Jiwa manusia, termasuk peserta didik terdiri atas berbagai potensi
psikologis, baik dalam domain kognitif maupun dalam domain afektif dan konatif
(psikomotorik). Teori belajar humanisme memandang kegiatan belajar mengajar
merupakan kegiatan yang melibatkan potensi psikis yang bersifat kognitif,
afektif, dan konatif.
Salah seorang tokoh teori belajar humanisme adalah Carl Ransom Rogers
yang ide dan konsepnya banyak didapatkan dalam pengalaman-pengalaman
terapeutiknya yang banyak dipengaruhi oleh teori kebutuhan (needs) yang diperkenalkan Abraham H.
Maslow.
Menurut teori kebutuhan Maslow, di dalam diri tiap individu terdapat
sejumlah kebutuhan yang tersusun secara berjenjang mulai dari kebutuhan yang
paling rendah tetapi mendasar (phsycological
needs) sampai jenjang paling tinggi (self
actualization). Setiap individu mempuyai keinginan untuk mengaktualisasikan
dirinya yang disebut dorongan untuk menjadi dirinya sendiri (to becoming a person).
Peserta didik pun memiliki dorongan untuk menjadi dirinya sendiri, karena
di dalam dirinya terdapat kemampuan untuk mengerti dirinya sendiri, menentukan
hidupnya sendiri, dan menangani sendiri masalah yang dihadapinya. Belajar
dipandang sebagai fungsi keseluruhan pribadi. Mereka berpendapat bahwa belajar
yang sebenarnya tidak dapat berlangsung bila tidak ada keterlibatan intelektual
maupun emosional peserta didik. Oleh karena itu, menurut teori belajar
humanisme bahwa motivasi belajar harus bersumber pada diri peserta didik.
Itulah sebabnya dalam proses pembelajaran hendaknya diciptakan kondisi
pembelajaran yang memungkinkan peserta didik secara aktif mengaktualisasi
dirinya.
|
Aktualisasi diri merupakan suatu proses menjadi dirinya
sendiri dan mengembangkan sifat-sifat dan potensi-potensi psikologisnya yang
unik. Proses aktualisasi diri seseorang berkembang sejalan dengan perkembangan
hidupnya karena setiap individu, dilahirkan disertai potensi tumbuh-kembang
baik secara fisik maupun secara psikis masing-masing. Proses tumbuh-kembang
pada setiap individu mengikuti tahapan, arah, irama, dan tempo sendiri-sendiri,
yang ditandai oleh berbagai ciri atau karakteristiknya masing-masing. Ada
individu yang tempo perkembangannya cepat tetapi iramanya tidak stabil dan
arahnya tidak menentu, dan ada pula individu yang tempo perkembangannya tidak
cepat tetapi irama dan arahnya jelas. Dalam kaitannya dengan proses pendidikan
formal (sekolah), Slavin mengelompokkan
tahapan perkembangan anak yaitu :
1.
Tahapan early
childhood
2.
Tahapan Middle
childhood
3.
Tahapan adolescence
dengan dimensi utama perkembangan mencakup :
a.
Dimensi kognitif
b.
Dimensi fisik
c.
Dimensi sosioemosi
Tiap dimensi perkembangan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda
antara tahapan perkembangan yang lainnya.
Pada tahapan early childhood,
perkembangan individu dalam dimensi perkembangan kognitif lebih ditandai oleh
penguasaan bahasa (language acquisition).
Individu pada tahapan perkembangan ini mendapatkan banyak sekali perbendaharaan
bahasa. Sejak lahir sampai pada usia 2 tahun biasanya individu (bayi) mencoba
memahami dunia sekitarnya melalui penggunaan rasa (senses). Pengetahuan atau apa yang diketahuinya lebih banyak
didasarkan pada gerakan fisik, dan apa yang dipahaminya terbatas pada kejadian
yang baru saja dialaminya.
Pada saat memasuki Taman Kanak-Kanak (TK) sekitar usia 3-4 tahun,
individu telah memiliki kemampuan berbahasa baik dalam komunikasi verbal maupun
komunikasi tertulis. Kemampuan komunikasi verbal berkembang lebih dahulu pada
usia sekitar 3 tahun, yang ditandai oleh penguasaan keterampilan berbicara.
Selanjutnya, pada saat memasuki SD kelas
1 individu pada umumnya telah memiliki kemampuan menggunakan dan memahami
sejumlah kalimat sederhana, kemampuan melakukan percakapan dan kemampuan
mengetahui kalimat tertulis.
Dalam dimensi perkembangan fisik, perkembangan individu lebih ditandai
oleh perubahan penampilan tubuh dan penguasaan keterampilan gerak (motor skills). Pada masa-masa awal masuk
sekolah, antara individu yang satu relatif sama dengan individu lainnya dalam
hal perkembangan penguasaan keterampilan gerak. Akan tetapi apabila
diperhatikan secara seksama akan dapat dilihat adanya perbedaan kecepatan dan
ketepatan penguasaan keterampilan gerak tertentu di antara individu yang satu
dengan yang lainnya. Hal inilah yang menyebabkan mereka selalu terdorong untuk
bergerak dan tidak dapat bertahan lama dalam satu posisi tubuh tertentu.
Dalam dimensi perkembangan sosioemosi, individu mengalami kesulitan pada
awal masuk sekolah karena hubungan sosial-emosional mereka terbatas pada
hubungan dekat (intimate relation)
seperti dengan orang tua atau orang-orang tertentu yang sering berkomunikasi
dengannya.
Teori perkembangan personal dan sosial yang dikemukakan Erik Erikson
menjelaskan bahwa selama masa awal kanak-kanak, setiap anak harus mengatasi
krisis kepribadian dengan cara berinisiatif sendiri atau dengan cara kecemasan
atau ketakutan. Keberhasilan anak mengatasi krisis seperti ini turut
dipengaruhi oleh pemberian kesempatan yang masuk akal untuk menghadapinya.
Lebih dini pendidik dapat mendorong peserta didik dengan cara memberi
kesempatan mereka mengambil inisiatif, merasa tertantang, dan mencapai
keberhasilan.
Pada tahapan perkembangan middle
childhood, perkembangan kognitif seseorang mulai bergeser ke perkembangan
proses berpikir. Pada awalnya, proses berpikir individu pada tahapan
perkembangan ini dimulai dengan hal-hal yang kongkrit operasional, dan
selanjutnya ke hal-hal abstrak konseptual. Apabila individu gagal dalam
perkembangan proses berpikir dalam hal-hal kongkrit operasional, maka besar
kemungkinan mengalami kesulitan dalam proses berpikir abstrak konseptual.
Dalam perkembangan fisik, terjadi perlambatan perkembangan otot (mascular development) dibandingkan
dengan yang terjadi pada tahapan perkembangan early childhood. Perkembangan fisik yang menonjol adalah
perkembangan tulang dan kerangka tubuh dengan mengabaikan perkembangan otot.
Akibatnya, seringkali individu merasa tubuhnya dengan mengabaikan perkembangan
otot. Akibatnya seringkali individu merasa tubuhnya tidak nyaman apabila berada
dalam satu posisi tertentu karena harus banyak gerakan dan latihan untuk
penyesuaian kondisi otot terhadap perkembangan tulang dan kerangka tubuh yang
sedang berada pada masa peka berkembang.
Pada awalnya perkembangan tulang dan kerangka tubuh relatif sama antara
individu laki-laki dan perempuan. Akan tetapi menjelang akhir tahapan
perkembangan middle childhood,
perkembangan tulang dan kerangka tubuh perempuan lebih cepat dibandingkan
dengan laki-laki, sehingga perempuan lebih cepat mencapai puncak pertumbuhan
tulang dan kerangka tubuhnya dibandingkan dengan laki-laki. Hal inilah yang
menyebabkan perempuan leih cepat mencapai kematangan seksual dibandingkan
dengan laki-laki.
Dalam dimensi perkembangan sosioemosi, egosentrik individu menjadi sangat
menonjol dalam berperilaku. Di dalam diri individu mulai tumbuh kesadaran bahwa
dirinya adalah dirinya sendiri yang berbeda dengan orang lain sehingga
cenderung tidak mau dipengaruhi atau ditolong oleh orang lain. Individu mulai
berusaha untuk melakukan sendiri segala sesuatu, dan mulai membangun wilayah
kepemilikan pribadi. Individu mulai berupaya menyusun dan menemukan konsep diri
(self concept) dan jati diri (self esteem atau self identity) berdasarkan standar atau norma yang ditetapkannya
sendiri. Itulah sebabnya, pada tahapan perkembangan ini seringkali terjadi
pertentangan antara orang tua dan anak di rumah.
Pada perkembangan adolescence,
perkembangan kognitif lebih ditandai oleh perkembangan fungsi otak (brain) sebagai instrumen berpikir.
Berpikir formal operasional atau berpikir abstrak konseptual mulai berkembang;
di samping itu mulai berkembang pola pikir reasoning
(penalaran) baik secara induktif (khususèumum) maupun secara
deduktif (umumèkhusus).
Dalam menghadapi segala kejadian atau pengalaman tertentu, individu mengajukan
hipotesis atau jawaban sementara yang menggunakan pola pikir deduktif.
Dalam dimensi perkembangan fisik pada tahapan perkembangan adolescence, ciri-ciri fisik dalam
proses reproduksi memasuki masa peka untuk berkembang ke arah kematangan
seksual yang sesuai dengan jenis kelamin masing-masing individu. Berbagai
perubahan postur tubuh dialami oleh individu, dan seringkali menyebabkannya
merasa tidak nyaman dalam melakukan aktifitas. Hal ini terjadi karena pengaruh
perkembangan hormonal yang begitu menonjol pada bagian-bagian tubuh tertentu.
Dalam dimensi perkembangan sosioemosi pada tahapan perkembangan adolescence, individu mulai menyadari
dan menganalisis secara reflektif apa yang terjadi dalam dirinya dan apa yang
dipikirkannya. Di dalam diri individu mulai muncul kesadaran perbedaan
karakteristik individualnya yang berbeda dengan karakteristik individual orang
lain di sekitarnya. Individu mulai mengkaji keberadaan dirinya (tubuh, pikiran,
perasaan atau perilaku) yang berbeda dengan keberadaan diri orang lain.
Identitas diri (ego identity) mulai
terbentuk dalam diri masing-masing individu.
Ada individu yang berhasil membentuk ego
identity-nya dengan jelas tetapi ada pula individu yang gagal dalam
membentuk ego identity-nya. Kegagalan
individu membentuk ego identity-nya
berawal dari kegagalannya dalam merumuskan konsep diri (self concept) secara benar dan tepat. Akibatnya, kegagalan
membentuk ego identity ini dapat
menyebabkan gangguan psikologis, mulai dari yang bertaraf rendah (tidak tenang,
cemas, ragu-ragu, curiga, dan sejenisnya) sampai yang bertaraf menengah serta
bertaraf tinggi (penyakit jiwa).
No comments:
Post a Comment