Menurut
Dawam Rahardjo, secara etimologi, kata "riba" artinya tumbuh,
menambah, berlebih.28 DalamKamus Besar Bahasa Indonesia, kata riba dengan
singkat berarti pelepasan uang, lintah darat.[1]
Menurut
Syafi'i Antonio, riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal
secara bathil.[2] Menurut Maulana
Muhammad Ali, riba adalah suatu tambahan di atas pokok yang dipinjamkan.[3]
Menurut Fuad Moh. Fachruddin, riba adalah satu tambahan yang diharamkan di
dalam urusan pinjam meminjam.[4] Menurut Ahmad Sukarja,
riba adalah tambahan tanpa imbangan yang disyaratkan kepada salah satu di
antara dua pihak yang melakukan muamalah utang piutang atau tukar menukar
barang.[5]
Secara umum riba dapat diartikan sebagai pengambilan
tambahan dari transaksi yang dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan
prinsip dan aturan syariat Islam. Ada beberapa unsur penting yang terdapat
dalam riba, yaitu yang ditambahkan pada pokok pinjaman, besarnya penambahan
menurut jangka waktu, dan jumlah pembayaran tambahan berdasarkan persyaratan
yang telah disepakati. Ketiga unsur ini bersama-sama membentuk riba serta
bentuk lain dari transaksi kredit dalam bentuk uang atau sejenisnya.[6]
Seluruh
fuqaha sepakat bahwasanya hukum riba adalah haram berdasarkan keterangan yang sangat jelas dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis.
Pernyataan Al-Qur’an tentang larangan riba terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 275, 276, 278 dan 279
الَّذِ يْنَ يَأكُلُو نَ الرِّبَو ا لاَيَقُومُونَ إلاَّ
كَمَا يَقُو مُ ا لَّذِ ي يَتَخَبَّطُهُ ا لشَّيْطَا نُ مِنَ المَسِّ ذَ لِكَ بِأ
نَّهُمْ قَا لُو اْ إِ نَّمَا ا لبَيْعُ مِثْلُ ا لرِّ بَو ا وَ أَحَلَّ ا للَّهُ
ا لْبَيْعَ وَ حَرَّ مَ الرِّ بَو ا (البقر ة :275)
Artinya: Orang-orang yang memakan (memungut) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kerasukan syaitan lantaran gangguan penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata: sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan
mengharamkan riba... (Al-Baqarah : 275).
Surat
Al-Baqarah ayat 275 di atas mengecam
keras pemungutan riba dan mereka diserupakan dengan orang yang kerasukan Setan.
Selanjutnya ayat ini membantah kesamaan antara riba dan jual-beli dengan
menegaskan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.
Ayat
276 memberikan jawaban yang merupakan kalimat kunci hikmah pengharaman riba,
yakni Allah bermaksud menghapuskan tradisi riba dan menumbuhkan tradisi
shadaqah, karena riba itu lebih banyak madaratnya daripada manfaatnya.
يَمْحَقُ
ا للَّهُ ا لرِّبَو اْ وَيُربِي ا لصَّدَ قَتِ
واللَّهُ لاَيُحِبُّ كُلِّ كَفَّا رٍ أَشِيمٍ
"Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa"
Larangan
riba dipertegas kembali pada ayat 278, pada surat yang sama, dengan perintah
meninggalkan seluruh sisa-sisa riba, dan dipertegas kembali pada ayat 279
يَا أَبُّهَّا الَّذِ يْنَ اَ مَنُو اْ اتَّقُو ا
اللَّهَ وَذَرُواْمَا بَقِيَ مِنَ ا لرِّبَو اإِنْكُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ
Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu
orang-orang yang beriman. (Q.S. alBaqarah: 278).
فَإِنْ لَّمْ تَفْعَلُو اْ فَأْذَنُو اْ
بِحَرْبٍ مِّنَ اللَّهِ وَرَ سُو لِهِ وَ إِ نْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَ
الِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ (البقر ة : 279)
Artinya: Jika
kamu tidak meninggalkan sisa-sisa riba maka ketahuilah bahwa Allah dan
Rasul-Nya akan memerangi kamu. Jika kamu bertaubat maka bagimu adalah pokok
hartamu. Tidak ada di antara kamu orang yang menganiaya dan tidak ada yang
teraniaya. (Q.S. Al-Baqarah : 279)
Sedang
illat pengharaman riba agaknya
dinyatakan dalam ayat 279, la tazlimuna wala
tuzlamun. Maksudnya, dengan menghentikan riba engkau tidak berbuat zulm (menganiaya) kepada pihak lain
sehingga tidak seorangpun di antara kamu yang teraniaya. Jadi tampaklah
bahwasanya illat pengharaman dalam
surat Al-Baqarah adalah zulm (eksploatasi; menindas, memeras dan
menganiaya).
Keempat
ayat dalam surat Al-Baqarah tentang kecaman dan pengharaman riba ini didahului
14 ayat (2:261 sampai dengan 274) tentang seruan infaq fi sabilillah,
termasuk seruan shadaqah dan kewajiban berzakat. Allah akan mengganti
dan melipatgandakan balasan shadaqah dengan 700 kali lipat bahkan lebih
banyak lagi, bahwa sesungguhnya syetan selalu menakuti manusia dengan
kekhawatiran jatuh miskin sehingga manusia cenderung berbuat keji (dengan
bersikap kikir, enggan bershadaqah dan melakukan riba).
Selain
yang disebutkan di atas, rangkaian empat ayat tentang kecaman dan pengharaman
riba diakhiri dengan ayat 280. Ayat ini berisi seruan moral agar berbuat
kebajikan kepada orang yang dalam kesulitan membayar hutang dengan menunda
tempo pembayaran atau bahkan dengan membebaskannya dari kewajiban melunasi
hutang. Pernyataan Al-Qur’an tentang keharaman riba juga terdapat di dalam
surat Ali Imran (3:130).
Larangan
memakan harta riba dalam surat Ali Imran ini berada dalam konteks antara ayat
129 sampai dengan 136. Di sana antara lain dinyatakan bahwa kesediaan meninggalkan
praktek riba menjadi tolak
ukur ketaatan dan ketakwaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Lalu dinyatakan bahwa
menafkahkan harta di jalan Allah baik dalam kondisi sempit maupun lapang
merupakan sebagian pertanda orang yang bertakwa.
Pernyataan Hadits Nabi mengenai keharaman riba antara lain:
حَدَّ ثْنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّا حِ وَ زُهَيْرُ
بْنُ حَرْبٍ وَعُثْمَانُ بْنُ أ بِي ثَيْبَةَ قَا لُو ا حدَّثنا هُشَيْمٌ أَ
خْبَرَ نَا أَبُوالزُّبَيْرِ عَنْ جَا بِرِ قَالَ لعَنَ رَسُو لُ اللَّهِ صَلَّي
اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ آ كِلَ الرِّبَا وَ مُو كِلهُ وَكاتِبَهُ وَ شَا
هِدَيهِ وَقَال هُم سَوَ ا ءٌ (رواه مسلم)
Artinya: Telah mengabarkan Muhammad bin al-Shabah dan Zuhair bin Harbi dan Usman
bin Abu Syaibah kepada kami dari Husyaim dari alZubair dari Jabir berkata:
Rasulullah SAW. melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberi makan
riba, penulis dan saksi riba".
Kemudian beliau bersabda: "mereka semua adalah sama. (H.R. Muslim)
Secara
umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan
tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara batil
atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.[7]
Menurut
Ahmad Rofiq, "riba merupakan kebiasaan dalam tradisi berekonomi masyarakat
jahiliyah. Karena itu pelarangannya pun dilakukan secara bertahap, karena
menjadi kebiasaan yang mendarah daging".[8]
Sebab itu, istilah dan persepsi mengenai riba begitu hidupnya di dunia Islam,
sehingga terkesan seolah-olah doktrin riba adalah khas Islam. Orang sering lupa
bahwa hukum larangan riba, sebagaimana dikatakan oleh seorang muslim Amerika,
Cyril Glasse yang dikutip Dawam Raharjo, tidak diberlakukan di negeri Islam
modern mana pun. Praktek itu sulit diberantas, sehingga berbagai penguasa
terpaksa melakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang.[9]
Persoalan
tentang riba yang dilarang bukan saja dibicarakan dalam agama Islam tetapi juga
dalam agama-agama samawi lainnya. Bahkan sejak zaman kejayaan Athena, Solon telah membuat
undang-undang yang melarang riba. Ahli-ahli filsafat seperti Plato dan
Aristoteles pun tidak membenarkan riba. Mereka menganggap bunga uang bukan
keuntungan yang wajar karena pemilik uang tersebut tidak turut serta menanggung
resiko.[10]
Menurut
Mahmud Yunus, orang-orang yang mengambil riba samalah pendiriannya dan tingkah
lakunya dengan orang yang dibinasakan (diharu) setan, karena ia sangat
tamak, kejam dan tidak menaruh rasa iba kepada fakir miskin.[11]
Menurut Hamka, riba harus dikikis habis sebab menjadi pangkal dari kejahatan,
dan hanya mencari keuntungan di atas penderitaan orang lain.[12]
Islam beserta semua syari'at samawi melarang riba karena menimbulkan bahaya
sosial dan ekonomi. Dari segi ekonomi, riba merupakan cara usaha yang tidak
sehat.
Keuntungan
yang diperoleh bukan berasal dari pekerjaan yang produktif yang dapat menambah
kekayaan bangsa. Namun, keuntungan itu hanya untuk dirinya sendiri tanpa
imbalan ekonomis apapun. Keuntungan ini hanya diperoleh dari sejumlah harta
yang diambil dari harta si peminjam, yang sebenarnya tidak menambah harta orang
yang melakukan riba. Dari segi sosial, masyarakat tidak dapat mengambil
keuntungan sedikit pun dari praktek-praktek riba. Bahkan praktek-praktek riba
ini membawa bencana sosial yang besar sebab menambah beban bagi orang yang
tidak berkecukupan, dan menyebabkan perusakan nilai-nilai luhur yang dibawa
oleh Islam yang menganjurkan persaudaraan, tolong menolong dan bergotong royong
di antara sesama manusia.[13]
Riba
merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para pengambil riba
menggunakan uangnya untuk memerintahkan orang lain agar berusaha dan
mengembalikan, misalnya, dua puluh lima persen lebih tinggi dari jumlah yang
dipinjamkannya. Persoalannya, siapa yang bisa menjamin bahwa usaha yang
dijalankan oleh orang itu nantinya mendapatkan keuntungan lebih dari dua puluh
lima persen? Semua orang, apalagi yang beragama, tahu bahwa siapa pun tidak
bisa memastikan apa yang terjadi besok atau lusa. Siapa pun tahu bahwa berusaha
memiliki dua kemungkinan: berhasil atau gagal. Dengan menetapkan riba, orang
sudah memastikan bahwa usaha yang dikelola pasti untung.[14]
Dalam
hubungannya dengan bunga, bahwa secara umum, bunga adalah pendapatan yang
menjadi keuntungan pihak yang mempunyai modal. Sejumlah ahli filsafat dan
ekonomi berpendapat bahwa pembayaran bunga sebagai suatu hal yang tidak adil.
Aristoteles dalam bukunya, Politics,
yang dikutip Hertanto Widodo mengatakan bahwa sekeping mata uang tidak
dapat beranak kepingan uang yang lain. Plato dalam karyanya, juga mengutuk
bunga. Selanjutnya, Keynes sangat mengecam argumen klasik mengenai pengaruh
suku bunga pada tabungan. Keynes beranggapan bahwa tingkat pendapatan lebih
menjamin persamaan antara tabungan dan investasi daripada suku bunga. Selain
itu, dari semua teori bunga yang ada tidak satu pun yang dapat menjawab secara
memuaskan mengapa bunga harus dibayarkan.[15]
Dalam
kehidupan modern seperti sekarang ini, umat Islam hampir tidak dapat
menghindari diri dari bermuamalah dengan Bank konvensional, yang memakai sistem
bunga dalam segala aspek kehidupannya, termasuk kehidupan agamanya. Misalnya;
ibadah haji di Indonesia, umat Islam harus memakai jasa Bank. Tanpa jasa Bank,
perekonomian Indonesia tidak selancar dan semaju seperti sekarang ini. Para
ulama dan cendekiawan muslim masih tetap berbeda pendapat tentang hukum
bermuamalah dengan Bank konvensional dan hukum bunga Bank. Perbedaan pendapat
mereka seperti yang disimpulkan Masjfuk Zuhdi adalah sebagai berikut
a.
Pendapat Syekh Abu
Zahrah, Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Cairo, Abul A'la Al-Maududi
(Pakistan), Muhammad Abdullah Al-Arabi, penasihat hukum pada Islamic Congress Cairo, dan lain-lain,
menyatakan bahwa bunga Bank termasuk riba nasi'ah yang dilarang oleh Islam. Oleh karena itu, umat
Islam tidak boleh bermuamalah dengan Bank yang memakai sistem bunga, kecuali
kalau dalam keadaan darurat atau terpaksa. Mereka mengharapkan lahirnya Bank
Islam yang tidak memakai sistem bunga sama sekali.[16]
b. Muhammadiyah
tahun 1968 memutuskan bahwa bunga Bank yang diberikan oleh Bank-Bank negara
kepada para nasabahnya, demikian pula sebaliknya, termasuk syubhat atau
mutasyabihat, artinya belum jelas halal dan haramnya. Sesuai dengan petunjuk
hadis, umat Islam harus berhati-hati menghadapi masalah yang masih syubhat.
Oleh karena itu, jika dalam keadaan terpaksa atau dalam keadaan hajat, artinya
keperluan yang mendesak/penting, barulah diperbolehkan bermuamalah dengan Bank
dengan sistem bunga itu sekedarnya saja.[17]
c.
Keputusan yang berkaitan dengan bunga Bank, NU
telah beberapa kali melakukan sidang untuk membicarakan persoalan tersebut.
Keputusan pertama diambil ketika sidang bahsul al-masa'il pada tahun 1927 di
Surabaya. Pada sidang tersebut para ulama NU pendapat berkaitan bunga Bank. Ada
tiga pendapat yang berkembang di kalangan peserta sidang menyikapi masalah itu,
yaitu:
Pertama, pandangan yang
mengatakan haram, sebab termasuk utang yang dipungut manfaatnya (rente). Kedua,
pandangan yang mengatakan halal, sebab tidak ada syarat pada waktu akad.
Pandangan ini didasarkan pada pendapat ahli hukum bahwa adat yang berlaku itu
tidak menjadi syarat. Ketiga, mengatakan bahwa bunga Bank dikategorikan sebagai
syubhat, sebab para ahli hukum berselisih pendapat tentang hukum bunga Bank.
Dengan terjadinya
perbedaan pendapat di kalangan ulama tersebut, akhirnya Lajnah Bahsul
Masa'il memutuskan bahwa pilihan yang lebih berhati-hati adalah pendapat
pertama, bunga Bank hukumnya haram. Lajnah tampaknya tidak memberikan keputusan
yang tegas tentang keharaman dan kehalalan bunga Bank, hanya memberikan semacam
alternatif kepada para warga NU bahwa pandangan yang lebih hati-hati adalah
haram.
Menurut Mustafa Ahmad
Az-Zarqa, Guru Besar Hukum Islam dan Hukum Perdata Universitas Syiria bahwa
sistem perBankan yang kita terima sekarang ini merupakan realitas yang tak
dapat dihindari. Oleh karena itu, umat Islam boleh bermuamalah dengan Bank
konvensional atas pertimbangan dalam keadaan darurat dan bersifat sementara.
Akan tetapi, umat Islam harus berusaha mencari jalan keluar dengan mendirikan Bank tanpa sistem bunga
untuk menyelamatkan umat Islam dari cengkeraman Bank bunga (conventional Bank).[18]
[1] M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi
Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, (Jakarta, Paramadina, 2002), 603.
[3] Maulana Muhammad Ali, The
Religion of Islam, Terj. R. Kaelan dan M. Bachrun, "Islamologi (Dînul
Islâm)", (Jakarta:
PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1977),
484.
[4] Fuad Moh. Fachruddin, Riba
dalam Bank, Koperasi, Perseroan dan Asuransi, (Bandung: PT al-Ma'arif, 1980), 62.
[5] Ahmad Sukarja, dalam
Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary, (editor), Problematika Hukum Islam
Kontemporer, Buku Ketiga, (Jakarta:
PT Pustaka Firdaus, 1995),
34.
[6] M. Nur Rianto Al Arif, Pengantar Ekonomi Syariah, Teori dan Praktik, (Bandung:
Pustaka Setia, 2017), 150.
[7] Muhammad Syafi'i
Antonio, Bank Syari'ah Dari Teori Ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001),
37.
[8] Ahmad Rofiq, Fiqh
Aktual: Sebuah Ikhtiar Menjawab Berbagai Persoalan Umat, (Semarang: Putra Mediatama
Press, 2004), 190.
[9] M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi
Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, (Jakarta, Paramadina, 2002), 594.
[10] M. Rusli Karim (Editor),
Berbagai Aspek Ekonomi Islam, (Yogyakarta:
PT Tiara Wacana, 1992),
120.
[13] Ahmad Muhammad al-Assal
dan Fathi Ahmad Abdul Karim, al-Nizam alIqtisadi Fi al Islam Mabadi Uhu
Wahdafuhu, Terj Abu Ahmadi dan Anshori Sitanggal, "Sistem Ekonomi Islam,
Prinsip-Prinsip dan Tujuan-Tujuannya", Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1980, 87 –
88.
[14] Muhammad Syafi'i
Antonio, Bank Syari’ah dari Teori Ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), 67.
[15] Hertanto Widodo, dkk., Pedoman Praktis
Operasional Baitul Mal Wat Tamwil (BMT), (Bandung: Mizan, 2009), 47.
No comments:
Post a Comment