Hukum dan politik merupakan subsistem
dalam sistem kemasyarakatan. Masing-masing melaksanakan fungsi tertentu untuk
menggerakkan sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Secara garis besar hukum
berfungsi melakukan social control,
dispute settlement dan social engeneering atau inovation, sedangkan fungsi politik meliputi pemeliharaan sistem
dan adaptasi (socialization dan recruitment), konversi (rule making, rule aplication, rule
adjudication, interestarticulation dan aggregation) dan fungsi kapabilitas
(regulatif extractif, distributive dan
responsif).
Di antara politik dan hukum terhadap
hubungan yang sangat erat dan merupakan two
faces of a coin, saling menentukan dan mengisi. Adakalanya kebijakan
politis yang berperan utama untuk menentukan materi hukum yang seyogyanya berlaku
dalam negara, sesuai dengan pandangan dan pertimbangan politik. Di lain posisi,
hukum berperan mengatur lalulintas kehidupan politik bagi masyarakat politik
itu, baik yang berada di suprastruktur maupun infrastruktur politiknya, baik
kalangan partai politik sebagai nucleus-nya maupun bagi ormas-ormas selaku
plasma masyarakat politik itu.
Virgina Held secara panjang lebar
membicarakan sistem hukum dan sistem politik dilihat dari sudut pandang etika
dan moral. Ia melihat perbedaan diantara keduanya dari dasar pembenarannya.
Dasar pembenaran deontologis pada khususnya merupakan ciri dan layak bagi
sistem hukum, sedangkan dasar pembenaran teleogis pada khususnya ciri dan layak
bagi sistem politik. Argumentasi deontologis menilai suatu tindakan atas sifat
hakekat dari tindakan yang bersangkutan, sedangkan argumentasi teleogis menilai
suatu tindakan atas dasar konsekuensi tindakan tersebut. Apakah mendatangkan
kebahagiaan atau menimbulkan penderitaan. Benar salahnya tindakan ditentukan
oleh konsekuensi yang ditimbulkannya, tanpa memandang sifat hakekat yang
semestinya ada pada tindakan itu.
Sistem hukum akan memikul tanggung jawab
utama untuk menjamin dihormatinya hak dan dipenuhinya kewajiban yang timbul
karena hak yang bersangkutan. Dan sasaran utama sistem politik ialah memuaskan
kepentingan kolektif dan perorangan.
Meskipun sistem hukum dan sistem politik
dapat dibedakan, namun dalam berbagai hal sering bertumpang tindih. Dalam
proses pembentukan Undang-undang oleh badan pembentuk Undang-undang misalnya.
Proses tersebut dapat dimasukkan ke dalam sistem hukum dan juga ke dalam sistem
politik, karena Undang-undang sebagai output merupakan formulasi yuridis dari
kebijakan politik dan proses pembentukannya sendiri digerakkan oleh proses
politik.
Hukum dan politik sebagai subsistem
kemasyarakatan adalah bersifat terbuka, karena itu keduanya saling mempengaruhi
dan dipengaruhi oleh subsistem lainnya maupun oleh sistem kemasyarakatan secara
keseluruhan. Walaupun hukum dan politik mempunyai fungsi dan dasar pembenaran yang
berbeda, namun keduanya tidak saling bertentangan, tetapi saling melengkapi.
Masing-masing memberikan kontribusi sesuai dengan fungsinya untuk menggerakkan
sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Dalam masyarakat yang terbuka dan
relatif stabil sistem hukum dan politiknya selalu dijaga keseimbangannya, di
samping sistem-sitem lainnya yang ada
dalam suatu masyarakat.
Hukum memberikan kompetensi untuk para
pemegang kekuasaan politik berupa jabatan-jabatan dan wewenang yang sah untuk
melakukan tindakan-tindakan politik bilamana perlu dengan menggunakan sarana
pemaksa. Hukum merupakan pedoman yang mapan bagi kekuasan politik untuk
mengambil keputusan dan tindakan-tindakan sebagai kerangka untuk rekayasa
sosial secara tertib, hukum adalah teknik untuk mengemudikan suatu mekanisme
sosial yang ruwet. Dilain pihak hukum tidak efektif kecuali apabila mendapatkan
pengakuan dan diberi sanksi oleh kekuasaan politik. Karena itu Maurice Duverger
menyatakan: “hukum didefinisikan oleh kekuasaan, dia terdiri dari tubuh
undang-undang dan prosedur yang dibuat atau diakui oleh kekuasaan politik”.
Hukum memberikan dasar legalitas bagi
kekuasaan politik dan kekuasaan politik membuat hukum menjadi efektif. Atau
dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa hukum adalah kekuasaan yang diam dan
politik adalah hukum yang in action dan kehadirannya dirasakan lebih nyata
serta berpengaruh dalam kehidupan kemasyarakatan.
Hukum dan politik mempunyai kedudukan
yang sejajar. Hukum tidak dapat ditafsirkan sebagai bagian dari sistem politik.
Demikian juga sebaliknya. Realitas hubungan hukum dan politik tidak sepenuhnya
ditentukan oleh prinsp-prinsip yang diatur dalam suatu sistem konstitusi,
tetapi lebih ditentukan oleh komitmen rakyat dan elit politik untuk
bersungguh-sungguh melaksanakan konstitusi tersebut sesuai dengan semangat dan
jiwanya. Sebab suatu sistem konstitusi hanya mengasumsikan ditegakkannya
prinsip-prinsip tertentu, tetapi tidak bisa secara otomatis mewujudkan
prinsi-prinsip tersebut. Prinsip-prinsip obyektif dari sistem hukum (konstitusi)
sering dicemari oleh kepentingan-kepentingan subyektif penguasa politik untuk
memperkokoh posisi politiknya, sehingga prinsip-prinsip konstitusi jarang
terwujud menjadi apa yang seharusnya, bahkan sering dimanipulasi atau
diselewengkan.
Penyelewengan prinsip-prinsip hukum
terjadi karena politik cenderung mengkonsentrasikan kekuasaan ditangannya
dengan memonopoli alat-alat kekuasaan demi tercapainya kepentingan-kepentingan
politik tertentu. Di samping itu Virginia Held menyebutkan keputusan-keputusan
politik dapat bersifat sepenuhnya ekstra legal, selama orang-orang yang
dipengaruhinya menerima sebagai berwenang. Jika keputusan seorang pemimpin,
betapapun sewenang-wenang ataupun tidak berhubungan dengan peraturan-peraturan
tertentu, diterima oleh para pengikutnya, maka keputusan itu mempunyai kekuatan
politik yang sah. Dengan memonopoli penggunaan alat-alat kekuasaan dan
mengkondisikan penerimaan oleh masyarakat, maka politik mampu menciptakan
kekuasaan efektif tanpa memerlukan legalitas hukum.
Hukum tidak ditempatkan pada posisi
sentral pada proses input dan output sistem kemasyarakatan secara keseluruhan.
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, kita mengalami hubungan hukum dengan
politik yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diamanatkan dalam UUD
1945. Pembukaan UUD 1945 dengan jelas mengamanatkan susunan negara RI yang
berkedaulatan rakyat. Dan penjelasan umum UUD 1945 mengenai sistem Pemerintahan
Negara dengan gambling menentukan antara lain bahwa Negara Indonesia berdasar
atas hukum (rechtstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat)
serta pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat
absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
Di masa Orde Lama prinsip-prinsip
tersebut diselewengkan. Kedaulatan tidak berada di tangan rakyat, tetapi
berpindah ke tangan "Pemimpin Besar Revolusi". Hukum disubordinasikan
pada politik Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi dalam praktek menjadi
pemerintahan berdasar Penetapan Presiden (Penpres) dan Peraturan Presiden
(Perpres). Hubungan hukum dan politik pada Orde Lama berjalan tidak seimbang.
Hukum kehilangan wibawanya dan peranannya menjadi pelayan kepentingan politik,
karena waktu itu politik dinobatkan menjadi panglima. Orde Baru yang bangkit
pada awal tahun 1966 melakukan koreksi terhadap berbagai penyelewengan yang
terjadi pada masa Orde Lama dan bertekad mengembalikan tatanan kehidupan
kemasyarakatan dan kenegaraan pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD
1945.
Hasil-hasil selama ini tampak nyata
khususnya dalam penataan kembali kehidupan hukum dan politik sebagai
pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Namun perlu
dicatat pula bahwa dalam perjalanan waktu tampaknya pragmatisme pembangunan
sulit dikendalikan, di mana pencapaian sasaran-sasaran kuantitatif yang terukur
dengan angka-angka statistik menjadi ukuran keberhasilan. Artinya dasar
pembenaran teleogis dari politik yang mengedepan tidak diimbangi oleh
pembenaran deontologis dari sistem hukum yang menekankan pada prinsip-prinsip
yang seharusnya ditegakkan berdasarkan konstitusi dan hukum.
Di samping itu kekuasaan tak jarang
menampakkan wajahnya yang arogan dan tak terjangkau oleh kontrol hukum maupun
rakyat melalui lembaga perwakilan. Padahal salah satu esensi dari negara yang berdasar
atas hukum adalah bahwa kekuasaanpun mesti tunduk dan bertanggung jawab untuk
mematuhi hukum. Kekuasaan politik yang dijalankan dengan menghormati hukum,
merupakan hal yang dijalankan sesuai dengan kehendak rakyat yang berdaulat.
Carol C Gould menyatakan mematuhi hukum sebagai bagian dari kewajiban politik.
Aturan hukum dan juga kehidupan sosial yang berperaturan berfungsi sebagai
salah satu kondisi bagi kepelakuan. Hukum mencegah gangguan dan sekaligus
menjaga stabilitas dan koordinasi kegiatan masyarakat. Dengan demikian
memungkinkan adanya tindakan orang lain dan membuat rencana masa depan.
Gejala mengutamakan pencapaian target
dengan kurang mengindahkan prinsip-prinsip yang mesti ditegakkan dan arogansi
kekuasaan apabila tidak segera diatasi merupakan kendala dalam merealisasikan
komitmen Orde Baru untuk menegakkan konstitusi, demokrasi dan hukum. Untuk
menegakkan konstitusi, demokrasi dan hukum tak cukup hanya dengan kemauan
politik yang selalu dijadikan retorika, yang lebih penting adalah melakukan
upaya yang nyata untuk melaksanakan konstitusi, mengembangkan demokrasi dan
membangun wibawa hukum dalam praktek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Hal itu akan menjadi realitas apabila
sistem hukum dan politik berfungsi dengan baik menurut kewenangan-kewenangan
sah yang diatur dalam konstitusi. Sistem check and balance akan terlaksana bila
kekuasaan politik menghormati hukum dan dikontrol oleh rakyat secara efektif
melalui lembaga perwakilan rakyat. Untuk mewujudkan lembaga hukum dan politik
yang saling melengkapi memang diperlukan komitmen yang kuat dan kesungguhan
melaksanakan demokratisasi dan penegakkan wibawa hukum. Semua itu bergantung
kepada pemahaman dan tanggung jawab kita yang lebih dalam untuk memfungsikan
lembaga hukum dan politik sesuai dengan jiwa dan semangat konstitusi, maupun
dalam membangun budaya masyarakat yang kondusif untuk menegakkan
prinsip-prinsip tersebut.
No comments:
Post a Comment