BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Perkembangan
masyarakat serta laju dinamis dunia bisnis saat ini berlangsung demikian pesat.
Dinamika dan kepastian yang terjadi di dalam kegiatan ekonomi dan bisnis itu
ternyata telah membawa implikasi yang cukup mendasar terhadap pranata maupun
lembaga hukum. Implikasi terhadap pranata hukum disebabkan sangat tidak
memadainya perangkat norma untuk mendukung kegiatan ekonomi dan bisnis yang
sedemikian pesat. Kondisi tersebut kemudian diupayakan untuk diatasi dengan
melakukan reformasi hukum di bidang kegiatan ekonomi. Berbagai upaya dilakukan
melalui pembaharuan atas substansi produk-produk hukum yang sudah tertinggal
maupun dengan membuat peraturan perundang-undangan baru mengenai bidang-bidang
yang menunjang kegiatan ekonomi dan bisnis.
Sementara itu,
implikasi dari kegiatan bisnis yang pesat terhadap lembaga hukum berakibat juga
terhadap pengadilan yang dianggap tidak profesional untuk menangani
sengketa-sengketa bisnis, tidak independen bahkan para hakimnya telah
kehilangan integritas moral dalam menjalankan profesinya. Akibatnya, lembaga
pengadilan yang secara konkrit mengemban tugas untuk menegakkan hukum dan
keadilan ketika menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan sengketa
yang tidak efektif dan efisien.
|
Sebagai salah satu cara
menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan, forum arbitrase bukan sesuatu
yang baru dalam sistem penyelesaian
sengketa hukum di Indonesia. Di masa lalu, arbitrase kurang menarik perhatian
dan kurang populer walaupun sesungguhnya sudah lama diatur dalam sistem hukum di Indonesia. Bahkan pada kurun awal
kemerdekaan Indonesia, arbitrase pun telah lazim dipraktikan di kalangan para
usahawan.
Dewasa ini, arbitrase
dipandang sebagai pranata hukum yang penting sebagai salah satu cara
penyelesaian sengketa bisnis di luar pengadilan. Bahkan meningkatnya peranan
arbitrase pun bersamaan dengan meningkatnya transaksi niaga, baik nasional
maupun internasional. Kompleksitas dan tingginya persaingan di dalam transaksi
niaga, baik nasional maupun internasional tersebut sangat berpotensi
menimbulkan sengketa. Beragam sengketa yang timbul dari kegiatan bisnis atau
aktivitas komersial itu secara umum dapat disebut sebagai sengketa bisnis atau
sengketa komersial (selanjutnya disebut dengan sengketa komersial). Demikian
luasnya pengertian komersial sehingga meliputi seluruh aspek kegiatan bisnis.
Oleh sebab itu, dalam rangka disertasi ini sengketa komersial tidak ditetapkan
secara spesifik. Sengketa komersial dimaksud diambil secara random (acak) dari
kasus yang ada berdasarkan kebutuhan kajian ini. Bahkan sengketa komersial
dimaksud tidak ditentukan berdasarkan jenis objek sengketanya maupun ragam
kontrak bisnisnya.
Sengketa komersial di
dalam penulisan disertasi ini semata-mata dikaji berdasarkan perbedaan
subjek-subjek sengketanya, sehingga hanya dibedakan atas dua prototipe sengketa
komersial. Pertama, sengketa komersial domestik, yaitu sengketa yang terjadi
antara subjek-subjek atau para pihak orang Indonesia yang melakukan kontrak
bisnis satu sama lain, dan objek sengketanya terletak dalam negeri. Kedua,
yaitu sengketa yang melibatkan pihak-pihak atau subjek-subjek asing, baik
individu maupun lembaga swasta yang berlainan kewarganegaraan. Sengketa
tersebut terjadi dari kontrak bisnis internasional.
Berdasarkan persektif
cara yang dipilih untuk menyelesaikan kedua prototipe sengketa komersial
domestik pada umumnya, bahkan hampir dapat dipastikan subjek-subjek sengketanya
cenderung membawa sengketa mereka untuk diselesaikan di pengadilan negeri.
Memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa komersial tipe yang
pertama belum menjadi bagian dari perilaku para pihak domestik. Sementara itu
memilih forum arbitrase umumnya dilakukan oleh pihak asing dalam rangka
menyelesaikan sengketa komersial internasional. Dari pembacaan beberapa
literatur diketahui bahwa praktik pada beberapa negara maju menunjukkan bahwa
untuk mempersiapkan penyelesaian sengketa tipe kedua itu hampir setiap kontrak
bisnis internasional mencantumkan klausula pemilihan forum arbitrase, bahkan
dalam kaitannya dengan pilihan forum arbitrase ini, A.J. Van den Berg secara
ekstrim menyebutkan bahwa “…bevat ongeveer 90% Van de Internationale contracten
een arbitraal beding.” Untuk kasus negara-negara lain sinyalemen tersebut mungkin
saja benar seperti itu. Namun belum dapat dipastikan apakah keadaan di
Indonesia juga semacam itu. Oleh karena adakalanya juga, kontrak bisnis
internasional yang disepakati oleh pengusaha swasta asing dengan pengusaha
swasta Indonesia tidak mencantumkan klausula arbitrase sebagaimana lazimnya.
Menyadari urgensi
permasalahan diatas maka sangat penting kiranya dilakukan suatu penelitian
mengenai penyelesaian sengketa terhadap kasus Karaha Bodas, disertai dengan
analisis mengenai tinjauan hukum pembuktiannya.
Maka dengan
alasan/latar belakang tersebut Penulis tertarik untuk menyusun makalah yang
berjudul TINJAUAN HUKUM MENGENAI PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP KASUS KARAHA
BODAS.
B.
Identifikasi Masalah
Dari uraian latar
belakang masalah mengenai penyelesaian sengketa terhadap Kasus Karaha Bodas,
maka dapat dirumuskan identifikasi permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan mengenai penyelesaian sengketa
?
2. Bagaimana upaya pelaksanaan keputusan arbitrase
asing ?
C.
Metode Penelitian
Dalam penelitian yang
dilakukan terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan untuk mempermudah analisis
permasalahan hal-hal tersebut antara lain :
1. Spesifikasi penelitian
Penelitian dalam makalah ini adalah
Deskriptif Analitis, yakni menggambarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum
positif yang menyangkut permasalahan di atas.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan penelitian ini adalah
Yuridis Normatif, yaitu penelitian yang ditunjukkan untuk menemukan hukum in
concreto dengan menerapkan hukum secara konkrit guna menyelesaikan suatu
permasalahan tertentu. Sebelumnya dilakukan terlebih dahulu penelitian
inventarisasi hukum positif yang merupakan kegiatan pendahuluan mendasar untuk
melakukan penelitian hukum dari jenis-jenis yang lain.
3. Tahapan penelitian
Dalam pengumpulan data diusahakan
sebanyak mungkin data yang diperoleh atau dikumpulkan mengenai data sekunder
yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, dan dilakukan penelitian
lapangan dengan harapan dapat melengkapi data kepustakaan. Dengan demikian
penelitian ini dilakukan melalui dua tahap :
a. Penelitian kepustakaan (Library Research)
b. Penelitian Lapangan
c. Dwi.djanuarto @ bisnis.co.id
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan
data adalah dengan cara studi dokumen.
5. Metode Analisis Data
Sebagai cara menarik kesimpulan dari
hasil penelitian yang terkumpul, akan digunakan metode normatif tolak dari
peraturan –peraturan yang ada sebagai norma hukum positif, sedangkan dikatakan
kualitatif karena analisis data yang bertitik tolak pada usaha – usaha penemuan
asas-asas dan informasi-informasi yang diperoleh.
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI ARBITRASE
A.
Perjanjian Arbitrase Secara Umum
1. Pengertian Arbitrase
Menurut Black, S Law Dictionary :
“Arbitration an arrangement for taking an abiding by the judgement of selected
persons in some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunal
of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense
and vexation of ordinary ligitation.”
Menurut Pasal 1 angka
1 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada
dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu :
a. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu
perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (factum de
compromitendo); atau
b. Suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat
para pihak setelah timbul sengketa (akta kompromis)
2. Objek Arbitrase
Objek perjanjian arbitrase (sengketa
yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau
lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya). Menurut Pasal 5 ayat 1
Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 ( “UU Arbitrase”) hanyalah sengketa di bidang
perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain :
perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik
intelektual. Sementara itu pasal 5 (2) UU Arbitrase memberikan perumusan
negatif bahwa sengketa-sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak
dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata buku III Bab
Kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.
3. Jenis-jenis Arbitrase
Arbitrase dapat berupa arbitrase
sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan permanen (institusi). Arbitrase
ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja dibentuk untuk
tujuan arbitrase, misalnya UU No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa atau UNCITRAL ARBITARION RULES. Pada umumnya arbitrase
ad-hoc ditentukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis
arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak.
Penggunaan Arbitrase Ad-hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase.
Arbitrase institusi adalah suatu
lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan
aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan
arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI), atau yang internasional seperti The Rules of
Arbitration dari The International Chamber of Commerce (ICC) di
Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for
Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan
tersebut mempunyai peraturan dan sistem
arbitrase sendiri-sendiri.
4. Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase
Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan
melalui penjelasan umum Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca
beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan
pranata peradilan. Keunggulan itu adalah :
a. Kerahasiaan sengketa para pihak terjamin;
b. Keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural
dan administrasi dapat dihindari;
c. Para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman,
memiliki latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta
jujur dan adil;
d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk
penyelesaian masalahnya;
Para pihak dapat
memilih tempat penyelenggaraan arbitrase
e. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat
para pihak melalui prosedur sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan.
Para ahli juga mengemukakan pendapatnya
mengenai keunggulan arbitrase. Menurut Prof. Subekti bagi dunia perdagangan
atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau perwasitan, mempunyai
beberapa keunggulan yaitu bahwa dapat dilakukan dengan cepat, oleh para ahli,
dan secara rahasia. Sementara HMN Purwosutjipto mengemukakan arti pentingnya
peradilan wasit (arbitrase) adalah :
1. Penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan
cepat.
2. Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam
bidang yang dipersengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang
memuaskan para pihak.
3. Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan
para pihak.
4. Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum
tidak mengetahui tentang kelemahan – kelemahan perusahaan yang bersangkutan.
Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para
pengusaha.
Disamping keunggulan arbitrase seperti
tersebut diatas, arbitrase juga memiliki kelemahan arbitrase. Dari praktek yang
berjalan di Indonesia, keamanan arbitrase adalah masih sulitnya upaya eksekusi
dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk eksekusi putusan
arbitrase nasional maupun internasional sudah cukup jelas.
B.
Pelaksanaan Putusan Arbitrase
1. Putusan Arbitrase Nasional
Pelaksanaan
putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No 30 tahun 1999. Pada
dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan
arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaannya, putusan tersebut harus diserahkan
dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan
menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh
arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh)
hari setelah putusan arbitrase diucapkan. Putusan arbitrase nasional bersifat
mandiri, final, dan mengikat.
Putusan arbitrase nasional bersifat
mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai kekuatan hukum
tetap), sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan
atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan
memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan
secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter
atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU No. 30 tahun 1999 sebelum memberi
perintah pelaksanaan, Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan
arbitrase memenuhi pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional).
Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan
arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.
2. Putusan Arbitrase Internasional
Semua pelaksanaan putusan-putusan
arbitrase asing di Indonesia didasarkan pada ketentuan Konvesi Jenewa 1927, dan
pemerintah Belanda yang merupakan negara peserta konvensi tersebut menyatakan
bahwa konvensi berlaku juga di wilayah Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di
New York ditandatangani UN Convention on The Recognition and En Forcement of
Foreign Arbitral Award. Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York
tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan
didaftarkan di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981. Pada 1 Maret 1990 Mahkamah
Agung mengeluarkan peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Asing sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma
tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia
seharusnya bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih
ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase asing.
1 http : // jurnal
hukum.blogspot.com
2 ibid
3 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
BAB III
KASUS KARAHA BODAS
Pertamina ajak
PLN garap Karaha Bodas
PT.
Pertamina mengajak PT. Perusahaan Listrik Negara (PT. PLN) untuk mengembangkan
proyek PLTP Karaha Bodas, yang rencananya akan dimulai kembali pada 2008
menyusul kekalahan di pengadilan Cayman Island.
Direktur
Utama PT. Pertamina Ari Hernanto Soemarno mengatakan pihaknya kini merupakan
pemilik lapangan panas bumi Karaha Bodas. “Kami ingin bekerja sama dengan PLN
mengembangkan lapangan itu, “ ujarnya di Jakarta, pekan lalu.
Pertamina
kini tengah bersiap mengembangkan PLTP Karaha Bodas dengan potensi panas bumi
pasti sebesar 50 MW bahkan akan ditingkatkan menjadi 120 MW.
Jika
ajakan Pertamina tersebut disambut oleh PT. PLN, maka nilai investasi yang
harus dikeluarkan BUMN listrik tersebut di PLTP Karaha Bodas diperkirakan
sekitar US$300 juta.
Rencana
Pertamina mengembangkan PLTP Karaha Bodas mulai tahun depan. Sejalan dengan
alokasi pendanaan yang akan dimasukkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran
Perusahaan (RKAP) 2008.
Dalam
RKAP tahun ini, Pertamina hanya menganggarkan dana untuk pembayaran klaim KBC
sebesar US$261 juta karena adanya perkiraan Pertamina akan kalah di pengadilan
Cayman Island setelah dinyatakan kalah oleh Mahkamah Agung AS.
Saat
ini, di lokasi PLTP Karaha Bodas, telah dilakukan pengeboran sebanyak 18 sumur
eksplorasi untuk pembuktian potensi cadangan yang ada dan telah terbukti
sebanyak 50 MW.
|
PT. Pertamina ingin cepat melakukan pengembangan PLTP
Karaha Bodas, setelah kalah dari KBC. Sebab berdasarkan kontrak yang ada,
lapangan tersebut harus diserahkan kepada pemerintah jika tidak dikembangkan
hingga 2010.
Ari
mengungkapkan pengadilan Cayman Island telah memutuskan Pertamina harus
membayar ganti rugi kepada KBC sesuai dengan keputusan Mahkamah Agung AS.
Semula, pengadilan Cayman Island merupakan harapan terakhir Pertamina.
Penjualan Migas
Menurut
dia, Pertamina telah membayar US$319 juta terdiri dari klaim US261 juta dan
bunganya 4% per tahun yang diambil dari dana simpanan hasil penjualan migas
BUMN tersebut di AS.
Pengadilan
AS telah membekukan pencairan dana penjualan migas tersebut sejak beberapa
tahun lalu dan kini pihak KBC berhak mencairkan dana tersebut sesuai dengan
keputusan pengadilan Cayman Island.
Proyek
PLTP Karaha Bodas ditandatangani KBC dan Pertamina pada Desember 1994. Namun
karena terjadi krisis keuangan pada 1997, pemerintah menghentikan sejumlah
proyek pembangkit listrik termasuk PLTP Karaha Bodas melalui Keppres No.
39/2007.
KBC
yang merupakan rekanan Pertamina sebagai operator di PLTP Karaha Bodas
menggugat Pertamina melalui lembaga arbitrase internasional di Jenewa, Swiss
pada Desember 2000.
KBC
menang di Arbitrase itu dan dikuatkan oleh keputusan pengadilan di AS hingga
terakhir keputusan Mahkamah Agung pada Oktober 2006.
KBC
dimiliki Caithness Energy, Florida Power dan Light, Tomen Corp, dan PT. Sumarah
Dayasakti sebagai mitra lokal dimana Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) Purnomo Yusgiantoro sempat menjadi salah satu petinggi di PT. Sumarah
Daya Sakti.(dwi.djanuarto@bisnis.co.id)
BAB IV
PELAKSANAAN KEPUTUSAN ARBITRASE ASING
DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KASUS
KARAHA BODAS
A. Alternatif Penyelesaian Sengketa
Menurut pasal 6 Undang-undang No. 30
tahun 1999 tentang Arbitrase sebagai berikut :
1. Sengketa atau beda pendapat perdata dapat
diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang
didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi
di pengadilan Negeri.
2. Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
Alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diselesaikan
dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 hari dan
hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.
3. Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana
dimaksud dalam ayat 2 tidak dapat diselesaikan maka atas kesepakatan tertulis
para pihak sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang
atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.
4. Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama
14 hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang
mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat atau mediator tidak berhasil
mempertemukan kedua belah pihak maka para pihak dapat menghubungi sebuah
lembaga arbitrase atau lembaga alternatif
penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator.
5. Setelah penunjukan mediator oleh lembaga Arbitrase
atau lembaga Alternatif penyelesaian sengketa dalam waktu paling lama 7 hari
usaha mediasi harus sudah dapat dimulai.
6. Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
mediator sebagai mana dimaksud dalam ayat 5 dengan memegang teguh kerahasiaan
dalam waktu paling lama 30 hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk
tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait.
7. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat
secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan
itikad baik serta wajib didaftarkan di pengadilan negeri dalam waktu paling
lama 30 hari sejak penandatanganan.
8. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat
sebagaimana dimaksud dalam ayat 7 wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling
lama 30 hari sejak pendaftaran.
9. Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1 sampai dengan ayat 6 tidak dicapai maka para pihak berdasarkan
kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaian melalui lembaga
Arbitrase, arbitrase Ad-hoc.
B. Pelaksanaan
Keputusan Arbitrase Asing Menurut Peraturan MA No. 1
Tahun 1990.
Ditengah-tengah
pertentangan pendapat itu, pada tanggal 1 Maret 1990, Mahkamah Agung (MA)
mengeluarkan peraturan MA No. 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Putusan Arbitrase Asing. Meskipun tidak dengan tegas disebutkan status
peraturan ini, namun dapat disimpulkan bahwa peraturan No. 1 ini adalah
Peraturan Pelaksanaan dari Keppres No. 34 tahun 1981. Kesimpulan ini ditarik
dari konsideraan peraturan yang menyebutkan kalimat : ….”dipandang perlu untuk
menetapkan peraturan tentang tata-cara pelaksanaan suatu keputusan Arbitrase
Asing”.
Dikeluarkannya
Peraturan MA No. 1 Tahun 1990 ini menjawab dua masalah hukum di Indonesia yang
telah lama mengambang. Masalah pertama adalah : Apakah suatu Keppres memerlukan
peraturan perundang-undangan pelaksanaannya atau tidak sebagaimana halnya
dengan Undang-undang ? Yang kedua adalah : Badan Peradilan manakah yang berwenang
menangani masalah-masalah pelaksanaan putusan Arbitrase Asing ?
Pemerintah
meratifikasi konvensi New York dengan Keppres. Seperti diuraikan dimuka, karena
konvensi maupun Keppresnya sendiri tidak menguraikan bagaimana tata-cara
pelaksanaan putusan arbitrase, maka timbul reaksi dari para pakar hukum kita.
Di satu pihak berpendapat bahwa Keppres tidak perlu peraturan pelaksanaannya,
di pihak lain berpendapat perlu.
Karena menurut
pendapat kami peraturan MA ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari Keppres No.
34/1981, maka dapat disimpulkan disini bahwa Keppres-pun, apabila diperlukan,
bisa saja dibuat peraturan pelaksanaannya.
Masalah kedua, yaitu
siapa yang berwenang menangani masalah putusan Arbitrase terjawab dalam pasal 1
Peraturan MA. Badan yang diberi wewenang menangani masalah-masalah yang
berhubungan dengan pengakuan serta pelaksanaan putusan Arbitrase Asing adalah
Pengadilan Negeri Jakara Pusat.
Pasal 2 memberi
batasan arti putusan Arbitrase Asing, yakni putusan yang dijatuhkan oleh suatu
Badan Arbitrase ataupun Arbiter Perorangan di luar wilayah hukum Republik
Indonesia, ataupun putusan suatu Badan Arbitrase ataupun arbiter perorangan
yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan
Arbitrase Asing, yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan Keppres No. 34
tahun 1981.
Pasal 3 Peraturan MA
memuat tentang syarat-syarat untuk dapat dilaksanakannya suatu putusan
Arbitrase Asing. Pasal ini merupakan guideline dalam menguji untuk dilaksanakan
atau ditolaknya suatu putusan arbitrase. Suatu putusan arbitrase asing untuk
dapat dilaksanakan di Indonesia harus memenuhi syarat-syarat berikut :
1. Putusan itu dijatuhkan oleh suatu Badan Arbitrase
ataupun Arbiter perorangan di suatu negara yang dengan negara Indonesia ataupun
bersama-sama dengan negara Indonesia terikat dalam suatu konvensi Internasional
perihal pengakuan serta pelaksanaan putusan Arbitrase Asing.
2. Putusan-putusan Arbitrase Asing di atas hanyalah
terbatas pada putusan–putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk
dalam ruang lingkup Hukum Dagang.
3. Putusan-putusan Arbitrase Asing di atas hanya dapat
dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan-putusan yang tidak bertentangan
dengan ketertiban umum.
4. Suatu putusan Arbitrase Asing dapat dilaksanakan di
Indonesia setelah memperoleh Exequatur dari Mahkamah Agung RI.
Dalam pasal 4 yaitu tentang exequatur,
juga telah dijelaskan lebih lanjut tentang pihak mana yang berhak
memberikannya. Menurut pasal ini, exequatur diberikan oleh Ketua MA atau Wakil
Ketua atau Ketua Muda Bidang Hukum Perdata tertulis yang diberi wewenang oleh
Ketua MA atau Wakil Ketua MA. Ditentukan pula bahwa exequatur tidak akan
diberikan apabila putusan Arbitrase Asing itu nyata-nyata bertentangan dengan
sendi-sendi asasi dari seluruh sistem
hukum dan masyarakat di Indonesia (ketertiban umum).
Namun belum genap 2 tahun usia Perma No.
1/1990, timbul lagi kontroversi yang cukup hangat dibicarakan sekitar masalah
pelaksanaan putusan Arbitrase Asing. Beberapa waktu yang lalu, Mahkamah Agung
(MA) mengeluarkan suatu putusan eksekusi suatu putusan arbitrase asing terhadap
kasus jual beli gula pasir. Namun kemudian, putusan eksekusi tersebut ternyata
dibatalkan. Alasannya adalah karena putusan arbitrase asing itu bertentangan
dengan ketertiban umum di Indonesia.
Dari kasus Karaha Bodas itu terlihat
bahwa alasan kepentingan umum dipakai sebagai alasan pembatalan suatu putusan
arbitrase. Pada berbagai konvensi atau perjanjian internasional mengenai
arbitrase asing, memang salah satu alasan untuk tidak melaksanakan suatu
putusan arbitrase adalah ketertiban umum. Sebagai contoh, The Uncitral Law
on International Commercial Arbitration (21 Juni 1985) mengaturnya dalam
pasal 36 ayat 1 (b) bagian ii. Konvensi New York 1985 mengatur hal serupa
dalam pasal V ayat 2 (b).
4 Dr. Eman Suparman, S.H.,
M.H., Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa
Komersial
Untuk Penegakan Keadilan, PT. Tata Nusa, Jakarta, 2004
5 Huala Adolf, S.H., Hukum
Arbitrase Komersial Internasional, PT. Raja
Grafindo
Persada, 1994
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Seperti telah ditulis
dimuka, perjanjian arbitrase acapkali menyertai perjanjian pokoknya
(kontrak-kontrak komersial) baik nasional maupun internasional. Segi positif
dengan adanya klausula arbitrase yaitu bahwa para pihak dapat memilih proses
penyelesaian sengketa mereka kelak di kemudian hari. Di dalam hal ini, mereka
dapat pula merancang klausula tersebut sedemikian rupa sehingga
ketentuan-ketentuan (persyaratan arbitrase) yang didalamnya dapat memenuhi
keinginan mereka.
Untuk dapat
merumuskan suatu klausula yang baik sudah barang tentu peranan ahli hukum atau
ahli arbitrase akan banyak membantu. Karena, di dalam merumuskan suatu
ketentuan yang terkandung di dalam klausula tersebut harus sangat hati-hati
agar pihaknya atau kedua belah pihak sama-sama puas dan sama-sama tidak merasa
dirugikan.
B. Saran
Berdasarkan simpulan di atas
maka penulis mengemukakan saran yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
untuk mengambil keputusan bahwa pihak-pihak yang berpotensi memiliki konflik
serta lazim menyelesaikan konfliknya pada forum di luar pengadilan, maupun
kepada badan peradilan sebagai pemegang otoritas kewenangan publik sekaligus
pelaku eksekusi putusan arbitrase. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat
sebagai Pemegang otoritas dalam melakukan perubahan atau amandemen terhadap
Undang-undang. Hal itu perlu dilakukan karena ternyata sejumlah pasal dalam
Undang-undang Arbitrase dan APS diketahui masih bersifat ambivalen. Sehingga
forum arbitrase tercitrakan masih disubordinasikan terhadap kewenangan
pengadilan negeri. Bahkan lebih dari itu dijumpai adanya kaidah yang secara
tegas memandulkan fungsi dan peran arbitrase sebagai forum tempat penyelesaian
sengketa.
No comments:
Post a Comment