TKW (Tenaga
Kerja Wanita) adalah kelompok perempuan/wanita yang bekerja di luar negeri
sebagai buruh dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima
upah. Istilah TKW sering dikonotasikan dengan pekerja kasar.
Jumlah
buruh migran Indonesia saat ini tercatat 4,5 juta orang, 70 persen diantaranya
adalah perempuan. Dari jumlah tersebut, sekitar 87 persen bekerja di sektor
informal. Di antara mereka mayoritas memperoleh kerja sebagai pekerja rumah
tangga (pelayan, pengasuh anak, pengurus orang jompo) atau di sektor jasa yang
berspesialisasi dalam bidang kerja reproduktif, pariwisata, pelayan kesehatan,
hiburan, dan prostitusi (Federici, 2000 : 31)
Menurut Krisnawati dalam
Tesis Poerwaningsih (2004 : 1) jangkauan tenaga kerja wanita Indonesia, menyebar
ke berbagai negara seperti Saudi Arabia, Singapura, Uni Emirat Arab, Hongkong,
Brunei dan Mesir. TKW tersebut lebih banyak terserap di negara-negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam dan negara-negara yang memiliki
pusat-pusat perdagangan. Masing-masing negara mempunyai karakteristik yang
berbeda-beda, baik dalam segi budaya, agama, tingkat ekonomi dan ruang
pekerjaan yang tersedia, sehingga permasalahan yang dihadapi TKW juga beragam.
Pembicaraan
mengenai TKW tidak lepas dari tiga permasalahan utama yaitu migrasi
internasional, perubahan struktur keluarga dan hubungan perburuhan. Masing-masing
permasalahan tersebut akan menimbulkan permasalahan tersendiri. Migrasi
internasional telah menjadi kajian hubungan antar negara. Perubahan struktur
keluarga telah menyebabkan berubahnya pola relasi gender dan berdampak dalam
berbagai aspek di dalam keluarga.
Hubungan
perburuhan juga cukup banyak menimbulkan permasalahan seperti upah yang tidak
dibayar, kontrak yang tidak jelas, sampai kepada pelecehan seksual, perkosaan
bahkan sampai peristiwa yang berakibat kematian. Kasus tersebut tidak bisa
dianggap peristiwa biasa, sebab kasus ini memperlihatkan kerentanan terhadap
posisi tenaga kerja wanita di luar negeri.
Menurut
Krisnawati dalam Tesis Poerwaningsih (2004 : 4), kerentanan nasib TKW tersebut
tidak lepas dari lemahnya kebijakan Depnaker terhadap TKW yang memiliki
kecenderungan memperlakukannya sebagai barang atau komoditi ekspor. Pemerintah
kurang memiliki perhatian terhadap permasalahan yang dihadapi oleh TKW.
Pemerintah khususnya Depnaker hanya memandang TKW sebagai penghasil devisa
negara, tanpa memandang bahwa TKW juga seorang manusia yang memiliki hak-hak
dasar yang mesti dipenuhi.
Dilihat
dari sektor-sektor pekerjaan yang dilakukan TKW Indonesia di luar negeri,
nampaknya lebih banyak terserap di sektor jasa dengan kategori informal yaitu
pembantu rumah tangga yang menunjukkan kondisi kerja yang bersifat eksploitatif
terhadap TKW. Banyaknya TKW yang bekerja
di sektor informal mengakibatkan kurang terlindunginya TKW dari eksploitasi
yang dilakukan oleh majikannya.
Menurut
Hugo dalam Tesis Poerwaningsih (2004 : 4), eksploitasi dan penipuan terhadap
TKW tersebut dapat terjadi dalam empat tahap yaitu (1) dalam proses perekrutan
dengan memaksakan biaya administrasi yang lebih mahal (overcharging) dan mengirim TKW kepada pekerjaan yang belum tentu
ada atau tidak sesuai dengan janji; (2) dalam proses pengiriman, melalui overcharging ongkos transportasi serta
menggunakan alat transportasi yang tidak terjamin keadaannya; (3) di tempat
tujuan, berupa pembayaran gaji terlambat, di bawah perjanjian atau tidak
dibayar sama sekali atau bekerja pada lingkungan yang buruk, perumahan yang
tidak memadai, jam kerja yang berlebihan dan penipuan pengiriman uang kepada
keluarga; (4) ketika kembali, dengan tidak membayar seluruh upah serta
pencurian uang dan barang bawaannya.
Dengan
banyaknya TKW keluar negeri tidak bisa lepas dari kuatnya jaringan sosial,
yaitu jika seseorang ingin menjadi TKW tanpa ada hubungan dengan jaringan
tenaga kerja maka tidak akan terlaksana. Seseorang yang akan menjadi TKW harus
memiliki jaringan atau relasi orang atau perusahaan yang dapat menyalurkan
dirinya untuk menjadi TKW.
Hasil
penelitian Djuariah dalam Tesis Poerwaningsih (2004 : 12) menunjukkan hal yang
berbeda dalam migrasi perempuan ke luar negeri adalah berstatus menikah, tetapi
bukan karena mengikuti suami. Dalam bermigrasi tersebut peran calo atau sponsor
sangat tinggi dalam proses perekrutan sampai pengiriman yang melibatkan
perusahaan jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) yang berfungsi sebagai pasar di
luar negeri. Peran calo tidak hanya sebatas merekrut calon TKW, tetapi bahkan
pada tahap pemberian pinjaman uang pendaftaran ke PJTKI. Besarnya minat
terhadap sponsor sebagai tempat mendaftar disebabkan jarak sosial dan geografis
yang berdekatan antara sponsor dengan calon TKW serta berbagai kemudahan dalam
pengurusan dokumen untuk menjadi TKW.
Jaringan TKW yang diikat oleh adanya kepentingan
ekonomi merupakan bentuk yang relatif penting bagi keluarga miskin dalam
menghadapi tekanan ekonomi. Keterbatasan ini mendorong mereka untuk menjalin
hubungan dengan jaringan perekrutan dan pengiriman TKW ke luar negeri yang
menguasai jalur migrasi mulai pemberangkatan sampai lapangan pekerjaan di luar
negeri. Bentuk hubungan yang terjalin menggambarkan suatu ketergantungan yang
sangat tinggi pada calo atau sponsor, karena mereka mempunyai andil dalam
memberikan modal, pemberangkatan, memasarkan serta menjadi penghubung dengan
pihak keluarga di desa asalnya.
No comments:
Post a Comment