BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama dan utama bagi anak.
Keluarga berfungsi sebagai transmiter budaya atau mediator sosial budaya bagi
anak (Hurlock, 1996 dan Pervin, 1970).
Menurut
Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 Bab IV Pasal 10 ayat 4 : Pendidikan keluarga
merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam
keluarga dan yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan
keterampilan. Berdasarkan pendapat dan diktum UU tersebut, maka fungsi keluarga
dalam pendidikan adalah menyangkut penanaman atau pembiasaan nilai-nilai agama,
budaya, dan keterampilan-keterampilan tertentu yang bermanfaat bagi anak. Agama
telah memberikan kaidah – kaidah yang menjadi rujukan dalam rangka
mengembangkan ”Waladun Sholihin” (Anak yang sholeh).
Tujuan pendidikan Islam, tidaklah
sekedar proses alih budaya atau ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) tetapi
juga proses alih nilai-nilai ajaran Islam (transfer of islamic values). Tujuan
pendidikan Islam pada hakikatnya menjadikan manusia yang bertaqwa, manusia yang
dapat mencapai al-falāḥ, serta
kesuksesan hidup yang abadi di dunia dan akhirat (mufliḥūn).
Al-Qur’an sebagai dasar pokok
pendidikan Islam di dalamnya terkandung sumber nilai yang absolut,
eksistensinya tidak mengalami penyesuaian sesuai dengan konteks zaman, keadaan
dan tempat. Surat Luqman adalah salah-satu surat al-Qur’an yang secara
keseluruhan (umum) di dalamnya terangkum aktivitas pendidikan seperti
penyadaran fi’l-dīn, menumbuhkan, mengelola dan membentuk wawasan (fikrah),
akhlak dan sikap Islam, menggerakkan dan menyadarkan manusia untuk beramal
shalih, berdakwah (berjuang) dalam rangka memenuhi tugas kekhalifahan dalam
rangka beribadah kepada Allah.
Dalam ayat ke-12 surat Luqman
dinyatakan Allah telah mengaruniakan hikmah kepada Luqman, sedangkan ayat 13-19
berisi nasihat-nasihat atau wasiat Luqman terhadap anak. Berangkat dari itu, di
sini penulis mencoba mengontekstualisasikan ayat tersebut dengan kepribadian
anak guna menumbuhkan kepribadiannya menjadi pribadi Islami di masa depan.
Kepribadian islami (Muslim) adalah kepribadian yang beriman dan bertaqwa, yang
menunjukkan pengabdiannya kepada Allah SWT, untuk memperoleh ridha-Nya,
sehingga mendapatkan kebahagiaan (keselamatan) dunia dan akhirat. Karena tidak
sedikit orang tua yang melaikan tugasnya untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada
anak-anaknya sesuai dengan potensi fitrahnya.
Kajian ini nantinya difokuskan pada
nilai-nilai pendidikan Islam serta implikasinya yang ada dalam al-Qur’an surat
Luqman ayat 12-19 terhadap kepribadian anak.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan
masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Apa hakekat pendidikan
keluarga ?
2.
Bagaimana pendidikan
keluarga Luqman al Hakim?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui
hakekat pendidikan keluarga.
2.
Untuk mengetahui
pendidikan keluarga menurut Luqman al Hakim.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Hakekat Pendidikan Keluarga
1.
Pengertian
Pendidikan
Pendidikan
adalah pertolongan orang-orang yang bertanggung jawab atas perkembangan anak
supaya ia tumbuh dan berkembang menjadi dewasa. Pendidikan adalah usaha sadar
untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan
latihan bagi peranannya di masa yang akan datang (UU No. 21 / 1989 Bab I Pasal
1).
Gunawan
(2005) mengemukakan bahwa
”Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Nanang
Fatah dalam skripsi Sumiati (2005 : 30) mengemukakan bahwa pendidikan sama
dengan hidup. Pendidikan adalah keseluruhan pengalaman belajar setiap orang
sepanjang hidupnya. Pendidikan berlangsung tidak dalam batas usia tertentu,
tetapi berlangsung sepanjang hidup, sejak lahir sampai mati.
Coombs
dalam skripsi Sumiati (2005 : 30) mendefinisikan pendidikan formal adalah
sistem pendidikan yang mempunyai struktur berjenjang dan bertingkat, mulai dari
SD sampai Universitas atau perguruan tinggi termasuk di dalamnya
kegiatan-kegiatan yang berorientasi umum dan akademik serta latihan profesional
yang dilaksanakan dalam waktu yang terus menerus. Sedangkan pendidikan
nonformal adalah semua bentuk kegiatan yang terorganisasikan di luar sistem
sekolah yang mapan, yang dilaksanakan secara sengaja untuk melayani peserta
didik guna mencapai tujuan belajarnya, baik yang dilakukan secara terpisah
maupun yang merupakan bagian terpenting dari suatu kegiatan yang luas.
2.
Konsep
Pendidikan Dalam Keluarga
Keluarga
merupakan unsur terpenting dalam pembentukan perilaku anak. Keluarga adalah
orang yang pertama dikenal anak dan akan mempengaruhi dalam perkembangannya.
Oleh karena itu keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama diterima
oleh anak. Seorang anak dalam lingkungan sosial mampu mengenal dirinya dan membentuk
kepribadian melalui proses perkenalan dan interaksi antara dirinya dengan
anggota keluarga.
Keluarga
adalah lingkungan awal dari kehidupan anak yang berpengaruh besar dalam
pembentukan kepribadian anak. Sikap dan perlakuan keluarga baik sifat positif maupun
sifat negatif akan diterima oleh anak, maka untuk membentuk dan mengembangkan
konsep diri yang positif pada anak diperlukan porsi perlakuan positif yang
lebih banyak dari pada perlakuan negatif.
Menurut
Teori Tabularasa, seorang anak tak ubahnya secarik kertas putih yang bersih
tanpa noda. Gambaran anak yang akan muncul pada anak tergantung dari tulisan
apa yang ditorehkan dalam kertas tersebut. Apabila tulisan yang baik yang
ditorehkan maka anak itu akan berperilaku baik, tetapi apabila tulisan-tulisan
yang ditorehkan jelek maka yang akan muncul perilaku yang jelek pula.
Telah
ditegaskan oleh para ahli ilmu jiwa dan pendidikan bahwa pengalaman-pengalaman
sosial yang benar dari berbagai bentuk interaksi yang dilakukan anak di dalam
lingkup keluarga pada tahun-tahun pertama dari kehidupannya, memiliki peranan
penting dalam pembentukan dan pembinaan kepribadiannya dalam pembentukan
perilaku kebudayaan dan penyesuaian dirinya.
Pembentukan
kepribadian anak sangat membutuhkan kerja sama antar keluarga dan sekolah,
karena pada dasarnya pembentukan kepribadian anak terletak di lingkungan
keluarga, keluarga juga bertugas untuk mengajarkan kepada anak mengenai
nilai-nilai agama, tradisi, kemasyarakatan, keterampilan dan pola perilaku
dalam segala aspek. Dalam hal ini keluarga harus benar-benar berperan sebagai
sarana pendidikan dan pemberi nilai-nilai budaya yang mendasar dalam kehidupan
anak, keluarga harus membekali anak dengan pengetahuan bahasa, agama serta
mengajarkan tentang berbagai pemikiran, kepercayaan dan nilai-nilai yang baik.
Pendidikan
keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang
diselenggarakan dalam keluarga yang memberi keyakinan agama, nilai budaya,
moral dan keterampilan. Ngalim Purwanto dalam Skripsi Suparida (2003 : 9) mengatakan
: Pendidikan keluarga merupakan fundamen atau dasar dari pendidikan yang
diperoleh anak dalam keluarga menentukan pendidikan anak selanjutnya, baik di
sekolah maupun di masyarakat.
Setiap
keluarga mempunyai ciri khas tertentu seperti peraturan dan kebiasaan-kebiasaan
di dalam keluarga. Salah satu fungsi keluarga adalah sebagai tempat
sosialisasi. Fungsi ini menunjuk pada peranan keluarga dalam membentuk
kepribadian anak. Pendidikan dalam keluarga mempelajari pola-pola tingkah laku,
sikap, keyakinan, cita-cita dan nilai-nilai dalam kehidupan bermasyarakat serta
dalam perkembangan pribadinya.
Menurut
Sadeli dalam skripsi Suparida (2003 : 9) bahwa orang tua di dalam keluarga
mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian anak. Orang tua inilah
berfungsi sebagai pendidik di dalam keluarga.
Fungsi
orang tua sebagai pendidik yaitu :
1.
Orang
tua sebagai pendidik memberikan pengalaman, sikap dan keterampilan terhadap
anak dalam keluarga.
2.
Orang
tua sebagai pemimpin dalam keluarga yang harus mengatur kehidupan dalam
keluarga.
3.
Orang
tua harus memberikan perlindungan terhadap anak baik secara fisik maupu mental
bagi seluruh anggota keluarga.
4.
Orang tua
memberikan suri teladan yang baik bagi anggota keluarganya.
Gunarsa
dalam Skripsi Suparida (2003 : 10), mengatakan bahwa keluarga khususnya orang
tua mempunyai peranan penting terhadap perkembangan nilai-nilai moral anak
yaitu :
1.
Tingkah
laku orang tua di dalam rumah dijadikan model/contoh keluarga bagi anak.
2.
Mendidik
anak untuk bertingkah laku sesuai dengan tata cara dan norma-norma dalam
lingkungan sosial misalnya adanya anjuran terhadap perbuatan yang tidak baik
serta hukuman.
Dalam
konsep Islam, anak adalah amanat yang diberikan oleh Allah SWT untuk dididik
dan diasuh oleh orang tuanya agar menjadi anak yang sholeh dan sholehah serta
nantinya orang tua akan diminta pertanggungjawabannya atas anak yang telah
dibesarkan. Tanggung jawab orang tua terhadap anak adalah dengan memberikan
pendidikan bagi anak-anak dalam keluarga.
Pendidikan
dalam keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama. Keluarga sebagai
lingkungan pendidikan yang pertama dalam membina kepribadian anak di mulai
sejak dalam kandungan, maka pendidikan dan pengalaman yang diterima anak dari
orang tua dalam keluarga, baik pendidikan yang dilakukan dengan sengaja, maupun
yang tidak disengaja. Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya
mengembangkan kepribadian anak. Perawatan orang tua yang penuh kasih sayang dan
pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama maupun sosial budaya yang
diberikannya merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi
pribadi dan anggota keluarga yang sehat.
Karena
melalui pengalaman anak, baik yang didengar, dilihat, dan dirasakan akan
menjadi bagian dari pribadinya yang sedang berkembang. Apabila ibu bapaknya
baik, rukun dan menyayanginya, maka ia akan mendapatkan unsur-unsur yang
positif dalam kepribadiannya. Dan apabila orang tuanya taat melaksanakan agama
dalam kehidupannya sehari-hari maka anak akan mendapatkan pengalaman keagamaan
yang menjadi unsur dalam kepribadiannya.
Faktor
yang terpenting dalam lingkungan keluarga yang sangat diperlukan untuk
pembinaan anak-anaknya adalah pengertian orang tua terhadap kebutuhan jiwa anak
yang pokok, diantaranya yaitu rasa kasih sayang, rasa aman, harga diri, rasa
bebas dan sukses, dengan demikian orang tua harus berusaha menciptakan suasana
dan lingkungan yang kondusif untuk memungkinkan terjaminnya pemenuhan kebutuhan
pokok anak.
Orang tua
yang tidak memperhatikan perasaan dan keperluan anak, atau kurang mengerti
perkembangan jiwa dan keperluan anak akan menyebabkan timbulnya rasa kurang
puas, kesal, tertekan dan macam-macam perasaan lainnya yang negatif, maka hal
ini akan merupakan faktor yang mempunyai pengaruh negatif dalam pertumbuhan
jiwa anak.
Apabila
anak telah menginjak usia dewasa, maka faktor pengertian orang tua perlu
ditingkatkan. Dengan pengertian pada perkembangan jiwa anak, orang tua harus
lebih bijaksana dalam menghadapi dan membantu anak-anaknya yang sedang
mengalami perubahan. Perlakuan dan pengertian orang tua masih tetap diperlukan
ketenangan dan kebahagiaan orang tua merupakan faktor positif yang terpenting
dalam pembinaan anak.
Tujuan
pendidikan dalam keluarga adalah supaya anak mampu dan berkembang secara
maksimal yang meliputi seluruh aspek perkembangan yaitu jasmani, rohani, dan
akal. Orang tua sebagai pendidik dalam keluarga berperan membentuk pribadi anak
ke arah yang lebih baik. Keluarga berfungsi sebagai ”transmitter budaya atau
mediator” sosial budaya bagi anak.
B. Konsep Pendidikan
Luqman al-Hakim
1.
Sosok Luqman al-Hakim
Bagi sebagian besar kaum Muslimin, nama
Luqman al-Hakim tentu sudah cukup familier. Mengingat sering kali para mubalig,
ustadz/ustadzah menjadikan dirinya sebagai figur teladan, pola asuh orang tua
dalam membimbing anak-anaknya. Tetapi, mungkin ada di antara kita yang
bertanya-tanya, apakah ia termasuk Nabi atau memang seorang yang bijak dalam
menjalani hidupnya, bahkan mungkinkah ia hanya sekedar bahasa simbol yang
ditulis dalam al-Qur’an bagi orang-orang yang mempunyai kebijakan dalam
menjalani tugasnya sebagai khalifah di muka bumi ini. Pendapat-pendapat
tersebut memang sampai sekarang masih menjadi diskursus. Di sini, akan saya
kemukakan beberapa pendapat para ahli tentang siapa Luqman al-Hakim itu.
a.
Menurut Ahmad Musthafa al-Maraghi
Luqman al-Hakim ialah seorang tukang
kayu, kulitnya hitam dan termasuk penduduk Mesir yang hidup serba sederhana.
Namun demikian, Allah SWT telah memberikannya hikmah dan menganugerahkan
kenabian kepadanya. Pendapat Maraghi ini juga dikuatkan oleh Ikrimah. Menurut
Ikrimah, Luqman al-Hakim adalah seorang nabi, orang yang bijaksana (al-hakim). Di dalam
kitab Qathr al-Ghayts pun dikatakan bahwa di antara nabi-nabi dan rasul yang
telah disebutkan dalam al-Qur’an itu sebenarnya masih banyak nabi yang belum
disebutkan namanya sehingga ada kemungkinan Luqman al-Hakim adalah salah-satu
di antara mereka.
b.
Menurut Ibnu Abbas
Luqman al-Hakim adalah seorang hamba
sahaya dari Habasyiyah (Ethiopia), kemungkinan besar dia itu ialah Aesopus,
karena kata-kata hikmah Aesopus mirip dengan kata-kata bijak Luqman al-Hakim.
Aesopus adalah seorang hamba sahaya hitam pula, yang menurut Winkler Prins Encyclopaedie ia hidup
pada tahun 550-SM. Menurut Khalid al-Rab’i Luqman adalah seorang hamba sahaya
dan tukang kayu dari Habsi.
c.
Menurut HAMKA
Luqman al-Hakim adalah sosok pribadi
yang senantiasa mendekatkan hatinya kepada Allah dan merenungkan keagungan alam
ciptaan-Nya yang ada di sekelilingnya, sehingga dia mendapat kesan yang mendalam,
demikian juga renungannya terhadap kehidupan ini, sehingga pada akhirnya
terbukalah baginya rahasia hidup (hikmah).
d.
Menurut Imam Baidhawi
Menurut Imam Baidhawi dalam tafsirnya
yang berjudul Tafsīr Baidhawy menyebutkan bahwa Luqman adalah salah satu anak
dari Azar, saudara sepupu Nabi Ayyub. Ia
hidup semasa Nabi Dawud dan pernah menjadi seorang mufti sebelum diutusnya Nabi
Dawud sebagai rasul. Lebih lanjut, Baidhawi menyebutkan berdasarkan pendapat
mayoritas ulama, Luqman bukanlah seorang nabi melainkan hanya seorang hakim. Sependapat
dengan Baidhawi, Wahbah al-Zuhaili pun mengatakan dalam Tafsir al-Munir bahwa
Luqman adalah salah-satu anak Azar, saudara sepupu Nabi Ayyub dan ia bertubuh
hitam berasal dari Sudan Mesir, hidup sezaman dengan Nabi Dawud as. kemudian ia
berguru kepadanya.
Dari beberapa pendapat di atas,
mengenai Luqman al-Hakim itu siapa, masing-masing pendapat mempunyai perbedaan
maupun kesamaan. Namun, untuk sementara saya menganggap bahwa Luqman al-Hakim
yang disebutkan dalam al-Qur’an mempunyai dua makna: pertama, Luqman al-Hakim
adalah nama panggilan bagi hamba Allah yang selalu mendekatkan diri kepada-Nya,
serta pribadi yang arif bijaksana dalam mengambil suatu keputusan di dalam menghadapi
suatu masalah. Hal ini berpijak dari keadaan al-Qur’an itu sendiri yang masih
berupa bahasa simbol sehingga memerlukan adanya penafsiran dan penerjemahan;
kedua, Luqman al-Hakim ialah kisah dari seseorang yang berhasil mendidik
anak-anaknya yang kemudian namanya diabadikan dalam al-Qur’an.
2.
Nilai-nilai Pendidikan Surat Luqman
Nilai-nilai pendidikan Islam yang
terkandung dalam al-Qur’an surat Luqman ayat 12-19 menurut hemat penulis
terdiri dari tiga pokok pendidikan, yaitu; pendidikan aqidah, pendidikan
syariah dan pendidikan akhlak.
a.
Pendidikan Aqidah
Pendidikan aqidah adalah pendidikan
yang berusaha mengenalkan, menanamkan serta mengantarkan anak akan nilai-nilai
kepercayaan terhadap rukun-rukun iman dan lain sejenisnya. Dari nasihat-nasihat
Luqman terhadap anaknya, termasuk dalam kategori pendidikan aqidah terdapat
pada ayat 12-19 dari surat Luqman yaitu; larangan menyekutukan Allah dan meyakini
adanya tempat kembali.
1)
Larangan Menyekutukan Allah
Penanaman rasa keimanan yang murni
sejak anak mulai di usia tingkat Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar sangatlah
penting, sebab naluri anak-anak pada usia ini telah mampu menerima pendidikan
keimanan.
Luqman al-Hakim sendiri pun
memprioritaskan pendidikan tauhid kepada anaknya. Terbukti pendidikan tauhid
telah mendapatkan tempat pertama dari wasiatnya dalam surat Luqman, yakni pada
ayat ke-12 dan ke-13. Setelah pada ayat
ke-12 diperintahkan bersyukur kepada Allah, yakni Dzat yang wajib ada, maka
menurut ayat ke-13 Luqman berkata, “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan
Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang
besar.” Syirik dinamakan perbuatan yang zalim, karena perbuatan syirik itu
berarti meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya, maka ia termasuk dalam
kategori dosa besar. Perbuatan tersebut juga berarti menyamakan kedudukan Tuhan
dengan makhluk-Nya.
Walaupun pada hakikatnya keimanan atau
kekufuran itu tidak mempengaruhi
kebesaran-Nya
sebagai Raja dari segala Raja, akan tetapi demi kebahagian makhluk-makhluk-Nya,
Dia pun memerintahkan agar makhluk-makhluk-Nya supaya beriman kepada-Nya.
Inilah salah satu sifat raḥmān dan raḥīm
Allah SWT, sebagaimana tertuang dalam firman-Nya:
“Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan
(iman) mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur,
niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu ....”
Bila direnungkan lebih mendalam ada
baiknya setiap individu belajar bersyukur atas berbagai nikmat yang
diperolehnya, karena dengan bersyukur diharapkan mereka bisa meminimalisir bahkan
bisa terhindar dari perbuatan syirik. Hal ini diperjelas oleh Imam Qurthubi
dalam tafsirnya Tafsīr al-Qurthuby bahwa hakikat bersyukur adalah menaati
segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Dengan demikian, andaikata
manusia mampu mensyukuri nikmat dengan sungguh-sungguh secara otomatis mereka tidak
akan terperangkap dari perbuatan syirik.
Hal ini pun terlihat pada ayat ke-13 di
atas, huruf ‘ataf
wawu pada awal ayat wa-idzqala luqmanu… la tushrik billah itu ma’tuf-nya
kembali pada ayat anishkur lillah. Ini mengandung pemahaman bahwa sesungguhnya
perbuatan syirik itu tidak akan dilakukan oleh orang-orang yang pandai
bersyukur. Apalagi dengan adanya seruan Allah SWT yang mencegah segala bentuk
tindakan syirik, maka sebagai makhluk yang berakal sudah semestinya ia tidak melakukan
tindakan tersebut.
Larangan perbuatan syirik ini pun
terlihat dengan jelas secara redaksional pada ayat ke-13 di atas. Huruf la nahy
pada kata la tushrik billah yang dijadikan Tuhan sebagai bentuk pencegahan
terhadap tindakan syirik dalam ilmu usul fiqih termasuk memberikan makna li
tahdīd, artinya bentuk larangan secara keras. Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa Allah SWT benar-benar mencegah segala bentuk tindakan syirik dan
mengatagorikan dosa syirik sebagai perbuatan aniaya yang amat besar (lazulmun ‘azim). Perlu diingat,
larangan untuk menjauhkan diri dari berbagai tindakan syirik berarti perintah
melakukan tindakan yang sebaliknya, yaitu perintah beraqidah secara
sungguh-sungguh. Sebagaimana kaidah usul fiqh yang berbunyi:
Terjemah bebasnya: “Mencegah untuk
meninggalkan sesuatu (syirik) berarti memerintahkan untuk melaksanakan
kebalikannya (yaitu beraqidah secara benar).”
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa
syirik merupakan perbuatan keji dan mungkar. Sehingga diharapkan para orang tua
mampu memberikan pengarahan dan bimbingan sejak dini. Sebagaimana Luqman
al-Hakim mengajarkan kepada anak-anaknya agar tidak terjerumus dalam perbuatan
syirik.
2)
Meyakini adanya Tempat Kembali
Penanaman keyakinan adanya balasan di
akhirat (tempat kembali) merupakan suatu kepercayaan yang harus ditanamkan
sejak anak masih kecil. Sehingga setiap aktivitas yang dilakukan anak akan
terkontrol oleh norma-norma Islam. Disinyalir pengawasan alat negara ataupun
pengawasan manusia lainnya tidak mampu untuk mencegah perilaku yang menyimpang.
Oleh karena itulah penanaman keimanan terhadap adanya pengawasan dari Yang Maha
Melihat kepada anak sangat dibutuhkan, agar luruslah jalan anak menuju yang diridhai-Nya.
Dalam Tafsir al-Qur’an li al-Qur’an
dijelaskan bahwa kata ilayya ’l-masir
pada ayat ke-14 di atas, mengandung isyarat sesungguhnya Allah SWT adalah Tuhan
yang mengetahui segala urusan manusia. Hubungan antara anak dan kedua orang
tuanya adalah sebatas perantara zahiriyyah
wujudnya seorang anak di dunia, sedangkan mengenai urusan aqidah mereka tidak
berhak menyesatkan anak-anaknya. Oleh karena itu sebagai seorang anak hendaknya
senantiasa berbuat baik kepada kedua orang tua, sekaligus sebagai ungkapan
terima kasih kepada keduanya.
Di sisi lain, ada yang menafsirkan kata
ilayya ’l-masir
sebagai bentuk penegasan seruan taat kepada-Nya dan kepada kedua orang tua.
Segala kebaikan dan keburukan yang dilakukan manusia baik kepada Allah SWT maupun
kepada kedua orang tuanya akan dibalas di hari pembalasan tergantung amal yang
diperbuat.
Menurut Darajat dengan adanya kesadaran
akan pengawasan Allah yang tumbuh dan berkembang dalam pribadi anak, maka akan
masuklah unsur pengendali terkuat di dalam kepribadian anak. Dengan demikian,
kesadaran yang tinggi atas pengawasan-Nya akan berdampak positif terhadap jiwa
psikologis anak dalam menjalani samudera kehidupan di kemudian hari, terutama
dalam menentukan sesuatu yang hak dan yang batil.
Terkait dengan hal ini, Luqman al-Hakim
pun berwasiat kepada anak-anaknya tentang adanya balasan akhirat, yakni dalam
akhir ayat ke-15. Artinya:
“Kemudian
hanyalah kepada-Ku kembali kalian, maka Kuberitakan apa yang kalian kerjakan.”
Menurut al-Maraghi ayat tersebut di atas menjelaskan adanya balasan terhadap
segala amal perbuatan manusia pada umumnya.
Khususnya balasan atas rasa syukur kita
kepada-Nya terhadap segala nikmat dan rasa penghormatan kita kepada kedua orang
tua. Mengingat begitu pentingnya penanaman keyakinan terhadap adanya pertanggungjawaban
di hari akhir, maka diharapkan sebagai orang tua yang sadar akan tanggung
jawabnya harus memberikan pengarahan dan bimbingan sebagaimana Luqman al-Hakim
mendidik anak-anaknya. Perlu diingat bahwa penanaman keyakinan adanya hari
pembalasan pada pribadi anak akan dapat bermanfaat sebagai salah satu upaya
pengendali terhadap diri pribadi seorang anak.
b.
Pendidikan Syariah
Pendidikan syariah adalah pendidikan
yang berusaha mengenalkan, menanamkan serta menghayatkan anak terhadap
nilai-nilai peraturan Allah tentang tata cara pengaturan perilaku hidup
manusia, baik yang berhubungan secara vertikal dengan Allah yang disebut
ibadah, maupun berhubungan secara horizontal dengan makhluk-Nya, yang disebut
hubungan muamalah. Dalam ibadah, bentuk peribadatan yang bersifat khusus
pelaksanaannya telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, seperti shalat, puasa
dan zakat. Oleh karena itu, kita harus mengikuti apa yang dicontohkan Nabi.
Sedangkan dalam muamalah, bentuk
peribadatan yang bersifat umum, pelaksanaannya tidak seluruhnya dicontohkan
langsung oleh nabi, namun beliau hanya meletakkan prinsip-prinsip dasar,
sedangkan pengembangannya diserahkan kepada kemampuan dan daya jangkau umat.
Seperti ekonomi, bisnis, jual beli, perbankan, perkawinan, pewarisan, pidana,
tata negara dan sebagainya.
1)
Perintah Mendirikan Shalat
Shalat adalah salah satu bentuk sarana
ritual yang menandakan ketundukan seorang hamba kepada Tuhannya. Shalat juga
bisa diartikan sebagai bentuk konkret manusia mensyukuri segala nikmat-Nya.
Dalam hal ini, Luqman al-Hakim sebagai pribadi yang bertanggung jawab
memerintahkan kepada anak-anaknya untuk mendirikan shalat. Perintah ini secara
redaksional nampak sangat jelas betapa Luqman mendidik anak-anaknya dengan menggunakan
motode yang sangat humanis, yaitu model bertahap (tadrij).
Mulai dari larangan berbuat syirik,
menanamkan keyakinan adanya tempat kembali sebagai balasan atas berbagai amal
manusia, dan perintah mendirikan shalat lima waktu. Sebagaimana Nabi Muhammad
memberi tuntunan dalam haditsnya, “Perintahkanlah anak-anakmu shalat ketika
berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka karena meninggalkan shalat jika telah
berumur sepuluh tahun, dan pisahkan anak laki-laki dari anak perempuan dalam tempat
tidur mereka.” (HR. Abu Dawud, al-Turmudzi dan al-Hakim).
Tuntunan para nabi yang telah
diimplementasikan oleh Luqman al-Hakim baik secara metodologis maupun aplikatif
di lapangan hendaknya bisa dicontoh dan dilaksanakan oleh para orang tua
ataupun para pendidik. Sehingga mutiara hikmah Luqman yang diabadikan Tuhan
dalam al-Qur’an bisa membumi dan berakar, bukan hanya sekedar i‘tibar tanpa
adanya pengamalan. Apalagi diperparah dengan adanya pengaruh globalisasi media elektronik;
televisi, internet, mass media, video game dan sejenisnya seakan telah
menggantikan berbagai mutiara hikmah dari orang-orang shalih.
Menurut Mushthafa al-Maraghi dalam
kitab tafsirnya yang berjudul Tafsir al-Maraghi dijelaskan, perintah mendirikan
shalat yang terdapat dalam surat Luqman ayat ke-17 mempunyai arti bahwa
perintah untuk menjalankan shalat dengan sempurna sesuai dengan cara yang
diridhainya. Karena di dalam shalat itu terkandung ridha Tuhan, sebab orang
yang mengerjakannya berarti menghadap dan tunduk kepada-Nya. Dan di dalam
shalat terkandung pula hikmah lainnya, yaitu dapat mencegah orang yang
bersangkutan dari perbuatan keji dan mungkar. Maka apabila seseorang menunaikan
hal itu dengan sempurna, niscaya bersilah jiwanya dan berserah diri kepada-Nya,
baik dalam keadaan suka maupun duka.
Namun demikian, persoalan yang memprihatinkan
dari peradaban saat ini adalah hilangnya nilai-nilai shalat dari sendi-sendi
kehidupan ummat Islam. Seakan shalat hanyalah sekedar ritualitas dan tradisi
tanpa makna, hampa dari esensi ontologisnya, tercerabut dari tujuannya.
Padahal, secara tegas dalam doa iftitah kaum Muslim mengikrarkannya minimal
lima kali dalam sehari: inna Salati
wanusuki wa mahyaya
wamamati lillahi rabbi ’l-‘alamin, yang artinya: “Sesungguhnya shalatku,
ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah SWT, Tuhan seisi alam.”
Berpijak pada Tafsir al-Maraghi dalam
surat Luqman ayat ke-17 di atas, dimungkinkan kaum Muslim sampai saat ini belum
mampu melaksanakan shalat dengan sempurna. Hal ini terbukti dari berbagai kasus
kriminalitas yang terjadi di Indonesia mulai perampokan, pembunuhan, tindakan
Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN), tawuran, perjudian, pelecehan seksual, narkoba,
dekadensi moral dan lain sejenisnya, kebanyakan dilakukan oleh “ummat Islam.”
Padahal, apabila kaum Muslimin mampu dan mau merenungkan dari setiap gerakan
dan bacaan-bacaan shalat yang dilakukannya, manfaatnya sangatlah luar biasa,
terlebih dalam membentuk kepribadian Islami.
Sebagai contoh yang sangat sederhana
misalnya, prosesi pelaksanaan sujud. Di setiap shalat acapkali seorang Muslim
melaksanakan gerakan sujud, dengan cara meletakkan (menundukkan) wajahnya ke
bumi (tempat sujud), sembari diikuti dengan meletakkan kedelapan anggota
tubuhnya di atas tempat sujud; yaitu menempelkan kening, hidung, kedua tangan,
kedua lutut, dan jari-jari kedua kaki. Kemudian diiringi dengan bacaan subhanaka
rabbiya ‘l-a‘la wa bihamdihi,
arti bebasnya: “Mahasuci Tuhan yang menguasai ‘arsy (tempat yang gaib) dengan
kesuciannya.”
Hal ini mengandung isyarat, bahwa
manusia adalah makhluk yang lemah, kedudukannya di sisi Tuhan adalah sama,
tidak dibedakan oleh warna kulit, ras, suku, golongan, pangkat, kekayaan,
kemewahan dan lain sebagainya. Kedelapan anggota tubuh yang biasanya digunakan
sebagai simbol keangkuhan manusia. Pada saat melaksanakan prosesi sujud dipaksa
“tunduk” kepada Yang Maha berhak. Karena pada hakikatnya harkat dan martabat, kekayaan
dan kemegahan manusia di dunia merupakan kamuflase yang semu dan sementara.
Sedangkan yang membedakan manusia satu dengan manusia lainnya adalah
ketakwaannya di sisi-Nya.
Dengan demikian, merupakan suatu
keniscayaan apabila para orang tua maupun para pendidik mulai mengajarkan
nilai-nilai dari pelaksanaan shalat kepada anak-anaknya. Baik mengajarkan
nilai-nilai yang terkandung dalam bacaan shalat, maupun nilai-nilai dari
gerakannya. Minimal memberi pemahaman bahwa shalat bukanlah sekedar ritualitas
tanpa makna, melainkan ritualitas bermakna yang dapat mengantarkan anak-anak
menjadi pribadi yang sukses, baik di dunia maupun di akhirat. Terlebih apabila
penanaman dan pendidikan yang demikian ini diajarkan para orang tua pada saat anak-anak
masih berumur 0-12 tahun, niscaya mereka akan senantiasa mengingat, mengamalkan,
dan menjadikan batu pijakan nasihat-nasihatnya tersebut dalam menjalani
kehidupan sehari-hari.
2)
Perintah Amar Ma‘ruf Nahy Munkar
Setelah menyuruh anak-anaknya untuk
mendidirikan shalat, Luqman al-Hakim pun pada ayat ke-17 melanjutkan
nasihatnya, agar anak-anaknya supaya berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Al-Zuhaili menafsirkan kalimat wa’mur bi ’l-ma‘ruf pada ayat ke-17 ini sebagai
ajakan Luqman al-Hakim kepada dirinya sendiri maupun orang lain (anak-anaknya) untuk
berbuat kebajikan, seperti budi pekerti yang baik, melakukan pekerjaan yang
mulia, membersihkan jiwa dari keburukan. Sedangkan kalimat wanha ‘an al-munkar
sebagai ajakannya untuk mencegah kemaksiatan, kejelekan dan kemungkaran baik
kepada dirinya sendiri maupun kepada orang lain yang bisa menyebabkan kemurkaan
Allah.
Lain halnya dengan al-Zuhaili,
al-Maraghi menafsirkan kalimat wa’mur bi ’l-ma‘ruf dalam surat Luqman ayat
ke-17 ini sebagai seruan Luqman al-Hakim agar orang lain (anak-anaknya) supaya
mau membersihkan dirinya sesuai dengan kemampuannya. Maksudnya supaya jiwanya
menjadi suci dan demi untuk mencapai keuntungan. Sedangkan kalimat wanha ‘an
al-munkar ditafsirkan sebagai seruan agar manusia mau mencegah perbuatan
durhaka kepada Allah SWT, dan dari mengerjakan larangan-larangan-Nya yang
membinasakan pelakunya serta menjerumuskannya ke dalam azab neraka yang apinya
menyala-nyala, yaitu neraka jahanam dan seburuk-buruk tempat kembali adalah
neraka jahanam.
Walupun sepintas lalu kedua mufassir di
atas, berbeda pendapat dalam memberi penafsiran tentang makna amar ma‘ruf nahy
munkar. Namun, pada prinsipnya keduanya sependapat bahwa perintah kebajikan dan
mencegah berbagai kejelekan merupakan perintah Luqman al-Hakim kepada anak-anaknya
pada khususnya dan umat manusia pada umumnya. Dengan demikian, para orang tua
maupun para pendidik hendaknya mau mengikuti jejak Luqman al-Hakim yang tidak
pernah bosan menyerukan kebaikan dan mencegah segala bentuk kemungkaran di mana
pun ia berada. Tentunya sesuai dengan kemampuan dan kapasitasnya masing-masing.
c.
Pendidikan Ahklak
Pendidikan akhlak adalah pendidikan
yang berusaha mengenalkan, menanamkan serta menghayatkan anak akan adanya
sistem nilai yang mengatur pola, sikap dan tindakan manusia atas isi bumi. Pola
sikap dan tindakan yang dimaksud mencakup pola-pola hubungan dengan Allah,
sesama manusia (termasuk dengan dirinya sendiri) dan dengan alam sekitar. Alih
kata, pendidikan akhlak adalah suatu pendidikan yang berusaha
mengimplementasikan nilai keimanan seseorang dalam bentuk perilaku. Sebab
pendidikan akhlak adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan
agama.
Sehingga sesuatu, dianggap baik atau
buruk oleh seseorang manakala berdasar pada agama. Adapun nilai pendidikan
akhlak yang terdapat dalam nasihat Luqman pada ayat ke-12-19 adalah mensyukuri
nikmat Allah SWT. Atas segala nikmat dan karunia Allah, kita harus bersyukur
kepada-Nya. Nikmat Allah meliputi seluruh hidup, sehingga tidak mungkin bagi
kita untuk menghitungnya, mulai dari nikmat yang berhubungan dengan jasmani,
rohani, materi dan non materi dengan berbagai ragam. Sebagaimana berfirman-Nya
dalam al-Qur’an yang berbunyi:
“Jika kamu hitung nikmat Allah, niscaya tak dapat kamu
menghitungnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Penyayang.”
Ayat tersebut di atas, menurut Wahbah
al-Zuhaili menunjukkan betapa pentingnya mensyukuri nikmat. Lebih lanjut
dijelaskan andaikata manusia ingin menghitung dan mengidentifikasi nikmat
Allah, niscaya ia tidak akan mampu. Sebab nikmat Allah itu sangat besar
jumlahnya (tak terhitung) yang terus menerus ada, sedangkan akal manusia itu
sangat terbatas dan lemah. Nikmat adalah kesenangan, pemberian atau karunia
yang diberikan-Nya kepada manusia. Menurut Imam al-Ghazali nikmat berarti
setiap kebaikan yang dapat dirasakan kelezatannya dalam kesenangan hidup,
tetapi nikmat yang sejati adalah kesenangan hidup di akhirat.
Sedangkan syukur menurut Hamka adalah
orang yang mampu mempertinggi dirinya sendiri dengan cara mengenang dan
menghargai jasa orang lain. Orang yang paling berjasa terhadap diri kita adalah
kedua orang tua. Sehingga Tuhan pun memerintahkan setiap manusia agar bersyukur
kepada keduanya, dan pada prinsipnya yang maha berjasa adalah Allah SWT. Dalam
hal ini, Imam al-Qusyairi mengutip dari Syeh Ali Dahaq yang mengatakan bahwa
hakikat syukur menurut para
ahli
ialah pengakuan terhadap nikmat yang diberikan-Nya yang dibuktikan dengan
ketundukannya.
BAB
III
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan tersebut di
atas, ada dua hal yang dapat dijadikan konklusi. Pertama, nilai-nilai
pendidikan Islam yang terkandung dalam al-Qur’an surat Luqman ayat 12-19 pada
dasarnya meliputi tiga pendidikan fundamental yaitu; pendidikan aqidah,
pendidikan syariah, dan pendidikan akhlak. Kedua, implikasi nilai-nilai
pedidikan Islam yang terkandung dalam surat Luqman tersebut, menjadikan
pembentukan kepribdian yang Islami sebagai salah satu pilihan guna membentengi
anak sedini mungkin dari pengaruh lingkungan yang negatif. Pembentukan
kepribadian anak pada prinsipnya merupakan proses yang berkelanjutan.
Proses tersebut akan lebih baik dan
berhasil manakala para orang tua dapat mengkombinasikan dua faktor, yaitu
faktor persiapan berfungsi sebagai proses pembentukan kepribadian anak sebelum
ia lahir di dunia (prenatal), dan faktor pelaksanaan berfungsi sebagai proses
pembentukan kepribadian anak setelah ia lahir, melalui pendidikan formal dan
pendidikan nonformal. Untuk merealisasikan pembentukan kepribadian yang Islami diperlukan
adanya berbagai metode yang dianggap cukup representatif, di antaranya dengan
menggunakan metode keteladanan, nasihat, dan pengawasan.
DAFTAR
PUSTAKA
Athas, Ali bin Hasan, Nasihat
Luqman Hakim untuk Generasi Muda, Yogyakarta: Aditya Media, 1993.
Zuhaili, Wahbah, Tafsir Al-Munir
Juz XXI, Beirut: Darul Fikri, 1991.
Darajat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama,
Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
D. Marimba, Ahmad, Pengantar
filsafat Pendidikan Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1991.
Fadjar, A. Malik, Reformasi
Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia, 1991.
Hurlock, Elizabeth B.,
Perkembangan Anak jilid II, penerjemah: Med. Meitasari Tjandrasa, Jakarta:
Erlangga, 1991.
Hall, Calvin S, Pengantar
Kedalaman Ilmu Jiwa Sigmund Freud, penerjemah: S. Tasref , Yogyakarta:
Pembangunan, 1991.
HAMKA, Tafsir al-Azhar Juz XXI,
Surabaya: Yayasan Latimojong, 1991.
__________, Tafsir al-Azhar Juz 1,
Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991.
Hasan al-Banna, Aqidah Islam,
Bandung: al-Ma’arif, 1991.
Hamka (Haji Abdul Malik Abdul
Karim Amrullah), Tafsir Al-Azhar Juz 1, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991.
Karim Khatib, Abdul, Tafsirul
Qur’an Lil Qur’an, Beirut: Darul Fikri, 1991.
Ma’arif, A Syafi’i, Pendidikan
Islam di Indonesia, Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.
Musthafa al-Maraghi, Ahmad, Tafsir
al-Maraghi, penerjemah: Bahrun Abu Bakar, dkk., Semarang: Karya Toha Putra,
1992.
Mulyana, Rohmat, Mengartikulasikan
Pendidikan Nilai, Bandung: Alfabeta, 2004.
Quthb, Muhammad, Sistem Pendidikan
Islam, terj. Salman Harun, Bandung: al-Ma’arif, 1988.
Sumadi Suryabrata, Psikologi
Pendidikan, Jakarta: Rajawali Press, 1995.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan
dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.
Zuhairi,
dkk., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Depag, 1996.
thankyou so much <3
ReplyDeleteThank you for your attention.
ReplyDelete