Saturday, February 25, 2017

Tahapan Proses Belajar Membaca Permulaan


Grainger (Dhieni, 2005: 185) menyebutkan adanya tiga tahapan dalam proses membaca. Tahap prabaca dapat dilihat dari kesiapan anak untuk memulai pengajaran formal dan tergantung pada kesadaran fonemis anak. Anak yang dinyatakan siap (biasanya pada anak-anak yang baru memasuki usia prasekolah) kemudian akan melalui tahap pertama dalam proses membaca. Tahap pertama adalah tahap logografis, anak-anak taman kanak-kanak atau awal kelas 1 menebak kata-kata berdasarkan satu atau sekelompok kecil huruf sehingga tingkat diskriminasi sangat buruk.
Kemudian setelah mendapat pengajaran, diskriminasi menjadi lebih baik. Anak dapat membedakan kata yang sudah dan belum dikenal, namun mereka belum dapat membaca kata-kata yang belum dikenal. Strategi membaca permulaan pada tahap logografis secara umum tidak bersifat fonologis, tetapi lebih bersifat pendekatan global atau visual di mana pembaca awal mencoba mengidentifikasi kata secara keseluruhan berdasarkan ciri-ciri yang bisa dikenali.
Tahap kedua adalah tahap alfabetis, pada tahap ini pembaca awal memperoleh lebih banyak pengetahuan tentang bagaimana membagi kata-kata ke dalam fonem-fonem dan bagaimana merepresentasikan bunyi-bunyi yang mereka baca dan eja dengan ortografi alfabet. Tahap ketiga dilalui ketika anak sudah lancar dalam proses dekoding. Anak pada tahap ini mampu memecahkan kata-kata yang beraturan dan tak beraturan dengan menggunakan konteks. Biasanya tahap ini berlangsung ketika anak berada pada pertengahan sampai akhir kelas 3 dan kelas 4 sekolah dasar.
Mercer dalam Abdurrahman (2002: 201) membagi tahapan membaca menjadi lima, yaitu:
a) Kesiapan membaca.
b) Membaca permulaan.
c) Ketrampilan membaca cepat.
d) Membaca luas.
e) Membaca yang sesungguhnya.
Tahap pertama membaca adalah tahap membaca permulaan yang ditandai dengan penguasaan kode alfabetik. Tahap kedua adalah tahap membaca lanjut di mana pembaca mengerti arti bacaan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa anak-anak umumnya sebagai pembaca awal berada pada tahap membaca permulaan. Lebih khususnya, anak-anak berada pada tahap pertama dan kedua dalam proses membaca, yaitu tahap logografis dan alfabetis.
Pembagian tahapan ini berdasarkan kemampuan yang harus dikuasai anak, yaitu penguasaan kode alfabetik yang hanya memungkinkan anak untuk membaca secara teknis, belum sampai memahami bacaan seperti pada tahap membaca lanjut. Pengajaran membaca permulaan di taman kanak-kanak umumnya sudah dimulai sejak awal tahun pertama. Anak-anak diberi stimulasi berupa pengenalan huruf-huruf dalam alfabet. Praktik ini langsung disandingkan dengan ketrampilan menulis, di mana anak diminta mengenal bentuk dan arah garis ketika menulis huruf.
Metode belajar membaca di taman kanak-kanak biasanya mendapat hambatan dalam penerapannya. Metode ini diberikan sama pada setiap anak, dan materi ajaran umumnya hanya berasal dari buku penunjang. Jika melihat perbedaan anak dalam gaya belajar, hal ini akan kurang memberi hasil yang optimal. Sehingga dirasa perlu untuk menggunakan media pembelajaran yang cocok sebagai penunjang metode belajar membaca permulaan (mengenal huruf) agar lebih mengoptimalkan proses pembelajaran.
Fase perkembangan kemampuan membaca permulaan terjadi pada anak usia 6 tahun, pada fase ini anak mempelajari perbedaan setiap huruf maupun perbedaan angka yang satu dengan yang lainnya. Anak banyak belajar membaca melalui lingkungannya berupa mengenal tanda-tanda, nama benda yang dilihatnya dan diungkapkan berupa kata-kata sebagai hasil membaca. Proses yang dialami dalam membaca permulaan pada anak adalah berupa penyajian kembali dan penafsiran suatu kegiatan dimulai dari mengenali huruf, kata, ungkapan, frase, kalimat, dan wacana serta menghubungkannya dengan bunyi dari makna. Maka dalam pembelajaran membaca permulaan menitik beratkan pada aspek yang bersifat teknis seperti ketepatan menyuarakan tulisan, lafal dan intonasi yang wajar, kelancaran dan kejelasan (Zuchdi dan Budiasih, 1996-1997: 73).
Perkembangan kemampuan membaca permulaan (developmental readiness) didefinisikan suatu periode dalam proses perkembangan membaca pada individu, yang mana setiap kemampuan membaca pada individu berkembang sesuai tahapnya, sehingga dalam memperoleh kematangan kemampuan membaca permulaan pada anak sangat membutuhkan rangsangan dari lingkungannya (Tarigan. 2008: 69). Menurut Anderson (Dhieni, 2008: 209) bahwa kemampuan membaca permulaan dalam teori keterampilan merupakan penekanan pada proses penyandian membaca secara mekanikal.
Membaca permulaan yang menjadi acuan adalah proses recoding dan decoding, serta membaca merupakan suatu proses yang bersifat fisik maupun psikologis. Proses decoding bersifat fisik berupa kemampuan mengamati tulisan secara visual. Indera visual, pembaca mengenali dan membedakan gambar-gambar bunyi serta kombinasinya. Proses recoding merupakan kemampuan mengasosiasikan gambar-gambar, bunyi beserta kombinasi tersebut terhadap bunyi-bunyinya. Proses rangkaian tulisan yang dibaca menjadi rangkaian bunyi bahasa dalam rangkaian kata-kata, kelompok kata, hingga menjadi kalimat yang bermakna.
Kemampuan membaca permulaan merupakan kemampuan kompleks yang menuntut kerjasama antara sejumlah kemampuan, sehingga diperlukannya penggunaan pengetahuan dari pengalaman yang telah dimiliki sebagai dasar kemampuannya. Kemampuan membaca permulaan (pra membaca) merupakan kemampuan yang diperlukan anak menjadi pembaca. Kemampuan ini dapat diperoleh anak dari lingkungan sekitarnya dan bimbingan orang dewasa.
Anderson dkk (dalam Dhieni, 2008: 5.5) memandang membaca sebagai suatu proses untuk memahami makna suatu tulisan. Pada kegiatan membaca permulaan melibatkan kemampuan menghubungkan maksud tulisan terhadap pengalamannya. Pemahaman makna bacaan akan terjadi ketika membaca terjadi berpikir proses informasi grafonik yaitu yang bersangkutan hubungan tulisan dan bunyi bahasa, informasi sintaksis yaitu hubungan struktur kalimat, serta informasi
semantik yaitu aspek makna (Akhaidah. dkk, 1992/ 1993: 23).
Kemampuan membaca permulaan dan melihat merupakan proses membangun makna dari berbagai gambaran termasuk media cetak, film, televisi, teknologi dan lainnya. Hal ini merupakan proses aktif yang melibatkan interaksi antara pikiran pembaca. Sebagai pembaca berinteraksi dengan teks, mereka menggunakan strategi pengambilan contoh, memperkirakan, dan mengkonfirmasikan. Proses membaca permulaan pada anak usia dini dimulai tahap fantasi, membaca gambar hingga pengenalan bacaaan/take off reader stage (Dhieni, 2008: 3.17).
Kemampuan anak pada tahap ini telah menggunakan tiga sistem yaitu graphoponic, semantik dan sintaksis. Ketiga sistem syarat tersebut sebagai dasar kemampuan bahasa reseptif yang dimiliki anak dan berkembang secara bertahap dan teratur. Pernyataan tersebut sejalan dengan periode bahasa akuisi pada analisis
linguistik umum dalam bahasa lisan anak dibagi menjadi tiga sub sistem: (a) sistem fonologi untuk memproduksi suara dan aturan menggabungkan suara dalam membentuk kata-kata, (b) sistem sintaks aturan menghasilkan kata-kata dalam membuat kalimat, dan (c) sistem semantik makna atau konseptualisasi yang dapat dibagi lagi ke dalam arti dari kata-kata individu (semantik leksikal) dan makna kalimat (semantik sentensial).
Sistem pertama yaitu graphophonic didefinisikan sebagai kombinasi dari sistem suara (fonologi), sistem grafis (ortografi), dan bagaimana pembaca menghubungkan dua pola berbicara sendiri, termasuk dialek (Goodman dalam Mc Nally, 1994: 4). Lebih sederhananya, graphophonic adalah "huruf dan suara yang saling berhubungan" (Weaver dalam Mc Nally, 1994: 4). Sistem suara (fonologi) merupakan pengkajian bunyi-bunyi bahasa yang diekspresikan (Bertil Malmberg dalam Muslich (2010: 17). Unit-unit yang digunakan dalam bahasa lisan adalah bunyi-bunyi dan kumpulan bunyi-bunyi yang mampu dibedakan oleh telinga dengan jelas.
Perbedaan bunyi-bunyi dapat membedakan arti dalam suatu kata. Perbedaan makna kata yang dipengaruhi perbedaan bunyi yang diucapkan, maka hal tersebut merupakan lingkup fonetik. Berdasarkan hasil penelitian (dalam Muslich, 2010: 94) bahwa fonem bahasa Indonesia berjumlah sekitar 5 fonem vokal (a, i, u, e, dan o) dan sekitar 21 fonem konsonan (b, c, d, f, g, h, j, k, l, m, n, p, q, r, s, t, v, w, x, y, dan z ). Dikatakan “sekitar” karena jumlahnya dapat berubah yang diperoleh dari hasil penelitian (rekaman bunyi bahasa) dan berkembangnya kosakata bahasa Indonesia sesuai keperluan penuturannya seiring dengan era globalisasi.
Graphophonic dimulai dan dibangun pada anak dalam memperlajari bahasa sebagai pembaca yang bebas sampai kompleks. Seperti berbicara, mendengarkan, membaca, dan menulis dikaji berulang-ulang dalam konteks yang bermakna. Melalui kegiatan tersebut akan membangun pengetahuan anak sendiri dalam mempelajari graphophonic. Keberhasilan anak-anak dalam menggunakan sistem graphophonic yaitu memiliki penamaan hubungan antara huruf dan bunyi.
Bermain dengan kata-kata, kata bangunan, membuat hubungan kata, dan memanipulasi huruf untuk membentuk berbagai kata-kata adalah kesempatan penting bagi anak untuk berlatih. Yang paling efektif dalam praktek phonik adalah untuk membaca teks pada tingkat yang sesuai dan kegiatan latihan menulis (E. Keene, 2008: 115). Kefasihan graphophonic pada anak dapat diketahui dari kemampuan anak membunyikan huruf yang tersusun dalam kata dan menuliskannya, misal pada kata “jas” maka terdapat perbedaan bentuk mulut dalam membunyikan antar huruf tersebut.
Sistem kedua yaitu sintaksis merupakan hubungan antar kata satu dengan lainnya. Hal ini sesuai dengan asal usul (bahasa Yunani) kata sintaksis yaitu sun yang berarti ‘dengan’ dan kata tattein yang berarti ‘menempatkan’. Jadi secara epistimologis bahwa sintaksis merupakan menempatkan bersama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat.
Senada dengan Bromley (Dhieni, 2008: 3.4-3.5) menjelaskan bahwa
Sintaksis berkaitan dengan keteraturan bahasa dan fungsi kata yang didalamnya terdapat aturan bahasa. Perkembangan ini ditandai dari kemampuan anak memproduksi kata-kata yang bermakna dan sesuai aturan dalam membentuk kalimat utuh. Struktur sintaksis terdiri dari susunan subjek (S), predikat (P), objek (O), dan keterangan (K). Fungsi-fungsi unsur sintaksis merupakan “kotak kosong” atau “tempat-tempat kosong” yang tidak memiliki arti, sehingga diisi oleh kategori dan peran tertentu, misal: Dika membaca novel di kamar. Maka peran kategori sesuai unsur sintaksis pada kalimat tersebut adalah Dika (S), membaca (P), novel (O), dan kamar (Ket tempat).

Sistem ketiga yaitu semantik yang berkaitan dengan kemampuan anak membedakan berbagai arti kata. Setiap ucapan seseorang dengan menggunakan bahasa tidak lepas dari arti ujaran itu (makna). Makna dalam ujaran mengandung aturan-aturan yang disebut kaidah makna atau tata makna. Sedangkan bidang yang mempelajari tata makna adalah semantik. Semantik berasal dari kata bahasa Yunani yaitu samanein yang artinya bermaksud atau berarti (Nurhadi, 1995: 325- 326).
Sependapat dengan Nurhadi, Santrock (Dhieni, 2008: 1.17) menjelaskan bahwa semantik mengacu pada makna kata dan kalimat. Sistem semantik makna atau konseptualisasi. Semantik dapat dibagi lagi ke dalam arti dari kata-kata individu (semantik leksikal) dan makna kalimat.
Perkembangan semantik didukung oleh faktor lingkungan yaitu ada usia 6-9 bulan anak telah mengenal orang atau benda yang berada di sekitarnya. Leksikal dan pemerolehan konsep berkembang pesat pada masa prasekolah. Perkembangan semantik bermula saat anak menggunakan kata benda, kata kerja, dan betahap anak memiliki kata sifat maupun keterangan. Jenis kata yang sifatnya lebih abstrak, seperti kata depan dan kata penghubung akan muncul di kemudian waktu (Dhieni, 2008: 3.5). Pemahaman kata bertambah tanpa pengajaran langsung oleh orang dewasa. Dalam perkembangan kemampuan anak akan terjadi strategi pemetaan yang cepat sehingga anak dapat menghubungkan suatu kata dengan rujukannya. Pemetaan yang dikuasai dalam proses ini adalah pemerolehan leksikal, kemudian secara bertahap anak akan menyampaikan informasi baru melalui kalimatnya.
Definisi kata benda pada anak usia dini meliputi properti fisik seperti bentuk, ukuran dan warna, properti fungsi, properti pemakaian, dan lokasi. Definisi kata kerja anak dini dapat menjelaskan siapa, apa, kapan, di mana, untuk apa, untuk siapa, dengan apa, dan mereka cenderung belum mampu memahami pertanyaan bagaimana dan mengapa. Perkembagan kosa kata anak berkembang sejalan informasi baru yang diperolehnya, sehingga kemampuan mengorganisasikan kosa kata akan lebih meningkat dan beberapa jaringan semantik akan terbentuk.
Pragmatik berkaitan dengan penggunaan bahasa dalam mengekspresikan minat dan maksud seseorang untuk mencapai tujuan yang diharapkan (Dhieni, 2008: 3.5). Kemampuan anak dalam mengungkapkan maksudnya melibatkan diri dalam percakapan. Hal ini dilihat ketika anak mengucapkan kata sambil mengekspresikan maupun menggunakan media sebagai pendukung dalam menyampaikan maksudnya.
Berdasarkan karakteristik anak, bahwa anak usia dini berada pada masa egoisentris, yang mana subyektifitas dirinya selalu dikaitkan pada kegiatan yang dilakukannya. Sehingga dalam kegiatan kebahasaan, khusunya membaca hendaknya melibatkan pengalamannya dan sesuai potensi anak dengan cara mengkontruksi pengatahuan dan pengalamannya melalui benda di sekitar anak.
Kemampuan membaca permulaan anak dapat dikembangkan melalui kegiatan sebagai berikut (www.familylearning.org.uk, 2012):
a. Mencocokan
Kemampuan mencocokan melibatkan terhadap bagian-bagian yang kita baca. Anak memiliki kemampuan mencocok yang dimulai dari mencocokan bentuk, pola, dan surat-surat, hingga pada kata-kata.
b. Bersajak
Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki kemampuan berirama terhadap kata-kata maka anak tersebut memiliki minat membaca dan mengeja.
c. Keterampilan huruf
Keterampilan ini berawal dari kemampuan mendengarkan terhadap bunyi-bunyi yang ada di sekitar anak. Dari bunyi-bunyi tersebut dikembangkan secara bertahap, mulai dari gambar, huruf dan rangkaian huruf.
d. Arahan
Arahan ini berupa pengarahan bahwa media cetak berupa tulisan dimulai dari kiri ke kanan, sehingga sangat penting bagi anak untuk mengetahui bagaimana anak mulai membaca, melanjutkan setiap barisan dan mengakhiri membaca.
e. Konsep media cetak
Konsep ini mengajarkan anak tentang bagaimana menggunakan buku dengan baik, membolak-balik halaman secara berurutan, mengeksplorasi gambar, mengetahui terhadap kata-kata yang dibaca pada sebuah cerita.
f. Kemampuan bahasa
Pengalaman bahasa yang luas pada anak akan memudahkan anak menguasai kemampuan membaca. Hal ini diperoleh dari keterlibatan anak terhadap lingkungannya, seperti halnya mendengar, bergabung dalam percakapan (dengan orang dewasa dan anak-anak), dan mendengarkan cerita dan sebagainya.
Pengajaran membaca permulaan yang tepat pada anak yaitu pengajaran membaca yang didasarkan pada kebutuhan anak dan mempertimbangkan apa yang telah dikuasai anak di TK. Beberapa kegiatan yang dilakukan dalam pengajaran membaca permulaan, yaitu: peningkatan ucapan, kesadaran fonetik, hubungan antara bunyi-huruf, membedakan bunyi-bunyi, kemampuan mengingat, membedakan huruf, orientasi dari kiri ke kanan, keterampilan pemahaman dan penguasaan kosakata.
Penelitian terhadap membaca bahwa munculnya konsep membaca anak melalui bentuk, suara, dan warna. Kemampuan membaca permulaan anak diawali melalui pengalaman untuk mempertajam persepsinya. Dalam membangun perspektif terhadap proses membaca anak melalui pengkodean kata-kata yang dirancang untuk mengetahui makna yang terdapat pada tulisan (Raines and Canady dalam Claudia E dan Loa J, 2008: 216). Sejak masa kanak-kanak telah menikmati gambar, alfabet, sajak, buku cerita dan mempunyai keinginan besar terhadap bacaaan, Karena melalui membaca akan membukan wawasan, memberikan informasi, dan menyenangkan. Anderson (Akhaidah, 1991: 23) mengemukakan lima ciri-ciri membaca yang dimiliki sebagai dasar membaca permulaan pada anak adalah sebagai berikut:
a.    Membaca adalah proses konstruksi
Tak ada satu tulisan pun yang dapat dipahami dan ditafsirkan tanpa bantuan latar belakang pengetahuan dan pengalaman membaca
b.    Membaca harus lancar
Kelancaran membaca dipengaruhi oleh kesanggupan pembaca mengenali kata-kata. Artinya pembaca harus dapat menghubungkan tulisan dan maknanya.
c.    Membaca harus dilakukan dengan strategi dengan tepat
Pembaca yang terampil dengan sendirinya akan menyesuaikan strategi membaca dengan taraf kesulitan tulisan, pengenalannya tentang topik yang dibaca, serta tujuan membacanya.
d.   Membaca memerlukan motivasi
Motivasi yang dibangun untuk menyadarkan pembaca tentang pentingnya informasi terhadap lingkungannya yang diawali dengan timbulnya kesadaran membaca sebagai salah satu motivasi dalam memperoleh informasi.
e.    Membaca merupakan keterampilan yang harus dikembangkan secara berkesinambungan.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diketahui bahwa kemampuan membaca permulaan anak adalah kemampuan anak dalam menginterpretasikan simbol-simbol grafis yang ada disekitar untuk memperoleh makna maupun informasi. Penginterpretasian pada kegiatan membaca permulaan pada anak terhadap informasi yang diperoleh hendaknya didukung dengan simbol maupun gambar serta pengalaman di sekitar anak agar dapat membantu anak memperoleh makna.

2 comments:

  1. terimakasih tulisannya. bermanfaat sekali.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih atas perhatiannya. Saran dan kritik saya harapkan untuk perbaikan blog ini

      Delete

Simbol Bilangan atau Angka

  a. Pengertian Angka Memahami suatu angka dapat membantu manusia untuk melakukan banyak perhitungan mulai dari yang sederhana maupaun y...

Blog Archive