Secara
institusional dengan terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri,
yakni Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, serta Menteri Dalam
Negeri pada tahun 1975keberadaan madrasah telah mendapat pengakuan secara resmi
dari pemerintah di mana kedudukannya sama atau sejajar dengan lembaga
pendidikan formal lainnya, siswa lulusan madrasah dapat memasuki jenjang
sekolah umum yang lebih tinggi, atau pindak ke sekolah formal lain dan begitu
juga sebaliknya. Dan dalam Undang-Undang Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989
ditegaskan bahwa madrasah adalah sekolah umum berciri khas agama Islam, dan
kurikulumnya adalah kurikulum keluaran Depdikbud ditambah kurikulum agama yang
dikeluarkan Depag. Bahkan dalam Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003,
kedudukan madrasah benar-benar setara dan sejajar dengan sekolah formal
lainnya.
Meski
demikian, madrasah oleh sebagian masyarakat masih dipandang sebagai lembaga
pendidikan “kelas dua”. Akibatnya, meskipun secara yuridis keberadaan madrasah
diakui sejajar dengan sekolah formal lain, madrasah umumnya hanya diminati oleh
siswa-siswa yang kemampuan inteligensi dan ekonominya pas-pasan, sehingga usaha
yang dilakukan madrasah selalu mengalami hambatan. Dengan kondisi yang demikian
tidaklah mengherankan jika madrasah sering mendapat kritikan dari berbagai
kalangan, baik akademisi maupun masyarakat awam, kritikan-kritikan tersebut
dapat penulis paparkan sebagai berikut:
Madrasah
masih mengutamakan kuantitas dari pada kualitas. Hal ini bisa kita lihat dari
sangat longgarnya seleksi yang dilakukan oleh madrasah saat penerimaan siswa
baru. Ketidakberanian madrasah ini melakukan seleksi yang ketat pada satu sisi
memang merupakan hal yang wajar, karena keberlangsungan perjalanan madrasah
atau hidup matinya madrasah yang note bene 90% adalah swasta sangat tergantung
pada pembayaran uang sekolah dari para siswa, sedangkan bantuan pemerintah
masih sangat minim.
Lulusan
madrasah masih diragukan kualitasnya. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa para
siswa lulusan madrasah masih “keteteran” ketika harus bersaing dengan lulusan
yang berasal dari sekolah umum di Perguruan Tinggi Umum, sedangkan di Perguruan
Tinggi Agama Islam masih banyak lulusan madrasah yang belum bisa mengaji dengan
baik dan benar begitu juga dengan kemampuan menulis arabnya. Ini menunjukkan
bahwa madrasah merupakan sekolah yang kepalang tanggung dengan bidang studi/ pelajaran
yang sangat padat. Padahal, kehadiran madrasah dalam sistem pendidikan nasional
sangat penting. Sebab melalui sistem pendidikan madrasah diharapkan dapat
diletakkan dasar-dasar model pemikiran Islami yang kelak diperguruan tinggi
dapat dikembangkan. Apalagi jika kita melihat latar belakang siswa yang masuk
madrasah kebanyakan adalah siswa-siswa “pelarian” –untuk tidak mengatakan
bodoh- yang gagal diterima disekolah-sekolah umum, dengan kata lain bahwa
madrasah hanya dijadikan sebagai sekolah cadangan yang hanya dimasuki jika
keadaan memaksa.
Madrasah
masih sangat lemah dalam sistem kemanajerialannya. Selama ini pengelolaan
madrasah masih berkesan apa adanya dengan manajemen yang masih sangat
tradisional. Lemahnya sistem manajerial ini mengakibatkan perkembangan madrasah
menjadi sangat lamban bahkan statis –untuk tidak mengatakan ketinggalan-.
Kebanyakan para pengelola madrasah hanya berpikir “yang penting ada yang
mendaftar”, “yang penting ada guru yang mengajar”, dan masih banyak lagi “yang
penting-yang penting” lainnya tapi tidak mengarah pada peningkatan kualitas.
Kualitas
tenaga pengajarnya sangat rendah. Karena sistem manajerialnya yang lemah
berakibat pada rekrutmen guru pun juga berkesan sembarangan. Masih banyak kita
temukan guru-guru yang mengajar tidak sesuai dengan latar belakang yang mereka
miliki (mismatch), dan sebagian tenaga pengajar madrasah mengajar tidak dengan
sepenuh hati, rasa tanggung jawab dan kreatifitas yang rendah, dan mengajar
dengan metodologi apa adanya. Hal ini ditambah lagi dengan gaji yang sangat
minimum sehingga semangat mengajarpun hanya “disesuaikan” dengan gaji yang
diterima. Mereka menjadi tenaga pengajar hanya sebagai pelarian untuk tidak
dikatakan sebagai pengangguran walaupun mungkin ada sebagian kecil yang ikhlas mengabdikan
dirinya untuk pendidikan.
Sarana dan prasarana yang tidak memadai. Hanya
sebagian kecil madrasah yang memiliki sarana yang memadai, itupun terbatas pada
beberapa madrasah yang berpredikat unggulan atau milik pemerintah (negeri),
sedangkan sisanya adalah madrasah yang hanya punya ruang belajar yang sederhana
dengan kantor yang kecil dan sempit.
No comments:
Post a Comment