Dalam
rangka meningkatkan profesionalisme guru,
terjadinya revolusi teknologi informasi merupakan
sebuah tantangan yang harus mampu
dipecahkan secara mendesak. Adanya perkembangan teknologi
informasi yang demikian akan mengubah pola hubungan guru-murid, teknologi
instruksional dan sistem pendidikan secara keseluruhan. Kemampuan guru dituntut
untuk menyesuaikan hal demikian itu. Adanya revolusi informasi harus dapat
dimanfaatkan oleh bidang pendidikan sebagai alat mencapai tujuannya dan bukan
sebaliknya justru menjadi penghambat.
Untuk
itu, perlu didukung oleh suatu kehendak dan etika yang dilandasi
oleh ilmu pendidikan dengan
dukungan berbagai pengalaman
para praktisi pendidikan di lapangan. Perkembangan teknologi
(terutama teknologi informasi)
menyebabkan peranan sekolah sebagai lembaga pendidikan akan mulai
bergeser. Sekolah tidak lagi akan menjadi satu-satunya pusat pembelajaran
karena aktivitas belajar tidak lagi terbatasi oleh ruang dan waktu.
Peran guru juga tidak akan menjadi
satu-satunya sumber belajar karena banyak sumber
belajar dan sumber informasi yang mampu memfasilitasi seseorang untuk belajar.
Teknologi
mempunyai gagasan mereformasi sistem pendidikan masa depan.
Apabila anak diajarkan untuk mampu belajar sendiri, mencipta, dan
menjalani kehidupannya dengan berani dan percaya
diri atas fasilitasi lingkungannya (keluarga dan
masyarakat) serta peran sekolah tidak hanya
menekankan untuk mendapatkan nilai-nilai ujian
yang baik saja, maka akan jauh lebih
baik dapat menghasilkan generasi masa depan. Orientasi pendidikan yang
terlupakan adalah bagaimana agar lulusan suatu sekolah
dapat cukup pengetahuannya dan kompeten
dalam bidangnya, tapi juga matang dan sehat
kepribadiannya.
Bahkan
konsep tentang sekolah di masa yang akan datang,
menurutnya akan berubah secara drastis. Secara fisik, sekolah tidak perlu lagi
menyediakan sumber-sumber daya yang secara tradisional berisi bangunan-bangunan
besar, tenaga yang banyak dan perangkat lainnya.
Sekolah harus bekerja
sama secara komplementer dengan sumber
belajar lain terutama fasilitas internet
yang telah menjadi “sekolah maya”.
Bagaimanapun
kemajuan teknologi informasi di
masa yang akan datang, keberadaan sekolah
tetap akan diperlukan oleh masyarakat. Kita tidak dapat menghapus sekolah, karena dengan
alasan telah ada teknologi informasi yang
maju. Ada sisi-sisi tertentu dari
fungsi dan peranan sekolah yang
tidak dapat tergantikan, misalnya
hubungan guru-murid dalam
fungsi mengembangkan kepribadian atau
membina hubungan sosial, rasa kebersamaan, kohesi
sosial, dan lain-lain. Teknologi informasi hanya
mungkin menjadi pengganti fungsi penyebaran informasi dan sumber belajar atau
sumber bahan ajar.
Bahan
ajar yang semula disampaikan di sekolah secara klasikal, lalu dapat
diubah menjadi pembelajaran yang diindividualisasikan
melalui jaringan internet yang dapat diakses oleh siapapun dari
manapun secara individu. Inilah tantangan profesi
guru. Apakah perannya akan digantikan oleh teknologi
informasi, atau guru yang memanfaatkan
teknologi informasi untuk menunjang peran profesinya.
Dunia
pendidikan harus menyiapkan seluruh unsur dalam sistim
pendidikan agar tidak tertinggal atau ditinggalkan
oleh perkembangan teknologi informasi tersebut.
Melalui penerapan dan pemilihan teknologi
informasi yang tepat (sebagai bagian dari
teknologi pendidikan), maka perbaikan mutu
yang berkelanjutan dapat diharapkan. Perbaikan
yang berlangsung terus menerus secara
konsisten/konstan akan mendorong orientasi pada
perubahan untuk memperbaiki secara terus
menerus dunia pendidikan.
Adanya
revolusi informasi dapat menjadi tantangan
bagi lembaga pendidikan karena mungkin kita belum siap
menyesuaikan. Sebaliknya, hal ini akan menjadi peluang yang baik
bila lembaga pendidikan mampu
menyikapi dengan penuh
keterbukaan dan berusaha memilih jenis
teknologi informasi yang tepat, sebagai penunjang
pencapaian mutu pendidikan.
Pemilihan
jenis media sebagai bentuk aplikasi
teknologi dalam pendidikan harus dipilih secara tepat, cermat
dan sesuai kebutuhan, serta bermakna bagi peningkatan mutu pendidikan kita.
Kini,
paradigma pembangunan yang dominan telah mulai bergeser ke paradigma
desentralistik. Sejak diundangkan UU No.22/1999
tentang Pemerintah Daerah maka menandai perlunya
desentralisasi dalam banyak urusan yang
semula dikelola secara sentralistik. Menurut
Tjokroamidjoyo (dalam Jalal dan Supriyadi,
2001), bahwa salah satu tujuan dari
desentralisasi adalah untuk meningkatkan
pengertian rakyat serta dukungan
mereka dalam kegiatan
pembangunan dan melatih rakyat
untuk dapat mengatur urusannya sendiri.
Ini
artinya, bahwa kemauan berpartisipasi masyarakat dalam
pembangunan (termasuk dalam pengembangan
pendidikan) harus ditumbuhkan dan ruang partisipasi perlu dibuka
selebar-lebarnya. Bergesernya
paradigma pembangunan yang sentralistik ke
desentralistik telah mengubah cara pandang penyelenggara negara dan
masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan. Pembangunan harus dipandang
sebagai bagian dari kebutuhan masyarakat itu sendiri dan bukan semata
kepentingan negara.
Pembangunan
seharusnya mengandung arti bahwa manusia ditempatkan pada posisi pelaku dan
sekaligus penerima manfaat dari proses mencari solusi dan meraih hasil
pembangunan untuk dirinya dan lingkungannya dalam arti yang
lebih luas. Dengan demikian, masyarakat
harus mampu meningkatkan kualitas
kemandirian mengatasi masalah
yang dihadapinya, baik secara
individual maupun secara kolektif.
Belajar
dari pengalaman bahwa ketika peran pemerintah
sangat dominan dan peranserta masyarakat hanya dipandang sebagai
kewajiban, maka masyarakat justru akan terpinggirkan dari
proses pembangunan itu sendiri. Penguatan
partisipasi masyarakat haruslah menjadi bagian
dari agenda pembangunan itu sendiri,
lebih-lebih dalam era globalisasi. Peranserta
masyarakat harus lebih dimaknai sebagai hak
daripada sekadar kewajiban. Kontrol rakyat
(anggota masyarakat) terhadap isi dan
prioritas agenda pengambilan keputusan pembangunan harus dimaknai sebagai
hak masyarakat untuk ikut mengontrol agenda dan urutan
prioritas pembangunan bagi dirinya atau
kelompoknya.
Desentralisasi
adalah penyerahan sebagian otoritas pemerintah
pusat ke daerah, untuk mendistribusikan
beban pemerintah pusat ke
daerah sehingga daerah dan
masyarakatnya ikut menanggung beban tersebut.
Tujuannya adalah: (1) mengurangi beban pemerintah
pusat dan campur tangan tentang
masalah-masalah kecil di tingkat lokal,
(2) meningkatkan partisipasi
masyarakat, (3) menyusun program-program perbaikan
pada tingkat lokal yang lebih realistik, (4) melatih rakyat mengatur urusannya
sendiri, (5) membina
kesatuan nasional yang
merupakan motor penggerak memberdayakan
daerah.
Dalam
desentralisasi pendidikan, pemerintah pusat
lebih berperan dalam menghasilkan
kebijaksanaan mendasar (menetapkan
standar mutu pendidikan secara nasional),
sementara kebijaksanaan operasional yang menyangkut
variasi keadaan daerah didelegasikan kepada pejabat daerah bahkan sekolah.
Kurikulum
dan proses pendidikan dalam kerangka
otonomi daerah, ada bagian yang perlu dibakukan secara
nasional, tetapi hanya terbatas pada beberapa aspek pokok, yaitu: (1) Substansi
pendidikan yang berada dibawah tanggungjawab pemerintah, seperti PKN,
Sejarah Nasional, Pendidikan Agama, dan
Bahasa Indonesia; (2) Pengendalian mutu
pendidikan, berdasarkan standar kompetensi
minimum; (3) Kandungan minimal kompeteten setiap
bidang studi, khususnya yang menyangkut ilmu-ilmu dasar;
(4) Standar- standar teknis yang ditetapkan berdasarkan standar mutu
pendidikan.
Program-program
pembelajaran di sekolah berupa
desain kurikulum dan pelaksanaannya,
kegiatan-kegiatan nonkurikuler sampai pada
pengadaan kebutuhan sumber daya untuk suatu
sekolah agar dapat berjalan lancar,
tampaknya harus sudah mulai diberikan ruang partisipasi bagi
pihak-pihak yang berkepentingan. Demikian pula di lembaga-lembaga
pendidikan lainnya nonsekolah, ruang partisipasi
tersebut harus dibuka lebar agar tanggung
jawab pengembangan pendidikan tidak tertumpu pada
lembaga pendidikan itu sendiri, lebih-lebih
pada pemerintah sebagai penyelenggara negara.
Cara
untuk penyaluran partisipasi dapat diciptakan dengan berbagai
variasi cara sesuai dengan kondisi masing-masing
wilayah atau komunitas tempat masyarakat dan
lembaga pendidikan itu berada.
Kondisi ini menuntut kesigapan
para pemegang kebijakan dan manajer pendidikan untuk mendistribusi
peran dan kekuasaannya agar bisa menampung sumbangan
partisipasi masyarakat. Sebaliknya, dari pihak
masyarakat (termasuk orang tua dan
kelompok-kelompok masyarakat) juga harus belajar
untuk kemudian bisa memiliki kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam
pengembangan pendidikan.
Sebagai
contoh tentang partisipasi dunia usaha/industri pada era otonomi daerah. Mereka
tidak bisa tinggal diam menunggu dari suatu lembaga pendidikan/sekolah sampai
dapat meluluskan alumninya, lalu menggunakannya jika menghasilkan output yang
baik dan mengkritiknya jika terdapat output yang tidak baik. Partisipasi dunia
usaha/industri terhadap lembaga pendidikan harus ikut bertanggung jawab untuk
menghasilkan output yang baik sesuai dengan rumusan harapan bersama. Demikian
juga kelompok-kelompok masyarakat lain,
termasuk orang tua siswa.
Dengan cara seperti itu,
maka mutu pendidikan suatu lembaga
pendidikan akan menjadi tanggung jawab
bersama antara lembaga pendidikan dan
komponen-komponen lainnya di masyarakat
No comments:
Post a Comment