Monday, March 13, 2017

Makalah pendidikan keluarga Luqman al Hakim

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama dan utama bagi anak. Keluarga berfungsi sebagai transmiter budaya atau mediator sosial budaya bagi anak (Hurlock, 1996 dan Pervin, 1970).
Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 Bab IV Pasal 10 ayat 4 : Pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan. Berdasarkan pendapat dan diktum UU tersebut, maka fungsi keluarga dalam pendidikan adalah menyangkut penanaman atau pembiasaan nilai-nilai agama, budaya, dan keterampilan-keterampilan tertentu yang bermanfaat bagi anak. Agama telah memberikan kaidah – kaidah yang menjadi rujukan dalam rangka mengembangkan ”Waladun Sholihin” (Anak yang sholeh).
Tujuan pendidikan Islam, tidaklah sekedar proses alih budaya atau ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) tetapi juga proses alih nilai-nilai ajaran Islam (transfer of islamic values). Tujuan pendidikan Islam pada hakikatnya menjadikan manusia yang bertaqwa, manusia yang dapat mencapai al-falā, serta kesuksesan hidup yang abadi di dunia dan akhirat (mufliūn).
Al-Qur’an sebagai dasar pokok pendidikan Islam di dalamnya terkandung sumber nilai yang absolut, eksistensinya tidak mengalami penyesuaian sesuai dengan konteks zaman, keadaan dan tempat. Surat Luqman adalah salah-satu surat al-Qur’an yang secara keseluruhan (umum) di dalamnya terangkum aktivitas pendidikan seperti penyadaran fi’l-dīn, menumbuhkan, mengelola dan membentuk wawasan (fikrah), akhlak dan sikap Islam, menggerakkan dan menyadarkan manusia untuk beramal shalih, berdakwah (berjuang) dalam rangka memenuhi tugas kekhalifahan dalam rangka beribadah kepada Allah.
Dalam ayat ke-12 surat Luqman dinyatakan Allah telah mengaruniakan hikmah kepada Luqman, sedangkan ayat 13-19 berisi nasihat-nasihat atau wasiat Luqman terhadap anak. Berangkat dari itu, di sini penulis mencoba mengontekstualisasikan ayat tersebut dengan kepribadian anak guna menumbuhkan kepribadiannya menjadi pribadi Islami di masa depan. Kepribadian islami (Muslim) adalah kepribadian yang beriman dan bertaqwa, yang menunjukkan pengabdiannya kepada Allah SWT, untuk memperoleh ridha-Nya, sehingga mendapatkan kebahagiaan (keselamatan) dunia dan akhirat. Karena tidak sedikit orang tua yang melaikan tugasnya untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada anak-anaknya sesuai dengan potensi fitrahnya.
Kajian ini nantinya difokuskan pada nilai-nilai pendidikan Islam serta implikasinya yang ada dalam al-Qur’an surat Luqman ayat 12-19 terhadap kepribadian anak.

B. Rumusan Masalah
            Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.    Apa hakekat pendidikan keluarga ?
2.    Bagaimana pendidikan keluarga Luqman al Hakim?

C. Tujuan Penulisan
            Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.    Untuk mengetahui hakekat pendidikan keluarga.
2.    Untuk mengetahui pendidikan keluarga menurut Luqman al Hakim.





BAB II
PEMBAHASAN


A.      Hakekat Pendidikan Keluarga
1.        Pengertian Pendidikan
Pendidikan adalah pertolongan orang-orang yang bertanggung jawab atas perkembangan anak supaya ia tumbuh dan berkembang menjadi dewasa. Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan bagi peranannya di masa yang akan datang (UU No. 21 / 1989 Bab I Pasal 1).
Gunawan (2005) mengemukakan bahwa
”Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”

Nanang Fatah dalam skripsi Sumiati (2005 : 30) mengemukakan bahwa pendidikan sama dengan hidup. Pendidikan adalah keseluruhan pengalaman belajar setiap orang sepanjang hidupnya. Pendidikan berlangsung tidak dalam batas usia tertentu, tetapi berlangsung sepanjang hidup, sejak lahir sampai mati.
Coombs dalam skripsi Sumiati (2005 : 30) mendefinisikan pendidikan formal adalah sistem pendidikan yang mempunyai struktur berjenjang dan bertingkat, mulai dari SD sampai Universitas atau perguruan tinggi termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan yang berorientasi umum dan akademik serta latihan profesional yang dilaksanakan dalam waktu yang terus menerus. Sedangkan pendidikan nonformal adalah semua bentuk kegiatan yang terorganisasikan di luar sistem sekolah yang mapan, yang dilaksanakan secara sengaja untuk melayani peserta didik guna mencapai tujuan belajarnya, baik yang dilakukan secara terpisah maupun yang merupakan bagian terpenting dari suatu kegiatan yang luas.
2.        Konsep Pendidikan Dalam Keluarga
Keluarga merupakan unsur terpenting dalam pembentukan perilaku anak. Keluarga adalah orang yang pertama dikenal anak dan akan mempengaruhi dalam perkembangannya. Oleh karena itu keluarga merupakan lembaga pendidikan yang pertama diterima oleh anak. Seorang anak dalam lingkungan sosial mampu mengenal dirinya dan membentuk kepribadian melalui proses perkenalan dan interaksi antara dirinya dengan anggota keluarga.
Keluarga adalah lingkungan awal dari kehidupan anak yang berpengaruh besar dalam pembentukan kepribadian anak. Sikap dan perlakuan keluarga baik sifat positif maupun sifat negatif akan diterima oleh anak, maka untuk membentuk dan mengembangkan konsep diri yang positif pada anak diperlukan porsi perlakuan positif yang lebih banyak dari pada perlakuan negatif.
Menurut Teori Tabularasa, seorang anak tak ubahnya secarik kertas putih yang bersih tanpa noda. Gambaran anak yang akan muncul pada anak tergantung dari tulisan apa yang ditorehkan dalam kertas tersebut. Apabila tulisan yang baik yang ditorehkan maka anak itu akan berperilaku baik, tetapi apabila tulisan-tulisan yang ditorehkan jelek maka yang akan muncul perilaku yang jelek pula.
Telah ditegaskan oleh para ahli ilmu jiwa dan pendidikan bahwa pengalaman-pengalaman sosial yang benar dari berbagai bentuk interaksi yang dilakukan anak di dalam lingkup keluarga pada tahun-tahun pertama dari kehidupannya, memiliki peranan penting dalam pembentukan dan pembinaan kepribadiannya dalam pembentukan perilaku kebudayaan dan penyesuaian dirinya.
Pembentukan kepribadian anak sangat membutuhkan kerja sama antar keluarga dan sekolah, karena pada dasarnya pembentukan kepribadian anak terletak di lingkungan keluarga, keluarga juga bertugas untuk mengajarkan kepada anak mengenai nilai-nilai agama, tradisi, kemasyarakatan, keterampilan dan pola perilaku dalam segala aspek. Dalam hal ini keluarga harus benar-benar berperan sebagai sarana pendidikan dan pemberi nilai-nilai budaya yang mendasar dalam kehidupan anak, keluarga harus membekali anak dengan pengetahuan bahasa, agama serta mengajarkan tentang berbagai pemikiran, kepercayaan dan nilai-nilai yang baik.
Pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga yang memberi keyakinan agama, nilai budaya, moral dan keterampilan. Ngalim Purwanto dalam Skripsi Suparida (2003 : 9) mengatakan : Pendidikan keluarga merupakan fundamen atau dasar dari pendidikan yang diperoleh anak dalam keluarga menentukan pendidikan anak selanjutnya, baik di sekolah maupun di masyarakat.
Setiap keluarga mempunyai ciri khas tertentu seperti peraturan dan kebiasaan-kebiasaan di dalam keluarga. Salah satu fungsi keluarga adalah sebagai tempat sosialisasi. Fungsi ini menunjuk pada peranan keluarga dalam membentuk kepribadian anak. Pendidikan dalam keluarga mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita dan nilai-nilai dalam kehidupan bermasyarakat serta dalam perkembangan pribadinya.
Menurut Sadeli dalam skripsi Suparida (2003 : 9) bahwa orang tua di dalam keluarga mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian anak. Orang tua inilah berfungsi sebagai pendidik di dalam keluarga.
Fungsi orang tua sebagai pendidik yaitu :
1.    Orang tua sebagai pendidik memberikan pengalaman, sikap dan keterampilan terhadap anak dalam keluarga.
2.    Orang tua sebagai pemimpin dalam keluarga yang harus mengatur kehidupan dalam keluarga.
3.    Orang tua harus memberikan perlindungan terhadap anak baik secara fisik maupu mental bagi seluruh anggota keluarga.
4.    Orang tua memberikan suri teladan yang baik bagi anggota keluarganya.
Gunarsa dalam Skripsi Suparida (2003 : 10), mengatakan bahwa keluarga khususnya orang tua mempunyai peranan penting terhadap perkembangan nilai-nilai moral anak yaitu :
1.    Tingkah laku orang tua di dalam rumah dijadikan model/contoh keluarga bagi anak.
2.    Mendidik anak untuk bertingkah laku sesuai dengan tata cara dan norma-norma dalam lingkungan sosial misalnya adanya anjuran terhadap perbuatan yang tidak baik serta hukuman.
Dalam konsep Islam, anak adalah amanat yang diberikan oleh Allah SWT untuk dididik dan diasuh oleh orang tuanya agar menjadi anak yang sholeh dan sholehah serta nantinya orang tua akan diminta pertanggungjawabannya atas anak yang telah dibesarkan. Tanggung jawab orang tua terhadap anak adalah dengan memberikan pendidikan bagi anak-anak dalam keluarga.
Pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama. Keluarga sebagai lingkungan pendidikan yang pertama dalam membina kepribadian anak di mulai sejak dalam kandungan, maka pendidikan dan pengalaman yang diterima anak dari orang tua dalam keluarga, baik pendidikan yang dilakukan dengan sengaja, maupun yang tidak disengaja. Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan kepribadian anak. Perawatan orang tua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama maupun sosial budaya yang diberikannya merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota keluarga yang sehat. 
Karena melalui pengalaman anak, baik yang didengar, dilihat, dan dirasakan akan menjadi bagian dari pribadinya yang sedang berkembang. Apabila ibu bapaknya baik, rukun dan menyayanginya, maka ia akan mendapatkan unsur-unsur yang positif dalam kepribadiannya. Dan apabila orang tuanya taat melaksanakan agama dalam kehidupannya sehari-hari maka anak akan mendapatkan pengalaman keagamaan yang menjadi unsur dalam kepribadiannya.
Faktor yang terpenting dalam lingkungan keluarga yang sangat diperlukan untuk pembinaan anak-anaknya adalah pengertian orang tua terhadap kebutuhan jiwa anak yang pokok, diantaranya yaitu rasa kasih sayang, rasa aman, harga diri, rasa bebas dan sukses, dengan demikian orang tua harus berusaha menciptakan suasana dan lingkungan yang kondusif untuk memungkinkan terjaminnya pemenuhan kebutuhan pokok anak.
Orang tua yang tidak memperhatikan perasaan dan keperluan anak, atau kurang mengerti perkembangan jiwa dan keperluan anak akan menyebabkan timbulnya rasa kurang puas, kesal, tertekan dan macam-macam perasaan lainnya yang negatif, maka hal ini akan merupakan faktor yang mempunyai pengaruh negatif dalam pertumbuhan jiwa anak.
Apabila anak telah menginjak usia dewasa, maka faktor pengertian orang tua perlu ditingkatkan. Dengan pengertian pada perkembangan jiwa anak, orang tua harus lebih bijaksana dalam menghadapi dan membantu anak-anaknya yang sedang mengalami perubahan. Perlakuan dan pengertian orang tua masih tetap diperlukan ketenangan dan kebahagiaan orang tua merupakan faktor positif yang terpenting dalam pembinaan anak.
Tujuan pendidikan dalam keluarga adalah supaya anak mampu dan berkembang secara maksimal yang meliputi seluruh aspek perkembangan yaitu jasmani, rohani, dan akal. Orang tua sebagai pendidik dalam keluarga berperan membentuk pribadi anak ke arah yang lebih baik. Keluarga berfungsi sebagai ”transmitter budaya atau mediator” sosial budaya bagi anak.

B. Konsep Pendidikan Luqman al-Hakim
1. Sosok Luqman al-Hakim
Bagi sebagian besar kaum Muslimin, nama Luqman al-Hakim tentu sudah cukup familier. Mengingat sering kali para mubalig, ustadz/ustadzah menjadikan dirinya sebagai figur teladan, pola asuh orang tua dalam membimbing anak-anaknya. Tetapi, mungkin ada di antara kita yang bertanya-tanya, apakah ia termasuk Nabi atau memang seorang yang bijak dalam menjalani hidupnya, bahkan mungkinkah ia hanya sekedar bahasa simbol yang ditulis dalam al-Qur’an bagi orang-orang yang mempunyai kebijakan dalam menjalani tugasnya sebagai khalifah di muka bumi ini. Pendapat-pendapat tersebut memang sampai sekarang masih menjadi diskursus. Di sini, akan saya kemukakan beberapa pendapat para ahli tentang siapa Luqman al-Hakim itu.
a. Menurut Ahmad Musthafa al-Maraghi
Luqman al-Hakim ialah seorang tukang kayu, kulitnya hitam dan termasuk penduduk Mesir yang hidup serba sederhana. Namun demikian, Allah SWT telah memberikannya hikmah dan menganugerahkan kenabian kepadanya. Pendapat Maraghi ini juga dikuatkan oleh Ikrimah. Menurut Ikrimah, Luqman al-Hakim adalah seorang nabi, orang yang bijaksana (al-hakim). Di dalam kitab Qathr al-Ghayts pun dikatakan bahwa di antara nabi-nabi dan rasul yang telah disebutkan dalam al-Qur’an itu sebenarnya masih banyak nabi yang belum disebutkan namanya sehingga ada kemungkinan Luqman al-Hakim adalah salah-satu di antara mereka.
b. Menurut Ibnu Abbas
Luqman al-Hakim adalah seorang hamba sahaya dari Habasyiyah (Ethiopia), kemungkinan besar dia itu ialah Aesopus, karena kata-kata hikmah Aesopus mirip dengan kata-kata bijak Luqman al-Hakim. Aesopus adalah seorang hamba sahaya hitam pula, yang menurut Winkler Prins Encyclopaedie ia hidup pada tahun 550-SM. Menurut Khalid al-Rab’i Luqman adalah seorang hamba sahaya dan tukang kayu dari Habsi.
c. Menurut HAMKA
Luqman al-Hakim adalah sosok pribadi yang senantiasa mendekatkan hatinya kepada Allah dan merenungkan keagungan alam ciptaan-Nya yang ada di sekelilingnya, sehingga dia mendapat kesan yang mendalam, demikian juga renungannya terhadap kehidupan ini, sehingga pada akhirnya terbukalah baginya rahasia hidup (hikmah).
d. Menurut Imam Baidhawi
Menurut Imam Baidhawi dalam tafsirnya yang berjudul Tafsīr Baidhawy menyebutkan bahwa Luqman adalah salah satu anak dari Azar, saudara  sepupu Nabi Ayyub. Ia hidup semasa Nabi Dawud dan pernah menjadi seorang mufti sebelum diutusnya Nabi Dawud sebagai rasul. Lebih lanjut, Baidhawi menyebutkan berdasarkan pendapat mayoritas ulama, Luqman bukanlah seorang nabi melainkan hanya seorang hakim. Sependapat dengan Baidhawi, Wahbah al-Zuhaili pun mengatakan dalam Tafsir al-Munir bahwa Luqman adalah salah-satu anak Azar, saudara sepupu Nabi Ayyub dan ia bertubuh hitam berasal dari Sudan Mesir, hidup sezaman dengan Nabi Dawud as. kemudian ia berguru kepadanya.
Dari beberapa pendapat di atas, mengenai Luqman al-Hakim itu siapa, masing-masing pendapat mempunyai perbedaan maupun kesamaan. Namun, untuk sementara saya menganggap bahwa Luqman al-Hakim yang disebutkan dalam al-Qur’an mempunyai dua makna: pertama, Luqman al-Hakim adalah nama panggilan bagi hamba Allah yang selalu mendekatkan diri kepada-Nya, serta pribadi yang arif bijaksana dalam mengambil suatu keputusan di dalam menghadapi suatu masalah. Hal ini berpijak dari keadaan al-Qur’an itu sendiri yang masih berupa bahasa simbol sehingga memerlukan adanya penafsiran dan penerjemahan; kedua, Luqman al-Hakim ialah kisah dari seseorang yang berhasil mendidik anak-anaknya yang kemudian namanya diabadikan dalam al-Qur’an.
2. Nilai-nilai Pendidikan Surat Luqman
Nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam al-Qur’an surat Luqman ayat 12-19 menurut hemat penulis terdiri dari tiga pokok pendidikan, yaitu; pendidikan aqidah, pendidikan syariah dan pendidikan akhlak.
a. Pendidikan Aqidah
Pendidikan aqidah adalah pendidikan yang berusaha mengenalkan, menanamkan serta mengantarkan anak akan nilai-nilai kepercayaan terhadap rukun-rukun iman dan lain sejenisnya. Dari nasihat-nasihat Luqman terhadap anaknya, termasuk dalam kategori pendidikan aqidah terdapat pada ayat 12-19 dari surat Luqman yaitu; larangan menyekutukan Allah dan meyakini adanya tempat kembali.
1) Larangan Menyekutukan Allah
Penanaman rasa keimanan yang murni sejak anak mulai di usia tingkat Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar sangatlah penting, sebab naluri anak-anak pada usia ini telah mampu menerima pendidikan keimanan.
Luqman al-Hakim sendiri pun memprioritaskan pendidikan tauhid kepada anaknya. Terbukti pendidikan tauhid telah mendapatkan tempat pertama dari wasiatnya dalam surat Luqman, yakni pada ayat ke-12 dan ke-13.  Setelah pada ayat ke-12 diperintahkan bersyukur kepada Allah, yakni Dzat yang wajib ada, maka menurut ayat ke-13 Luqman berkata, “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar.” Syirik dinamakan perbuatan yang zalim, karena perbuatan syirik itu berarti meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya, maka ia termasuk dalam kategori dosa besar. Perbuatan tersebut juga berarti menyamakan kedudukan Tuhan dengan makhluk-Nya.
Walaupun pada hakikatnya keimanan atau kekufuran itu tidak mempengaruhi
kebesaran-Nya sebagai Raja dari segala Raja, akan tetapi demi kebahagian makhluk-makhluk-Nya, Dia pun memerintahkan agar makhluk-makhluk-Nya supaya beriman kepada-Nya. Inilah salah satu sifat ramān dan raīm Allah SWT, sebagaimana tertuang dalam firman-Nya:
 





“Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman) mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu ....”

Bila direnungkan lebih mendalam ada baiknya setiap individu belajar bersyukur atas berbagai nikmat yang diperolehnya, karena dengan bersyukur diharapkan mereka bisa meminimalisir bahkan bisa terhindar dari perbuatan syirik. Hal ini diperjelas oleh Imam Qurthubi dalam tafsirnya Tafsīr al-Qurthuby bahwa hakikat bersyukur adalah menaati segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Dengan demikian, andaikata manusia mampu mensyukuri nikmat dengan sungguh-sungguh secara otomatis mereka tidak akan terperangkap dari perbuatan syirik.
Hal ini pun terlihat pada ayat ke-13 di atas, huruf ‘ataf wawu pada awal ayat wa-idzqala luqmanu… la tushrik billah itu ma’tuf-nya kembali pada ayat anishkur lillah. Ini mengandung pemahaman bahwa sesungguhnya perbuatan syirik itu tidak akan dilakukan oleh orang-orang yang pandai bersyukur. Apalagi dengan adanya seruan Allah SWT yang mencegah segala bentuk tindakan syirik, maka sebagai makhluk yang berakal sudah semestinya ia tidak melakukan tindakan tersebut.
Larangan perbuatan syirik ini pun terlihat dengan jelas secara redaksional pada ayat ke-13 di atas. Huruf la nahy pada kata la tushrik billah yang dijadikan Tuhan sebagai bentuk pencegahan terhadap tindakan syirik dalam ilmu usul fiqih termasuk memberikan makna li tahdīd, artinya bentuk larangan secara keras. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Allah SWT benar-benar mencegah segala bentuk tindakan syirik dan mengatagorikan dosa syirik sebagai perbuatan aniaya yang amat besar (lazulmun ‘azim). Perlu diingat, larangan untuk menjauhkan diri dari berbagai tindakan syirik berarti perintah melakukan tindakan yang sebaliknya, yaitu perintah beraqidah secara sungguh-sungguh. Sebagaimana kaidah usul fiqh yang berbunyi:
 



Terjemah bebasnya: “Mencegah untuk meninggalkan sesuatu (syirik) berarti memerintahkan untuk melaksanakan kebalikannya (yaitu beraqidah secara benar).”

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa syirik merupakan perbuatan keji dan mungkar. Sehingga diharapkan para orang tua mampu memberikan pengarahan dan bimbingan sejak dini. Sebagaimana Luqman al-Hakim mengajarkan kepada anak-anaknya agar tidak terjerumus dalam perbuatan syirik.

2) Meyakini adanya Tempat Kembali
Penanaman keyakinan adanya balasan di akhirat (tempat kembali) merupakan suatu kepercayaan yang harus ditanamkan sejak anak masih kecil. Sehingga setiap aktivitas yang dilakukan anak akan terkontrol oleh norma-norma Islam. Disinyalir pengawasan alat negara ataupun pengawasan manusia lainnya tidak mampu untuk mencegah perilaku yang menyimpang. Oleh karena itulah penanaman keimanan terhadap adanya pengawasan dari Yang Maha Melihat kepada anak sangat dibutuhkan, agar luruslah jalan anak menuju yang diridhai-Nya.
Dalam Tafsir al-Qur’an li al-Qur’an dijelaskan bahwa kata ilayya ’l-masir pada ayat ke-14 di atas, mengandung isyarat sesungguhnya Allah SWT adalah Tuhan yang mengetahui segala urusan manusia. Hubungan antara anak dan kedua orang tuanya adalah sebatas perantara zahiriyyah wujudnya seorang anak di dunia, sedangkan mengenai urusan aqidah mereka tidak berhak menyesatkan anak-anaknya. Oleh karena itu sebagai seorang anak hendaknya senantiasa berbuat baik kepada kedua orang tua, sekaligus sebagai ungkapan terima kasih kepada keduanya.
Di sisi lain, ada yang menafsirkan kata ilayya ’l-masir sebagai bentuk penegasan seruan taat kepada-Nya dan kepada kedua orang tua. Segala kebaikan dan keburukan yang dilakukan manusia baik kepada Allah SWT maupun kepada kedua orang tuanya akan dibalas di hari pembalasan tergantung amal yang diperbuat.
Menurut Darajat dengan adanya kesadaran akan pengawasan Allah yang tumbuh dan berkembang dalam pribadi anak, maka akan masuklah unsur pengendali terkuat di dalam kepribadian anak. Dengan demikian, kesadaran yang tinggi atas pengawasan-Nya akan berdampak positif terhadap jiwa psikologis anak dalam menjalani samudera kehidupan di kemudian hari, terutama dalam menentukan sesuatu yang hak dan yang batil.
Terkait dengan hal ini, Luqman al-Hakim pun berwasiat kepada anak-anaknya tentang adanya balasan akhirat, yakni dalam akhir ayat ke-15. Artinya:
“Kemudian hanyalah kepada-Ku kembali kalian, maka Kuberitakan apa yang kalian kerjakan.” Menurut al-Maraghi ayat tersebut di atas menjelaskan adanya balasan terhadap segala amal perbuatan manusia pada umumnya.
Khususnya balasan atas rasa syukur kita kepada-Nya terhadap segala nikmat dan rasa penghormatan kita kepada kedua orang tua. Mengingat begitu pentingnya penanaman keyakinan terhadap adanya pertanggungjawaban di hari akhir, maka diharapkan sebagai orang tua yang sadar akan tanggung jawabnya harus memberikan pengarahan dan bimbingan sebagaimana Luqman al-Hakim mendidik anak-anaknya. Perlu diingat bahwa penanaman keyakinan adanya hari pembalasan pada pribadi anak akan dapat bermanfaat sebagai salah satu upaya pengendali terhadap diri pribadi seorang anak.
b. Pendidikan Syariah
Pendidikan syariah adalah pendidikan yang berusaha mengenalkan, menanamkan serta menghayatkan anak terhadap nilai-nilai peraturan Allah tentang tata cara pengaturan perilaku hidup manusia, baik yang berhubungan secara vertikal dengan Allah yang disebut ibadah, maupun berhubungan secara horizontal dengan makhluk-Nya, yang disebut hubungan muamalah. Dalam ibadah, bentuk peribadatan yang bersifat khusus pelaksanaannya telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, seperti shalat, puasa dan zakat. Oleh karena itu, kita harus mengikuti apa yang dicontohkan Nabi.
Sedangkan dalam muamalah, bentuk peribadatan yang bersifat umum, pelaksanaannya tidak seluruhnya dicontohkan langsung oleh nabi, namun beliau hanya meletakkan prinsip-prinsip dasar, sedangkan pengembangannya diserahkan kepada kemampuan dan daya jangkau umat. Seperti ekonomi, bisnis, jual beli, perbankan, perkawinan, pewarisan, pidana, tata negara dan sebagainya.
1) Perintah Mendirikan Shalat
Shalat adalah salah satu bentuk sarana ritual yang menandakan ketundukan seorang hamba kepada Tuhannya. Shalat juga bisa diartikan sebagai bentuk konkret manusia mensyukuri segala nikmat-Nya. Dalam hal ini, Luqman al-Hakim sebagai pribadi yang bertanggung jawab memerintahkan kepada anak-anaknya untuk mendirikan shalat. Perintah ini secara redaksional nampak sangat jelas betapa Luqman mendidik anak-anaknya dengan menggunakan motode yang sangat humanis, yaitu model bertahap (tadrij).
Mulai dari larangan berbuat syirik, menanamkan keyakinan adanya tempat kembali sebagai balasan atas berbagai amal manusia, dan perintah mendirikan shalat lima waktu. Sebagaimana Nabi Muhammad memberi tuntunan dalam haditsnya, “Perintahkanlah anak-anakmu shalat ketika berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka karena meninggalkan shalat jika telah berumur sepuluh tahun, dan pisahkan anak laki-laki dari anak perempuan dalam tempat tidur mereka.” (HR. Abu Dawud, al-Turmudzi dan al-Hakim).
Tuntunan para nabi yang telah diimplementasikan oleh Luqman al-Hakim baik secara metodologis maupun aplikatif di lapangan hendaknya bisa dicontoh dan dilaksanakan oleh para orang tua ataupun para pendidik. Sehingga mutiara hikmah Luqman yang diabadikan Tuhan dalam al-Qur’an bisa membumi dan berakar, bukan hanya sekedar i‘tibar tanpa adanya pengamalan. Apalagi diperparah dengan adanya pengaruh globalisasi media elektronik; televisi, internet, mass media, video game dan sejenisnya seakan telah menggantikan berbagai mutiara hikmah dari orang-orang shalih.
Menurut Mushthafa al-Maraghi dalam kitab tafsirnya yang berjudul Tafsir al-Maraghi dijelaskan, perintah mendirikan shalat yang terdapat dalam surat Luqman ayat ke-17 mempunyai arti bahwa perintah untuk menjalankan shalat dengan sempurna sesuai dengan cara yang diridhainya. Karena di dalam shalat itu terkandung ridha Tuhan, sebab orang yang mengerjakannya berarti menghadap dan tunduk kepada-Nya. Dan di dalam shalat terkandung pula hikmah lainnya, yaitu dapat mencegah orang yang bersangkutan dari perbuatan keji dan mungkar. Maka apabila seseorang menunaikan hal itu dengan sempurna, niscaya bersilah jiwanya dan berserah diri kepada-Nya, baik dalam keadaan suka maupun duka.
Namun demikian, persoalan yang memprihatinkan dari peradaban saat ini adalah hilangnya nilai-nilai shalat dari sendi-sendi kehidupan ummat Islam. Seakan shalat hanyalah sekedar ritualitas dan tradisi tanpa makna, hampa dari esensi ontologisnya, tercerabut dari tujuannya. Padahal, secara tegas dalam doa iftitah kaum Muslim mengikrarkannya minimal lima kali dalam sehari: inna Salati wanusuki wa mahyaya wamamati lillahi rabbi ’l-‘alamin, yang artinya: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah SWT, Tuhan seisi alam.”
Berpijak pada Tafsir al-Maraghi dalam surat Luqman ayat ke-17 di atas, dimungkinkan kaum Muslim sampai saat ini belum mampu melaksanakan shalat dengan sempurna. Hal ini terbukti dari berbagai kasus kriminalitas yang terjadi di Indonesia mulai perampokan, pembunuhan, tindakan Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN), tawuran, perjudian, pelecehan seksual, narkoba, dekadensi moral dan lain sejenisnya, kebanyakan dilakukan oleh “ummat Islam.” Padahal, apabila kaum Muslimin mampu dan mau merenungkan dari setiap gerakan dan bacaan-bacaan shalat yang dilakukannya, manfaatnya sangatlah luar biasa, terlebih dalam membentuk kepribadian Islami.
Sebagai contoh yang sangat sederhana misalnya, prosesi pelaksanaan sujud. Di setiap shalat acapkali seorang Muslim melaksanakan gerakan sujud, dengan cara meletakkan (menundukkan) wajahnya ke bumi (tempat sujud), sembari diikuti dengan meletakkan kedelapan anggota tubuhnya di atas tempat sujud; yaitu menempelkan kening, hidung, kedua tangan, kedua lutut, dan jari-jari kedua kaki. Kemudian diiringi dengan bacaan subhanaka rabbiya ‘l-a‘la wa bihamdihi, arti bebasnya: “Mahasuci Tuhan yang menguasai ‘arsy (tempat yang gaib) dengan kesuciannya.”
Hal ini mengandung isyarat, bahwa manusia adalah makhluk yang lemah, kedudukannya di sisi Tuhan adalah sama, tidak dibedakan oleh warna kulit, ras, suku, golongan, pangkat, kekayaan, kemewahan dan lain sebagainya. Kedelapan anggota tubuh yang biasanya digunakan sebagai simbol keangkuhan manusia. Pada saat melaksanakan prosesi sujud dipaksa “tunduk” kepada Yang Maha berhak. Karena pada hakikatnya harkat dan martabat, kekayaan dan kemegahan manusia di dunia merupakan kamuflase yang semu dan sementara. Sedangkan yang membedakan manusia satu dengan manusia lainnya adalah ketakwaannya di sisi-Nya.
Dengan demikian, merupakan suatu keniscayaan apabila para orang tua maupun para pendidik mulai mengajarkan nilai-nilai dari pelaksanaan shalat kepada anak-anaknya. Baik mengajarkan nilai-nilai yang terkandung dalam bacaan shalat, maupun nilai-nilai dari gerakannya. Minimal memberi pemahaman bahwa shalat bukanlah sekedar ritualitas tanpa makna, melainkan ritualitas bermakna yang dapat mengantarkan anak-anak menjadi pribadi yang sukses, baik di dunia maupun di akhirat. Terlebih apabila penanaman dan pendidikan yang demikian ini diajarkan para orang tua pada saat anak-anak masih berumur 0-12 tahun, niscaya mereka akan senantiasa mengingat, mengamalkan, dan menjadikan batu pijakan nasihat-nasihatnya tersebut dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

2) Perintah Amar Ma‘ruf Nahy Munkar
Setelah menyuruh anak-anaknya untuk mendidirikan shalat, Luqman al-Hakim pun pada ayat ke-17 melanjutkan nasihatnya, agar anak-anaknya supaya berbuat kebaikan dan mencegah kemungkaran. Al-Zuhaili menafsirkan kalimat wa’mur bi ’l-ma‘ruf pada ayat ke-17 ini sebagai ajakan Luqman al-Hakim kepada dirinya sendiri maupun orang lain (anak-anaknya) untuk berbuat kebajikan, seperti budi pekerti yang baik, melakukan pekerjaan yang mulia, membersihkan jiwa dari keburukan. Sedangkan kalimat wanha ‘an al-munkar sebagai ajakannya untuk mencegah kemaksiatan, kejelekan dan kemungkaran baik kepada dirinya sendiri maupun kepada orang lain yang bisa menyebabkan kemurkaan Allah.
Lain halnya dengan al-Zuhaili, al-Maraghi menafsirkan kalimat wa’mur bi ’l-ma‘ruf dalam surat Luqman ayat ke-17 ini sebagai seruan Luqman al-Hakim agar orang lain (anak-anaknya) supaya mau membersihkan dirinya sesuai dengan kemampuannya. Maksudnya supaya jiwanya menjadi suci dan demi untuk mencapai keuntungan. Sedangkan kalimat wanha ‘an al-munkar ditafsirkan sebagai seruan agar manusia mau mencegah perbuatan durhaka kepada Allah SWT, dan dari mengerjakan larangan-larangan-Nya yang membinasakan pelakunya serta menjerumuskannya ke dalam azab neraka yang apinya menyala-nyala, yaitu neraka jahanam dan seburuk-buruk tempat kembali adalah neraka jahanam.
Walupun sepintas lalu kedua mufassir di atas, berbeda pendapat dalam memberi penafsiran tentang makna amar ma‘ruf nahy munkar. Namun, pada prinsipnya keduanya sependapat bahwa perintah kebajikan dan mencegah berbagai kejelekan merupakan perintah Luqman al-Hakim kepada anak-anaknya pada khususnya dan umat manusia pada umumnya. Dengan demikian, para orang tua maupun para pendidik hendaknya mau mengikuti jejak Luqman al-Hakim yang tidak pernah bosan menyerukan kebaikan dan mencegah segala bentuk kemungkaran di mana pun ia berada. Tentunya sesuai dengan kemampuan dan kapasitasnya masing-masing.
c. Pendidikan Ahklak
Pendidikan akhlak adalah pendidikan yang berusaha mengenalkan, menanamkan serta menghayatkan anak akan adanya sistem nilai yang mengatur pola, sikap dan tindakan manusia atas isi bumi. Pola sikap dan tindakan yang dimaksud mencakup pola-pola hubungan dengan Allah, sesama manusia (termasuk dengan dirinya sendiri) dan dengan alam sekitar. Alih kata, pendidikan akhlak adalah suatu pendidikan yang berusaha mengimplementasikan nilai keimanan seseorang dalam bentuk perilaku. Sebab pendidikan akhlak adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan agama.
Sehingga sesuatu, dianggap baik atau buruk oleh seseorang manakala berdasar pada agama. Adapun nilai pendidikan akhlak yang terdapat dalam nasihat Luqman pada ayat ke-12-19 adalah mensyukuri nikmat Allah SWT. Atas segala nikmat dan karunia Allah, kita harus bersyukur kepada-Nya. Nikmat Allah meliputi seluruh hidup, sehingga tidak mungkin bagi kita untuk menghitungnya, mulai dari nikmat yang berhubungan dengan jasmani, rohani, materi dan non materi dengan berbagai ragam. Sebagaimana berfirman-Nya dalam al-Qur’an yang berbunyi:

 



“Jika kamu hitung nikmat Allah, niscaya tak dapat kamu menghitungnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Penyayang.”

Ayat tersebut di atas, menurut Wahbah al-Zuhaili menunjukkan betapa pentingnya mensyukuri nikmat. Lebih lanjut dijelaskan andaikata manusia ingin menghitung dan mengidentifikasi nikmat Allah, niscaya ia tidak akan mampu. Sebab nikmat Allah itu sangat besar jumlahnya (tak terhitung) yang terus menerus ada, sedangkan akal manusia itu sangat terbatas dan lemah. Nikmat adalah kesenangan, pemberian atau karunia yang diberikan-Nya kepada manusia. Menurut Imam al-Ghazali nikmat berarti setiap kebaikan yang dapat dirasakan kelezatannya dalam kesenangan hidup, tetapi nikmat yang sejati adalah kesenangan hidup di akhirat.
Sedangkan syukur menurut Hamka adalah orang yang mampu mempertinggi dirinya sendiri dengan cara mengenang dan menghargai jasa orang lain. Orang yang paling berjasa terhadap diri kita adalah kedua orang tua. Sehingga Tuhan pun memerintahkan setiap manusia agar bersyukur kepada keduanya, dan pada prinsipnya yang maha berjasa adalah Allah SWT. Dalam hal ini, Imam al-Qusyairi mengutip dari Syeh Ali Dahaq yang mengatakan bahwa hakikat syukur menurut para
ahli ialah pengakuan terhadap nikmat yang diberikan-Nya yang dibuktikan dengan ketundukannya.
BAB III
KESIMPULAN


Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, ada dua hal yang dapat dijadikan konklusi. Pertama, nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam al-Qur’an surat Luqman ayat 12-19 pada dasarnya meliputi tiga pendidikan fundamental yaitu; pendidikan aqidah, pendidikan syariah, dan pendidikan akhlak. Kedua, implikasi nilai-nilai pedidikan Islam yang terkandung dalam surat Luqman tersebut, menjadikan pembentukan kepribdian yang Islami sebagai salah satu pilihan guna membentengi anak sedini mungkin dari pengaruh lingkungan yang negatif. Pembentukan kepribadian anak pada prinsipnya merupakan proses yang berkelanjutan.
Proses tersebut akan lebih baik dan berhasil manakala para orang tua dapat mengkombinasikan dua faktor, yaitu faktor persiapan berfungsi sebagai proses pembentukan kepribadian anak sebelum ia lahir di dunia (prenatal), dan faktor pelaksanaan berfungsi sebagai proses pembentukan kepribadian anak setelah ia lahir, melalui pendidikan formal dan pendidikan nonformal. Untuk merealisasikan pembentukan kepribadian yang Islami diperlukan adanya berbagai metode yang dianggap cukup representatif, di antaranya dengan menggunakan metode keteladanan, nasihat, dan pengawasan.



DAFTAR PUSTAKA


Athas, Ali bin Hasan, Nasihat Luqman Hakim untuk Generasi Muda, Yogyakarta: Aditya Media, 1993.
Zuhaili, Wahbah, Tafsir Al-Munir Juz XXI, Beirut: Darul Fikri, 1991.
Darajat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
D. Marimba, Ahmad, Pengantar filsafat Pendidikan Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1991.
Fadjar, A. Malik, Reformasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia, 1991.
Hurlock, Elizabeth B., Perkembangan Anak jilid II, penerjemah: Med. Meitasari Tjandrasa, Jakarta: Erlangga, 1991.
Hall, Calvin S, Pengantar Kedalaman Ilmu Jiwa Sigmund Freud, penerjemah: S. Tasref , Yogyakarta: Pembangunan, 1991.
HAMKA, Tafsir al-Azhar Juz XXI, Surabaya: Yayasan Latimojong, 1991.
__________, Tafsir al-Azhar Juz 1, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991.
Hasan al-Banna, Aqidah Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1991.
Hamka (Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah), Tafsir Al-Azhar Juz 1, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991.
Karim Khatib, Abdul, Tafsirul Qur’an Lil Qur’an, Beirut: Darul Fikri, 1991.
Ma’arif, A Syafi’i, Pendidikan Islam di Indonesia, Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.
Musthafa al-Maraghi, Ahmad, Tafsir al-Maraghi, penerjemah: Bahrun Abu Bakar, dkk., Semarang: Karya Toha Putra, 1992.
Mulyana, Rohmat, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Bandung: Alfabeta, 2004.
Quthb, Muhammad, Sistem Pendidikan Islam, terj. Salman Harun, Bandung: al-Ma’arif, 1988.
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Press, 1995.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.

Zuhairi, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Depag, 1996.

2 comments:

Simbol Bilangan atau Angka

  a. Pengertian Angka Memahami suatu angka dapat membantu manusia untuk melakukan banyak perhitungan mulai dari yang sederhana maupaun y...

Blog Archive