِبْرِيْلُ مَا بَا لُ الْقَرْضِ أفْضَلُ مِنَ الصَّدَقَة قَلَ لِأَنْ السَّالِاَ يُسَألُ وَعِنْدَهُ وَالْمُسْتَقْرِ ضُ لاَيَسْتَقْرِضُ إلَأم إلأمِنْ حَاجَةِ (رواه ابن ما جة)
Artinya:”Dari Anas ibn Malik ra berkata, Rasulullah SAW bersabda:”pada malam aku di isra’kan aku melihat pada sebuah pintu surga tertulis shadaqoh di balas sepuluh kali lipat dan utang di balas delapan belas kali lipat”: lalu aku bertanya :”wahai Jibril mengapa mengutangi lebih utama dari pada shadaqoh ?”ia menjawab :”karena meskipun seorang pengemis meminta-minta namun masih mempunyai harta, sedangkan seorang yang berutang pastilah karena ia membutuhkannya (H.R. Ibnu Majah)[9]

Maksud dari hadits di atas adalah bahwa menghutangi seseorang lebih utama dibandingkan dengan shodaqoh, karena seseorang yang berutang bahwasanya ia benar-benar tidak memiliki harta untuk keperluan yang lain, sedangkan seseorang yang diberi shodaqoh maka orang tersebut masih dikategorikan sebagai orang yang masih mampu untuk membeli keperluan.
حَدَّ ثَنَا عَبْدُ اللًّهِ ابْنِ مُعَا دٍ : حَدَّ ثَنَا أَبِي : حَدَّ ثَنَا يُقْبَالُ عَنْ سِمَا كِ بْنِ حَرْبِ حَدَّ ثَنَا سُوَيْدُبْنُ قَيْسِ قَا لَ  حَثْتُ أنَا وَ مُخْرَفَةٌ العَبْدِ يُّ يَزَّا مِنْ هَجَرَافَأتَيْنَا بِهِ مَكَّةَ فَجَا ءَنَا رَ سُولُ اللَّهِ يُعْشِي فَسَا وَ مَتَا بِسَرَا وِيْلَ فَبِعْنَاهُ وَ ثَمَّ رَ جُلٌ يَزِنُ بِا لاَ حْرِ فَقَا لَ لَهُ رَ سُو اللَّهِ (روهابوداود)
Artinya: Ubaidillah bin Mu’adz menyampaikan kepada kami dari ayahnya, dari Sufyan, dari Simak bin Harto bahwa Suwaid bin Qais berkata, Aku dan Makhramah Al-Abdibiasa memasok pakaian dari hajar, lalu kami membawanya ke Mekkah untuk dijual, Rasulullah SAW datang dan menawar beberapa helai celana. Kami pun menjualnya kepada beliau. Kami melihat ada seseorang yang menggunakan timbangan untuk menentukan harga. Rasulullah SAW berkata kepadanya “Timbangan dan lebihkanlah isi timbanganmu”.(H.R Abu Dawud)[10]

Selain dasar hukumnya berasal dari Al-Quran dan AlHadits, Ismail Nawawi menyepakati bahwa qardh boleh dilakukan. Kesepakatan ulama’ Imam Malik, Syafi’i, dan Hambali boleh memberikan pinjaman, ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya, tidak ada seorangpun yang memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia ini, dan Islam adalah agama yang sangat memerhatikan segenap kebutuhan umatnya.[11]
 Dari beberapa penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa dasar hukum utang dalam Al-Qur’an dan Hadits dianjurkan untuk saling berbuat kebaikan dengan sesama. Karena pada dasarnya utang bersifat tolong menolong. Sedangkan Imam Malik, Syafi’i dan Hambali mengatakan boleh melakukan qardh karena manusia tidak bisa hidup dengan bantuan orang lain.


[1] Junainah, Tinjauan Hukum Islam terhadap pelunasan uang sapi untuk penanaman tembakau berdasarkan ketentuan keditur di DS. Sejati Ke. Camplong Kab Sampang Madura,skripsi sarjana syariah jurusan Mu’amalah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Digital Lebrary IAIN Sunan Ampel Surabaya,2009.
[2] Ady Cahyadi, Mengelola Utang Dalam Perspektif Islam, Jurnal Bisnis dan Manajemen, vol 4/ No 1/ April/ 2014, 67.
[3] Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 151.
[4] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi keempat (KBBI), (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), 1540.
[5] Syaikh Shaleh bin Fauzan Al-Fauzan, Mulkhas Fiqh Panduan Fiqih Lengkap Jilid 2 (Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2013), 99.
[6] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2015), 254.
[7] Ismail Nawawi, Fiqih Muamalah Klasik dan Kontemporer Hukum Perjanjian Ekonomi Dan Bisnis Dan Social (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2012), 178.
[8] Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010), 272.
[9] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz Tsani, (Beirut Libanon: Darul Fikr), 15.
[10] Sunan Abu Dawud, Enslikopedia Hadits jilid 5 , (Jakarta: AlMahira 2013), 710.
[11] Ismail Nawawi, Fiqih Muamalah Klasik Dan Kontemporer Hukum Perjanjian Ekonomi Dan Bisnis Dan Sosial, 179.

No comments:

Post a Comment

Simbol Bilangan atau Angka

  a. Pengertian Angka Memahami suatu angka dapat membantu manusia untuk melakukan banyak perhitungan mulai dari yang sederhana maupaun y...

Blog Archive