Tujuan
pendidikan sama dengan tujuan manusia. Manusia menginginkan semua manusia,
termasuk anak keturunannya, menjadi manusia yang baik. Sampai di sini tidaklah
ada perbedaan antara seseorang dengan orang lain. Perbedaan akan muncul tatkala
merumuskan ciri-ciri manusia yang baik itu.
Kualitas baik seseorang
ditentukan oleh pandangan hidupnya. Bila pandangan hidupnya berupa agama, maka
manusia yang baik adalah manusia yang baik menurut agamanya. Bila pandangan
hidupnya sesuatu mazhab filsafat, maka manusia yang baik itu adalah manusia
yang baik menurut filsafatnya itu. Bila pandangan hidupnya berupa warisan nilai
dari nenek moyang, maka manusia yang baik itu adalah manusia yang baik menurut
pandangan nenek moyangnya itu.
Dari sinilah muncul
perbedaan-perbedaan tentang tujuan pendidikan. Tatkala membuat rumusan
terjadilah “perdebatan” berkepanjangan. Penganut agama menginginkan tujuan
pendidikan negara dirumuskan berdasarkan agamanya; orang filsafat menginginkan
tujuan pendidikan negara ditentukan oleh ajaran filsafatnya; penganut warisan
nenek moyang demikian juga.
Dari rumusan ini akan muncul tujuan
pendidikan menurut masing-masing negara. Katakanlah ada satu rumusan tujuan
pendidikan dalam satu negara. Apakah itu merupakan jaminan dalam negara itu
tidak ada orang yang menginginkan rumusan yang lain? Tentu ada, karena filsafat
negara belum tentu diyakini oleh semua warga negara. Gejala ini jelas kelihatan
tatkala wakil-wakil rakyat negara itu merumuskan tujuan pendidikan negaranya.
Akhirnya apa yang terjadi? Yang terjadi ialah rumusan tujuan pendidikan negara
ditetapkan dengan voting wakil rakyat. Ini berarti rumusan itu tidak
benar-benar disepakati oleh seluruh warga negara.
Menghadapi perbedaan-perbedaan
pendapat itu kita harus mengambil sikap demokratis. Artinya, biarkan rumusan
itu, dukung pelaksanaan rumusan itu, demi beroperasinya negara, dengan syarat
rumusan itu tidak menyimpang jauh sehingga mengancam keberlangsungan negara
tersebut
No comments:
Post a Comment