Dalam karya monumentalnya, Ihya’ Ulum ad-Din,
al-Ghazali mendefinisikan bahwa uang adalah barang atau benda yang berfungsi
sebagai sarana untuk mendapatkan barang lain. Benda tersebut dianggap tidak
mempunyai nilai sebagai barang (nilai intrinsik). Oleh karenanya, ia
mengibaratkan uang sebagai cermin yang tidak mempunyai warna sendiri tapi mampu
merefleksikan semua jenis warna.
Merujuk pada kriteria tersebut, dalam soal
pendefinisian uang, dia tidak hanya menekankan pada aspek fungsi uang.Definisi
yang demikian ini lebih sempurna dibandingkan dengan batasan-batasan yang
dikemukakan kebanyakan ekonom konvensional yang lebih mendefinisikan uang hanya
sebatas pada fungsi yang melekat pada uang itu sendiri.
Oleh karena uang menurut Al-Ghazali hanya
sebagai standar harga barang atau benda maka uang tidak memiliki nilai intrinsik.Atau
lebih tepatnya nilai intrinsik suatu mata uang yang ditunjukkan oleh real
existence-nya dianggap tidak pernah ada.Anggapan Al-Ghazali bahwa uang tidak
memiliki nilai intrinsik ini pada akhirnya terkait dengan permasalahan seputar
permintaan terhadap uang, riba, dan jual beli mata uang.
Pertama, larangan menimbun uang (money
hoarding).Dalam konsep Islam, uang adalah benda publik yang memiliki peran
signifikan dalam perekonomian masyarakat. Karena itu, ketika uang ditarik dari
sirkulasinya, akan hilang fungsi penting di dalamnya. Untuk itu, praktik
menimbun uang dalam Islam dilarang keras sebab akan berdampak pada instabilitas
perekonomian suatu masyarakat.
Menurut Al-Ghazali alasan dasar pelarangan
menimbun uang karena tindakan tersebut akan menghilangkan fungsi yang melekat
pada uang itu. Sebagaimana disebutkannya, tujuan dibuat uang adalah agar
beredar di masyarakat sebagai sarana transaksi dan bukan untuk dimonopoli oleh
golongan tertentu.Bahkan, dampak terburuk dari praktik menimbun uang adalah
inflasi.
Dalam hal ini teori ekonomi menjelaskan bahwa
antara jumlah uang yang beredar dan jumlah barang yang tersedia mempunyai
hubungan erat sekaligus berbanding terbalik. Jika jumlah uang beredar melebihi
jumlah barang yang tersedia, akan terjadi inflasi.
Sebaliknya, jika jumlah uang yang beredar
lebih sedikit dari barang yang tersedia maka akan terjadi deflasi. Keduanya
sama-sama penyakit ekonomi yang harus dihindari sehingga antara jumlah uang
beredar dengan barang yang tersedia selalu seimbang di pasar.
Kedua, problematika riba. Secara sederhana
riba adalah tambahan atas modal pokok yang diperoleh dengan cara yang batil.
Secara eksplisit larangan riba terdapat dalam Alquran Surat Al-Baqarah ayat
275, 278-279, Ar- Rum 29, An-Nisa’ 160-161, dan Ali Imran 130.Alasan mendasar
Al-Ghazali dalam mengharamkan riba yang terkait dengan uang adalah didasarkan
pada motif dicetaknya uang itu sendiri, yakni hanya sebagai alat tukar dan
standar nilai barang semata, bukan sebagai komoditas. Karena itu, perbuatan riba
dengan cara tukar-menukar uang yang sejenis adalah tindakan yang keluar dari
tujuan awal penciptaan uang dan dilarang oleh agama.
Ketiga, jual beli mata uang.Salah satu hal
yang termasuk dalam kategori riba adalah jual beli mata uang.Dalam hal ini, Al-Ghazali
melarang praktik yang demikian ini. Baginya, jika praktik jual beli mata uang
diperbolehkan maka sama saja dengan membiarkan orang lain melakukan praktik
penimbunan uang yang akan berakibat pada kelangkaan uang dalam masyarakat. Karena diperjualbelikan, uang hanya akan beredar pada
kalangan tertentu, yaitu orang-orang kaya. Ini tindakan yang sangat zalim.
Demikian sekelumit
pandangan keuangan Al-Ghazali yang sarat dengan semangat kemanusiaan universal
serta etika bisnis Islami. Meskipun demikian untuk menjadi konsep yang mapan
dan sempurna, pemikiran keuangan Al-Ghazali yang masih berserakan tersebut
memerlukan kerja keras dari para pewarisnya untuk kemudian merekonstruksi ulang
secara sistematis dan logis.
No comments:
Post a Comment