Kerajaan Sriwijaya dalam sejarah
disebut sebagai kerajaan maritim yang menguasai jalur dagang di Laut Cina
Selatan dan Selat Malaka. Kerajaan ini menjadi aktor utama dan mampu
memanfaatkan posisi strategisnya dalam perdagangan antara Cina dan India.
Informasi tentang kerajaan Sriwijaya
diperoleh dari sumber - sumber asing dan dalam negeri. Sumber dalam negeri
berupa prasasti - prasasti seperti berikut ini :
1.
Prasasti Kedukan Bukit (683 M) di Palembang
2. Prasasti
Talang Tuo (684 M) di Palembang
3.
Prasasti Kotakapur (686 M) di Pulau Bangka
4.
Prasasti-prasasti Siddhayatra (tidak berangka tahun) di
Palembang
5.
Prasasti Telaga Batu (683 M) di Palembang, dan
6.
Prasasti Karang Birahi (tidak berangka tahun) di Jambi
Sumber –
sumber asing diperoleh dari Cina, India (antara lain Prasasti Nalanda, dan
Cola), Srilangka, Arab, dan Parsi, serta Prasasti Ligor, Tanah Genting Kra,
Malaysia yang berangka tahun 775 M.
Kerajaan
Sriwijaya bercorak Budha dan menjadi pusat kajian agama Budha di Asia Tenggara.
Berdasarkan catatan
perjalanan pendeta Budha Cina bermana I-Tsing banyak pelajar Cina yang hendak
belajar agama Budha di India belajar terlebih dahulu dasar-dasar agama Budha di
Sriwijaya selama satu sampai dua tahun. Pada zaman keemasannya, kota Palembang
menjadi pusat peziarah pendeta Budha. Kemungkinan, bahasa Melayu telah menjadi
bahasa pengantar dalam sistem pendidikan Sriwijaya. Berdasarkan beberapa
prasasti yang ditemukan di Palembang, bahasa yang digunakan dalam
prasasti-prasati tersebut bukan bahasa Sansekerta melainkan bahasa Melayu kuno.
Dengan demikian, kerajaan ini telah mengembangkan bahasa sendiri tanpa
menggunakan bahasa asing.
Penduduk
kerajaan yang pada umumnya menggantungkan hidup dari hasil tangkapan ikan dan
pedagang lebih bersifat terbuka terhadap pengaruh asing. Mereka bisa
berkomunikasi dan bergaul dengan berbagai bangsa yang menyinggahi
pelabuhan-pelabuhan dagang di Sriwijaya. Meskipun menggunakan bahasa Melayu
sebagai bahasa pengantar, mereka juga mengadopsi budaya dari India, seperti
penggunaan nama-nama India, adat istiadat, serta tradisi dalam agama Budha.
Pada masa
pemerintahan Balaputra Dewa, kerajaan Sriwijaya mengalami perkembangan pesat
yang ditandai dengan tumbuhnya perdagangan di perairan Sriwijaya sebagai jalur
dagang internasional. Raja-raja Sriwijaya memiliki pandangan jauh mengenai
pemanfaatan posisi strategis kerajaannya di jalur perdagangan internasional.
Untuk memajukan perdagangan, ibukota yang semual terletak di Palembang
dipindahkan ke Minanga Tamwan, suatu daerah pertemuan antara Sungai Kampar
Kanan dan Kampar Kiri. Daerah ini dianggap lebih strategis dibandingkan dengan
Palembang.
Pada tahun
775 M, seperti tertera dalam Prasasti Ligor, Sriwijaya membangun ibukota baru
di Semenanjung Malaysia. Tujuannya agar pemerintah lebih mampu mengawasi
keghiatan dagang di Selat Malaka serta untuk mencegah para pedagang memotong
jalur darat melewati Tanah Genting Kra. Dengan demikian, semua pedagang yang
berasal dari Cina atau Asia Tenggara yang menuju Sriwijaya dan India atau
sebaliknya harus melewati Selat Malaka, selat yang dikuasai oleh Sriwijaya.
Kegiatan
dagang telah meningkatkan tarap kemakmuran Sriwijaya. Menurut berita dari Cina,
raja-raja Sriwijaya sangat terkenal karena kekayaannya. Menurut sebuah legenda
Cina, salah seorang raja Sriwijaya telah membuang sebungkal emas ke kolam pada
setiap hari ulang tahunnya. Legenda ini, walaupun diragukan kebenarannya,
menunjukkan bahwa raja-raja Sriwijaya mengalami kemakmuran karena kegiatan
dagang.
No comments:
Post a Comment