Dari
sejak awal perihal kehadiran dan keberadaan pendidikan seni (tari) dalam
konteks sekolah umum di Indonesia, yang dalam sepanjang sejarahnya sering
mengalami perubahan (baca: pembaharuan) nama, paradigmanya lebih diorientasikan
dalam perspektif pemaknaan seni sebagai media atau alat pendidikan. Dalam
artian, lewat atau melalui kegiatan atau aktivitas berkesenian, diyakini dapat
difungsikan sebagai media yang cukup efektif untuk membantu pertumbuhan dan
perkembangan segenap potensi individu secara optimal dalam format kesetimbangan
(equilibrium) yang penuh. Disini, yang menjadi orientasi dan stretching point-nya
dari pemaknaan aktivitas berkesenian bukan berada pada persoalan produk karya
atau hasil, melainkan lebih pada dimensi proses (Goeldberg 1997: 17-20). Proses
yang terbingkai dalam makna pendidikan seni, yang lebih dikenal dengan sebutan
“pengalaman estetik” (aesthetic experience) menurut pendapat dan hasil
penelitian para pakar pendidikan (Plato, Herbert Read, Victor Lowenfeld, Malcom
Ross, Elizabeth Hurlock, Ki Hadjar Dewantara), ternyata mempunyai korelasi
positif terhadap perkembangan berbagai potensi diri individu, misalnya:
imajinasi, intuisi, berpikir, kreativitas, dan juga rasa sensitivitas.
Dalam
pandangan psikologi kontemporer tentang belajar (“konstruktivisme”),
diisyaratkan bahwa belajar adalah mengkonstruksikan pengetahuan yang terjadi from
within. Jadi tidak dengan memompakan pengetahuan itu ke dalam kepala
pembelajar, melainkan melalui suatu dialog yang ditandai oleh suasana belajar
yang bercirikan pengalaman dua sisi (two sided experience), untuk memberikan
pemahaman dan menyulut minat dalam mengadakan eksplorasi lebih lanjut tentang
apa yang ingin dijadikan perolehannya (Buber 1970 dalam Sindhunata 2001). Ini
berarti bahwa, penekanan belajar tidak lagi seharusnya pada kuantitas materi,
melainkan pada upaya agar siswa menggunakan peralatan mentalnya (otaknya)
secara efektif dan efisien, sehingga tidak ditandai oleh segi kognitif belaka,
melainkan terutama juga oleh keterlibatan emosional dan kreatif.
Daniel
Goleman, Ph.D dari Harvard University, melalui hasil action research di dalam
bukunya Emotional Intelligence (1995) dan Working with Emotional Intelligence
(1999), mengisyaratkan bahwa manusia memiliki dua segi mental, yaitu berasal
dari kepala (head) yang cirinya kognitif, dan berasal dari hati sanubarinya
(heart), yaitu segi afektifnya. Kehidupan afektif ini sangat mempengaruhi
kehidupan kognitif yang dikelola oleh otak, yang memiliki dua belahan (kiri dan
kanan) dan disambung oleh segumpal serabut yang disebut corpus callosum.
Berpikir holistik, kreatif, intuitif, imajinatif, dan humanistik merupakan
tugas serta ciri dan fungsi belahan otak kanan (right hemisphere), dan berpikir
kritis, logis, linier, serta mememorisasi terutama terkait dengan respon, ciri,
dan fungsi belahan otak kiri (left hemisphere) (Semiawan 1999).
Pengalaman
belajar yang menjanjikan adanya kualitas equilibrium pada pengembangan otak
secara optimum, baik pada belahan kiri dan kanan akan memberikan kebebasan
aktivitas mental (free mental work) pebelajarnya, dan hal ini kiranya merupakan
quality assurancy yang perspektifnya sangat strategis bagi keberadaan individu
secara holistik dalam kehidupan dan masyarakatnya. Sebaliknya pembelajaran yang
hanya dan terutama membebankan berfungsinya belahan otak kiri, terutama dengan
mememorisasi fakta atau rumus tertentu, yang menurut hasil penelitian,
diantaranya akan mensupress dirinya–sangat mendorong adanya hostile attitude
(sikap permusuhan) (Semiawan 1999). Tindak agresivitas massa dan konflik
multidimensional yang menjadi salah satu beban terberat bangsa akhir-akhir ini,
adalah salah satu kemungkinan akibat dari kehidupan yang tidak sehat dan
terkait erat dengan cara pembelajaran yang salah, sebagaimana diisyaratkan oleh
penelitian tersebut.
Namun,
jauh sebelum Goleman melakukan penelitiannya itu, Bapak Pendidikan Nasional Ki
Hadjar Dewantara bahkan sudah sejak lama menjadikan unsur rasa sebagai poros
trilogi pendidikan dalam bentangan pikir (cipta)–rasa– karsa. Ki Hadjar
Dewantara secara intens menekankan pentingnya olah rasa disamping olah pikir
dan olah raga. Melalui olah rasa inilah akan memekarkan sensitivitas hingga
terbentuk manusia-manusia yang berwatak mulia, seperti: terintegrasinya antara
pikir, kata, dan laku, sikap jujur, rendah hati, disiplin, setia, menahan diri,
bertenggang rasa, penuh perhatian, belas kasih, berani, adil, terbuka, dan
sebagainya. Oleh karenanya proses internalisasi atau pengakaran, pengasahan dan
pemekaran rasa seyogyanya menjadi concern sejak pendidikan di tingkat dini.
Ketika
pendidikan moral dan nilai-nilai yang tersaji dalam format pendidikan agama
baik formal maupun informal, ternyata dalam ekspresinya berkecenderungan lebih
mengedepankan pengasahan aspek kognitif dan bukannya penajaman dan penghayatan
pada dimensi religiousitas, maka sesungguhnya nilai-nilai yang termuat dalam
pendidikan yang berbasiskan seni dan sastra merupakan salah satu alternatif
oasis. Sayangnya selama ini tidak pernah mendapatkan perhatian yang besar dalam
sistem pendidikan formal, karena para decission maker pendidikan, sampai saat
ini begitu gandrung dengan ranah pendidikan yang berbasiskan kemampuan
intelektual semata sebagaimana dimaksud diatas.
Pendidikan
seni yang pada hakekatnya merupakan pembelajaran yang menekankan pada pemberian
pengalaman apresiasi estetik, disamping mampu memberikan dorongan ber-“ekstasi”
lewat seni, juga memberi alternatif pengembangan potensi psikis diri serta
dapat berperan sebagai katarsis jiwa yang membebaskan. Ross mengungkapkan bahwa
kurikulum pendidikan seni termasuk kurikulum humanistic yang mengutamakan
pembinaan kemanusiaan, bukan kurikulum sosial yang mengutamakan hasil praktis
(Ross 1983). Sedangkan menurut Read (1970) pendidikan seni lebih berdimensikan
sebagai “media pendidikan” yang memberikan serangkaian pengalaman estetik yang
sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan jiwa individu. Sebab melalui
pendidikan ini akan diperoleh internalisasi pengalaman estetik yang berfungsi
melatih kepekaan rasa yang tinggi. Dengan kepekaan rasa yang tinggi inilah,
nantinya mental anak mudah untuk diisi dengan nilai-nilai religiousitas, budi
pekerti atau jenis yang lain. Definisi dan pemaknaan “kearifan” diperlukan
syarat-syarat: pengetahuan yang luas (to be learned), kecerdikan (smartness),
akal sehat (common sense), tilikan (insight), yaitu mengenali inti dari hal-hal
yang diketahui, sikap hati-hati (prodence, discrete), pemahaman terhadap
norma-norma dan kebenaran, dan kemampuan mencernakan (to digest) pengalaman
hidup (Buchori 2000 dalam Sindhunata 2001: 25). Semua nilai-nilai itu
terkandung dengan sarat dalam dimensi pendidikan seni, karena berorientasi pada
penekanan proses pengalaman olah rasa dan estetis.
Proses
Perubahan Perilaku Kecerdasan Emosional Anak Usia Dini melalui Pembelajaran
Seni Tari
Peningkatan
kecerdasan emosional anak usia dini melalui pembelajaran seni tari dapat dilihat
melalui: (1) timbulnya perasaan bangga, (2) memiliki sifat pemberani, (3) mampu
mengendalikan emosi, (4) mampu mengasah kehalusan budi, (5) mampu menumbuhkan
rasa bertanggung jawab, (6) mampu menumbuhkan rasa mandiri, (7) mudah
berinteraksi dengan orang lain, (8) memiliki prestasi yang baik, (9) mampu
mengembangkan imajinasi, dan (10) menjadi anak yang kreatif.
1.
Timbulnya Perasaan Bangga
Perasaan
bangga pada anak dapat dilihat pada saat anak tampil menari dengan ekspresi
tersenyum, tenang, dan gembira. Seorang anak membutuhkan kesepakatan pujian
dari orang yang dikagumi, dicintai dan dihormatinya. Mendapat pujian dari orang
yang dicintai, dikagumi, akan dapat membuat anak menjadi merasa lebih berarti
dan berguna. Pujian tersebut bisa berupa kalimat verbal maupun non verbal
sebagai pernyataan kekaguman atas diri anak. Pujian yang disampaikan kepada
anak akan menimbulkan sugesti positif bagi anak, sehingga anak terpengaruh
untuk menjadi lebih tenang, gembira, aman, optimis dan sebagainya.
Perasaan
bangga pada anak dapat dilihat melalui penampilan anak dalam melakukan gerakan
tari yang selalu disertai dengan senyuman, kelincahan dan kegembiraan.
Kemampuan menari dan peningkatan gerak motorik anak dapat menimbulkan perasaan
bangga pada anak, yang menunjukkan anak memiliki kecerdasan emosional yang
baik. Kecerdasan emosional anak terbentuk pada saat anak memulai belajar menari
dari gerakan awal yang tidak begitu dikuasai, sampai akhirnya menguasai gerakan
tari secara keseluruhan.
2)
Memiliki Sifat Pemberani
Proses
pembelajaran seni tari mengajarkan anak berani bergerak dengan bebas, berani
bertanya, berani melakukan perintah gurunya, berani menunjukkan kemampuannya,
dan berani untuk tampil di hadapan orang lain. Sikap berani anak ditunjukkan
melalui cara anak menari dengan bebas tanpa tekanan, selalu tersenyum, tatapan
mata yang penuh percaya diri. Selanjutnya dalam kehidupan sehari-hari sikap
pemberani anak dalam menari tersebut tercermin dari sikap anak yang berani
untuk bertemu dengan orang lain, berani menjawab pertanyaan orang lain, berani
bertanya, berani bermain dengan teman sebayanya, berani berada di lingkungan
yang baru dan berani mengikuti perintah guru.
3)
Mampu Mengendalikan Emosi
Perilaku
anak, baik itu meliputi perilaku yang baik ataupun buruk merupakan bagian dari
pengembangan kecerdasan emosional anak. Sesungguhnya anak cenderung memiliki
emosi yang lebih kuat daripada orang dewasa, karena anak belum mampu
mengembangkan kemampuan menalar sampai dengan usia 9 tahun. Anak yang memiliki
kecerdasan emosional kuat akan mampu menciptakan dan mempertahankan hubungan
sehat dengan orang lain dan dengan dirinya sendiri. Kecerdasan emosional anak
terlihat pada anak yang benar-benar dididik dan diarahkan untuk menjiwai dan
menghargai terhadap kemampuan dalam melakukan suatu tarian. Anak yang secara
rutin belajar tari, secara tidak langsung telah belajar berbuat, merasa, dan
menghargai orang lain. Kemampuan anak tersebut sangat berguna bagi dirinya
sendiri maupun bagi orang lain. Sementara itu, perlu diperhatikan pula, bahwa
faktor dukungan dari sekolah, orang tua dan masyarakat juga mempengaruhi
pengendalian emosi anak yang sudah terarah dan terbentuk dengan baik,
senantiasa akan berubah dan luntur oleh lingkungan dimana anak berada.
4) Mampu
Mengasah Kehalusan Budi
Pelaksanaan
pembelajaran seni tari tidak hanya mengajarkan, melatih dan membimbing anak
untuk bergerak mengikuti alunan musik, melainkan dapat juga membimbing dan
mengarahkan perilaku anak dengan etika yang baik. Seni tari mengajarkan anak
untuk dapat menyesuaikan gerakan dengan musik sehingga anak secara tidak
langsung berlatih untuk menggunakan kepekaan dan kehalusan budi/perasaannya
agar dapat bergerak sesuai dengan musik. Anak belajar untuk mentaati dan
melaksanakan perintah guru dalam pembelajaran seni tari, yang tercermin pada
saat guru memberikan contoh gerak dan menyuruh anak untuk memperhatikan,
menirukan dan mempraktekkan. Anak belajar untuk mengingat gerakan yang
diberikan guru, sehingga anak juga belajar mengasah kognitifnya. Selain
kognitifnya terasah, anak juga belajar menanamkan nilai-nilai etika yang
mengasah kehalusan budinya melalui kegiatan menari dengan cara belajar
menghargai teman, bekerjasama dengan teman, menolong sesama teman, mengikuti
perintah guru, menghormati guru, dan memiliki sopan santun.
5)
Mampu Menumbuhkan Rasa Bertanggung jawab
Anak
yang bertanggungjawab adalah anak yang mampu melakukan apa yang diinginkannya
sekaligus juga mampu melakukan apa yang diinginkan orang lain, mampu memilih
mana yang baik dan buruk serta berani menanggung resiko. Untuk menanamkan rasa
tanggung jawab kepada anak harus dilakukan dengan lemah lembut, halus, tegas
tetapi penuh pengharapan. Bentuk tanggung jawab yang diajarkan guru kepada anak
melalui pembelajaran seni tari adalah: (1) belajar mentaati waktu, apabila
waktunya belajar tari sudah tiba maka anak-anak diminta segera untuk menuju
ruang berlatih, (2) belajar mengatur dirinya sendiri melalui berbaris rapi,
berjajar dengan teman-temannya pada saat mengikuti pelajaran tari, (3) belajar
memperhatikan guru pada saat guru menerangkan dan mengikuti semua perintah
guru, dan (4) belajar menghafalkan gerakan yang diberikan guru.
6)
Mampu Menumbuhkan Rasa Mandiri
Salah
satu ciri anak yang mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi adalah mempunyai
sifat mandiri. Sifat mandiri pada anak dapat ditanamkan melalui pembelajaran
tari, caranya dengan mengajarkan anak untuk melakukan tugas-tugasnya secara
mandiri. Tugas-tugas anak tersebut antara lain yaitu: mencari tempat di dalam
barisan pada saat belajar menari, berjalan tertib menuju ruang latihan menari,
menirukan gerak yang diberikan oleh gurunya tanpa disuruh, berani menari
sendiri tanpa diberi contoh, berani mengambil tempat minum sendiri, berani
menari didepan banyak orang tanpa didampingi gurunya.
7)
Mudah Berinteraksi dengan orang lain
Dalam
pembelajaran seni tari, anak diajarkan untuk berinteraksi dengan orang lain,
misalnya menjawab pertanyaan guru, memperhatikan guru dalam menjelaskan materi,
menirukan gerak yang diberikan oleh guru, mempraktekkan gerak yang diajarkan
guru, bertanya pada guru apabila mempunyai kesulitan, menyapa teman, berbaris
rapi bersama teman, menari bersama teman, mau berbagi dengan teman. Kebiasaan
yang diajarkan guru dalam proses belajar menari tersebut dapat diterapkan di
dalam perilaku sehari-hari, misalnya mau menjawab pertanyaan orang lain,
memperhatikan orang lain yang berbicara dengannya, bertanya atau menyapa pada
orang lain, mau bermain dengan teman, berbagi dengan teman, membantu teman yang
dalam kesulitan.
8)
Memiliki Prestasi Yang Baik
Belajar
menari tidak hanya membuat anak mempunyai tubuh yang lentur dan bugar, akan
tetapi lebih jauh lagi, menari mampu membentuk kecerdasan emosional dan logika
anak yang dibuktikan dengan prestasi yang baik di dalam pelajaran lainnya.
Berdasarkan wawancara dengan Heny guru kelas A2, bahwa anak-anak yang suka
menari dan sering mengikuti pentas menari cenderung memiliki prestasi yang
tinggi jika dibandingkan dengan anak yang tidak suka kegiatan menari. Anak yang
suka menari mempunyai sifat mudah diajak berkomunikasi, mudah tanggap terhadap
materi pelajaran yang diberikan oleh guru dan cepat selesai mengerjakannya.
Anak juga mempunyai konsentrasi yang baik dalam mengikuti pelajaran. Hal ini
disebabkan karena di dalam proses belajar menari, anak tidak hanya dituntut
untuk bisa menghafalkan gerak, tetapi juga dituntut untuk mampu
mempraktekkannya sesuai dengan iringan dan mampu mengeskpresikan gerak tersebut
dengan baik. Artinya di dalam proses belajar menari, anak belajar 3 hal
sekaligus yang tidak didapatkan dalam mata pelajaran lain, yaitu menghafalkan,
menyesuaikan gerak dengan musik, dan menjiwai gerakan tersebut.
9)
Mampu Mengembangkan Imajinasi
Dalam
pembelajaran tari, pengembangan imajinasi anak dilakukan melalui cerita yang
disampaikan oleh guru sebelum memberikan contoh gerak. Selain cerita, foto,
gambar, film, keadaan disekeliling anak juga dapat menjadi media pengembangan
imajinasi anak. Misalnya, guru akan mengajarkan tari burung, terlebih dahulu
anak diberikan cerita mengenai burung, bagaimana burung itu mencari makan,
minum, terbang, bertengger, berjalan dan tidur. Kemudian anak diajarkan
menirukan perilaku burung tersebut sesuai dengan imajinasi anak sendiri. Guru
hanya mengarahkan gerakan yang dibuat anak berdasarkan imajinasinya tersebut
supaya menghasilkan gerak yang baik. Guru harus menghargai karya anak tersebut,
tidak boleh mencela atau mengatakan buruk, karena hanya akan mematahkan daya
imajinasi anak.
10)
Menjadi Anak Yang Kreatif
Proses
pengembangan daya imajinasi anak, akan mengarah atau membentuk perilaku kreatif
anak. Hal ini dapat dilihat dari hasil karya anak. Dalam proses belajar tari,
anak cenderung menjadi lebih kreatif, karena anak diberi kebebasan untuk
bergerak, menirukan gerak, menafsirkan gerak sesuai dengan kemampuannya.
Artinya dalam proses belajar tari, tidak ada istilah benar dan salah, sehingga
anak bebas menirukan gerak yang diberikan gurunya. Bebas artinya gerakan yang
dilakukan anak tidak harus sama persis yang dilakukan gurunya, misalnya gerak
tangan ke atas, seharusnya gerak tangan tersebut dilakukan dengan lurus ke
atas, tetapi anak bisa melakukannya tidak lurus mungkin agak serong. Selain
itu, anak juga diberikan kebebasan untuk menafsirkan cerita yang diberikan guru
untuk mengekspresikannya kedalam gerak sesuai dengan imajinasinya. Dengan
membiarkan anak melakukan gerak tari sesuai dengan kemampuan dan imajinasinya,
guru secara tidak langsung sudah mengajarkan anak untuk mengembangkan
kreativitasnya. Kreativitas gerak yang dimiliki anak, merupakan salah satu ciri
kecerdasan emosional anak.
No comments:
Post a Comment