IPS merupakan pendidikan yang memiliki misi membantu peserta didik
dalam mengembangkan potensinya untuk menggali, mengelola, sumber-sumber fisik
dan sosial yang ada di lingkungan sekitarnya. Sehingga mereka dapat hidup
selaras dengannya. Pembelajaran
IPS sebagai salah satu program pengajaran yang membina dan menyiapkan kehidupan
sosial yang baik serta peserta didik sebagai “warga negara Indonesia yang baik
dan memasyarakat” diharapkan mampu membina perubahan dan harapan-harapan baru
tersebut. Para pelaksana pembelajaran IPS harus selalu mengikuti gejolak
kehidupan dan perkembangan masyarakat di sekitarnya, bangsa dan negara dan
bahkan kehidupan dunia pada umumnya.
Pembelajaran IPS
sebagai bagian program pengajaran di SD, baik secara progmatik maupun
prosedural harus berkaitan dan berkesinambungan dengan pembelajaran IPS jenjang
selanjutnya (SLTP). Pengenalan pada keadaan lingkungan, baik keadaan lingkungan
sosial masyarakat maupun keadaan lingkungan fisik atau geografis yang selalu
berubah merupakan materi yang diajarkan dalam proses pembelajaran IPS di SD.
Menurut
Bandono (2010:1) CTL merupakan proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan
membantu peserta didik untuk memahami makna materi ajar dengan mengaitkannya
terhadap konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial dan
kultural), sehingga peserta didik memiliki pengetahuan/keterampilan yang
dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya.
Pembelajaran CTL adalah konsep belajar
yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia
nyata siswa sehingga dapat mendorong siswa untuk membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa
karakteristik Contextual Teaching and Learning menurut
Sutarji dan Sudirjo (2007: 103-104), yaitu:
a.
Membuat
hubungan penuh makna. Siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang
belajar aktif dalam mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapat
bekerja sendiri atau bekerja dalam berkelompok, dan orang yang dapat belajar
sambil berbuat.
b.
Melakukan
pekerjaan penting. Siswa membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan berbagai
konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai anggota masyarakat.
c.
Belajar
mengatur sendiri. Siswa melakukan pekerjaan yang signifikan: ada tujuannya, ada
urusannya dengan orang lain, ada hubungannya dengan penentuan pilihan, dan ada
produk/hasilnya yang sifatnya nyata.
d.
Kerja sama.
Siswa dapat bekerja sama. Guru membantu siswa
bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana
mereka saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi.
e.
Berpikir kritis
dan kreatif. Siswa dapat menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi secara
kritis dan kreatif: dapat menganalisis, membuat sintesis, memecahkan masalah,
membuat keputusan, dan menggunakan bukti-bukti dan logika.
f.
Memelihara
individu. Siswa memelihara pribadinya: mengetahui, memberi perhatian, memberi
harapan-harapan yang tinggi memotivasi dan memperkuat diri sendiri. Siswa tidak
dapat berhasil tanpa dukungan orang dewasa.
g.
Mencapai
standar tinggi, Penggunaan
penilaian sebenarnya. Siswa mengenal dan mencapai standar yang tinggi:
mengidentifikasi tujuan dan memotivasi siswa untuk mencapainya. Guru
memperlihatkan kepada siswa cara mencapai apa yang disebut “excellence”
h.
Mengadakan
assesmen autentik. Siswa menggunakan pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata untuk suatu tujuan yang bermakna.
Misalnya, siswa boleh menggambar informasi akademis yang telah mereka pelajari
untuk diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
Dalam pembelajaran CTL dapat dilakukan
dengan melibatkan tujuh komponen utama
pembelajaran yang efektif yaitu :
a.
Konstruktivisme
(Constructivism)
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir
pada CTL, yaitu pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit, yang hasilnya
diperluas melalui konteks yang terbatas dan bukan secara tiba-tiba. Pengetahuan
bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil
dan diingat, tetap harus dikontruksikan melalui pengalaman dengan pemecahan
masalah.
Konstruktivisme
adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif
siswa berdasarkan pengalaman. Menurut pengembang filsafat kontruktivisme Mark
Baldwin dan dikembangkan serta diperdalam oleh Jean Piaget menyatakan bahwa
“Pengetahuan itu terbentuk bukan hanya dari objek semata, tetapi juga dari
kemampuan individu sebagai subjek yang menangkap setiap objek yang diamatinya”.
Siswa perlu dikondisikan untuk terbiasa memecahkan masalah, menemukan hal-hal
yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan gagasan-gagasan (Nurhadi, 2004:31).
Landasan berpikir pada kontruktivisme
adalah strategi lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh
dan mengingat pembelajaran. Esensi dari kontruktivisme adalah bagaimana pembelajaran
dikemas menjadi proses mengkontruksi bukan menerima pengetahuan.
Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus
mengkontruksi pengetahuan di benak mereka sendiri.
b.
Inkuiri
Inquiry
artinya proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui
proses berpikir secara sistematis. Pengetahuan bukanlah sejumlah fakta hasil
dari mengingat, akan tetapi hasil dari proses menemukan sendiri. Proses
menemukan inilah yang dirangsang secara optimal lewat penerapan strategi
pembelajaran CTL. Karena strategi pembelajaran CTL menekankan keaktifan siswa
dalam menemukan sendiri pengetahuan. Dengan demikian dalam proses perencanaan,
guru bukanlah mempersiapkan sejumlah materi yang harus dihafal, akan tetapi
merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menemukan sendiri materi
yang harus dipahaminya. Pengetahuan dan
keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hanya hasil mengingat
seperangkat fakta-fakta, tetapi juga hasil dari menemukan sendiri.
Sanjaya (2008: 265) mengatakan “belajar
pada dasarnya merupakan proses mental seseorang yang tidak terjadi secara
mekanis. Melalui proses mental itu diharapkan siswa berkembang secara utuh baik
intelektual, mental, emosional, maupun pribadinya”.
c.
Bertanya (Questioning)
Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya
dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu, sedangkan
menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berpikir. Dalam
proses pembelajaran melalui CTL, guru tidak menyampaikan informasi begitu saja,
akan tetapi memancing agar siswa dapat menemukan sendiri. Cara guru memancing
siswa untuk bertanya akan dapat tereksplorasi dengan baik. Karena itu peran
bertanya sangat penting, sebab melalui pertanyaan-pertanyaan guru dapat
membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan setiap materi yang
dipelajarinya.
Pengetahuan yang dimiliki seseorang,
selalu bermula dari bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dapat dipandang
sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu, sedangkan menjawab
pertanyaan mencerminkan seseorang dalam berpikir. Oleh karena itu
bertanya dan menjawab pertanyaan
menerapkan strategi utama pembelajaran yang berbasis pendekatan kontekstual.
Pada semua aktivitas belajar, bertanya dan menjawab dapat diterapkan antara
siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa, antara siswa dengan guru, maupun
antara siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas.
d.
Masyarakat
Belajar (Learning Community)
Dalam learning community, pengetahuan siswa didapatkan dari sharing
dengan orang lain, antara teman, antara kelompok; yang sudah tahu memberikan
kepada yang belum tahu, yaitu mempunyai pengalaman membagi pengalamannya pada
orang lain. Pengetahuan dan pemahaman anak ditopang banyak oleh
komunikasi dengan orang lain. Suatu permasalahan tidak mungkin dapat dipecahkan
sendiri, tetapi membutuhkan bantuan orang lain. Kerja sama saling memberi dan
menerima sangat dibutuhkan untuk memecahkan suatu persoalan. Konsep masyarakat
belajar (learning community) dalam CTL menyarankan agar hasil
pembelajaran diperoleh melalui kerjasama dengan orang lain.
Selain itu dalam kelas CTL,
penerapannya dapat dilakukan melalui kelompok belajar yang bersifat heterogen, yang dapat dilihat dari
kemampuannya, bakatnya, kecepatan belajarnya, maupun dari minatnya. Dalam
kelompok tersebut biarkan anak saling belajar memberitahukan kepada yang belum
tahu, yang terpenting adalah siswa diharapkan mampu menularkan kemampuan
dan pengalamannya kepada siswa yang
lainnya. Dalam kondisi
penerapannya guru dapat mengundang orang yang dianggap memiliki keahlian dan
sekiranya selaras dengan materi pelajaran yang akan dan telah dipelajari di
kelas.
e.
Pemodelan (modeling)
Modeling
adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang
dapat ditiru oleh setiap siswa. Misalnya: guru memberikan contoh bagaimana cara
mengoperasikan sebuah alat, atau bagaimana cara melafalkan sebuah kalimat
asing, guru olahraga memberikan contoh bagaimana cara melempar bola, guru
kesenian memberikan contoh bagaimana cara memainkan alat musik, guru biologi
memberikan contoh bagaimana cara menggunakan termometer, dan lain sebagainya.
Proses modeling tidak sebatas dari guru
saja, akan tetapi dapat juga memanfaatkan siswa yang dianggap memiliki
kemampuan.
Pada asas modeling ini, guru dalam
pembelajarannya menggunakan alat peraga sebagai contoh yang menunjang
pembelajaran agar dapat ditiru oleh siswa. Sebagai contoh, guru dapat
menggunakan alat peraga tertentu, atau bagaimana melafalkan bahasa asing yang
tepat. Pembelajaran akan menjadi lebih cepat manakala guru menyiapkan model
pembelajaran, misalnya: guru menyuruh siswa untuk mengukur luas sebuah buku
gambar yang kemudian ditiru oleh siswa.
f.
Refleksi (Reflection)
Refleksi
adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang
tentang apa yang sudah dilakukan di masa lalu. Dalam proses pembelajaran dengan
menggunakan CTL, setiap berakhir proses pembelajaran, guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk “merenung” atau mengingat kembali apa yang telah
dipelajarinya. Refleksi
merupakan perenungan pembelajaran yang baru dipelajari, yang nantinya dapat
diambil kesimpulan tentang pembelajaran yang baru dipelajari tadi. Perenungan
itu nantinya dapat menghasilkan wawasan baru atau hanya sekedar pemahaman
berkelanjutan.
g.
Penilaian
sebenarnya (Aunthentic Assesment)
Pada tahap penilaian, guru tidaklah
langsung menilai kemampuan siswa secara langsung, akan tetapi guru menilai dari
segi bagaimana pemanfaatan pemahaman siswa pada materi yang telah dipelajarinya
dengan diintegrasikan dengan pengalamannya. Penilaian bukan bersifat tes
bagaimana siswa menjawab soal-soal yang diberikan, akan tetapi penilaian ini
menitikberatkan pada pola pemahaman siswa.
Proses
pembelajaran konvensional yang sering dilakukan guru pada saat ini, biasanya
ditekankan pada aspek intelektual sehingga alat evaluasi yang digunakan
terbatas pada penggunaan tes. Dengan tes dapat diketahui seberapa jauh siswa
telah menguasai materi pelajaran. Dalam CTL, keberhasilan pembelajaran tidak
hanya ditentukan oleh perkembangan kemampuan intelektual saja, akan tetapi
perkembangan seluruh aspek. Oleh sebab itu, penilaian keberhasilan tidak hanya
ditentukan oleh aspek hasil belajar seperti tes, akan tetapi juga proses
belajar melalui penilaian nyata.
Pelaksanaan
pendekatan CTL dalam pembelajaran IPS topik kedudukan dan peran anggota
keluarga terdiri dari tiga tahap, yaitu:
a.
Tahap sebelum pertemuan, pada tahap
ini kegiatan dilaksanakan adalah membuat rencana pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan CTL.
b.
Tahap pertemuan, pada tahap ini guru
melaksanakan perencanaan pembelajaran yang telah dirancang sebelumnya. Kegiatan
ini meliputi pendahuluan, inti dan penutup.
c.
Tahap setelah pertemuan, pada tahap
ini guru mengevaluasi kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakannya.
Kegiatan evaluasi ini sering disebut juga merefleksi diri dilakukan dengan
mencatat segala kekurangan yang ada dalam pembelajaran yang harus diperbaiki
ataupun hal-hal yang cukup baik yang harus ditingkatkan dalam pembelajaran
selanjutnya.
No comments:
Post a Comment