Tarikh (sejarah) artinya
catatan tentang perhitungan tanggal hari, bulan, dan tahun. Sedangkan tasyri’
(menunjukkan ma’na ta’diyyah / butuh pada obyek) artinya pembentukan dan
penetapan perundang-undangan yang mengatur hukum perbuatan orang-orang mukallaf
dan hal-hal yang terjadi tentang berbagai keputusan serta peristiwa yang
terjadi di kalangan mereka.
Jadi, tarikh tasyri’ adalah sejarah terbentuknya
perundang-undangan dalam Islam atau sejarah pembentukan hukum Islam.
Tasyri’ terdiri atas dua macam :
1.
Tasyri’ al-Ilahiy yaitu penetapan
perundang-undangan atau hukum yang bersumber dari Allah dengan perantaraan para
Rasul dan kitab-kitab-Nya. Artinya, perundang-undangan atau hukum ini
ditetapkan Allah SWT dengan dasar ayat-ayat al-Qur’an yang selanjutnya
disampaikan oleh para Rasul kepada umat. Inilah perundang-undangan atau hukum
Islam asli dan murni (tasyri’ Ilahi mahdha).
2.
Tasyri’ al-Wadh’iy yaitu penetapan perundang-undangan
atau hukum yang bersumber dari kekuatan pemikiran atau ijtihad manusia baik
secara individu maupun kolektif. Ditinjau dari segi tempat pengembalian dan
sumber-sumbernya, penetapan perundang-undangan atau hukum ini dapat disebut
sebagai tasyri’ Ilahiy. Akan tetapi, di segi lain dapat juga disebut Tasyri’
al-Wadh’iy karena dalam penetapannya merupakan hasil kekuatan ijtihad para imam
mujtahid dalam mengistimbathkan dan mengolah perundang-undangan itu.
Jadi, dilihat dari pembagian tasyri’ di atas, jelas bahwa hukum Islam
terbagi menjadi dua, yaitu syari’at dan Fiqih (hasil pemahaman manusia).
Menurut Muhammad Daud Ali (2004:42), hukum Islam adalah hukum yang
bersumber dari dan menjadi bagian agama Islam. Sebagaimana pembagian tasyri’ di
atas bahwa hukum Islam adalah syari’at atau fiqih. Apabila dilihat lebih detail
dari pengertian di atas, ternyata istilah syari’at dan fiqih berbeda.
Syari’at secara harfiah adalah jalan ke sumber mata air, yakni jalan
lurus yang harus diikuti setiap muslim. Syari’at merupakan jalan hidup muslim.
Syari’at memuat ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya (berupa
perintah dan larangan).
Dilihat dari segi ilmu hukum, syari’at merupakan norma hukum dasar yang
ditetapkan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam berdasarkan iman yang
berkaitan dengan akhlak, baik dalam hubungan dengan Allah maupun dengan sesama
manusia dan benda dalam masyarakat. Norma hukum dasar ini dijelaskan atau
dirinci lebih lanjut oleh Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya. Oleh karena itu,
syari’at terdapat di dalam al-Qur’an dan kitab-kitab hadits.
Karena norma-norma hukum dasar yang terdapat dalam
al-Qur’an masih bersifat umum, demikian juga dengan aturan yang telah
ditentukan oleh Nabi Muhammad, maka setelah Nabi wafat, norma-norma hukum dasar
yang masih bersifat umum itu perlu dirinci lebih lanjut. Perumusan dan
penggolongan norma-norma hukum dasar yang bersifat umum itu ke dalam
kaidah-kaidah yang lebih kongkret agar dapat dilaksanakan dalam praktik,
memerlukan disiplin ilmu dan cara-cara tertentu.
Kemudian muncullah ilmu yang mencoba menguraikan syari’at tersebut, yaitu
ilmu fiqih.
Di dalam bahasa Arab, perkataan fiqh yang ditulis fiqih atau fekih
setelah diIndonesiakan, artinya paham atau pengertian. Secara semantis kata
Fiqh bermakna “mengetahui sesuatu dan memahaminya dengan baik”. Sedang menurut
istilah adalah “mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang dikaji
dari dalil-dalilnya yang terinci”. Dengan kata lain ilmu fiqih adalah ilmu yang
berusaha memahami hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi
Muhammad untuk diterapkan pada perbuatan manusia yang telah dewasa yang sehat
akalnya yang berkewajiban melaksanakan hukum Islam. Hasil pemahaman tentang
hukum Islam itu disusun secara sistematis dalam kita-kitab fiqih dan disebut
hukum fiqih.
Pada pokoknya perbedaan antara keduanya adalah
sebagai berikut:
1.
Syari’at terdapat di dalam al-Qur’an dan kitab-kitab
hadits. Kalau berbicara tentang syari’at, yang dimaksud adalah wahyu Allah dan
sunnah Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Fiqih terdapat dalam kitab-kitab fiqih.
Kalau kita bicara tentang fiqih yang dimaksud adalah pemahaman manusia yang
memenuhi syarat tentang syari’at dan hasil pemahaman itu.
2.
Syari’at bersifat fundamental dan mempunyai ruang
lingkup yang lebih luas karena kedalamnya, oleh banyak ahli, dimasukkan juga
akidah dan akhlak. “Fiqih” bersifat instrumental. Ruang lingkupnya terbatas
pada hukum yang mengatur perbuatan manusia yang biasa disebut sebagai perbuatan
hukum.
3.
Syari’at adalah ketetapan Allah dan ketentuan
Rasul-Nya, karena itu berlaku abadi. “Fiqih” adalah karya manusia yang tidak
berlaku abadi, dapat berubah dari masa ke masa.
4.
Syari’at hanya satu, sedang ‘fiqih’ mungkin lebih dari
satu seperti (misalnya) terlihat pada aliran-aliran hukum yang disebut dengan
istilah mazahib atau mazhab-mazhab itu.
5.
Syari’at menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedang
‘fiqih’ menunjukkan keragamannya.
Hukum fiqih, sebagai hukum yang diterapkan pada
kasus tertentu dalam keadaan konkret, mungkin berubah dari masa ke masa dan
mungkin pula berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Ini sesuai dengan
ketentuan yang disebut juga dengan kaidah hukum fiqih yang menyatakan bahwa
perubahan tempat dan waktu menyebabkan perubahan hukum. Dari kaidah ini dapat
ditarik kesimpulan bahwa hukum fiqih itu cenderung relatif, tidak absolut
seperti hukum syari’at yang menjadi sumber hukum fiqih itu sendiri.
Makna Syari’ah dan Tasyri’
Kata syari’ah dalam bahasa Arab berarti mawrid al-ma (sumber air)
yang jernih untuk diminum. Lalu kata ini digunakan untuk mengungkapkan al-thariqah
al-mustaqimah (jalan yang lurus). Sumber air adalah tempat kehidupan dan
keselamatan jiwa, begitu pula dengan jalan yang lurus yang menunjuki manusia
kepada kebaikan, di dalamnya terdapat kehidupan dan kebebasan dari dahaga jiwa
dan akal.
Syari’ah Islamiyah didefinisikan dengan “apa yang telah ditetapkan Allah
Taala untuk hamba-hamba-Nya berupa aqidah, ibadah, akhlaq, muamalat, dan sistem
kehidupan yang mengatur hubungan mereka dengan Tuhan dan hubungan dengan sesama
makhluk agar terwujud kebahagiaan dunia dan akhirat.
Sedangkan kata tasyri’ berarti penetapan atau
pemberlakuan syariat yang berlangsung sejak diutusnya Rasulullah SAW dan
berakhir hingga wafat beliau. Namun para ulama kemudian memperluas pembahasan
tarikh (sejarah) tasyri’ sehingga mencakup pula perkembangan fiqh Islami dan
proses kodifikasinya serta ijtihad-ijtihad para ulama sepanjang sejarah umat
Islam. Oleh karena itu, pembahasan tarikh tasyri’ dimulai sejak pertama kali
wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW hingga masa kini.
Urgensi Tarikh Tasyri’
1.
Melalui kajian tarikh tasyri’ kita dapat mengetahui
prinsip dan tujuan Syariat Islam.
2.
Melalui kajian tarikh tasyri’ kita dapat mengetahui
kesempurnaan dan syumuliyah (integralitas) ajaran Islam terhadap seluruh aspek
kehidupan yang tercermin dalam peradaban umat yang agung terutama di masa
kejayaannya. Bahwa penerapan syariat ilmu pengetahuan, ekonomi, akhlaq, akidah,
hubungan sosial, sangsi hukum, dan aspek-aspek lainnya. Dengan demikian adalah
keliru jika ada persepsi bahwa syariat Islam hanyalah berisi hukum pidana
seperti qishash, rajam, dan sejenisnya.
3.
Melalui kajian tarikh tasyri’ kita dapat menghargai
usaha dan jasa para ulama, mulai dari para sahabat Rasulullah SAW hingga para
imam dan murid-murid mereka dalam mengisi khazanah ilmu dan peradaban kaum
muslimin. Semua itu mereka ambil dari cahaya kenabian yang dibawa oleh
Rasulullah SAW.
4.
Melalui kajian tarikh tasyri’ akan tumbuh dalam diri
kita kebanggaan terhadap Syariat Islam sekaligus optimisme akan kembalinya siyadah
al-syari’ah (kepemimpinan syariat) dalam kehidupan umat di masa depan.
No comments:
Post a Comment