Saturday, March 25, 2017

Kritik masyarakat terhadap madrasah


Secara institusional dengan terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, yakni Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, serta Menteri Dalam Negeri pada tahun 1975keberadaan madrasah telah mendapat pengakuan secara resmi dari pemerintah di mana kedudukannya sama atau sejajar dengan lembaga pendidikan formal lainnya, siswa lulusan madrasah dapat memasuki jenjang sekolah umum yang lebih tinggi, atau pindak ke sekolah formal lain dan begitu juga sebaliknya. Dan dalam Undang-Undang Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989 ditegaskan bahwa madrasah adalah sekolah umum berciri khas agama Islam, dan kurikulumnya adalah kurikulum keluaran Depdikbud ditambah kurikulum agama yang dikeluarkan Depag. Bahkan dalam Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003, kedudukan madrasah benar-benar setara dan sejajar dengan sekolah formal lainnya.
Meski demikian, madrasah oleh sebagian masyarakat masih dipandang sebagai lembaga pendidikan “kelas dua”. Akibatnya, meskipun secara yuridis keberadaan madrasah diakui sejajar dengan sekolah formal lain, madrasah umumnya hanya diminati oleh siswa-siswa yang kemampuan inteligensi dan ekonominya pas-pasan, sehingga usaha yang dilakukan madrasah selalu mengalami hambatan. Dengan kondisi yang demikian tidaklah mengherankan jika madrasah sering mendapat kritikan dari berbagai kalangan, baik akademisi maupun masyarakat awam, kritikan-kritikan tersebut dapat penulis paparkan sebagai berikut:
Madrasah masih mengutamakan kuantitas dari pada kualitas. Hal ini bisa kita lihat dari sangat longgarnya seleksi yang dilakukan oleh madrasah saat penerimaan siswa baru. Ketidakberanian madrasah ini melakukan seleksi yang ketat pada satu sisi memang merupakan hal yang wajar, karena keberlangsungan perjalanan madrasah atau hidup matinya madrasah yang note bene 90% adalah swasta sangat tergantung pada pembayaran uang sekolah dari para siswa, sedangkan bantuan pemerintah masih sangat minim.
Lulusan madrasah masih diragukan kualitasnya. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa para siswa lulusan madrasah masih “keteteran” ketika harus bersaing dengan lulusan yang berasal dari sekolah umum di Perguruan Tinggi Umum, sedangkan di Perguruan Tinggi Agama Islam masih banyak lulusan madrasah yang belum bisa mengaji dengan baik dan benar begitu juga dengan kemampuan menulis arabnya. Ini menunjukkan bahwa madrasah merupakan sekolah yang kepalang tanggung dengan bidang studi/ pelajaran yang sangat padat. Padahal, kehadiran madrasah dalam sistem pendidikan nasional sangat penting. Sebab melalui sistem pendidikan madrasah diharapkan dapat diletakkan dasar-dasar model pemikiran Islami yang kelak diperguruan tinggi dapat dikembangkan. Apalagi jika kita melihat latar belakang siswa yang masuk madrasah kebanyakan adalah siswa-siswa “pelarian” –untuk tidak mengatakan bodoh- yang gagal diterima disekolah-sekolah umum, dengan kata lain bahwa madrasah hanya dijadikan sebagai sekolah cadangan yang hanya dimasuki jika keadaan memaksa.
Madrasah masih sangat lemah dalam sistem kemanajerialannya. Selama ini pengelolaan madrasah masih berkesan apa adanya dengan manajemen yang masih sangat tradisional. Lemahnya sistem manajerial ini mengakibatkan perkembangan madrasah menjadi sangat lamban bahkan statis –untuk tidak mengatakan ketinggalan-. Kebanyakan para pengelola madrasah hanya berpikir “yang penting ada yang mendaftar”, “yang penting ada guru yang mengajar”, dan masih banyak lagi “yang penting-yang penting” lainnya tapi tidak mengarah pada peningkatan kualitas.
Kualitas tenaga pengajarnya sangat rendah. Karena sistem manajerialnya yang lemah berakibat pada rekrutmen guru pun juga berkesan sembarangan. Masih banyak kita temukan guru-guru yang mengajar tidak sesuai dengan latar belakang yang mereka miliki (mismatch), dan sebagian tenaga pengajar madrasah mengajar tidak dengan sepenuh hati, rasa tanggung jawab dan kreatifitas yang rendah, dan mengajar dengan metodologi apa adanya. Hal ini ditambah lagi dengan gaji yang sangat minimum sehingga semangat mengajarpun hanya “disesuaikan” dengan gaji yang diterima. Mereka menjadi tenaga pengajar hanya sebagai pelarian untuk tidak dikatakan sebagai pengangguran walaupun mungkin ada sebagian kecil yang ikhlas mengabdikan dirinya untuk pendidikan.
Sarana dan prasarana yang tidak memadai. Hanya sebagian kecil madrasah yang memiliki sarana yang memadai, itupun terbatas pada beberapa madrasah yang berpredikat unggulan atau milik pemerintah (negeri), sedangkan sisanya adalah madrasah yang hanya punya ruang belajar yang sederhana dengan kantor yang kecil dan sempit.

No comments:

Post a Comment

Simbol Bilangan atau Angka

  a. Pengertian Angka Memahami suatu angka dapat membantu manusia untuk melakukan banyak perhitungan mulai dari yang sederhana maupaun y...

Blog Archive