Bahasa
merupakan akar dari kesadaran manusia. Pernyataan ini menjadi tema utama
psikologi retorik (Billig, 1991) dan berbagai pendekatan lain seperti
psikolinguistik, para ahli filsafat bahasa dan filsafat analitik, serta
psikoanalisa pasca-freudian seperti psikoanalisa
Lacanian yang dikembangkan oleh Jacques Lacan (1901-1981), dan
penerusnya yang banyak mengembangkan studi mereka di Prancis.
Dalam
tahapan perkembangan kepribadian manusia, pemahaman bahasa menandai dimulainya
kesadaran diri. Sejauh disadari, manusia hanya mampu mengingat masa lalu yang
dapat dijelaskan dengan bahasa. Hasil-hasil kajian psikoanalisa menunjukkan
bahwa manusia memang sudah dapat mempersepsi realitas sejak lahir tetapi
ingatan tentang persepsi itu tertanam dalam wilayah ketidaksadarannya.
Ingatan-ingatan pre-gramatikal atau ingatan terhadap peristiwa yang belum
melibatkan bahasa tersimpan di wilayah ketidaksadaran, bukan dalam kesadaran.
Bahkan
menurut Lacan (dalam Lemert (ed.), 1993:363-366), wilayah ketidaksadaran
manusia pun membentuk struktur bahasa. Tampilnya isi dari ketidasadaran dalam
bentuk perilaku-perilaku tertentu merupakan simbol dari sesuatu yang terdapat
dalam ketidaksadaran. Teknik analisis mimpi dan asosiasi bebas yang digunakan
Freud sebagai metode analisis untuk menggali ingatan-ingatan yang direpresi
menunjukkan adanya struktur pemaknaan tertentu dalam wilayah ketidaksadaran
yang dapat disetarakan dengan bahasa.
Kesadaran
tentang ‘aku’ pun muncul dalam ekspresi bahasa. Konsep ‘aku’ dipahami dalam
relasinya dengan ‘selain aku’, ‘kamu’, ‘dia’, ‘kalian’, ‘mereka’ dan ‘kita’.
Seorang anak mulai menyadari keterpisahannya dengan orang tua dan memahami
dirinya sebagai ‘aku’ yang terpisah dari orang lain melalui pemahaman bahasa.
Dengan bahasa anak dapat menegaskan adanya ‘aku’, orang lain yang meliputi
‘ibu’, ‘bapak’ dan lain-lain.
Kita
dapat merujuk pada Lacan (Lemert (ed.), 1993:363-366) untuk memahami peran
bahasa dalam menentukan kesadaran manusia. Dimulai dari persepsi bayi pada fase
mirroring terhadap adanya dua ‘orang’ yang berbeda. Berangkat dari pertanyaan
“Siapakah yang lain itu, yang membuatku begitu terikat dan tergantung padanya,
yang membuatku lebih memperhatikannya dan mengandalkannya dibandingkan
mengandalkan diriku?” Pertanyaan ini menunjukkan adanya pemahaman tentang ‘yang
lain’ yang semula dipandang oleh si bayi sebagai yang tak terpisahkan darinya.
Melalui bahasa pengaruh sosial masuk
dalam diri individu. Bahasa menjadi instrumen dominan bagi manusia. Berbagai
hasil peradaban dan kebudayaan disosialisasi melalui bahasa. Berbagai pemahaman
diperoleh melalui bahasa. Dengan bantuan bahasa, manusia memberikan penilaian
terhadap suatu objek, menyatakan opini dan membuat keputusan tentang berbagai
hal. Dengan demikian, bahasa dapat dipahami sebagai kerangka pandang manusia
dalam memahami dunia. Dunia ini dipahami dan dijelaskan dengan bahasa.
Mengingat bahasa adalah produk sosial, maka pemahaman dan penjelasan manusia
tentang dunia pun merupakan produk sosial. Singkatnya, manusia dan pemahamannya
tentang dunia adalah konstruksi bahasa sebagai hasil konstruksi sosial.
No comments:
Post a Comment