Saturday, April 1, 2017

SYARAT MUFTI




Seorang mufti (pemberi Fatwa) tentulah orang yang mempunyai wawasan keilmuan yang luas, agar yang difatwakannya tentang suatu masalah hukum sesuai dengan yang sebenarnya. Abu Ishaq Ibrahim3 menguraikan secara detail tentang syarat-syarat seorang mufti, yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.  Harus Mengetahui sumber hukum,  yaitu al-Qur‟an dan sunah, baik qauliyah, fi’liyah dan taqririyah;
2. Mengetahui cara mengambil hukum dari keduanya;
3. Mengetahui kaidah-kaidah ushul fiqh;
4. Mengetahui bahasa Arab dan tata bahasa Arab;
5. Mengetahui nasakh, mansukh, dan hukum-hukumnya;
6. Mengetahui ijma’  dan khilafiyah ulama terdahulu;
7. Mengetahui cara mengqiyas dan hukum-hukumya;
8. Mengetahui ijtihad;
9. Mengetahui cara mengambil ‘illat dan urutan dalil-dalil;
10. Mengetahui cara mentarjih;
11. Harus orang yang dipercaya dan jujur; dan
12. Orang yang tidak menganggap enteng dalam soal agama.   
Mufti adalah panutan dan ikutan kaum muslimin, karena itu disamping ia ahli al-Qur‟an dan hadits, ia juga seorang yang mempunyai akhlakul karimah (budi pekerti yang mulia), sabar tidak pemarah, bilaksana, selalu memikirkan kepentingan kaum muslimin.
Sehubungan dengan hal di atas, Imam Ahmad Ibn Hambal sepertinya mengidentikkan syarat-syarat seorang mufti dengan sifat-sifat yang dimiliki seorang mufti, sebagaimana dikutip oleh Kamal Mukhtar sebagai berikut:
1. Mufti memberi fatwa dengan niat semata-mata mencari keridhaan Allah SWT., bukan untuk sesuatu kepentingan seperti untuk mencari pangkat, kedudukan, kekayaan, kekuasaan dan sebagainya. Dengan adanya niat yang seperti itu, maka Allah SWT. akan memberinya petunjuk dalam melaksanakan tugasnya itu.
 2.  Hendaklah seorang mufti itu berwibawa, sabar dan dapat menguasai dirinya, tidak cepat marah dan tidak suka menyombongkan diri.
3. Mufti itu hendaklah seorang yang berkecukupan hidupnya, tidak menggantungkan hidupnya kepada orang lain. Dengan hidup ber kecukupan itu ia dapat memperdalam ilmunya, dapat mengemukakan kebenaran sesuai dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya, sukar dipengaruhi pendapatnya oleh orang lain.
4. Hendaklah seorang mufti mengetahui ilmu kemasyarakatan, karena ketetapan hukumnya  harus diambil setelah memperhatikan kondisi masyarakat, memperhatikan perubahan-perubahan dan sebagainya, sehingga fatwanya tidak menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat, sekaligus dapat diterima dan tidak bertentangan dengan hukum Allah dan Rasul-Nya.
Selanjutnya Imam Syafi‟i mengatakan, bagi yang berfatwa (mufti) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Mengetahui kitab Allah (al-Qur‟an), nasakh-mansukh, takwil- tanzilnya, makiyah–madaniyahnya, dan segala sesuatu yang menyangkut al-Qur‟an itu sendiri.
2. Mengetahui hadis Rasulullah SAW., nasakh-mansukhnya, pengetahuannya tentang hadis ini kira-kira sama dengan pengetahuannya tentang al-Qur‟an.
3. Mengetahui bahasa Arab beserta kaidah-kaidanya yang dengan pengetahuan bahasa Arabnya itu difahaminya al Qur‟an dan sunnah. Disyaratkan juga pengetahuannya tentang  hal-hal yang tersebut di atas digunakannya dengan kesadaran yang tinggi.  
Syarat-syarat yang dikemukakan Imam Syafi‟i di atas adalah syarat- syarat yang hampir sama dengan syarat–syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid muthlaq yang dapat memberikan fatwa dalam segala masalah yang berhubungan dengan hukum.
Sebagai bahan perbandingan, ada baiknya dilihat pula 3 (tiga) kelompok syarat berijtihad yang telah disepakati para ulama,7 yaitu:
1. Syarat-syarat umum:
a. Dewasa;
b. Sehat fikirannya;
c. Sangat kuat daya tangkapnya dan ingatannya (IQ-nya tinggi);
d. Islam.
 2. Syarat-syarat pokok:
a. Menguasai al-Qur‟an dan ilmu-ilmu al-Qur‟an, terutama ayat-ayat hukumnya, asbab an-nuzul-nya, nasakh-mansukhnya dan sebagainya;
b. Menguasai hadits dan ilmu-ilmu hadits, terutama mengenai hadits hasan, nasakh mansukh dan sebagainya;
c. Menguasai bahasa Arab dan ilmu-ilmu bahasa, termasuk Nahwu- Sharaf, Balaghah, Fiqh al-Lughah dan Adabu al-Jahili.
d. Menguasai ilmu ushul fiqh;
e. Memahami benar-benar tujuan-tujuan pokok syari‟at Islam;
 f. Memahami benar-benar qawaid al-kulliyah/qawa’id al- fiqhiyah.
3. Syarat-syarat pelengkap.
a. Mengetahui tidak ada dalil yang qath’i tentang kasus yang dihadapi;
b. Mengalami masalah yang telah tercapai konsensus, masalah- masalah khilafiyah dan masalah-masalah yang belum ada kepastian hukumnya.
Berfatwa dalam beberapa hal sebenarnya merupakan proses lanjut dari berijtihad, karena definisi ijtihad itu sendiri adalah seperti yang dikatakan sebagian ulama ushul: “Mempergunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan hukum syara‟ dari kitabullah dan hadis Rasul”.
Walaupun syarat-syarat mufti hampir sama dengan syarat-syarat mujtahid, tetapi tidak semua yang difatwakan itu merupakan hasil ijtihad. Artinya ada juga fatwa yang dikeluarkan merupakan butir-butir hukum yang sudah jelas rumusannya di dalam al-Qur‟an dan sunnah. Dengan demikian, apabila yang difatwakan itu sudah jelas rumusannya di dalam al-Qur‟an dan sunnah, maka syarat-syarat seorang mufti seperti yang kemukakan Imam Syafi‟i tidak disyaratkan lagi. Hal ini dapat dilihat pada fatwa-fatwa yang muncul setelah berlalunya periode tasyri’ masa imam-imam mujtahid.
Abdul Karim Amrullah mengatakan; “Bahwasanya setengah daripada syarat-syarat orang yang akan berfatwa, hendaklah dia ‘alim (mengerti betul) dengan fiqh, ushul dan furu’nya, yaitu sanggup dan sedia (taahhul) pengetahuannya dalam perkara itu”.
Dimaksudkan dengan ‘alim bukanlah bahwa hendaknya hadir segala ilmu itu pada otaknya setiap waktu, tetapi orang ‘alim adalah orang yang selalu berusaha memperkecil berbuat yang salah dan memperbesar jumlah berbuat yang baik  dalam rangka membersihkan jiwanya dari kotoran- kotoran hal-hal yang maksiat.
Mempunyai pengetahuan tentang ushul, maksudnya ialah orang yang mengetahui tentang dali-dalil yang 5 (lima), demikian juga mengetahui cara- cara yang dapat dipakai ketika mengambil hukum apabila terdapat dalil-dalil yang berlawanan/bertentangan antara satu dengan yang lain, hendaklah ia tahu pula masalah-masalah mana yang sudah di ijma‟kan para ulama, supaya dalam fatwanya tidak menyalahi ijma’ itu.
Tentang pengetahui mengenai masalah furu’, maksudnya hendaklah ia mengetahui masalah yang sudah disepakati ulama dan mana yang belum disepakati, termasuk juga di sini adanya pengetahuan tentang ilmu nahwu, sharaf, bayan yang semuanya itu berhubungan dengan bahasa Arab sekedar yang diperlukan dalam mengambil (mengistimbatkan) hukum.
Kemudian hendaklah ada pengetahuannya mengenai masalah hadis dan perawi-perawinya, sehingga dapat diketahuinya mana yang dapat diterima  dan mana yang ditolak, demikian juga pengetahuannya tentang tafsir. Pengetahuannya tentang tafsir dan hadits ini sudah memadai kiranya dengan mengetahui kitab-kitab yang mu’tamad dan mu’tabar dikalangan umat Islam, begitu juga dengan ilmu nasakh mansukh.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa seorang mufti bisa memfatwakan semua masalah hukum, apabila telah memenuhi syarat- syarat sebagai seorang mujtahid. Seorang mufti yang hanya mengungkap kembali suatu rumusan hukum yang sudah ada, seperti di dalam al-Qur‟an dan sunnah, Ijma‟, fatwa shahabi atau hasil-hasil ijtihad para mujtahid sebelumnya, maka ia tidak harus memenuhi semua syarat mujtahid. Cukup memadai jika ia dapat mempertanggungjawabkan sumber pengambilan hukum-hukum yang difatwakan itu.

No comments:

Post a Comment

Simbol Bilangan atau Angka

  a. Pengertian Angka Memahami suatu angka dapat membantu manusia untuk melakukan banyak perhitungan mulai dari yang sederhana maupaun y...

Blog Archive