Monday, February 27, 2017

PENDIDIKAN AKHLAK DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF



A.  Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Akhlak.
1.  Agama.
            Kata “agama” bukan lagi sesuatu yang asing didengar, istilah “agama” seakan-akan telah menyatu dalam kehidupan sehari-hari, bahkan dalam kehidupan manusia secara universal. Dan tidak bisa disangkal, bahwa agama memiliki hubungan yang sangat erat dengan pembentukan moral. Dalam praktik kehidupan sehari-hari, motivasi terpenting dan terkuat bagi prilaku moral adalah agama. Setiap agama mengandung ajaran moral yang menjadi pegangan bagi perilaku para penganutnya.[1]
            Ajaran moral yang terkandung dalam Islam tentu berbeda dengan ajaran moral yang terdapat pada agama Kristen ataupun Hindu. Menurut Murtadha Muthahhari, ajaran Hindu bercorak emosional, sebab sandaran akhlak mereka adalah perasaan. Dapat juga dikatakan bahwa sistem akhlak dan etika kristiani bertumpu pada cinta.[2]
            Lantas mengapa ajaran moral dalam suatu agama dianggap sangat penting bagi pemeluknya? Hal tersebut tidak lain karena ajaran itu diyakini berasal dari Tuhan dan mengungkapkan kehendak Tuhan, dengan kata lain dasarnya adalah wahyu. Misalnya seperti “Sepuluh perintah Allah” disampaikan oleh Yahwe kepada Musa, tergoreskan atas dua batu loh (kitab keluaran 31:38). Hal ini diterima karena alsan keimanan.[3]
            Sementara itu setiap muslim meyakini bahwa ajaran moral Islam yang fundamental adalah berasal dari  Al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw, dan pada hakikatnya tujuan dari pengutusan Nabi Muhammad saw ke dunia adalah sebagai penyempurna akhlak. Sehingga untuk memiliki akhlak yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’a setiap muslim harus meneladani perilaku Rasulullah saw, karena akhlak yang dimiliki Rasulullah saw adalah sebuah cerminan Al-Qur’an.
            Dari pemaparan singkat tersebut dapat diketahui bahwa agama sangat berperan dalam membentuk akhlak ataupun kepribadian seseorang. Setiap agama memiliki dasar ajarannya sendiri-sendiri, oleh karena ajaran fundamental agama Islam adalah Al-Qur’an, maka sudah seharusnya setiap Muslim menjadikan ajaran Al-Qur’an sebagai dasar pembentukan akhlak.
2.  Insting.
            Menurut Abdullah, seperti dikutip purwoko insting (ghara’iz) adalah potensi pada diri manusia yang mendorong manusia untuk cenderung terhadap suatu (benda) dan perilaku. Juga dengan potensi ini manusia terdorong untuk meninggalkan sesuatu dan prliaku.[4] Dalam insting terdapat tiga unsur kekuatan yang bersifat psikis, yaitu mengenal (kognisi), kehendak (konasi), dan perasaan (emosi). Unsur-unsur yang seperti ini juga terdapat pada binatang.
            Insting juga berarti naluri, merupakan nafsu yang timbul dalam batin untuk melakukan suatu kecenderungan khusus dari jiwa yang dibawa sejak ia dilahirkan. Para psikolog menjelaskan bahwa insting berfungsi sebagai motivator penggerak yang mendorong lahirnya tingkah laku. Insting merupakan sifat pertama yang membentuk etika. Dalam ilmu etika, insting berarti akal pikiran. Akal dapat memperkuat akidah, tapi harus ditopang oleh ilmu, amal dan taqwa kepada Allah.[5]
3.  Adat/kebiasaan.
            Adat adalah setiap tindakan dan perbuatan seseorang yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama sehingga menjadi kebiasaan. Sebuah adat istiadat yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari selalu menimbulkan dampak positif dan bisa juga dampak negatif, tapi nilai adat tersebut tetap berfungsi sebagai pedoman manusia untuk hidup bersama masyarakat dimana ia tinggal. Apabila adat kebiasaan telah lahir dalam suatu masyarakat ataupun pada diri sesorang, maka sifat dari adat itu sendiri adalah:
a.       Mudah melakukan apapun pekerjaan yang sudah biasa dikerjakan tersebut.
b.      Tidak memakan waktu lama dan perhatian berlebih dari sebelumnya.[6]

4.  Pola Dasar/Bawaan.
                        Dahulu orang beranggapan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan yang sama, baik itu jiwa ataupun bakatnya. Selanjutnya faktor pendidikanlah yang dapat merubah mereka menjadi berlainan antara satu dengan lainnya. Dalam ilmu pendidikan, terdapat perbedaan antar aliran nativisme, empirisme dan korvegensi. Pandangan teori nativisme mengatakan bahwa seseorang itu telah ditentukan (sifatnya) sejak dia lahir. Tidak ada yang dapat merubah perkembangan seseorang, termasuk pendidikan.
                        Hal ini berbeda dengan aliran empirisme yang beranggapan bahwa faktor yang menentukan perkembangan jiwa anak mutlak dipengaruhi oleh pendidikan dan faktor lingkungan. Sementara itu, teori konvergensi berpendapat bahwa faktor dasar/bawaan dan juga faktor ajar/lingkungan sama-sama berperan dalam membina perkembangan jiwa anak. Pola dasar mewarisi beberapa sifat tertentu dari orang tuanya, baik itu jasmaniah ataupun rohaniahnya.[7]
5.  Lingkungan.
            Aspek yang tak kalah penting dalam membentuk kepribadian seseorang adalah lingkungan dimana ia berada. Lingkungan adalah ruang lingkup yang berinteraksi dengan insan dan dapat berwujud benda-benda seperti, air, udara, bumi, langit, dan matahari.[8] Sejak anak dilahirkan, bahkan ketika masih di kandungan ibu si anak mendapatkan pengaruh dari sekitarnya. Macam dan jumlah makanan yang diterimannya, keadaan panas lingkungan dan semua kondisi lingkungan baik yang bersifat membantu pertumbuhan maupun yang menghambat pertumbuhan.[9] Lingkungan dapat dibagi kedalam dua jenis, yaitu:[10]
a.       Lingkungan Alam.
Menurut Ahmad Amin, lingkungan alam sudah sejak lama mendapat perhatian dari para ahli. Karena apabila lingkungan tidak cocok dengan suhu tubuh seseorang, maka ia akan lemah dan mati. Begitupun akal manusia, jika lingkungannya tidak mendukung pada perkembangan manusia, maka akal akan mengalami kemunduran dan berdampak pada kepribadian seseorang.
b.      Lingkungan Sosial.
Lingkungan sosial/masyarakat merupakan tempat tinggal individu untuk berinteraksi. Dalam pergumulan dengan masyarakat, pergaulan akan sangat mempengaruhi prilaku, pola pikir bahkan keyakinan seseorang, karena akan banyak terjadi proses saling memengaruhi antara individu yang satu dengan yang lain. Adapun lingkungan pergaulan ini antara lain:
1)      Lingkungan keluarga.
Keluarga –khususnya orang tua- adalah faktor yang sangat menentukan pembentukan kepribadian anak. Seorang anak lahir dan dibesarkan pertama kali dalam lingkungan keluarga. Maka kedua orang tua harus menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya dan anggota keluarganya.
2)      Lingkungan sekolah.
Lingkungan Sekolah merupakan kelanjutan dari lingkungan keluarga. Sehingga guru dan siswa-siswa harus menunjukan sikap etika Islam yang baik dan menjadi suri tauladan yang baik pula.
3)      Lingkungan pekerjaan.
Lingkungan pekerjaan memberikan pengaruh yang sangat rentan terhadap prilaku dan pikiran seseorang. Jika dalam sebuah lingkungan pekerjaannya bersama orang-orang baik, maka baik pula perangainya. Dan begitu juga akan berlaku kebalikannya.
4)      Lingkungan organisasi.
Orang yang ikut dalam wadah organisasi biasanya teraspirasi oleh apa yang digariskan organisasinya. Dan biasanya tergantung pada AD/ART organisasinya, jika disiplin organisasinya baik, akan berpengaruh positif pada anggota-anggotanya.
5)      Lingkungan jamaah.
Saat ini banyak sekali perkumpulan jamaah-jamaah yang diadakan dalam komunitas masyarakat. Bisa berupa jamaah pengajian, jamaah tabligh, ataupun jamaah mesjid. Fenomena seperti ini mulai banyak dilakukan di kota-kota besar, melalui lingkungan jamaah ini, diharapkan mampu mengubah sifat-sifat tidak baik menjadi lebih positif.
6)      Lingkungan ekonomi.
Semua manusia membutuhkan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga faktor ekonomi berperan dalam menentukan kelakuan manusia, ketika ekonomi sudah dimonopoli oleh satu pihak tertentu, maka sangat rentan menimbulkan  ketimpangan. Sehingga tak jarang menjadikan manusia nekat mencuri, merampok dan melakukan tindak kekerasan. Lingkungan ekonomi akan membawa kesejahtraan jika dikuasai oleh orang-orang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah.
7)      Lingkungan pergaulan bebas/umum.
Pergaulan bebas sering kali menghalalkan segala cara demi memenuhi keinginannya. Pergaulan bebas sangat memuja kenikmatan sesaat, seperti narkoba, minuman keras, seks, judi dan sebagainya. Hal-hal semacan ini tentu menimbulkan dampak yang sangat buruk. Berbeda halnya bergaul bebas dengan para ulama dan dalam kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, maka akan menimbulkan kemuliaan dan mencapai derajat yang tinggi.

B.  Akhlak Perspektif Filsuf
Masalah tentang akhlak (baik dan buruk) tampaknya telah mendapat perhatian yang sangat besar, tidak hanya dalam ajaran Islam sebagaimana dibawa oleh Nabi Muhammad saw, tapi juga telah banyak dikaji oleh para filsuf dari berbagai zaman, baik itu filsuf muslim ataupun non-muslim. Bahkan para filsuf Yunani kuno seperti Aristoteles dan Plato, hingga filsuf modern seperti Immanuel Kant memberikan perhatian yang cukup besar kepada perbuatan baik dan buruk manusia. Terlebih-lebih para filsuf muslim seperti Imam al-Ghazali dan Ibnu Miskaweih.
Pada sub-bab ini penulis akan memaparkan beberapa pendangan filsuf mengenai akhlak. Namun penulis akan membatasi hanya pada dua pandangan, yaitu Aristoteles dan Ibnu Miskaweih. Karena dua filsuf ini memberikan perhatian yang cukup besar terhadap permasalahan baik dan buruk manusia.
1.    Aristoteles.
Aristoteles merupakan salah satu murid Plato. Aristoteles dilahirkan di Stagira,  Macedonia 384 SM.[11] Karya Aristoteles sangatlah mencengangkan, daftar kuno mencatat terdapat tidak kurang dari 170 buku hasil ciptaannya. Bahkan 47 karyanya masih tetap bertahan sampai sekarang.[12]
Dalam kumpulan karya-karya Aristoteles, terdapat tiga risalah tentang etika, namun dua diantaranya dianggap sebagai karya murid-muridnya. Namun risalah yang ketiga, Nichomanean Ethics sebagian besar tidak diragukan keasliannya. Namun tetap saja ada yang berpendapat ada beberapa bagian tertentu, yang merupakan karya murid-murid Aristoteles kemudian digabungkan dalam buku tersebut.[13] Dalam buku Ethic disebutkan bahwa yang baik adalah kebahagiaan, yang merupakan aktifitas jiwa.
Menurut Aristoteles, ada dua macam keutamaan, ialah intelektual dan moral. Keutamaan intelektual berasal dari pengajaran, sedangkan keutamaan moral berasal dari kebiasaan. Dengan dipaksa untuk menerima kebiasaan yang baik, menurut Aristoteles, suatu saat kita akan menemukan kenikmatan dalam menjalankan tindakan-tindakan yang baik itu.[14]
Sedangkan konsep keutamaan Aristoteles, sebagaimana dijelaskan oleh Russell, adalah suatu pertengahan antara dua sisi ekstrim. Seperti sikap keberanian yang merupakan pertengahan antara sikap pengecut dan ugal-ugalan, harga diri adalah pertengahan antara kecongkakan dan kerendahan diri, dan kerendahan hati pertengahan antara sikap malu-malu dan sikap tak kenal malu.[15]
Dalam pandangan Aristoteles kebaikan moral semata-mata berkaitan dengan tindakan-tindakan berdasarkan kehendak, yakni dengan memilih yang benar diantara sejumlah cara bertindak.[16] Individu terbaik dalam konsepsi Aristoteles adalah orang yang sangat berbeda dengan santo Kristiani. Ia hendaknya memiliki harga diri yang sepantasnya, dan tidak merendahkan kelebihannya sendiri. Ia harus merendahkan siapapun yang memang pantas direndahkan. Uraian tentang manusia yang memiliki rasa harga diri atau berbudi luhur sangat menarik sebab menunjukkan perbedaan antara kaum pagan dan kaum Kristen. Bahkan Nietzsche menganggap bahwa Kristianitas sebagai moralitas budak.[17]
2.      Ibnu Miskawaih.
Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Yaqub Miskawaih atau lebih dikenal dengan Ibnu Miskawaih lahir pada tahun 940 M di Rayy, Iran. Ia menghabiskan masa kecil di kota kelahirannya, dan ketika beranjak dewasa ia mulai menuju Baghdad. Ibnu Miskawaih secara tekun melakukan kajian di berbagai bidang, seperti filsafat, sejarah, kedokteran bahkan kimia. Namun kajian yang menjadi fokus utamanya adalah filsafat Yunani dan sejarah. Melalui dua kajian inilah Ibnu Miskawaih menjadi intelektual yang sangat mengagumkan.[18]
Dalam kajian filsafat etika, Ibnu Miskawaih menghasilkan sebuah karya monumental yaitu tahdib al-akhlaq (pembinaan akhlak), dalam kitab ini secara umum ia menjelaskan bagaimana seseorang dapat mencapai kebahagiaan tertinggi melalui moral yang sehat. Dengan kata lain kitab ini menggambarkan bagaimana berbagai bagian jiwa diharmonikan untuk mencapai kebahagiaan. Inilah peran para filsuf moral atau etika untuk memberikan resep bagi kesehatan moral yang berpijak pada kombinasi pengembangan intelektual dan praktik keseharian.[19]
Beberapa ajaran pokok etika Islam Ibnu Miskawaih diantaranya adalah:[20]
a.    Teori Fadlail (Keutamaan)
Ajaran keutamaan etika Islam Ibnu Miskawaih berpangkal pada teori jalan tengah (nadzar al-ausath) yang dirumuskannya. Inti teori ini menyebutkan keutamaan etika Islam secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ektrim kelebihan dan ekstrim kekurangan. Menurut Ibnu Miskawaih posisi jalan tengah tersebut bisa diraih dengan memadukan fungsi syariat dan filsafat. Syariat berfungsi efektif bagi terciptanya posisi tengah dalam jiwa bernafsu dan jiwa berani, sedangkan filsafat berfungsi efektif bagi terciptanya posisi tengah jiwa berfikir.
b.    Teori Kamal (Kesempurnaan)
Ibnu Miskawaih memberikan pengertian khusus kepada masalah hikmah dan ‘adalah dimana terletak kamal khas insani. Kesempurnaan manusia ada dua macam, karena dua hikmah, yaitu nazhariyah (teoritis) dan amaliyah atau khuluqiyah (praktis). Dengan hikmah nazhariyah manusia cenderung kepada berbagai ilmu dan pengetahuan.sedangkan hikmah ‘amaliyah atau khuluqiyah bertujuan untuk membentuk kesempurnaan karakter.
c.       Teori Sa’adah (Kebahagiaan)
Ibnu Miskawaih sangat mengecam pandangan kaum materialis yang hanya memandang bahwa manusia diciptakan denga segala potensinya hanya untuk merealisasikan kenikmatan-kenikmatan material biologis. Bagi Ibnu Miskawaih kebahagiaan di akhirat terletak pada kenikmatan rohani. Sebab kenikamatan di surga itu sempurna, abadi dan terus-menerus.
d.      Teori Khairat (Kebaikan)
Khairat adalah suatu yang terbit dari atau sesuai dengan kamal khas insani yang melekat pada hikmah secara umum, yang meliputi fadilah yaitu, hikmah, iffah, syaja’ah dan ‘adalah.
e.       Teori Mahabbah (Cinta)
Ibnu Miskawaih mengenal dua tingkatan cinta. Pertama, cinta pada sesama makhluk. Kedua, cinta makhluk kepada Khaliqnya. Setelah membahas cinta sesama makhluk dalam lingkup keluarga, Ibnu Miskawaih menunjuk mahabbah dalam masyarakat luas. Lebih jauh ia mendefinisikan kawan (shadiq) sebagai orang lain yang merupakan dirimu sendiri. Namun mahabbah yang paling kekal dan paling tinggi tingkatannya adalah mahabbah terhadap sang Khaliq.
f.       Aspek Sosial
Karena manusia makhluk sosial, maka kebahagiaan kemanusiaannya terletak pada temannya, sedang yang kesempurnaannya terletak pada orang lain. Karena mustahil akan hidup bahagia dalam keadaan hidup menyendiri. Sehingga yang berbahagia adalah mereka yang memiliki banyak teman dan selalu menyebarkan kebaikan pada siapa saja.
C.  Pengertian Pendidikan Akhlak Perspektif Al-Qur’an.
1.    Pengertian Pendidikan dalam Islam.
Dalam khazanah pemikiran Pendidikan Islam, terutama dalam karya-karya ilmiah berbahasa Arab, terdapat berbagai istilah yang digunakan oleh ulama dalam memberikan pengertian tentang “Pendidikan Islam”, dan sekaligus diterapkan dalam konteks yang berbeda-beda.
             Menurut Langgulung, sebagaimana dikutip oleh Muhaimmin, menjelaskan bahwa pendidikan Islam setidak-tidaknya tercakup dalam delapan pengertian, yaitu al-tarbiyah al-diniyah (pendidikan keagamaan), ta’lim al-din (pengajaran agama), al-ta’lim al-diny (pengajaran keagamaan), al-ta’lim al-islamiy (pengajaran keislaman), tarbiyah al-muslimin (pendidikan orang-orang Islam), al-tarbiyah fi al-Islam (pendidikan dalam Islam), al-tarbiyah ‘inda al-muslimin (pendidikan di kalangan orang-orang Islam), dan al-tarbiyah al-Islamiyah (pendidikan Islami).[21]
             Selain delapan istilah pendidikan Islam yang telah dijelaskan oleh Langgulung di atas, ternyata pendidikan Islam juga populer dengan istilah tarbiyah, ta’lim, ta’dib, riyadloh, irsyad, dan tadris. Dari masing-masing istilah tersebut memiliki keunikan makna tersendiri ketika sebagian atau semuanya disebut secara bersamaan. Namun, kesemuanya akan memiliki makna yang sama jika disebut salah satunya, sebab salah satu dari istilah tersebut sebenarnya telah mewakili istilah yang lain. Implikasinya, berbagai literatur Ilmu Pendidikan Islam, semua istilah itu terkadang digunakan secara bergantian dalam mewakili istilah pendidikan Islam.[22]
             Istilah “pendidikan” dalam perspektif Islam diartikan berbeda, terutama antara ta’dib, ta’lim dan tarbiyyah, baik pada tingkat etimologi ataupun terminologi.[23] Namun setelah diadakannya Konfrensi Dunia yang pertama tentang pendidikan Islam di Makkah, yang membahas penggunaan istilah tarbiyyah, ta’dib dan ta’lim dan pada akhirnya memutuskan istilah-istilah tersebut digunakan bersama-sama. Istilah ketiganya digunakan untuk mewakili lingkup pendidikan dalam Islam baik formal ataupun non-formal.[24]
2.    Pengertian Akhlak dalam Al-Qur’an.
        Allah adalah zat yang maha menciptakan (Al-Khaliq) manusia dalam bentuk yang paling sempurna, hal ini dijelaskan sendiri oleh Allah dalam surat At-Tiin:
ôs)s9 $uZø)n=y{ z`»|¡SM}$# þÎû Ç`|¡ômr& 5OƒÈqø)s? ÇÍÈ  
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (Q.S At-Tiin: 4).[25]
  
               Kesempurnaan fisik seseorang harus selaras dengan kesempurnaan akhlaknya, setiap orang mempunyai kewajiban untuk menyempurnakan akhlaknya, upaya memperbaiki akhlak merupakan suatu ibadah sebagaiman misi Rasulullah di utus ke dunia, yakni untuk menyempurnakan akhlak.
               Karena fisik manusia itu ranah sang pencipta (Al-Khaliq). Jadi Al-Khaliq lah yang menciptakan fisik manusia dengan sempurna, sehingga tidak boleh ada seorang pun yang menghina, mencela, merendahkan atau bentuk-bentuk lain terhadap fisik manusia. Dalam tataran fisik, tidak ada sedikitpun ruang kritik atas wujud manusia, tanpa satupun kecuali. Karena menghina fisik seseorang berarti telah menghina zat yang menciptakan, yaitu Allah sebagai Al-Khaliq.[26]
Selanjutnya Said Aqil Siradj mengatakan:
Berbeda dengan ranah khalq (fisik manusia) yang anti kritik, adalah al-khulq (keluhuran budi). Tuntutan untuk berbudi luhur berarti larangan melakukan tindakan yang tercela. Jika seseorang dituntut untuk berbuat baik namun faktanya ia bermoral buruk maka berakibat pada runtuhnya karakteristik ketuhanan dalam dirinya. Ia pun jadi hina dan dihinakan. Ia jadi rendah dan direndahkan. Pada ranah al-khuluq ini terjadi seseorang memuliakan orang lain karena keluhuran budinya. Sebaliknyapun terjadi, seseorang merendahkan orang lain karena perangainya yang buruk.[27]

Maka dari kata al-khuluq inilah, kemudian terbentuk kata akhlaq, yang merupakan bentuk jamak dari khuluq, yang dalam bahasa Indonesia disebut akhlak. Akhlak itu sendiri berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.[28] Sedangkan dalam Kamus Bahasa Indonesia, akhlak diartikan sebagai budi pekerti, tabiat, kelakuan,dan watak. Sehingga berakhlak berarti mempunyai pertimbangan untuk membedakan yang baik dan yang buruk. Sinonim dari kata akhlak adalah etika atau moral.[29]
               Sedangkan secara terminologis, banyak sekali pakar pendidikan yang memberikan pengertian akhlak. Ibnu Miskaweih seperti dikutip Aminuddin, mendefinisikan akhlak sebagai keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melakukan pemikiran dan pertimbangan.[30] Sementara Imam Al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dan tanpa memerlukan dan pertimbangan.[31]
               Sa’adudin mengemukakan bahwa akhlak mengandung beberapa arti, yang diantaranya adalah:
a.       Tabiat, yaitu sifat dalam diri yang terbentuk manusia tanpa dikehendaki dan tanpa diupayakan.
b.      Adat, yaitu sifat yang dalam diri yang diupayakan manusia melalui latihan, yakni berdasarkan keiinginan.
c.       Watak, cakupannya meliputi hal-hal yang menjadi tabiat dan hal-hal yang diupayakan sehingga menjadi adat.[32]
               Sedangkan akhlak islami adalah sesuatau yang sudah melekat pada jiwa manusia. Karena itu suatu perbuatan baru dapat disebut pencerminan akhlak jika sudah memenuhi beberapa syarat. Syarat itu antara lain:
a.       Dilakukan berulang-ulang, karena jika hanya dilakukan sekali saja atau jarang, maka tidak dapat dikatakan akhlak.
b.      Timbul dengan sendirinya, tanpa dipikir-pikir terlebih dahulu atau dipertimbangkan berulang-ulang.[33]
Meskipun banyak yang mengartikan bahwa antara akhlak, etika dan moral adalah sama, yakni membahas baik dan buruk dan prilaku manusia, namun menurut Quraish Shihab, konsep akhlak dalam ajaran Islam tidak dapat disamakan dengan etika. Jika etika dibatasi pada sopan santun antar sesama manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah, akhlak lebih luas maknanya dari pada etika, karena mencakup pula beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriah. Misalnya yang berkaitan dengan sikap batin atau pikiran, akhlak diniah (agama) mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga pada sesama makhluk (manusia, binatang, tumbuhan dan benda mati).[34] Tapi tampaknya masyarakat luas istilah-istilah tersebut disinonimkan dan dipakai silih berganti untuk menunjukan sesuatu yang baik atau buruk



[1]K. Bertens, Etika, cet IX, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal. 35
[2]Murtadha Muthahhari, Falsafah Akhlak, terj. Faruq bin Dahiya, (Jakarta: RausyanFikr, 2012), hal. 75
[3]K. Bertens, Etika.., hal 36.
[4]Saktiyono B. Purwoko, Psikologi Islami; Teori dan Penelitian, (Bandung: Saktiyono WordPress), hal. 40
[5] Istighfarotur Rahmaniyah, Pendidikan Etika, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), hal. 97
[6] Ibid.,  hal. 98-99
[7] Ibid., hal. 99
[8] Ibid., hal. 99
[9]M. Noor Syam, et. all., Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan, cet III, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), hal. 56.
[10]Istighfarotur Rahmaniyyah, Pendidikan Etika..., hal. 97
[11]Wahyu Murtiningsih, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah, (Jogjakarta: Ircisod,, 2012), hal. 54
[12]Ibid., hal. 54
[13]Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko, cet III, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 233
[14] Ibid., hal. 234.
[15] Ibid., hal. 235.
[16] Ibid., hal. 240.
[17] Ibid., hal. 236.
[18] Wahyu Murtiningsih, Para Filsuf..., hal. 263
[19] Ibid., hal. 264.
[20] Istighfarotur Rahmaniyyah, Pendidikan Etika..., hal. 124.
[21]Muhaimmin, et.all., Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, cet V, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hal. 36.
[22]Muhammad Muntahibun Nafis, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Teras, 2011), hal. 1-2.
[23]Ta’dib, lazimnya diterjemahkan dengan pendidikan sopan santun, tata krama, akhlak, moral, budi pekerti dan etika. Ta’lim berasal dari kata “allama” yang berarti mengajar dan menjadikan yakin dan mengetahui. Sedangkan tarbiyyah secara leksikologi tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, namun  terdapat istilah yang seakar dengannya, yaitu al-rabb, rabbayani, nurabbi, yurbi, dan rabbani.
[24]Muhammad Muntahibun Nafis, Ilmu Pendidikan..., hal. 3.
[25] Q.S At-Tiin: 4
[26] Baca Sulton Fatoni dan Wijdan Fr, The Wisdom of Gus Dur;Butir-Butir Kearifan Sang Waskita, (Bandung: Imania, 2014), hal. 4
[27] Ibid., hal. 4
[28]Marzuki, Prinsip Dasar Akhlak Mulia, (Yogyakarta: Debut Wahana Press, 2009), hal. 8.
[29]Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), hal.28
[30]Aminuddin dkk, Pendidikan Agama Islam, cet II, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hal. 152
[31] Ibid., hal. 152
[32]Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hal. 10
[33]Mohamad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Rajagrafindo,2008),  hal. 348
[34]Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2013), hal. 347

No comments:

Post a Comment

Simbol Bilangan atau Angka

  a. Pengertian Angka Memahami suatu angka dapat membantu manusia untuk melakukan banyak perhitungan mulai dari yang sederhana maupaun y...

Blog Archive