A.
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Akhlak.
1.
Agama.
Kata “agama” bukan lagi sesuatu yang
asing didengar, istilah “agama” seakan-akan telah menyatu dalam kehidupan
sehari-hari, bahkan dalam kehidupan manusia secara universal. Dan tidak bisa
disangkal, bahwa agama memiliki hubungan yang sangat erat dengan pembentukan moral.
Dalam praktik kehidupan sehari-hari, motivasi terpenting dan terkuat bagi
prilaku moral adalah agama. Setiap agama mengandung ajaran moral yang menjadi
pegangan bagi perilaku para penganutnya.[1]
Ajaran moral yang terkandung dalam
Islam tentu berbeda dengan ajaran moral yang terdapat pada agama Kristen
ataupun Hindu. Menurut Murtadha Muthahhari, ajaran Hindu bercorak emosional,
sebab sandaran akhlak mereka adalah perasaan. Dapat juga dikatakan bahwa sistem
akhlak dan etika kristiani bertumpu pada cinta.[2]
Lantas mengapa ajaran moral dalam
suatu agama dianggap sangat penting bagi pemeluknya? Hal tersebut tidak lain karena
ajaran itu diyakini berasal dari Tuhan dan mengungkapkan kehendak Tuhan, dengan
kata lain dasarnya adalah wahyu. Misalnya seperti “Sepuluh perintah Allah”
disampaikan oleh Yahwe kepada Musa, tergoreskan atas dua batu loh (kitab
keluaran 31:38). Hal ini diterima karena alsan keimanan.[3]
Sementara itu setiap muslim meyakini
bahwa ajaran moral Islam yang fundamental adalah berasal dari Al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad saw, dan pada hakikatnya tujuan dari pengutusan Nabi Muhammad saw ke
dunia adalah sebagai penyempurna akhlak. Sehingga untuk memiliki akhlak yang
sesuai dengan ajaran Al-Qur’a setiap muslim harus meneladani perilaku
Rasulullah saw, karena akhlak yang dimiliki Rasulullah saw adalah sebuah
cerminan Al-Qur’an.
Dari pemaparan singkat tersebut
dapat diketahui bahwa agama sangat berperan dalam membentuk akhlak ataupun
kepribadian seseorang. Setiap agama memiliki dasar ajarannya sendiri-sendiri,
oleh karena ajaran fundamental agama Islam adalah Al-Qur’an, maka sudah
seharusnya setiap Muslim menjadikan ajaran Al-Qur’an sebagai dasar pembentukan
akhlak.
2.
Insting.
Menurut Abdullah, seperti dikutip
purwoko insting (ghara’iz) adalah potensi pada diri manusia yang
mendorong manusia untuk cenderung terhadap suatu (benda) dan perilaku. Juga
dengan potensi ini manusia terdorong untuk meninggalkan sesuatu dan prliaku.[4] Dalam
insting terdapat tiga unsur kekuatan yang bersifat psikis, yaitu mengenal
(kognisi), kehendak (konasi), dan perasaan (emosi). Unsur-unsur yang seperti
ini juga terdapat pada binatang.
Insting juga berarti naluri,
merupakan nafsu yang timbul dalam batin untuk melakukan suatu kecenderungan
khusus dari jiwa yang dibawa sejak ia dilahirkan. Para psikolog menjelaskan
bahwa insting berfungsi sebagai motivator penggerak yang mendorong lahirnya
tingkah laku. Insting merupakan sifat pertama yang membentuk etika. Dalam ilmu
etika, insting berarti akal pikiran. Akal dapat memperkuat akidah, tapi harus
ditopang oleh ilmu, amal dan taqwa kepada Allah.[5]
3.
Adat/kebiasaan.
Adat adalah setiap tindakan dan
perbuatan seseorang yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama
sehingga menjadi kebiasaan. Sebuah adat istiadat yang dilakukan dalam kehidupan
sehari-hari selalu menimbulkan dampak positif dan bisa juga dampak negatif,
tapi nilai adat tersebut tetap berfungsi sebagai pedoman manusia untuk hidup
bersama masyarakat dimana ia tinggal. Apabila adat kebiasaan telah lahir dalam
suatu masyarakat ataupun pada diri sesorang, maka sifat dari adat itu sendiri
adalah:
a.
Mudah
melakukan apapun pekerjaan yang sudah biasa dikerjakan tersebut.
b.
Tidak
memakan waktu lama dan perhatian berlebih dari sebelumnya.[6]
4.
Pola
Dasar/Bawaan.
Dahulu
orang beranggapan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan yang sama, baik itu
jiwa ataupun bakatnya. Selanjutnya faktor pendidikanlah yang dapat merubah
mereka menjadi berlainan antara satu dengan lainnya. Dalam ilmu pendidikan,
terdapat perbedaan antar aliran nativisme, empirisme dan korvegensi. Pandangan
teori nativisme mengatakan bahwa seseorang itu telah ditentukan (sifatnya)
sejak dia lahir. Tidak ada yang dapat merubah perkembangan seseorang, termasuk
pendidikan.
Hal
ini berbeda dengan aliran empirisme yang beranggapan bahwa faktor yang
menentukan perkembangan jiwa anak mutlak dipengaruhi oleh pendidikan dan faktor
lingkungan. Sementara itu, teori konvergensi berpendapat bahwa faktor
dasar/bawaan dan juga faktor ajar/lingkungan sama-sama berperan dalam membina
perkembangan jiwa anak. Pola dasar mewarisi beberapa sifat tertentu dari orang
tuanya, baik itu jasmaniah ataupun rohaniahnya.[7]
5.
Lingkungan.
Aspek yang tak kalah penting dalam
membentuk kepribadian seseorang adalah lingkungan dimana ia berada. Lingkungan
adalah ruang lingkup yang berinteraksi dengan insan dan dapat berwujud
benda-benda seperti, air, udara, bumi, langit, dan matahari.[8] Sejak
anak dilahirkan, bahkan ketika masih di kandungan ibu si anak mendapatkan
pengaruh dari sekitarnya. Macam dan jumlah makanan yang diterimannya, keadaan
panas lingkungan dan semua kondisi lingkungan baik yang bersifat membantu
pertumbuhan maupun yang menghambat pertumbuhan.[9] Lingkungan
dapat dibagi kedalam dua jenis, yaitu:[10]
a.
Lingkungan
Alam.
Menurut Ahmad Amin, lingkungan alam sudah sejak lama mendapat
perhatian dari para ahli. Karena apabila lingkungan tidak cocok dengan suhu
tubuh seseorang, maka ia akan lemah dan mati. Begitupun akal manusia, jika
lingkungannya tidak mendukung pada perkembangan manusia, maka akal akan
mengalami kemunduran dan berdampak pada kepribadian seseorang.
b.
Lingkungan
Sosial.
Lingkungan sosial/masyarakat merupakan tempat tinggal individu untuk
berinteraksi. Dalam pergumulan dengan masyarakat, pergaulan akan sangat
mempengaruhi prilaku, pola pikir bahkan keyakinan seseorang, karena akan banyak
terjadi proses saling memengaruhi antara individu yang satu dengan yang lain.
Adapun lingkungan pergaulan ini antara lain:
1)
Lingkungan
keluarga.
Keluarga –khususnya orang tua- adalah faktor yang sangat menentukan
pembentukan kepribadian anak. Seorang anak lahir dan dibesarkan pertama kali
dalam lingkungan keluarga. Maka kedua orang tua harus menjadi teladan yang baik
bagi anak-anaknya dan anggota keluarganya.
2)
Lingkungan
sekolah.
Lingkungan Sekolah merupakan kelanjutan dari lingkungan keluarga.
Sehingga guru dan siswa-siswa harus menunjukan sikap etika Islam yang baik dan
menjadi suri tauladan yang baik pula.
3)
Lingkungan
pekerjaan.
Lingkungan pekerjaan memberikan pengaruh yang sangat rentan
terhadap prilaku dan pikiran seseorang. Jika dalam sebuah lingkungan
pekerjaannya bersama orang-orang baik, maka baik pula perangainya. Dan begitu
juga akan berlaku kebalikannya.
4)
Lingkungan
organisasi.
Orang yang ikut dalam wadah organisasi biasanya teraspirasi oleh
apa yang digariskan organisasinya. Dan biasanya tergantung pada AD/ART
organisasinya, jika disiplin organisasinya baik, akan berpengaruh positif pada
anggota-anggotanya.
5)
Lingkungan
jamaah.
Saat ini banyak sekali perkumpulan jamaah-jamaah yang diadakan
dalam komunitas masyarakat. Bisa berupa jamaah pengajian, jamaah tabligh,
ataupun jamaah mesjid. Fenomena seperti ini mulai banyak dilakukan di kota-kota
besar, melalui lingkungan jamaah ini, diharapkan mampu mengubah sifat-sifat
tidak baik menjadi lebih positif.
6)
Lingkungan
ekonomi.
Semua manusia membutuhkan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Sehingga faktor ekonomi berperan dalam menentukan kelakuan manusia,
ketika ekonomi sudah dimonopoli oleh satu pihak tertentu, maka sangat rentan
menimbulkan ketimpangan. Sehingga tak
jarang menjadikan manusia nekat mencuri, merampok dan melakukan tindak
kekerasan. Lingkungan ekonomi akan membawa kesejahtraan jika dikuasai oleh
orang-orang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah.
7)
Lingkungan
pergaulan bebas/umum.
Pergaulan bebas sering kali menghalalkan segala cara demi memenuhi
keinginannya. Pergaulan bebas sangat memuja kenikmatan sesaat, seperti narkoba,
minuman keras, seks, judi dan sebagainya. Hal-hal semacan ini tentu menimbulkan
dampak yang sangat buruk. Berbeda halnya bergaul bebas dengan para ulama dan
dalam kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, maka akan menimbulkan kemuliaan dan
mencapai derajat yang tinggi.
B. Akhlak Perspektif Filsuf
Masalah tentang akhlak (baik dan buruk) tampaknya telah mendapat
perhatian yang sangat besar, tidak hanya dalam ajaran Islam sebagaimana dibawa
oleh Nabi Muhammad saw, tapi juga telah banyak dikaji oleh para filsuf dari
berbagai zaman, baik itu filsuf muslim ataupun non-muslim. Bahkan para filsuf
Yunani kuno seperti Aristoteles dan Plato, hingga filsuf modern seperti
Immanuel Kant memberikan perhatian yang cukup besar kepada perbuatan baik dan
buruk manusia. Terlebih-lebih para filsuf muslim seperti Imam al-Ghazali dan
Ibnu Miskaweih.
Pada sub-bab ini penulis akan memaparkan beberapa pendangan filsuf
mengenai akhlak. Namun penulis akan membatasi hanya pada dua pandangan, yaitu
Aristoteles dan Ibnu Miskaweih. Karena dua filsuf ini memberikan perhatian yang
cukup besar terhadap permasalahan baik dan buruk manusia.
1.
Aristoteles.
Aristoteles merupakan salah satu murid Plato. Aristoteles
dilahirkan di Stagira, Macedonia 384 SM.[11]
Karya Aristoteles sangatlah mencengangkan, daftar kuno mencatat terdapat tidak
kurang dari 170 buku hasil ciptaannya. Bahkan 47 karyanya masih tetap bertahan
sampai sekarang.[12]
Dalam kumpulan karya-karya Aristoteles, terdapat tiga risalah
tentang etika, namun dua diantaranya dianggap sebagai karya murid-muridnya.
Namun risalah yang ketiga, Nichomanean Ethics sebagian besar tidak
diragukan keasliannya. Namun tetap saja ada yang berpendapat ada beberapa
bagian tertentu, yang merupakan karya murid-murid Aristoteles kemudian
digabungkan dalam buku tersebut.[13]
Dalam buku Ethic disebutkan bahwa yang baik adalah kebahagiaan,
yang merupakan aktifitas jiwa.
Menurut Aristoteles, ada dua macam keutamaan, ialah intelektual
dan moral. Keutamaan intelektual berasal dari pengajaran, sedangkan
keutamaan moral berasal dari kebiasaan. Dengan dipaksa untuk menerima kebiasaan
yang baik, menurut Aristoteles, suatu saat kita akan menemukan kenikmatan dalam
menjalankan tindakan-tindakan yang baik itu.[14]
Sedangkan konsep keutamaan Aristoteles, sebagaimana dijelaskan oleh
Russell, adalah suatu pertengahan antara dua sisi ekstrim. Seperti sikap
keberanian yang merupakan pertengahan antara sikap pengecut dan ugal-ugalan,
harga diri adalah pertengahan antara kecongkakan dan kerendahan diri, dan
kerendahan hati pertengahan antara sikap malu-malu dan sikap tak kenal malu.[15]
Dalam pandangan Aristoteles kebaikan moral semata-mata berkaitan
dengan tindakan-tindakan berdasarkan kehendak, yakni dengan memilih yang benar
diantara sejumlah cara bertindak.[16] Individu
terbaik dalam konsepsi Aristoteles adalah orang yang sangat berbeda dengan
santo Kristiani. Ia hendaknya memiliki harga diri yang sepantasnya, dan tidak
merendahkan kelebihannya sendiri. Ia harus merendahkan siapapun yang memang
pantas direndahkan. Uraian tentang manusia yang memiliki rasa harga diri atau
berbudi luhur sangat menarik sebab menunjukkan perbedaan antara kaum pagan dan
kaum Kristen. Bahkan Nietzsche menganggap bahwa Kristianitas sebagai moralitas
budak.[17]
2.
Ibnu
Miskawaih.
Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Yaqub Miskawaih atau lebih dikenal
dengan Ibnu Miskawaih lahir pada tahun 940 M di Rayy, Iran. Ia menghabiskan
masa kecil di kota kelahirannya, dan ketika beranjak dewasa ia mulai menuju
Baghdad. Ibnu Miskawaih secara tekun melakukan kajian di berbagai bidang,
seperti filsafat, sejarah, kedokteran bahkan kimia. Namun kajian yang menjadi
fokus utamanya adalah filsafat Yunani dan sejarah. Melalui dua kajian inilah
Ibnu Miskawaih menjadi intelektual yang sangat mengagumkan.[18]
Dalam kajian filsafat etika, Ibnu Miskawaih menghasilkan sebuah
karya monumental yaitu tahdib al-akhlaq (pembinaan akhlak), dalam kitab
ini secara umum ia menjelaskan bagaimana seseorang dapat mencapai kebahagiaan
tertinggi melalui moral yang sehat. Dengan kata lain kitab ini menggambarkan
bagaimana berbagai bagian jiwa diharmonikan untuk mencapai kebahagiaan. Inilah
peran para filsuf moral atau etika untuk memberikan resep bagi kesehatan moral
yang berpijak pada kombinasi pengembangan intelektual dan praktik keseharian.[19]
Beberapa ajaran pokok etika Islam Ibnu Miskawaih diantaranya
adalah:[20]
a.
Teori
Fadlail (Keutamaan)
Ajaran keutamaan etika Islam Ibnu Miskawaih berpangkal pada teori
jalan tengah (nadzar al-ausath) yang dirumuskannya. Inti teori ini
menyebutkan keutamaan etika Islam secara umum diartikan sebagai posisi tengah
antara ektrim kelebihan dan ekstrim kekurangan. Menurut Ibnu Miskawaih posisi
jalan tengah tersebut bisa diraih dengan memadukan fungsi syariat dan filsafat.
Syariat berfungsi efektif bagi terciptanya posisi tengah dalam jiwa bernafsu
dan jiwa berani, sedangkan filsafat berfungsi efektif bagi terciptanya posisi
tengah jiwa berfikir.
b.
Teori
Kamal (Kesempurnaan)
Ibnu Miskawaih memberikan pengertian khusus kepada masalah hikmah
dan ‘adalah dimana terletak kamal khas insani. Kesempurnaan
manusia ada dua macam, karena dua hikmah, yaitu nazhariyah (teoritis)
dan amaliyah atau khuluqiyah (praktis). Dengan hikmah nazhariyah
manusia cenderung kepada berbagai ilmu dan pengetahuan.sedangkan hikmah ‘amaliyah
atau khuluqiyah bertujuan untuk membentuk kesempurnaan karakter.
c.
Teori
Sa’adah (Kebahagiaan)
Ibnu Miskawaih sangat mengecam pandangan kaum materialis yang hanya
memandang bahwa manusia diciptakan denga segala potensinya hanya untuk
merealisasikan kenikmatan-kenikmatan material biologis. Bagi Ibnu Miskawaih
kebahagiaan di akhirat terletak pada kenikmatan rohani. Sebab kenikamatan di
surga itu sempurna, abadi dan terus-menerus.
d.
Teori
Khairat (Kebaikan)
Khairat adalah suatu yang terbit dari atau sesuai dengan kamal
khas insani yang melekat pada hikmah secara umum, yang
meliputi fadilah yaitu, hikmah, iffah, syaja’ah dan ‘adalah.
e.
Teori
Mahabbah (Cinta)
Ibnu Miskawaih mengenal dua tingkatan cinta. Pertama, cinta
pada sesama makhluk. Kedua, cinta makhluk kepada Khaliqnya.
Setelah membahas cinta sesama makhluk dalam lingkup keluarga, Ibnu Miskawaih
menunjuk mahabbah dalam masyarakat luas. Lebih jauh ia mendefinisikan
kawan (shadiq) sebagai orang lain yang merupakan dirimu sendiri. Namun
mahabbah yang paling kekal dan paling tinggi tingkatannya adalah mahabbah terhadap
sang Khaliq.
f.
Aspek
Sosial
Karena manusia makhluk sosial, maka kebahagiaan kemanusiaannya
terletak pada temannya, sedang yang kesempurnaannya terletak pada orang lain.
Karena mustahil akan hidup bahagia dalam keadaan hidup menyendiri. Sehingga
yang berbahagia adalah mereka yang memiliki banyak teman dan selalu menyebarkan
kebaikan pada siapa saja.
C. Pengertian Pendidikan Akhlak Perspektif Al-Qur’an.
1.
Pengertian
Pendidikan dalam Islam.
Dalam khazanah pemikiran Pendidikan Islam, terutama dalam
karya-karya ilmiah berbahasa Arab, terdapat berbagai istilah yang digunakan
oleh ulama dalam memberikan pengertian tentang “Pendidikan Islam”, dan
sekaligus diterapkan dalam konteks yang berbeda-beda.
Menurut Langgulung,
sebagaimana dikutip oleh Muhaimmin, menjelaskan bahwa pendidikan Islam setidak-tidaknya
tercakup dalam delapan pengertian, yaitu al-tarbiyah al-diniyah
(pendidikan keagamaan), ta’lim al-din (pengajaran agama), al-ta’lim
al-diny (pengajaran keagamaan), al-ta’lim al-islamiy (pengajaran
keislaman), tarbiyah al-muslimin (pendidikan orang-orang Islam), al-tarbiyah
fi al-Islam (pendidikan dalam Islam), al-tarbiyah ‘inda al-muslimin
(pendidikan di kalangan orang-orang Islam), dan al-tarbiyah al-Islamiyah
(pendidikan Islami).[21]
Selain delapan
istilah pendidikan Islam yang telah dijelaskan oleh Langgulung di atas,
ternyata pendidikan Islam juga populer dengan istilah tarbiyah, ta’lim,
ta’dib, riyadloh, irsyad, dan tadris. Dari masing-masing istilah
tersebut memiliki keunikan makna tersendiri ketika sebagian atau semuanya
disebut secara bersamaan. Namun, kesemuanya akan memiliki makna yang sama jika
disebut salah satunya, sebab salah satu dari istilah tersebut sebenarnya telah
mewakili istilah yang lain. Implikasinya, berbagai literatur Ilmu Pendidikan
Islam, semua istilah itu terkadang digunakan secara bergantian dalam mewakili
istilah pendidikan Islam.[22]
Istilah
“pendidikan” dalam perspektif Islam diartikan berbeda, terutama antara ta’dib,
ta’lim dan tarbiyyah, baik pada tingkat etimologi ataupun
terminologi.[23]
Namun setelah diadakannya Konfrensi Dunia yang pertama tentang pendidikan Islam
di Makkah, yang membahas penggunaan istilah tarbiyyah, ta’dib dan ta’lim
dan pada akhirnya memutuskan istilah-istilah tersebut digunakan bersama-sama.
Istilah ketiganya digunakan untuk mewakili lingkup pendidikan dalam Islam baik
formal ataupun non-formal.[24]
2.
Pengertian
Akhlak dalam Al-Qur’an.
Allah adalah zat yang maha menciptakan (Al-Khaliq)
manusia dalam bentuk yang paling sempurna, hal ini dijelaskan sendiri oleh
Allah dalam surat At-Tiin:
ôs)s9 $uZø)n=y{ z`»|¡SM}$# þÎû Ç`|¡ômr& 5OÈqø)s? ÇÍÈ
Artinya:
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya
(Q.S At-Tiin: 4).[25]
Kesempurnaan fisik seseorang harus selaras dengan
kesempurnaan akhlaknya, setiap orang mempunyai kewajiban untuk menyempurnakan
akhlaknya, upaya memperbaiki akhlak merupakan suatu ibadah sebagaiman misi
Rasulullah di utus ke dunia, yakni untuk menyempurnakan akhlak.
Karena fisik manusia itu ranah sang pencipta (Al-Khaliq).
Jadi Al-Khaliq lah yang menciptakan fisik manusia dengan sempurna,
sehingga tidak boleh ada seorang pun yang menghina, mencela, merendahkan atau
bentuk-bentuk lain terhadap fisik manusia. Dalam tataran fisik, tidak ada
sedikitpun ruang kritik atas wujud manusia, tanpa satupun kecuali. Karena
menghina fisik seseorang berarti telah menghina zat yang menciptakan, yaitu
Allah sebagai Al-Khaliq.[26]
Selanjutnya Said Aqil Siradj mengatakan:
Berbeda
dengan ranah khalq (fisik manusia) yang anti kritik, adalah al-khulq
(keluhuran budi). Tuntutan untuk berbudi luhur berarti larangan melakukan
tindakan yang tercela. Jika seseorang dituntut untuk berbuat baik namun
faktanya ia bermoral buruk maka berakibat pada runtuhnya karakteristik
ketuhanan dalam dirinya. Ia pun jadi hina dan dihinakan. Ia jadi rendah dan
direndahkan. Pada ranah al-khuluq ini terjadi seseorang memuliakan orang
lain karena keluhuran budinya. Sebaliknyapun terjadi, seseorang merendahkan
orang lain karena perangainya yang buruk.[27]
Maka
dari kata al-khuluq inilah, kemudian terbentuk kata akhlaq, yang
merupakan bentuk jamak dari khuluq, yang dalam bahasa Indonesia disebut
akhlak. Akhlak itu sendiri berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau
tabiat.[28]
Sedangkan dalam Kamus Bahasa Indonesia, akhlak diartikan sebagai budi
pekerti, tabiat, kelakuan,dan watak. Sehingga berakhlak berarti
mempunyai pertimbangan untuk membedakan yang baik dan yang buruk. Sinonim dari
kata akhlak adalah etika atau moral.[29]
Sedangkan
secara terminologis, banyak sekali pakar pendidikan yang memberikan pengertian
akhlak. Ibnu Miskaweih seperti dikutip Aminuddin, mendefinisikan akhlak sebagai
keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan
tanpa melakukan pemikiran dan pertimbangan.[30]
Sementara Imam Al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai suatu sifat yang
tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah,
dan tanpa memerlukan dan pertimbangan.[31]
Sa’adudin mengemukakan bahwa
akhlak mengandung beberapa arti, yang diantaranya adalah:
a.
Tabiat,
yaitu sifat dalam diri yang terbentuk manusia tanpa dikehendaki dan tanpa
diupayakan.
b.
Adat,
yaitu sifat yang dalam diri yang diupayakan manusia melalui latihan, yakni
berdasarkan keiinginan.
c.
Watak,
cakupannya meliputi hal-hal yang menjadi tabiat dan hal-hal yang diupayakan
sehingga menjadi adat.[32]
Sedangkan akhlak islami adalah
sesuatau yang sudah melekat pada jiwa manusia. Karena itu suatu perbuatan baru
dapat disebut pencerminan akhlak jika sudah memenuhi beberapa syarat. Syarat
itu antara lain:
a.
Dilakukan
berulang-ulang, karena jika hanya dilakukan sekali saja atau jarang, maka tidak
dapat dikatakan akhlak.
b.
Timbul
dengan sendirinya, tanpa dipikir-pikir terlebih dahulu atau dipertimbangkan
berulang-ulang.[33]
Meskipun
banyak yang mengartikan bahwa antara akhlak, etika dan moral adalah sama, yakni
membahas baik dan buruk dan prilaku manusia, namun menurut Quraish Shihab, konsep
akhlak dalam ajaran Islam tidak dapat disamakan dengan etika. Jika etika
dibatasi pada sopan santun antar sesama manusia, serta hanya berkaitan dengan
tingkah laku lahiriah, akhlak lebih luas maknanya dari pada etika, karena
mencakup pula beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriah. Misalnya yang
berkaitan dengan sikap batin atau pikiran, akhlak diniah (agama) mencakup
berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga pada sesama makhluk
(manusia, binatang, tumbuhan dan benda mati).[34] Tapi
tampaknya masyarakat luas istilah-istilah tersebut disinonimkan dan dipakai
silih berganti untuk menunjukan sesuatu yang baik atau buruk
[1]K. Bertens, Etika,
cet IX, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal. 35
[2]Murtadha Muthahhari,
Falsafah Akhlak, terj. Faruq bin Dahiya, (Jakarta: RausyanFikr, 2012),
hal. 75
[3]K. Bertens, Etika..,
hal 36.
[4]Saktiyono B. Purwoko, Psikologi
Islami; Teori dan Penelitian, (Bandung: Saktiyono WordPress), hal. 40
[5] Istighfarotur
Rahmaniyah, Pendidikan Etika, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), hal. 97
[7] Ibid., hal.
99
[8] Ibid., hal.
99
[9]M. Noor Syam,
et. all., Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan, cet III, (Surabaya: Usaha
Nasional, 1988), hal. 56.
[10]Istighfarotur
Rahmaniyyah, Pendidikan Etika..., hal. 97
[11]Wahyu
Murtiningsih, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah, (Jogjakarta:
Ircisod,, 2012), hal. 54
[13]Bertrand
Russell, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik
Zaman Kuno Hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko, cet III, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007), hal. 233
[14] Ibid.,
hal. 234.
[15] Ibid.,
hal. 235.
[16] Ibid.,
hal. 240.
[17] Ibid.,
hal. 236.
[18] Wahyu
Murtiningsih, Para Filsuf..., hal. 263
[19] Ibid.,
hal. 264.
[20] Istighfarotur
Rahmaniyyah, Pendidikan Etika..., hal. 124.
[21]Muhaimmin,
et.all., Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama
Islam di Sekolah, cet V, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hal. 36.
[22]Muhammad Muntahibun
Nafis, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Teras, 2011), hal. 1-2.
[23]Ta’dib, lazimnya diterjemahkan
dengan pendidikan sopan santun, tata krama, akhlak, moral, budi pekerti dan
etika. Ta’lim berasal dari kata “allama” yang berarti mengajar
dan menjadikan yakin dan mengetahui. Sedangkan tarbiyyah secara
leksikologi tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, namun terdapat istilah yang seakar dengannya, yaitu
al-rabb, rabbayani, nurabbi, yurbi, dan rabbani.
[24]Muhammad Muntahibun
Nafis, Ilmu Pendidikan..., hal. 3.
[25] Q.S At-Tiin: 4
[26] Baca Sulton Fatoni dan
Wijdan Fr, The Wisdom of Gus Dur;Butir-Butir Kearifan Sang Waskita,
(Bandung: Imania, 2014), hal. 4
[27] Ibid., hal. 4
[28]Marzuki, Prinsip
Dasar Akhlak Mulia, (Yogyakarta: Debut Wahana Press, 2009), hal. 8.
[29]Tim Redaksi
Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 2008), hal.28
[30]Aminuddin dkk, Pendidikan
Agama Islam, cet II, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hal. 152
[32]Abdul Majid dan
Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2011), hal. 10
[33]Mohamad Daud Ali, Pendidikan
Agama Islam, (Jakarta: Rajagrafindo,2008),
hal. 348
[34]Lihat M.
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Bandung: Mizan, 2013), hal. 347
No comments:
Post a Comment