Sunday, April 9, 2017

Makalah Arbitrase

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Perkembangan masyarakat serta laju dinamis dunia bisnis saat ini berlangsung demikian pesat. Dinamika dan kepastian yang terjadi di dalam kegiatan ekonomi dan bisnis itu ternyata telah membawa implikasi yang cukup mendasar terhadap pranata maupun lembaga hukum. Implikasi terhadap pranata hukum disebabkan sangat tidak memadainya perangkat norma untuk mendukung kegiatan ekonomi dan bisnis yang sedemikian pesat. Kondisi tersebut kemudian diupayakan untuk diatasi dengan melakukan reformasi hukum di bidang kegiatan ekonomi. Berbagai upaya dilakukan melalui pembaharuan atas substansi produk-produk hukum yang sudah tertinggal maupun dengan membuat peraturan perundang-undangan baru mengenai bidang-bidang yang menunjang kegiatan ekonomi dan bisnis.
Sementara itu, implikasi dari kegiatan bisnis yang pesat terhadap lembaga hukum berakibat juga terhadap pengadilan yang dianggap tidak profesional untuk menangani sengketa-sengketa bisnis, tidak independen bahkan para hakimnya telah kehilangan integritas moral dalam menjalankan profesinya. Akibatnya, lembaga pengadilan yang secara konkrit mengemban tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan ketika menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan sengketa yang tidak efektif dan efisien.

1
 
Sebagai salah satu cara menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan, forum arbitrase bukan sesuatu yang baru dalam sistem  penyelesaian sengketa hukum di Indonesia. Di masa lalu, arbitrase kurang menarik perhatian dan kurang populer walaupun sesungguhnya sudah lama diatur dalam sistem  hukum di Indonesia. Bahkan pada kurun awal kemerdekaan Indonesia, arbitrase pun telah lazim dipraktikan di kalangan para usahawan.
Dewasa ini, arbitrase dipandang sebagai pranata hukum yang penting sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa bisnis di luar pengadilan. Bahkan meningkatnya peranan arbitrase pun bersamaan dengan meningkatnya transaksi niaga, baik nasional maupun internasional. Kompleksitas dan tingginya persaingan di dalam transaksi niaga, baik nasional maupun internasional tersebut sangat berpotensi menimbulkan sengketa. Beragam sengketa yang timbul dari kegiatan bisnis atau aktivitas komersial itu secara umum dapat disebut sebagai sengketa bisnis atau sengketa komersial (selanjutnya disebut dengan sengketa komersial). Demikian luasnya pengertian komersial sehingga meliputi seluruh aspek kegiatan bisnis. Oleh sebab itu, dalam rangka disertasi ini sengketa komersial tidak ditetapkan secara spesifik. Sengketa komersial dimaksud diambil secara random (acak) dari kasus yang ada berdasarkan kebutuhan kajian ini. Bahkan sengketa komersial dimaksud tidak ditentukan berdasarkan jenis objek sengketanya maupun ragam kontrak bisnisnya.
Sengketa komersial di dalam penulisan disertasi ini semata-mata dikaji berdasarkan perbedaan subjek-subjek sengketanya, sehingga hanya dibedakan atas dua prototipe sengketa komersial. Pertama, sengketa komersial domestik, yaitu sengketa yang terjadi antara subjek-subjek atau para pihak orang Indonesia yang melakukan kontrak bisnis satu sama lain, dan objek sengketanya terletak dalam negeri. Kedua, yaitu sengketa yang melibatkan pihak-pihak atau subjek-subjek asing, baik individu maupun lembaga swasta yang berlainan kewarganegaraan. Sengketa tersebut terjadi dari kontrak bisnis internasional.
Berdasarkan persektif cara yang dipilih untuk menyelesaikan kedua prototipe sengketa komersial domestik pada umumnya, bahkan hampir dapat dipastikan subjek-subjek sengketanya cenderung membawa sengketa mereka untuk diselesaikan di pengadilan negeri. Memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa komersial tipe yang pertama belum menjadi bagian dari perilaku para pihak domestik. Sementara itu memilih forum arbitrase umumnya dilakukan oleh pihak asing dalam rangka menyelesaikan sengketa komersial internasional. Dari pembacaan beberapa literatur diketahui bahwa praktik pada beberapa negara maju menunjukkan bahwa untuk mempersiapkan penyelesaian sengketa tipe kedua itu hampir setiap kontrak bisnis internasional mencantumkan klausula pemilihan forum arbitrase, bahkan dalam kaitannya dengan pilihan forum arbitrase ini, A.J. Van den Berg secara ekstrim menyebutkan bahwa “…bevat ongeveer 90% Van de Internationale contracten een arbitraal beding.” Untuk kasus negara-negara lain sinyalemen tersebut mungkin saja benar seperti itu. Namun belum dapat dipastikan apakah keadaan di Indonesia juga semacam itu. Oleh karena adakalanya juga, kontrak bisnis internasional yang disepakati oleh pengusaha swasta asing dengan pengusaha swasta Indonesia tidak mencantumkan klausula arbitrase sebagaimana lazimnya.
Menyadari urgensi permasalahan diatas maka sangat penting kiranya dilakukan suatu penelitian mengenai penyelesaian sengketa terhadap kasus Karaha Bodas, disertai dengan analisis mengenai tinjauan hukum pembuktiannya.
Maka dengan alasan/latar belakang tersebut Penulis tertarik untuk menyusun makalah yang berjudul TINJAUAN HUKUM MENGENAI PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP KASUS KARAHA BODAS.
        
B.     Identifikasi Masalah
Dari uraian latar belakang masalah mengenai penyelesaian sengketa terhadap Kasus Karaha Bodas, maka dapat dirumuskan identifikasi permasalahan sebagai berikut :
1.      Bagaimana pengaturan mengenai penyelesaian sengketa ?
2.      Bagaimana upaya pelaksanaan keputusan arbitrase asing ?



C.    Metode Penelitian
Dalam penelitian yang dilakukan terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan untuk mempermudah analisis permasalahan hal-hal tersebut antara lain :
1.      Spesifikasi penelitian
Penelitian dalam makalah ini adalah Deskriptif Analitis, yakni menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan di atas.
2.      Metode Pendekatan
Metode pendekatan penelitian ini adalah Yuridis Normatif, yaitu penelitian yang ditunjukkan untuk menemukan hukum in concreto dengan menerapkan hukum secara konkrit guna menyelesaikan suatu permasalahan tertentu. Sebelumnya dilakukan terlebih dahulu penelitian inventarisasi hukum positif yang merupakan kegiatan pendahuluan mendasar untuk melakukan penelitian hukum dari jenis-jenis yang lain.
3.      Tahapan penelitian
Dalam pengumpulan data diusahakan sebanyak mungkin data yang diperoleh atau dikumpulkan mengenai data sekunder yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, dan dilakukan penelitian lapangan dengan harapan dapat melengkapi data kepustakaan. Dengan demikian penelitian ini dilakukan melalui dua tahap :
a.       Penelitian kepustakaan (Library Research)
b.      Penelitian Lapangan
c.       Dwi.djanuarto @ bisnis.co.id
4.      Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah dengan cara studi dokumen.

5.      Metode Analisis Data
Sebagai cara menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang terkumpul, akan digunakan metode normatif tolak dari peraturan –peraturan yang ada sebagai norma hukum positif, sedangkan dikatakan kualitatif karena analisis data yang bertitik tolak pada usaha – usaha penemuan asas-asas dan informasi-informasi yang diperoleh.
























BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI ARBITRASE

A.    Perjanjian Arbitrase Secara Umum
1.      Pengertian Arbitrase
Menurut Black, S Law Dictionary : “Arbitration an arrangement for taking an abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunal of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary ligitation.”
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu :
a.       Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (factum de compromitendo); atau
b.      Suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (akta kompromis)
2.      Objek Arbitrase
Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya). Menurut Pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 ( “UU Arbitrase”) hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

 
Adapun kegiatan dalam  bidang perdagangan itu antara lain : perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu pasal 5 (2) UU Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata buku III Bab Kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.

3.      Jenis-jenis Arbitrase
Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan permanen (institusi). Arbitrase ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya UU No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau UNCITRAL ARBITARION RULES. Pada umumnya arbitrase ad-hoc ditentukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan Arbitrase Ad-hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase.
            Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau yang internasional seperti The Rules of Arbitration dari The International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem  arbitrase sendiri-sendiri.
  
4.      Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase
Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan melalui penjelasan umum Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan. Keunggulan itu adalah :

a.       Kerahasiaan sengketa para pihak terjamin;
b.      Keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administrasi dapat dihindari;
c.       Para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta jujur dan adil;
d.      Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian masalahnya;
Para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase
e.       Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui prosedur sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan.
Para ahli juga mengemukakan pendapatnya mengenai keunggulan arbitrase. Menurut Prof. Subekti bagi dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau perwasitan, mempunyai beberapa keunggulan yaitu bahwa dapat dilakukan dengan cepat, oleh para ahli, dan secara rahasia. Sementara HMN Purwosutjipto mengemukakan arti pentingnya peradilan wasit (arbitrase) adalah :
1.      Penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan cepat.
2.      Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang dipersengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak.
3.      Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.
4.      Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan – kelemahan perusahaan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha.
Disamping keunggulan arbitrase seperti tersebut diatas, arbitrase juga memiliki kelemahan arbitrase. Dari praktek yang berjalan di Indonesia, keamanan arbitrase adalah masih sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk eksekusi putusan arbitrase nasional maupun internasional sudah cukup jelas.

B.     Pelaksanaan Putusan Arbitrase
1.      Putusan Arbitrase Nasional
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No 30 tahun 1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaannya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitrase diucapkan. Putusan arbitrase nasional bersifat mandiri, final, dan mengikat.
      Putusan arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap), sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU No. 30 tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan, Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.
2.      Putusan Arbitrase Internasional
Semua pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di Indonesia didasarkan pada ketentuan Konvesi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan negara peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa konvensi berlaku juga di wilayah Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UN Convention on The Recognition and En Forcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftarkan di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981. Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan Mahkamah  Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase asing.   
1 http : // jurnal hukum.blogspot.com
2 ibid
3 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
















BAB III
KASUS KARAHA BODAS


Pertamina ajak PLN garap Karaha Bodas
            PT. Pertamina mengajak PT. Perusahaan Listrik Negara (PT. PLN) untuk mengembangkan proyek PLTP Karaha Bodas, yang rencananya akan dimulai kembali pada 2008 menyusul kekalahan di pengadilan Cayman Island.
            Direktur Utama PT. Pertamina Ari Hernanto Soemarno mengatakan pihaknya kini merupakan pemilik lapangan panas bumi Karaha Bodas. “Kami ingin bekerja sama dengan PLN mengembangkan lapangan itu, “ ujarnya di Jakarta, pekan lalu.
            Pertamina kini tengah bersiap mengembangkan PLTP Karaha Bodas dengan potensi panas bumi pasti sebesar 50 MW bahkan akan ditingkatkan menjadi 120 MW.
            Jika ajakan Pertamina tersebut disambut oleh PT. PLN, maka nilai investasi yang harus dikeluarkan BUMN listrik tersebut di PLTP Karaha Bodas diperkirakan sekitar US$300 juta.
            Rencana Pertamina mengembangkan PLTP Karaha Bodas mulai tahun depan. Sejalan dengan alokasi pendanaan yang akan dimasukkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2008.
            Dalam RKAP tahun ini, Pertamina hanya menganggarkan dana untuk pembayaran klaim KBC sebesar US$261 juta karena adanya perkiraan Pertamina akan kalah di pengadilan Cayman Island setelah dinyatakan kalah oleh Mahkamah Agung AS.
            Saat ini, di lokasi PLTP Karaha Bodas, telah dilakukan pengeboran sebanyak 18 sumur eksplorasi untuk pembuktian potensi cadangan yang ada dan telah terbukti sebanyak 50 MW.

11
 
            PT. Pertamina ingin cepat melakukan pengembangan PLTP Karaha Bodas, setelah kalah dari KBC. Sebab berdasarkan kontrak yang ada, lapangan tersebut harus diserahkan kepada pemerintah jika tidak dikembangkan hingga 2010.
            Ari mengungkapkan pengadilan Cayman Island telah memutuskan Pertamina harus membayar ganti rugi kepada KBC sesuai dengan keputusan Mahkamah Agung AS. Semula, pengadilan Cayman Island merupakan harapan terakhir Pertamina.

Penjualan Migas
            Menurut dia, Pertamina telah membayar US$319 juta terdiri dari klaim US261 juta dan bunganya 4% per tahun yang diambil dari dana simpanan hasil penjualan migas BUMN tersebut di AS.
            Pengadilan AS telah membekukan pencairan dana penjualan migas tersebut sejak beberapa tahun lalu dan kini pihak KBC berhak mencairkan dana tersebut sesuai dengan keputusan pengadilan Cayman Island.
            Proyek PLTP Karaha Bodas ditandatangani KBC dan Pertamina pada Desember 1994. Namun karena terjadi krisis keuangan pada 1997, pemerintah menghentikan sejumlah proyek pembangkit listrik termasuk PLTP Karaha Bodas melalui Keppres No. 39/2007.
            KBC yang merupakan rekanan Pertamina sebagai operator di PLTP Karaha Bodas menggugat Pertamina melalui lembaga arbitrase internasional di Jenewa, Swiss pada Desember 2000.
            KBC menang di Arbitrase itu dan dikuatkan oleh keputusan pengadilan di AS hingga terakhir keputusan Mahkamah Agung pada Oktober 2006.
            KBC dimiliki Caithness Energy, Florida Power dan Light, Tomen Corp, dan PT. Sumarah Dayasakti sebagai mitra lokal dimana Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro sempat menjadi salah satu petinggi di PT. Sumarah Daya Sakti.(dwi.djanuarto@bisnis.co.id)






BAB IV
PELAKSANAAN KEPUTUSAN ARBITRASE ASING
DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KASUS KARAHA BODAS


A.  Alternatif Penyelesaian Sengketa
Menurut pasal 6 Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase sebagai berikut :
1.      Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di pengadilan Negeri.
2.      Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui Alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.
3.      Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak dapat diselesaikan maka atas kesepakatan tertulis para pihak sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.
4.      Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif  penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator.
5.      Setelah penunjukan mediator oleh lembaga Arbitrase atau lembaga Alternatif penyelesaian sengketa dalam waktu paling lama 7 hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai.


 
 


6.      Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator sebagai mana dimaksud dalam ayat 5 dengan memegang teguh kerahasiaan dalam waktu paling lama 30 hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait.
7.      Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di pengadilan negeri dalam waktu paling lama 30 hari sejak penandatanganan.
8.      Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat 7 wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 hari sejak pendaftaran.
9.      Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 sampai dengan ayat 6 tidak dicapai maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaian melalui lembaga Arbitrase, arbitrase Ad-hoc. 

B. Pelaksanaan Keputusan Arbitrase Asing Menurut Peraturan MA No. 1
     Tahun 1990.
Ditengah-tengah pertentangan pendapat itu, pada tanggal 1 Maret 1990, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan peraturan MA No. 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Meskipun tidak dengan tegas disebutkan status peraturan ini, namun dapat disimpulkan bahwa peraturan No. 1 ini adalah Peraturan Pelaksanaan dari Keppres No. 34 tahun 1981. Kesimpulan ini ditarik dari konsideraan peraturan yang menyebutkan kalimat : ….”dipandang perlu untuk menetapkan peraturan tentang tata-cara pelaksanaan suatu keputusan Arbitrase Asing”.
Dikeluarkannya Peraturan MA No. 1 Tahun 1990 ini menjawab dua masalah hukum di Indonesia yang telah lama mengambang. Masalah pertama adalah : Apakah suatu Keppres memerlukan peraturan perundang-undangan pelaksanaannya atau tidak sebagaimana halnya dengan Undang-undang ? Yang kedua adalah : Badan Peradilan manakah yang berwenang menangani masalah-masalah pelaksanaan putusan Arbitrase Asing ?
Pemerintah meratifikasi konvensi New York dengan Keppres. Seperti diuraikan dimuka, karena konvensi maupun Keppresnya sendiri tidak menguraikan bagaimana tata-cara pelaksanaan putusan arbitrase, maka timbul reaksi dari para pakar hukum kita. Di satu pihak berpendapat bahwa Keppres tidak perlu peraturan pelaksanaannya, di pihak lain berpendapat perlu.
Karena menurut pendapat kami peraturan MA ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari Keppres No. 34/1981, maka dapat disimpulkan disini bahwa Keppres-pun, apabila diperlukan, bisa saja dibuat peraturan pelaksanaannya.
Masalah kedua, yaitu siapa yang berwenang menangani masalah putusan Arbitrase terjawab dalam pasal 1 Peraturan MA. Badan yang diberi wewenang menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan pengakuan serta pelaksanaan putusan Arbitrase Asing adalah Pengadilan Negeri Jakara Pusat.
Pasal 2 memberi batasan arti putusan Arbitrase Asing, yakni putusan yang dijatuhkan oleh suatu Badan Arbitrase ataupun Arbiter Perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, ataupun putusan suatu Badan Arbitrase ataupun arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan Arbitrase Asing, yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan Keppres No. 34 tahun 1981.
Pasal 3 Peraturan MA memuat tentang syarat-syarat untuk dapat dilaksanakannya suatu putusan Arbitrase Asing. Pasal ini merupakan guideline dalam menguji untuk dilaksanakan atau ditolaknya suatu putusan arbitrase. Suatu putusan arbitrase asing untuk dapat dilaksanakan di Indonesia harus memenuhi syarat-syarat berikut :
1.      Putusan itu dijatuhkan oleh suatu Badan Arbitrase ataupun Arbiter perorangan di suatu negara yang dengan negara Indonesia ataupun bersama-sama dengan negara Indonesia terikat dalam suatu konvensi Internasional perihal pengakuan serta pelaksanaan putusan Arbitrase Asing.
2.      Putusan-putusan Arbitrase Asing di atas hanyalah terbatas pada putusan–putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup Hukum Dagang.
3.      Putusan-putusan Arbitrase Asing di atas hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan-putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
4.      Suatu putusan Arbitrase Asing dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh Exequatur dari Mahkamah Agung RI.
      Dalam pasal 4 yaitu tentang exequatur, juga telah dijelaskan lebih lanjut tentang pihak mana yang berhak memberikannya. Menurut pasal ini, exequatur diberikan oleh Ketua MA atau Wakil Ketua atau Ketua Muda Bidang Hukum Perdata tertulis yang diberi wewenang oleh Ketua MA atau Wakil Ketua MA. Ditentukan pula bahwa exequatur tidak akan diberikan apabila putusan Arbitrase Asing itu nyata-nyata bertentangan dengan sendi-sendi asasi dari seluruh sistem  hukum dan masyarakat di Indonesia (ketertiban umum).
Namun belum genap 2 tahun usia Perma No. 1/1990, timbul lagi kontroversi yang cukup hangat dibicarakan sekitar masalah pelaksanaan putusan Arbitrase Asing. Beberapa waktu yang lalu, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan suatu putusan eksekusi suatu putusan arbitrase asing terhadap kasus jual beli gula pasir. Namun kemudian, putusan eksekusi tersebut ternyata dibatalkan. Alasannya adalah karena putusan arbitrase asing itu bertentangan dengan ketertiban umum di Indonesia.


Dari kasus Karaha Bodas itu terlihat bahwa alasan kepentingan umum dipakai sebagai alasan pembatalan suatu putusan arbitrase. Pada berbagai konvensi atau perjanjian internasional mengenai arbitrase asing, memang salah satu alasan untuk tidak melaksanakan suatu putusan arbitrase adalah ketertiban umum. Sebagai contoh, The Uncitral Law on International Commercial Arbitration (21 Juni 1985) mengaturnya dalam pasal 36 ayat 1 (b) bagian ii. Konvensi New York 1985 mengatur hal serupa dalam pasal V ayat 2 (b).               
      4 Dr. Eman Suparman, S.H., M.H., Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa
               Komersial Untuk Penegakan Keadilan, PT. Tata Nusa, Jakarta, 2004
      5 Huala Adolf, S.H., Hukum Arbitrase Komersial Internasional, PT. Raja 
               Grafindo Persada, 1994



BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Seperti telah ditulis dimuka, perjanjian arbitrase acapkali menyertai perjanjian pokoknya (kontrak-kontrak komersial) baik nasional maupun internasional. Segi positif dengan adanya klausula arbitrase yaitu bahwa para pihak dapat memilih proses penyelesaian sengketa mereka kelak di kemudian hari. Di dalam hal ini, mereka dapat pula merancang klausula tersebut sedemikian rupa sehingga ketentuan-ketentuan (persyaratan arbitrase) yang didalamnya dapat memenuhi keinginan mereka.
Untuk dapat merumuskan suatu klausula yang baik sudah barang tentu peranan ahli hukum atau ahli arbitrase akan banyak membantu. Karena, di dalam merumuskan suatu ketentuan yang terkandung di dalam klausula tersebut harus sangat hati-hati agar pihaknya atau kedua belah pihak sama-sama puas dan sama-sama tidak merasa dirugikan.

B. Saran


 
Berdasarkan simpulan di atas maka penulis mengemukakan saran yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil keputusan bahwa pihak-pihak yang berpotensi memiliki konflik serta lazim menyelesaikan konfliknya pada forum di luar pengadilan, maupun kepada badan peradilan sebagai pemegang otoritas kewenangan publik sekaligus pelaku eksekusi putusan arbitrase. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai Pemegang otoritas dalam melakukan perubahan atau amandemen terhadap Undang-undang. Hal itu perlu dilakukan karena ternyata sejumlah pasal dalam Undang-undang Arbitrase dan APS diketahui masih bersifat ambivalen. Sehingga forum arbitrase tercitrakan masih disubordinasikan terhadap kewenangan pengadilan negeri. Bahkan lebih dari itu dijumpai adanya kaidah yang secara tegas memandulkan fungsi dan peran arbitrase sebagai forum tempat penyelesaian sengketa.

No comments:

Post a Comment

Simbol Bilangan atau Angka

  a. Pengertian Angka Memahami suatu angka dapat membantu manusia untuk melakukan banyak perhitungan mulai dari yang sederhana maupaun y...

Blog Archive