A. Pantai
Pantai merupakan bagian dari
dataran rendah yang berbatasan dengan laut. Ancaman bencana di daerah pantai
yang mengancam penduduk adalah tsunami. Apa yang sebaiknya dilakukan untuk
menghindari bahaya tsunami? kalian sebaiknya menyiapkan diri terhadap
kemungkinan terjadinya tsunami dengan memperhatikan hal-hal berikut ini.
Jika kalian tinggal di daerah
pantai dan merasakan adanya gempa kuat yang disertai dengan suara ledakan di
laut, sebaiknya segera bersiap-siap untuk menghadapi kemungkinan terjadinya
tsunami. Segera tinggalkan daratan pantai tempat kalian tinggal jika gempa kuat
terjadi.Jika melihat air pantai mendadak surut sehingga dasar laut tampak
jelas, segera jauhi pantai karena hal itu merupakan peringatan alam bahwa akan
terjadi tsunami.Tanda-tanda alam lainnya yang terkadang terjadi seperti
banyaknya ikan di pantai dan tiba-tiba banyak terdapat burung.Seringkali
gelombang tsunami yang kecil disusul oleh gelombang raksasa di belakangnya.
Oleh karena itu, kalian harus waspada.Lembaga pemerintah yang berwenang
biasanya selalu memantau kemungkinan terjadinya tsunami. Oleh karena itu, jika
belum ada pernyataan “keadaan aman”, sebaiknya tetap menjauhi pantai.
Bentuk muka bumi juga mempengaruhi
potensi bencana alam, potensi bencana yang juga mengancam daerah pantai adalah
gempa. Sebenarnya tidak semua wilayah pantai di Indonesia berpotensi gempa.
Wilayah pantai Indonesia yang berpotensi gempa adalah Pantai barat Sumatra,
pantai selatan Jawa sampai Nusa Tenggara berpotensi gempa. Pantai di Pulau
Kalimantan relatif aman dari gempa karena jauh dari pusat gempa. Wilayah
lainnya adalah Sulawesi, Maluku, Papua, dan sejumlah pulau lainnya. Ancaman
gempa juga mungkin terjadi di daerah perbukitan dan pegunungan.
B. Bukit dan Perbukitan
Bentuk lain dari muka bumi adalah
Bukit yang merupakan bagian dari permukaan bumi yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan daerah di sekelilingnya, dengan ketinggian kurang dari 600
m dpal. Bukit tidak tampak curam seperti gunung.Perbukitan berarti kumpulan
dari sejumlah bukit pada suatu wilayah tertentu.Di daerah perbukitan, aktivitas
permukiman penduduk tidak seperti di dataran rendah. Permukiman tersebar pada
daerah-daerah tertentu atau membentuk kelompok-kelompok kecil. Penduduk
biasanya memanfaatkan lahan datar yang luasnya terbatas di antara perbukitan.
Permukiman umumnya dibangun di kaki-kaki perbukitan atau lembah perbukitan
karena biasanya di tempat tersebut ditemukan mata air atau sungai sebagai
sumber air untuk aktivitas penduduk.
Di daerah perbukitan, pada umumnya
aktivitas pertanian adalah pertanian lahan kering. Pertanian lahan kering
merupakan pertanian yang dilakukan di wilayah yang pasokan airnya terbatas atau
hanya mengandalkan air hujan. Istilah pertanian lahan kering sama dengan ladang
atau huma yang dilakukan secara menetap maupun berpindah-pindah seperti di
Kalimantan. Tanaman yang ditanam umumnya berupa umbi-umbian atau palawija dan
tanaman tahunan (kayu dan buah-buahan). Pada bagian lereng yang masih landai
dan lembah perbukitan, sebagian penduduk juga memanfaatkan lahannya untuk
tanaman padi.Aktivitas ekonomi di daerah perbukitan biasanya sulit berkembang
menjadi sebuah pusat perekonomian. Di daerah perbukitan, mobilitas manusia
tidak semudah di daerah dataran sehingga pemusatan permukiman dan industri
relatif terbatas. Meskipun demikian, daerah perbukitan dapat dikembangkan
menjadi daerah pariwisata karena panorama alamnya yang indah dan suhu udaranya
yang sejuk. Aktivitas pariwisata yang dapat dikembangkan di daerah ini antara
lain wisata alam yang tujuannya menikmati pemandangan daerah perbukitan yang
indah.
Unsur Penduduk
Asia Tenggara
Keadaan penduduk di Kawasan Asia
Tenggara dapat kita lihat dari beberapa aspek/segi. Misalnya ras atau suku
bangsanya, jumlah penduduknya, mata pencahariannya dan persebarannya.
®
Suku Bangsa di Kawasan Asia Tenggara
Menurut A. L Kroeber, suku bangsa
yang tinggal di kawasan Asia Tenggara merupakan keturunan dari dua ras, yaitu
sebagai berikut.
a . Ras Negroid yang menempati
Semenanjung Melayu dan wilayah Negara Filipina.
b. Ras Mongoloid, yang menempati
Kepulauan Indonesia, Malaysia, dan Filipina.
Ras Mongoloid yang ada di Indonesia
dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Proto Melayu (Melayu Tua), yang
menurunkan suku Batak, Dayak, dan Toraja;
2) Deutro Melayu (Melayu Muda),
yang menurunkan suku Bali, Jawa, dan Minangkabau.
Adapun suku-suku yang jumlahnya
besar di Asia Tenggara antara lain sebagai berikut.
a) Suku bangsa Lao Yao dan Thai di
Laos dan Thailand.
b) Suku bangsa Semang dan Sakai di
Malaysia.
c) Suku bangsa Khmer di Kamboja.
d) Suku bangsa Man, Tho, Muong ,dan
Vietnam di Vietnam.
e) Suku bangsa Jawa, Sunda, Bali,
Batak, dan Dayak di Indonesia.
f ) Suku bangsa Cina, India,
Melayu, dan Pakistan di Singapura
Jumlah penduduk di kawasan Asia Tenggara cukup
banyak, mencapai ± 556.017.753 jiwa. Jumlah penduduk tersebut terdiri atas
berbagai macam ras dan suku bangsa asli dari masing-masing negara. Hal ini
merupakan modal sumber daya manusia bagi pembangunan.
Kendala yang dihadapi
tiap-tiap negara adalah banyaknya jumlah penduduk tersebut tidak diimbangi
dengan pemerataannya, sehingga terjadi pemusatan-pemusatan penduduk.
KEBUDAYAAN
RUMPUN BAHASA
Kawasan Asia Tenggara merupakan satu wilayah yang
berada di bagian tenggara dari benua Asia yang terdiri dari kawasan daratan dan
kepulauan Malaya. N. J. Enfield menyatakan bahwa setidaknya ada lima bahasa induk
di kawasann Asia Teggara. Lima bahasa itu meliputi bahasa Mon-Khmer, Tai-Kadai,
Sino-Tibet, Hmong Mien, dan Bahasa Austronesia. Enfield juga menjelaskan bahwa
perbedaan bahasa di setiap wilayah itu berkaitan erat dengan politik dan
wilayah geografis masing-masing wilayah.
Bahasa Induk di Asia Tenggara
Mon-Khmer merupakan rumpun bahasa induk yang
memanjang dari Semenanjung Malaya dan barat melintas ke laut timur India dan
Laut Andaman, Vietnam dan Kamboja. Bahasa Mon-Khemer juga digunakan sebagai
bahasa nasional mereka. Mon-Khemer mempunyai sub bahasa antara lain Khmer dari
Kamboja dan Vietnam selatan, Nicobarese dari kepulauan Nicobar, dan Khasi dari
Assam di India.
Bahasa Tai-Kadai memiliki dua cabang utama yakni Tai
dan Kadai. Bahasa Tai digunakan sebagai bahasa yang homogen yang tersebar luas
di bagian barat Asia Tenggara hingga ke dataran tinggi Burma hingga ke timur
Laut India. Sementara itu Bahasa Kadai merupakan sebuah bahasa yang kompleks
dipakai di Guanxi, Yunnan, dan Guangdong (sebuah propinsi di barat daya Cina).
Bahasa Tai-Kadai juga dikenal sebagai Daic, Kadai, Kradai, atau Dai. Bahasa ini
pada mulanya dianggap sebagai bagian dari Keluarga Sino-Tibet, namun di luar
China dikategorikan sabagai bahasa yang independen. Kosa kata yang digunakan
sebagian besar menggunakan bahasa Sino Tibet. Beberapa peneliti menyebutkan
bahwa Tai-Kadai sangat erat hubungannya dengan bahasa Austronesia.
Hmong Mien merupakan bahasa yang digunakan oleh
masyarakat minoritas tradisional di Cina dengan melalui kontak intensif
dengan Sinitic dari segi budaya dan Sejarah. Hmong Mien atau disebut juga
Miao digunakan di daerah pegunungan di Selatan Cina, termasuk Guizhou, Hunan,
Yunnan, Sichuan, Guangxi dan propinsi Hubei. Dalam 300-400 tahun terakhir para
pengguna bahasa tersebut telah berpindah ke wilayah Thailand, Laos, dan
Vietnam. Klasifikasi awal bahasa ini pada awalnya menempatkan Hmong-Mien
tergolong pada rumpun Sino-Tibet. Namun para ahli bahasa barat menyebutkan
bahwa Hmong-merupakan satu bahasa mereka sendiri. Hal itu disandarkan pada
perkembangan fonologinya.
Sino-Tibet merupakan bahasa yang digunakan oleh
masyarakat yang memanjang dari utara melalui Cina dan barat laut di Himalaya.
Bahasa ini juga mempunyai cabang bahasa antara lain bahasa Loloish diucapkan di
dataran tinggi Burma, Laos Utara, Thailand Utara, dan barat daya Cina, dan
Sinitic yaitu bahasa yang diucapkan secara kolektif oleh masyarakat Cina.
Meskipun Loloish dan Sinitic itu biasanya disebut dialek padahal sebenarnya
keduanya itu bukanlah dialek. Hal ini dapat dilihat bahwa antara satu dengan
lainnya tidak saling mengerti bila mengucapkan bahasa masing-masing. Sekarang
ini banyak peneliti yang menyelidiki bahasa Sinitic dalam konteks areal mereka.
Satu pendekatan yang digunakan ialah kontak historis dengan bahasa lainnya di
Asia Timur dan Tenggara.
Bahasa induk Austronesia merupakan rumpun yang
sangat kaya dan luas penyebarannya. Austronesia merupakan istilah yang dipakai
oleh para ahli linguistik untuk keluarga bahasa yang berkembang di Asia
Tenggara Kepulauan, Micronesia, Melanesia Kepulauan dan Polynesia. Penyebaran
bahasa ini dilakukan dengan cara ekaspansi para pelaut yang mengarungi
samudera.
Pembentukan dan Perkembangan Bahasa di Asia Tenggara
Kebudayaan Asia tenggara sangat terpengaruh oleh kebudayaan yang ada di India
dan Cina. Hal serupa juga terjadi di bidang bahasa. Bahasa yang berkembang
tidak dapat dipisahkan dari bahasa yang ada di Cina dan India. Sebagaimana
penjelasan sebelumnya bahwa kawasan Asia tenggara memiliki ratusan bahasa
yang digunakan oleh masyarakat. Bahasa-bahasa tersebut merupakan hasil dari
sebuah interaksi yang dilakukan oleh masyarakat di satu tempat ke tempat
lainnya. Banyak faktor yang menjelaskan bahwa interaksi tersebut
dilatarbelakangi oleh motif ekonomi, politis dan lainnya. Beberapa antropolog
tertarik mengkaji fenomena sosial yang terjadi di Asia tenggara ini. Pada
umumnya mereka tertarik pada banyaknya persamaan dan perbedaan bahasa di Asia
Tenggara. Mereka memperdebatkan apakah fenomena tersebut merupakan sebuah
warisan atau difusi dari dua atau beberapa kebudayaan yang berlainan.
Trubetzkoy berpendapat bahwa
strukur bahasa dapat berdifusi dan menembus batas wilayah dan silsilah bahasa.
Sebuah wilayah bahasa didefinisikan sebagai wilayah geografis dimana bahasa
setempat dengan bahasa tetangga itu berbeda. Namun pernyataan itu mendapat
banyak pertentang dari beberapa kalangan lainnya. Sebenarnya bahasa tidak bisa
ditahan perkembangannya dan tidak bisa disamakan dengan satu kesatuan wilayah
geografis. Untuk itu penyebaran bahasa sangat memungkinkan melintasi batasan
wilayah geografis.
Secara geografis wilayah Asia
Tenggra didominasi oleh wilayah yang dilalui sungai yang memanjang dari utara
ke selatan. Sungai merupakan unsur yang sangat penting guna mendukung kehidupan
manusia. Banyak peradaban besar yang lahir dan berkembang di sepanjang aliran
sungai. Sungai memberikan kehidupan bagi masyarakat yang tinggal di daerah
sekitarnya. Pada umumnya sungai digunakan oleh masyarakat sebagai sarana
irigasi dan transportasi. Di wilayah yang dilalui oleh sungai tersebut muncul
perkampungan petani dan areal pertanian dengan memanfaatkan sungai tersebut.
Sungai juga menjadi sarana yang mendukung interaksi dan sarana mobilisasi
masyarakat dalam kegiatan sehari-hari.
Enfield menjelaskan pola ini telah
ada sejak dua ribuan tahun yang lalu. Sebagian migrasi dilakukan oleh
orang-orang dari dataran tinggi ke dataran rendah. Migrasi yang paling
signifikan terjadi ketika orang-orang yang berbahasa Tai menginpasi barat daya
Cina. Orang-orang yang berbicara bahasa Tai tersebut melakukan migrasi untuk
mencari lahan datar yang subur untuk dijadikan sawah. Orang tai terkenal dengan
teknik pertanianyang maju. Dalam teknik pertaniannya orang-orang Tai terkenal
dengan sistem parit dan tanggul. Dalam pencariannya itu mereka bertemu dan
berinteraksi dengan orang yang menggunakan bahasa Mon-Khemer dan Sino-Tibet.
Seiring perkembangannya orang-orang
berbahasa Tai ini menetap dan mnjalin hubungan dengan masyarakat berbahasa
Mon-Khmer dan Sino-Tibet. Sekarang ini tidak semua pembicara bahasa Tai
merupakan keturunan sebelumnya yang merupakan bahasa pendatang. Keturunan orang
yang berbahasa Tai ini telah mengadopsi politik, budaya, teknologi, dan bahasa
masyarakat tempat mereka tinggal. Dengan demikian wilayah Siam yang merupakan
masyarakat dataran rendah Thailand lebih banyak pengaruh genetik dari penduduk
berbahasa Khemer Kamboja dibandingkan dengan bahasa Tai. Proses perkembangan
dan pergeseran budaya ini terus berlangsung hingga saat ini.
Para pendatang terbaru di daerah
Asia Tenggara adalah orang yang berbahasa Hmong-Mien yang datang dari Cina
Selatan setelah tiba di Laos, Thailand, dan Vietnam dalam beberapa ratus tahun
terakhir. Mereka yang merupakan kalangan minoritas berinteraksi dengan
masyarakat mayoritas di dataran rendah dalam hal sosial budaya. Orang-orang di
dataran rendah telah membawa perubahan bagi masyarakat pendatang dan begitu
juga sebaliknya. Masyarakat dataran rendah mendominasi politik dan ekonomi.
Kondisi tersebut membawa kemajuan terutama dalam hal melek huruf, media massa,
dan standarisasi lainnya.
Persilangan antara masyarakat
dataran tinggi dengan masyarakat dataran rendah menciptakan dua perbedaan
sosial budaya. Perkembangan tersebut membagi masyarakat ke dalam dua bagian
yang berbeda yakni indosphere dan sinospher. Perbedaan mencolok dapat ditemui
di bidang politik, budaya, dan agama yang berkembang dari India dan Cina.
Perbedaan itu nampak di Vietnam yang semula merupakan sepupunya Khemer namun
sekarang ini banyak terpengaruh oleh kebudayaan Cina. Hal itu terjadi karena
Vietnam telah menjadi propinsi Cina selama hampir 1000 tahun hingga 939
Masehi. Potret kebudayaan sebagian besar berwujud budaya Cina bahkan bahasa
mereka menggunakan huruf Cina. Sebaliknya, Merah-, Lao-, dan Siam berada di
bawah pengaruh India. Hal ini dapat dilihat dalam agama, seni, dan ikonografi
budaya lainnya.
Dengan inilah terdapat kebocoran sosial budaya di Asia tenggara. Sebagai contoh
kita lihat apa yang terjadi pada bahasa Sinitic. Bahasa Sinitic sangat
dipengaruhi oleh masyarakat indospheric. Hal ini dapat dilihat dalam pemakaian
angka dan istilah-istilah umum seperti kertas, kuda, dan meja. Sebagai
perbandingan, Indic/Sinitic adalah salah satu latar belakang dari budaya dan
adat dataran tinggi yang sebagian besar merupakan Mon-Khemer atau
Austroasiatic. Misalnya di sebagian besar Pura di Indospheric Thailand, Laos, dan
Kamboja, tidak hanya unsur-unsur dan praktek keagamaan Budha melainkan praktek
animist merupakan praktek keagamaan masyarakat minoritas di dataran tinggi.
Tidak sedikit pula masyarakat dataran tinggi yang mengadopsi budaya masyarakat
dataran rendah.
Selain bahasa berkembang dengan menyebar dengan cara difusi, bahasa juga
berkembang dengan cara menyebar dengan cara ekspansi. Bahasa Austronesia
merupakan bahasa yang tersebar luas hampir di semua kawasan kepulauan
Indo-Pasifik. Para ahli menjelaskan bahwa penyebaran bahasa tersebut disebabkan
oleh ekspansi komunitas penutur rumpun bahasa tersebut. Hendrik Kern dalam
penelitiannya tentang daerah asal bahasa Austronesia dengan pendekatan
pemilihan kosa kata menyimpulkan bahwa daerah asal bahasa ini berasal dari
suatu daerah tropis. Dari temuan tersebut Blust kemudian mengembangkan kajian
serupa sehingga menyimpulkan bahwa Bahasa Austronesia berasal dari Pulau Taiwan
(Formosa).
Seiring berkembangannya teknik perkapalan dan
navigasi di Taiwan, orang-orang Austronesia mulai berpindah dari Cina
mengarungi selat Formosa. Dengan kemampuan di bidang teknik perladangan mereka
berlayar hingga sampai di Madagaskar. Peristiwa tersebut membuktikan bahwa
orang-orang Austronesia telah menguasai teknik navigasi dan difusi pengetahuan
tentang ritme angin musim. Berpindahnya jalur perdagangan kuno darat (Jalur
Sutera) ke perdagangan maritim semakin memperkokoh kedudukan Asia Tenggara
dalam perdagangan internasional. Kegiatan perdagangan ini menuntun pada pola
perdagangan antara dunia barat dan timur. Dalam waktu yang bersamaan Bahasa
Austronesia kian banyak dikenal oleh masyarakat luar. Hal ini membuktikan bahwa
Kebudayaan dapat melintasi tapal batas geografis, religi, dan etnis. Kemampuan
berlayar yang dimiliki oleh masyarakat Austronesia berperan besar dam ekspansi
bahasa ke seluruh pelosok di Indo-pasifik.
HURUF YANG
DIPAKAI
Ada pendapat sebelum hadir abjad
Arab dan Latin sekarang, tulisan yang lazim dipergunakan di kawasan Asia
Tenggara (kecuali di Vietnam dan sebagian kalangan penduduk Cina Selatan)
diduga sebagian besar dari pengaruh India. Begitu pun halnya yang terjadi di
Nusantara. Para sarjana (pribumi dan asing) hampir selalu mengajukan pendapat
senada bahwa aksara di Nusantara hadir sejalan dengan berkembangnya unsur
(Hindu-Buddha) dari India yang datang dan menetap, melangsungkan kehidupannya
dengan menikahi penduduk setempat. Maka sangat wajar, langsung atau tidak
langsung disamping mengenalkan budaya dari negeri asalnya sambil mempelajari
budaya setempat di lingkungan pemukiman baru, salah satu implikasinya adalah
bentuk aksara (de Casparis:1975).
Namun sejauh fakta yang ada,
pendapat itu tidak disertai penjelasan tuntas hingga pada suatu waktu seorang
ahli epigrafi yang berkebangsaan Perancis bernama Louis Charles Damais
(l951--55) yang menyatakan bahwa hipotesis para ahli tersebut belum benar-benar
menegaskan dari mana dan bagaimana awal kehadiran serta mengalirnya arus
kebudayaan India ke Nusantara kecuali diperkirakan tidak hanya berasal dari
satu tempat saja, tetapi juga dari berbagai tempat lainnya. Walaupun tidak
dipungkiri bahwa aksara-aksara di Nusantara memang menampakkan aliran India
Selatan atau aliran India Utara, namun juga cukup rumit dan sulit ditentukan
darimana kepastian awalnya sebab meskipun ada pengaruh India, tetapi kebudayaan
India tidaklah berperan sepenuhnya terhadap lahirnya aksara di Nusantara
khususnya suku bangsa yang menghasilkan sumber tertulis dengan mempergunakan
aksara-aksara nasional atau aksara daerah yang tergolong kuno itu.
Ada asumsi bahwa kebudayaan India
datang ke Nusantara semata karena peran cendekiawan Nusantara sendiri yang telah
turut ambil bagian ke kancah pergaulan politik internasional, tetapi tidak
berarti bahwa di kala itu bangsa Nusantara belum mengenal aksara sebagai alat
melakukan interaksi sosial dengan bangsa-bangsa lain. Wujud ataupun bentuk
aksara yang berperan pada periode itu pun sesungguh-sungguhnya merupakan hasil
daya cipta cendekiawan lokal yang telah meramu secara selektif unsur-unsur
asing dari berbagai aliran yang pada klimaksnya mencapai kesepakatan gaya jenis
dan bentuk aksara sesuai kondisi wilayah budaya. Saat berlangsungnya proses
inovasi, masyarakat Nusantara telah mencapai kondisi siap mental, karena itu
tatkala inovasi asing (luar) tiba, khususnya dari India, masyarakat Nusantara
segera dapat mencerna dan menyesuaikan diri tentu dengan melalui pengetahuan
dan pengalaman kebudayaan setempat (Damais 1952; 1955).
Sejarah mencatat bahwa aksara
tertua di Nusantara (Asia Tenggara umumnya) disebarluaskan seiring dengan
menyebarnya agama Buddha. Jenis aksara yang semula dipergunakan untuk menulis
ajaran. mantra-mantra suci atau teks-teks dengan jenis aksara yang dipakainya
disebut Sidhhamatrika, disingkat Siddham. Tetapi sarjana Belanda lebih menyukai
istilah Prenagari (Damais 1995; Sedyawati 1978). Jenis aksara inilah yang
kemudian berkembang di Asia Tenggara walaupun hanya terbatas atau terpatri,
untuk menulis teks-teks keagamaan pada media tablet, materai atau stupika yang
dibuat dari tanah liat (bakar atau terakota) atau dijemur dan dikeringkan
matahari. Objek tekstual jenis ini hampir dipastikan tidak atau jarang disertai
unsur pertanggalan, karenanya sulit ditentukan periodenya secara tepat. Namun
melalui analisis palaeografis yakni perbandingan kemiripan tipe, gaya, bentuk
aksara dari zaman ke zaman, maka khusus aksara pada tablet, meterai atau
stupika yang ditemukan di Asia Tenggara diperkirakan dari sekitar abad pertama
sampai ketiga Masehi. Di Nusantara benda-benda seperti ini ditemukan di
Sumatra, Jawa dan Bali dengan menggunakan bahasa Sanskerta.
Aksara yang kemudian lebih populer
di Nusantara adalah aksara dari (dinasti) Pallava (India Selatan) selanjutnya
disebut aksara Pallawa (saja), juga memiliki kecenderungan tidak menyertakan
unsur pertanggalan, dijumpai pada prasasti tujuh Yupa (tugu peringatan kurban)
kerajaan Kutai (Kalimantan timur) yang diperkirakan dari tahun 400 Masehi dan
sejumlah prasasti dari kerajaan Tarumanagara (Jawa Barat) tahun 450 Masehi.
Kedua kerajaan yang cukup jauh
letaknya sama-sama mengggunakan aksara Pallawa-Grantha dan bahasa Sanskerta
dengan gaya khas inovasinya. Prasasti-prasasti masa Tarumanagara dipahatkan
pada batu alam. Khusus prasasti Ciaruteun dan Muara Cianten (Kampung-muara), di
tepi sungai Cisadane dan Cibungbulang (Bogor), Jawa Barat, disusun dan ditata
dengan metrum (sloka) Sanskerta; ada juga yang berpahatkan pilin, umbi-umbian
dan sulur-suluran. Beberapa sarjana menyebut pahatan pilin, umbi, dan
sulur-suluran itu sebagai bentuk aksara khusus yang disebut kru-letters,
conch-shell-script atau aksara sangkha. Sejauh mana kebenarannya, yang jelas
pilin—pilin gandha ataupun sulur-suluran—merupakan citra gaya seni geometris
yang paling tua dikenal manusia di bumi Nusantara, sebelum dikenal aksara
(Djafar 1978).
7 Gunung
Tertinggi di 7 Benua (Seven Summits)
1. Asia:
Gunung Everest
Menjulang dengan ketinggian 8.848 meter, Gunung
Everest tak hanya tercatat sebagai gunung tertinggi di Asia tetapi juga dunia.
Gunung yang menjadi bagian dari pegunungan Himalaya ini terletak di Nepal dan
kawasan Tibet di Cina. Sebagai gunung tertinggi di dunia, nama Everest tercatat
dalam Seven Summits dan Eight-thousanders (gunung dengan ketinggian 8.000 meter
atau lebih).
2. Afrika:
Kilimanjaro
Gunung Kilimanjaro tak hanya terkenal akan
ketinggiannya tetapi juga keunikan bentuknya yang terdiri dari 3 kerucut
vulkanik bernama Kibo, Mawenzi, dan Shiba. Dua kerucut Kilimanjaro – Mawenzi
dan Shira – telah dinyatakan mati, namun Kibo memiliki kemungkinan untuk aktif
kembali. Gunung yang berlokasi di Tanzania, tepatnya di kawasan Kilimanjaro,
memiliki ketinggian maksimal 5.895 meter.
3. Eropa:
Gunung Elbrus
Gunung Elbrus yang berlokasi di pegunungan Kaukasus
Rusia menjulang setinggi 5.642 meter dan tercatat sebagai gunung tertinggi di
Eropa, mengalahkan Mont Blanc (Gunung Putih) di Italia. Ada sedikit perdebatan
mengenai penobatan Elbrus sebagai gunung tertinggi Eropa mengingat lokasinya
yang berada di perbatasan benua Asia dan Eropa. Namun, sebagian besar setuju
bahwa Elbrus yang terletak di
wilayah Kabardino-Balkaria dan Karachay–Cherkessia, Rusia,
ini masih menjadi bagian dari Eropa.
4. Amerika
Utara: Gunung McKinley / Denali
Berdiri kokoh setinggi 6.194 meter di atas permukaan
laut, Gunung McKinley atau Denali mendapat gelar sebagai gunung tertinggi di
wilayah Amerika Utara. Ditinjau dari tonjolan topografinya, gunung di negara
bagian Alaska, Amerika Serikat, ini menempati urutan ketiga setelah Gunung
Everest dan Aconcagua. Gunung McKinley merupakan atraksi utama di Taman
Nasional Denali, AS
5. Antartika:
Vinson Maasif
Berlokasi di benua Antartika, seluruh permukaan
gunung Vinson Maasif tampak putih tertutup salju. Gunung setinggi 4.982 meter
ini pertama kali ditemukan pada tahun 1958, dan mulai didaki pada 1966. Titik
tertinggi di Gunung Vinson Maasif yaitu Vinson Peak berasal dari nama seorang
anggota dewan Amerika Serikat dari negara bagian Georgia, Carl Vinson.
6. Australia:
Gunung Kosciuszko
Di antara seluruh anggota Seven Summits, Gunung
Kosciuszko memiliki ketinggian paling rendah. Tinggi gunung bersalju yang
terletak di Taman Nasional Kosciuszko, Australia, ini hanya 2.228 meter. Gunung
ini tak termasuk dalam daftar Seven Summits versi Messner, namun menurut
Richard Bass, Gunung Kosciuszko merupakan titik tertinggi di Australia
7. Oseania:
Puncak Jaya
Sejak dulu, Puncak Jaya telah dikenal sebagai titik
tertinggi di Indonesia dan Oseania. Puncak Jaya atau Carstensz Pyramid yang
menjadi bagian dari Barisan Sudirman di provinsi Papua memiliki ketinggian
hingga 4.884 meter. Saking tingginya, bagian atas Puncak Jaya tertutup oleh
salju abadi. Ketinggian Puncak Jaya banyak menantang para pendaki pemberani
dari dalam dan luar negeri. Setidaknya, dibutuhkan waktu 8-10 hari untuk
mendaki dan menuruni Puncak Jaya.
No comments:
Post a Comment