Alexander
Macedonia pernah menguasai Eropa dan Asia sampai ke India, dan Napoleson ingin
mengikuti jejak Alexander ini. Tempat strategis untuk menguasai kerajaan besar
seperti yang dicita-citakannya itu adalah Cairo dan bukan Roma atau Paris.
Inilah beberapa hal yang mendorong Perancis dan Napoleon untuk menduduki Mesir.
Mesir pada waktu itu berada di bawah
kekuasaan kaum Mamluk, sejak ditaklukan oleh Sultan Salim pada tahun 1517,
daerah ini merupakan bagian dari kerajaan Usmani. Kaum Mamluk berasal dari budak-budak
yang dibeli di Kaukatus, suatu daerah pegunungan yang terletak di daerah
perbatasan antara Rusia dan Turki. Mereka dididik kemiliteran. Setelah jatuhnya
prestise Sultan-sultan Usmani, mereka tidak mau tunduk lagi kepada Istambul
bahkan menolak pengiriman hasil pajak yang mereka pungut dengan cara kekerasan
dari rakyat Mesir ke Istambul.
Napoleon mendarat di Alexandaria
pada tanggal 2 Juni 1798 dan keesokan harinya kota pelabuhan yang penting ini
jatuh. Sembilan hari kemudian, Rasyid, suatu kota sebelah Timur Alexandaria
jatuh pula. Pada tanggal 21 Juli tentara Napoleon sampai di daerah tersebut
antara kaum Mamluk dan Tentara Napoleon, kaum Mamluk kalah dan lari ke Cairo
tetapi tidak mendapat dukungan dari rakyat Mesir. Akhirnya, tidak sampai tiga minggu
yaitu tanggal 22 Juli Napoleon dapat menguasai Mesir.
Usaha Napoleon untuk menguasai
daerah-daerah lainnya tidak berhasil akhirnya, pada tanggal 18 Agustus 1799
Napoleon meninggalkan Mesir. Napoleon datang ke Mesir membawa dua set alat
percetakan dengan huruf latin, Arab dan Yunani, untuk kepentingan ilmiah.
Kemudian dibentuklah suatu lembaga yang bernama Institut d’Egypte, yang
mempunyai 4 bagian yaitu : bagian ilmu Pasti, Bagian Ilmu Alam, Bagian
Ekonomi-Politik dan Bagian Sastra-Seni. Lembaga ini boleh dikunjungi oleh
rakyat Mesir, terutama para ulamanya yang diharapkan akan menambah pengetahuan
mereka tentang Mesir, adat-istiadatnya, bahasa dan agamanya, disinilah
orang-orang Mesir dan umat Islam pertama kali mempunyai kontak langsung dengan
peradaban Eropa yang baru lagi asing bagi mereka itu.
Abd Al Al-Rahmah Al-Jabarti, seorang
ulama dari Al-Azhar di mesir penulis sejarah, pernah mengunjungi lembaga
tersebut pada tahun 1799. Yang menarik
perhatiannya yaitu perpustakaan besar yang mengandung buku-buku, bukan hanya
dalam bahasa-bahasa Eropa, tetapi juga buku-buku agama dalam bahasa Arab,
Persia dan Turki. Kesimpulan dalam kunjungan itu ia tulis dengan kata-kata
sebagai berikut : “ Saya lihat di sana benda-benda dan percobaan-percobaan
ganjil yang menghasilkan hal-hal yang besar untuk dapat ditangkap oleh akal
seperti yang ada pada diri kita sendiri.”
No comments:
Post a Comment