Thursday, January 30, 2020

Tinjauan Riba



Menurut Dawam Rahardjo, secara etimologi, kata "riba" artinya tumbuh, menambah, berlebih.28 DalamKamus Besar Bahasa Indonesia, kata riba dengan singkat berarti pelepasan uang, lintah darat.[1]
Menurut Syafi'i Antonio, riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil.[2] Menurut Maulana Muhammad Ali, riba adalah suatu tambahan di atas pokok yang dipinjamkan.[3] Menurut Fuad Moh. Fachruddin, riba adalah satu tambahan yang diharamkan di dalam urusan pinjam meminjam.[4] Menurut Ahmad Sukarja, riba adalah tambahan tanpa imbangan yang disyaratkan kepada salah satu di antara dua pihak yang melakukan muamalah utang piutang atau tukar menukar barang.[5]
Secara umum riba dapat diartikan sebagai pengambilan tambahan dari transaksi yang dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan prinsip dan aturan syariat Islam. Ada beberapa unsur penting yang terdapat dalam riba, yaitu yang ditambahkan pada pokok pinjaman, besarnya penambahan menurut jangka waktu, dan jumlah pembayaran tambahan berdasarkan persyaratan yang telah disepakati. Ketiga unsur ini bersama-sama membentuk riba serta bentuk lain dari transaksi kredit dalam bentuk uang atau sejenisnya.[6]
Seluruh fuqaha sepakat bahwasanya hukum riba adalah haram berdasarkan keterangan yang  sangat jelas dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis. Pernyataan Al-Qur’an tentang larangan riba terdapat pada surat Al-Baqarah  ayat 275, 276, 278 dan 279
الَّذِ يْنَ يَأكُلُو نَ الرِّبَو ا لاَيَقُومُونَ إلاَّ كَمَا يَقُو مُ ا لَّذِ ي يَتَخَبَّطُهُ ا لشَّيْطَا نُ مِنَ المَسِّ ذَ لِكَ بِأ نَّهُمْ قَا لُو اْ إِ نَّمَا ا لبَيْعُ مِثْلُ ا لرِّ بَو ا وَ أَحَلَّ ا للَّهُ ا لْبَيْعَ وَ حَرَّ مَ الرِّ بَو ا (البقر ة :275)
Artinya: Orang-orang yang memakan (memungut) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan syaitan lantaran gangguan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata: sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba... (Al-Baqarah : 275).

Surat Al-Baqarah  ayat 275 di atas mengecam keras pemungutan riba dan mereka diserupakan dengan orang yang kerasukan Setan. Selanjutnya ayat ini membantah kesamaan antara riba dan jual-beli dengan menegaskan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.
Ayat 276 memberikan jawaban yang merupakan kalimat kunci hikmah pengharaman riba, yakni Allah bermaksud menghapuskan tradisi riba dan menumbuhkan tradisi shadaqah, karena riba itu lebih banyak madaratnya daripada manfaatnya.
يَمْحَقُ ا للَّهُ ا لرِّبَو اْ وَيُربِي ا لصَّدَ قَتِ   واللَّهُ لاَيُحِبُّ كُلِّ كَفَّا رٍ أَشِيمٍ
"Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa"
Larangan riba dipertegas kembali pada ayat 278, pada surat yang sama, dengan perintah meninggalkan seluruh sisa-sisa riba, dan dipertegas kembali pada ayat 279
يَا أَبُّهَّا الَّذِ يْنَ اَ مَنُو اْ اتَّقُو ا اللَّهَ وَذَرُواْمَا بَقِيَ مِنَ ا لرِّبَو اإِنْكُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. (Q.S. alBaqarah: 278).

فَإِنْ لَّمْ تَفْعَلُو اْ فَأْذَنُو اْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللَّهِ وَرَ سُو لِهِ وَ إِ نْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَ الِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ (البقر ة : 279)
Artinya: Jika kamu tidak meninggalkan sisa-sisa riba maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kamu. Jika kamu bertaubat maka bagimu adalah pokok hartamu. Tidak ada di antara kamu orang yang menganiaya dan tidak ada yang teraniaya. (Q.S. Al-Baqarah : 279)

Sedang illat pengharaman riba agaknya dinyatakan dalam ayat 279, la tazlimuna wala tuzlamun. Maksudnya, dengan menghentikan riba engkau tidak berbuat zulm (menganiaya) kepada pihak lain sehingga tidak seorangpun di antara kamu yang teraniaya. Jadi tampaklah bahwasanya illat pengharaman dalam surat Al-Baqarah  adalah zulm (eksploatasi; menindas, memeras dan menganiaya).
Keempat ayat dalam surat Al-Baqarah tentang kecaman dan pengharaman riba ini didahului 14 ayat (2:261 sampai dengan 274) tentang seruan infaq fi sabilillah, termasuk seruan shadaqah dan kewajiban berzakat. Allah akan mengganti dan melipatgandakan balasan shadaqah dengan 700 kali lipat bahkan lebih banyak lagi, bahwa sesungguhnya syetan selalu menakuti manusia dengan kekhawatiran jatuh miskin sehingga manusia cenderung berbuat keji (dengan bersikap kikir, enggan bershadaqah dan melakukan riba).
Selain yang disebutkan di atas, rangkaian empat ayat tentang kecaman dan pengharaman riba diakhiri dengan ayat 280. Ayat ini berisi seruan moral agar berbuat kebajikan kepada orang yang dalam kesulitan membayar hutang dengan menunda tempo pembayaran atau bahkan dengan membebaskannya dari kewajiban melunasi hutang. Pernyataan Al-Qur’an tentang keharaman riba juga terdapat di dalam surat Ali Imran (3:130).
Larangan memakan harta riba dalam surat Ali Imran ini berada dalam konteks antara ayat 129 sampai dengan 136. Di sana antara lain dinyatakan bahwa kesediaan meninggalkan praktek riba menjadi tolak ukur ketaatan dan ketakwaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Lalu dinyatakan bahwa menafkahkan harta di jalan Allah baik dalam kondisi sempit maupun lapang merupakan sebagian pertanda orang yang bertakwa.
Pernyataan Hadits Nabi mengenai keharaman riba antara lain:
حَدَّ ثْنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّا حِ وَ زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَعُثْمَانُ بْنُ أ بِي ثَيْبَةَ قَا لُو ا حدَّثنا هُشَيْمٌ أَ خْبَرَ نَا أَبُوالزُّبَيْرِ عَنْ جَا بِرِ قَالَ لعَنَ رَسُو لُ اللَّهِ صَلَّي اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ آ كِلَ الرِّبَا وَ مُو كِلهُ وَكاتِبَهُ وَ شَا هِدَيهِ وَقَال هُم سَوَ ا ءٌ (رواه مسلم)
Artinya: Telah mengabarkan Muhammad bin al-Shabah dan Zuhair bin Harbi dan Usman bin Abu Syaibah kepada kami dari Husyaim dari alZubair dari Jabir berkata: Rasulullah SAW. melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberi makan riba, penulis dan saksi riba". Kemudian beliau bersabda: "mereka semua adalah sama. (H.R. Muslim)

Secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.[7]
Menurut Ahmad Rofiq, "riba merupakan kebiasaan dalam tradisi berekonomi masyarakat jahiliyah. Karena itu pelarangannya pun dilakukan secara bertahap, karena menjadi kebiasaan yang mendarah daging".[8] Sebab itu, istilah dan persepsi mengenai riba begitu hidupnya di dunia Islam, sehingga terkesan seolah-olah doktrin riba adalah khas Islam. Orang sering lupa bahwa hukum larangan riba, sebagaimana dikatakan oleh seorang muslim Amerika, Cyril Glasse yang dikutip Dawam Raharjo, tidak diberlakukan di negeri Islam modern mana pun. Praktek itu sulit diberantas, sehingga berbagai penguasa terpaksa melakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang.[9]
Persoalan tentang riba yang dilarang bukan saja dibicarakan dalam agama Islam tetapi juga dalam agama-agama samawi lainnya. Bahkan sejak zaman kejayaan Athena, Solon telah membuat undang-undang yang melarang riba. Ahli-ahli filsafat seperti Plato dan Aristoteles pun tidak membenarkan riba. Mereka menganggap bunga uang bukan keuntungan yang wajar karena pemilik uang tersebut tidak turut serta menanggung resiko.[10]
Menurut Mahmud Yunus, orang-orang yang mengambil riba samalah pendiriannya dan tingkah lakunya dengan orang yang dibinasakan (diharu) setan, karena ia sangat tamak, kejam dan tidak menaruh rasa iba kepada fakir miskin.[11] Menurut Hamka, riba harus dikikis habis sebab menjadi pangkal dari kejahatan, dan hanya mencari keuntungan di atas penderitaan orang lain.[12] Islam beserta semua syari'at samawi melarang riba karena menimbulkan bahaya sosial dan ekonomi. Dari segi ekonomi, riba merupakan cara usaha yang tidak sehat.
Keuntungan yang diperoleh bukan berasal dari pekerjaan yang produktif yang dapat menambah kekayaan bangsa. Namun, keuntungan itu hanya untuk dirinya sendiri tanpa imbalan ekonomis apapun. Keuntungan ini hanya diperoleh dari sejumlah harta yang diambil dari harta si peminjam, yang sebenarnya tidak menambah harta orang yang melakukan riba. Dari segi sosial, masyarakat tidak dapat mengambil keuntungan sedikit pun dari praktek-praktek riba. Bahkan praktek-praktek riba ini membawa bencana sosial yang besar sebab menambah beban bagi orang yang tidak berkecukupan, dan menyebabkan perusakan nilai-nilai luhur yang dibawa oleh Islam yang menganjurkan persaudaraan, tolong menolong dan bergotong royong di antara sesama manusia.[13]
Riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para pengambil riba menggunakan uangnya untuk memerintahkan orang lain agar berusaha dan mengembalikan, misalnya, dua puluh lima persen lebih tinggi dari jumlah yang dipinjamkannya. Persoalannya, siapa yang bisa menjamin bahwa usaha yang dijalankan oleh orang itu nantinya mendapatkan keuntungan lebih dari dua puluh lima persen? Semua orang, apalagi yang beragama, tahu bahwa siapa pun tidak bisa memastikan apa yang terjadi besok atau lusa. Siapa pun tahu bahwa berusaha memiliki dua kemungkinan: berhasil atau gagal. Dengan menetapkan riba, orang sudah memastikan bahwa usaha yang dikelola pasti untung.[14]
Dalam hubungannya dengan bunga, bahwa secara umum, bunga adalah pendapatan yang menjadi keuntungan pihak yang mempunyai modal. Sejumlah ahli filsafat dan ekonomi berpendapat bahwa pembayaran bunga sebagai suatu hal yang tidak adil. Aristoteles dalam bukunya, Politics, yang dikutip Hertanto Widodo  mengatakan bahwa sekeping mata uang tidak dapat beranak kepingan uang yang lain. Plato dalam karyanya, juga mengutuk bunga. Selanjutnya, Keynes sangat mengecam argumen klasik mengenai pengaruh suku bunga pada tabungan. Keynes beranggapan bahwa tingkat pendapatan lebih menjamin persamaan antara tabungan dan investasi daripada suku bunga. Selain itu, dari semua teori bunga yang ada tidak satu pun yang dapat menjawab secara memuaskan mengapa bunga harus dibayarkan.[15]
Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, umat Islam hampir tidak dapat menghindari diri dari bermuamalah dengan Bank konvensional, yang memakai sistem bunga dalam segala aspek kehidupannya, termasuk kehidupan agamanya. Misalnya; ibadah haji di Indonesia, umat Islam harus memakai jasa Bank. Tanpa jasa Bank, perekonomian Indonesia tidak selancar dan semaju seperti sekarang ini. Para ulama dan cendekiawan muslim masih tetap berbeda pendapat tentang hukum bermuamalah dengan Bank konvensional dan hukum bunga Bank. Perbedaan pendapat mereka seperti yang disimpulkan Masjfuk Zuhdi adalah sebagai berikut
a.       Pendapat Syekh Abu Zahrah, Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Cairo, Abul A'la Al-Maududi (Pakistan), Muhammad Abdullah Al-Arabi, penasihat hukum pada Islamic Congress Cairo, dan lain-lain, menyatakan bahwa bunga Bank termasuk riba nasi'ah yang dilarang oleh Islam. Oleh karena itu, umat Islam tidak boleh bermuamalah dengan Bank yang memakai sistem bunga, kecuali kalau dalam keadaan darurat atau terpaksa. Mereka mengharapkan lahirnya Bank Islam yang tidak memakai sistem bunga sama sekali.[16]
b.      Muhammadiyah tahun 1968 memutuskan bahwa bunga Bank yang diberikan oleh Bank-Bank negara kepada para nasabahnya, demikian pula sebaliknya, termasuk syubhat atau mutasyabihat, artinya belum jelas halal dan haramnya. Sesuai dengan petunjuk hadis, umat Islam harus berhati-hati menghadapi masalah yang masih syubhat. Oleh karena itu, jika dalam keadaan terpaksa atau dalam keadaan hajat, artinya keperluan yang mendesak/penting, barulah diperbolehkan bermuamalah dengan Bank dengan sistem bunga itu sekedarnya saja.[17]
c.        Keputusan yang berkaitan dengan bunga Bank, NU telah beberapa kali melakukan sidang untuk membicarakan persoalan tersebut. Keputusan pertama diambil ketika sidang bahsul al-masa'il pada tahun 1927 di Surabaya. Pada sidang tersebut para ulama NU pendapat berkaitan bunga Bank. Ada tiga pendapat yang berkembang di kalangan peserta sidang menyikapi masalah itu, yaitu:
Pertama, pandangan yang mengatakan haram, sebab termasuk utang yang dipungut manfaatnya (rente). Kedua, pandangan yang mengatakan halal, sebab tidak ada syarat pada waktu akad. Pandangan ini didasarkan pada pendapat ahli hukum bahwa adat yang berlaku itu tidak menjadi syarat. Ketiga, mengatakan bahwa bunga Bank dikategorikan sebagai syubhat, sebab para ahli hukum berselisih pendapat tentang hukum bunga Bank.
Dengan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama tersebut, akhirnya Lajnah Bahsul Masa'il memutuskan bahwa pilihan yang lebih berhati-hati adalah pendapat pertama, bunga Bank hukumnya haram. Lajnah tampaknya tidak memberikan keputusan yang tegas tentang keharaman dan kehalalan bunga Bank, hanya memberikan semacam alternatif kepada para warga NU bahwa pandangan yang lebih hati-hati adalah haram.
Menurut Mustafa Ahmad Az-Zarqa, Guru Besar Hukum Islam dan Hukum Perdata Universitas Syiria bahwa sistem perBankan yang kita terima sekarang ini merupakan realitas yang tak dapat dihindari. Oleh karena itu, umat Islam boleh bermuamalah dengan Bank konvensional atas pertimbangan dalam keadaan darurat dan bersifat sementara. Akan tetapi, umat Islam harus berusaha mencari jalan keluar dengan mendirikan Bank tanpa sistem bunga untuk menyelamatkan umat Islam dari cengkeraman Bank bunga (conventional Bank).[18]


[1] M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, (Jakarta, Paramadina, 2002), 603.
[2] Syafi'i Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, (Jakarta: Tazkia Institut, 1999), 59.
[3] Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam, Terj. R. Kaelan dan M. Bachrun, "Islamologi (Dînul Islâm)", (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1977), 484.
[4] Fuad Moh. Fachruddin, Riba dalam Bank, Koperasi, Perseroan dan Asuransi, (Bandung: PT al-Ma'arif, 1980), 62.
[5] Ahmad Sukarja, dalam Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary, (editor), Problematika Hukum Islam Kontemporer, Buku Ketiga, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1995), 34.
[6] M. Nur Rianto Al Arif, Pengantar Ekonomi Syariah, Teori dan Praktik, (Bandung: Pustaka Setia, 2017), 150.
[7] Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah Dari Teori Ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), 37.
[8] Ahmad Rofiq, Fiqh Aktual: Sebuah Ikhtiar Menjawab Berbagai Persoalan Umat, (Semarang: Putra Mediatama Press, 2004),  190.
[9] M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, (Jakarta, Paramadina, 2002), 594.
[10] M. Rusli Karim (Editor), Berbagai Aspek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1992), 120.
[11] Mahmud Yunus, Tafsir al-Qur'an al-Karim, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1978), 64.
[12] Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz III, (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 2003),97.
[13] Ahmad Muhammad al-Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, al-Nizam alIqtisadi Fi al Islam Mabadi Uhu Wahdafuhu, Terj Abu Ahmadi dan Anshori Sitanggal, "Sistem Ekonomi Islam, Prinsip-Prinsip dan Tujuan-Tujuannya", Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1980, 87 – 88.
[14] Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori Ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001), 67.
[15] Hertanto Widodo, dkk., Pedoman Praktis Operasional Baitul Mal Wat Tamwil (BMT), (Bandung: Mizan, 2009), 47.
[16] Rachmat Syafe'i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2014), 274.
[17] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: PT.Toko Gunung Agung, 2007), 111 - 112.
[18] Rachmat Syafe'i, Fiqih Muamalah, 274.

No comments:

Post a Comment

Simbol Bilangan atau Angka

  a. Pengertian Angka Memahami suatu angka dapat membantu manusia untuk melakukan banyak perhitungan mulai dari yang sederhana maupaun y...

Blog Archive