Grainger (Dhieni, 2005:
185) menyebutkan adanya tiga tahapan dalam proses membaca. Tahap prabaca dapat
dilihat dari kesiapan anak untuk memulai pengajaran formal dan tergantung pada
kesadaran fonemis anak. Anak yang dinyatakan siap (biasanya pada anak-anak yang
baru memasuki usia prasekolah) kemudian akan melalui tahap pertama dalam proses
membaca. Tahap pertama adalah tahap logografis, anak-anak taman kanak-kanak
atau awal kelas 1 menebak kata-kata berdasarkan satu atau sekelompok kecil
huruf sehingga tingkat diskriminasi sangat buruk.
Kemudian setelah mendapat pengajaran, diskriminasi menjadi lebih baik.
Anak dapat membedakan kata yang sudah dan belum dikenal, namun mereka belum
dapat membaca kata-kata yang belum dikenal. Strategi membaca permulaan pada
tahap logografis secara umum tidak bersifat fonologis, tetapi lebih bersifat
pendekatan global atau visual di mana pembaca awal mencoba mengidentifikasi
kata secara keseluruhan berdasarkan ciri-ciri yang bisa dikenali.
Tahap kedua adalah tahap alfabetis, pada tahap ini pembaca awal
memperoleh lebih banyak pengetahuan tentang bagaimana membagi kata-kata ke
dalam fonem-fonem dan bagaimana merepresentasikan bunyi-bunyi yang mereka baca
dan eja dengan ortografi alfabet. Tahap ketiga dilalui ketika anak sudah lancar
dalam proses dekoding. Anak pada tahap ini mampu memecahkan kata-kata yang
beraturan dan tak beraturan dengan menggunakan konteks. Biasanya tahap ini
berlangsung ketika anak berada pada pertengahan sampai akhir kelas 3 dan kelas
4 sekolah dasar.
Mercer dalam Abdurrahman (2002: 201) membagi tahapan membaca menjadi
lima, yaitu:
a)
Kesiapan membaca.
b)
Membaca permulaan.
c)
Ketrampilan membaca cepat.
d)
Membaca luas.
e)
Membaca yang sesungguhnya.
Tahap pertama membaca adalah tahap membaca permulaan yang ditandai
dengan penguasaan kode alfabetik. Tahap kedua adalah tahap membaca lanjut di
mana pembaca mengerti arti bacaan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa anak-anak umumnya sebagai pembaca awal berada pada tahap membaca
permulaan. Lebih khususnya, anak-anak berada pada tahap pertama dan kedua dalam
proses membaca, yaitu tahap logografis dan alfabetis.
Pembagian tahapan ini berdasarkan kemampuan yang harus dikuasai anak,
yaitu penguasaan kode alfabetik yang hanya memungkinkan anak untuk membaca
secara teknis, belum sampai memahami bacaan seperti pada tahap membaca lanjut.
Pengajaran membaca permulaan di taman kanak-kanak umumnya sudah dimulai sejak
awal tahun pertama. Anak-anak diberi stimulasi berupa pengenalan huruf-huruf
dalam alfabet. Praktik ini langsung disandingkan dengan ketrampilan menulis, di
mana anak diminta mengenal bentuk dan arah garis ketika menulis huruf.
Metode belajar membaca di taman kanak-kanak biasanya mendapat hambatan
dalam penerapannya. Metode ini diberikan sama pada setiap anak, dan materi
ajaran umumnya hanya berasal dari buku penunjang. Jika melihat perbedaan anak
dalam gaya belajar, hal ini akan kurang memberi hasil yang optimal. Sehingga
dirasa perlu untuk menggunakan media pembelajaran yang cocok sebagai penunjang
metode belajar membaca permulaan (mengenal huruf) agar lebih mengoptimalkan
proses pembelajaran.
Fase perkembangan kemampuan membaca
permulaan terjadi pada anak usia 6 tahun, pada fase ini anak mempelajari perbedaan setiap huruf maupun
perbedaan angka yang satu dengan yang lainnya. Anak banyak belajar membaca
melalui lingkungannya
berupa mengenal tanda-tanda, nama benda yang dilihatnya dan diungkapkan berupa kata-kata
sebagai hasil membaca. Proses yang dialami dalam membaca permulaan pada anak
adalah berupa penyajian kembali dan penafsiran suatu kegiatan dimulai dari
mengenali huruf, kata, ungkapan, frase, kalimat, dan wacana serta
menghubungkannya dengan bunyi dari makna. Maka dalam pembelajaran membaca permulaan
menitik beratkan pada aspek yang bersifat teknis seperti ketepatan menyuarakan
tulisan, lafal dan intonasi yang wajar, kelancaran dan kejelasan (Zuchdi dan
Budiasih, 1996-1997: 73).
Perkembangan kemampuan membaca
permulaan (developmental readiness) didefinisikan suatu periode
dalam proses perkembangan membaca pada individu, yang mana setiap kemampuan
membaca pada individu berkembang sesuai tahapnya, sehingga dalam memperoleh kematangan kemampuan membaca
permulaan pada anak sangat membutuhkan rangsangan dari lingkungannya (Tarigan. 2008: 69). Menurut Anderson (Dhieni, 2008: 209) bahwa kemampuan membaca permulaan dalam teori
keterampilan merupakan penekanan pada proses penyandian membaca secara
mekanikal.
Membaca permulaan yang menjadi
acuan adalah
proses recoding dan decoding, serta membaca merupakan suatu
proses yang
bersifat fisik maupun psikologis. Proses decoding bersifat fisik berupa kemampuan mengamati tulisan
secara visual. Indera visual, pembaca mengenali dan membedakan gambar-gambar
bunyi serta kombinasinya. Proses recoding merupakan kemampuan
mengasosiasikan gambar-gambar, bunyi beserta kombinasi tersebut terhadap
bunyi-bunyinya. Proses rangkaian tulisan yang dibaca menjadi rangkaian bunyi
bahasa dalam rangkaian kata-kata, kelompok kata, hingga menjadi kalimat
yang bermakna.
Kemampuan membaca permulaan
merupakan kemampuan kompleks yang menuntut kerjasama antara sejumlah kemampuan, sehingga diperlukannya penggunaan pengetahuan dari
pengalaman yang telah dimiliki sebagai dasar kemampuannya. Kemampuan membaca
permulaan (pra membaca) merupakan kemampuan yang diperlukan anak menjadi pembaca. Kemampuan ini dapat diperoleh anak dari lingkungan
sekitarnya dan bimbingan orang dewasa.
Anderson dkk (dalam Dhieni, 2008:
5.5) memandang membaca sebagai suatu proses untuk memahami makna suatu tulisan. Pada kegiatan membaca
permulaan melibatkan kemampuan menghubungkan maksud tulisan terhadap pengalamannya. Pemahaman makna
bacaan akan terjadi ketika membaca terjadi berpikir proses informasi
grafonik yaitu yang bersangkutan hubungan tulisan dan bunyi bahasa, informasi
sintaksis yaitu hubungan struktur kalimat, serta informasi
semantik
yaitu aspek makna (Akhaidah. dkk, 1992/ 1993: 23).
Kemampuan membaca permulaan dan melihat merupakan proses membangun makna
dari berbagai gambaran termasuk media cetak, film, televisi, teknologi dan lainnya.
Hal ini merupakan proses aktif yang melibatkan interaksi antara pikiran pembaca.
Sebagai pembaca berinteraksi dengan teks, mereka menggunakan strategi
pengambilan contoh, memperkirakan, dan mengkonfirmasikan. Proses membaca
permulaan pada anak usia dini dimulai tahap fantasi, membaca gambar hingga
pengenalan bacaaan/take off reader stage (Dhieni, 2008: 3.17).
Kemampuan anak pada tahap ini telah menggunakan tiga sistem yaitu graphoponic,
semantik dan sintaksis. Ketiga sistem syarat tersebut sebagai dasar kemampuan
bahasa reseptif yang dimiliki anak dan berkembang secara bertahap dan teratur. Pernyataan
tersebut sejalan dengan periode bahasa akuisi pada analisis
linguistik
umum dalam bahasa lisan anak dibagi menjadi tiga sub sistem: (a) sistem
fonologi untuk memproduksi suara dan aturan menggabungkan suara dalam membentuk
kata-kata, (b) sistem sintaks aturan menghasilkan kata-kata dalam membuat
kalimat, dan (c) sistem semantik makna atau konseptualisasi yang dapat dibagi
lagi ke dalam arti dari kata-kata individu (semantik leksikal) dan makna
kalimat (semantik sentensial).
Sistem pertama yaitu graphophonic didefinisikan sebagai
kombinasi dari sistem suara (fonologi), sistem grafis (ortografi), dan
bagaimana pembaca menghubungkan dua pola berbicara sendiri, termasuk dialek
(Goodman dalam Mc Nally, 1994: 4). Lebih sederhananya, graphophonic adalah
"huruf dan suara yang saling berhubungan" (Weaver dalam Mc Nally,
1994: 4). Sistem suara (fonologi) merupakan pengkajian bunyi-bunyi bahasa yang
diekspresikan (Bertil Malmberg dalam Muslich (2010: 17). Unit-unit yang
digunakan dalam bahasa lisan adalah bunyi-bunyi dan kumpulan bunyi-bunyi yang
mampu dibedakan oleh telinga dengan jelas.
Perbedaan bunyi-bunyi dapat membedakan arti dalam suatu kata.
Perbedaan makna kata yang dipengaruhi perbedaan bunyi yang diucapkan, maka hal
tersebut merupakan lingkup fonetik. Berdasarkan hasil penelitian (dalam
Muslich, 2010: 94) bahwa fonem bahasa Indonesia berjumlah sekitar 5 fonem vokal
(a, i, u, e, dan o) dan sekitar 21 fonem konsonan (b, c, d, f, g, h, j, k, l,
m, n, p, q, r, s, t, v, w, x, y, dan z ). Dikatakan “sekitar” karena jumlahnya
dapat berubah yang diperoleh dari hasil penelitian (rekaman bunyi bahasa) dan
berkembangnya kosakata bahasa Indonesia sesuai keperluan penuturannya seiring
dengan era globalisasi.
Graphophonic dimulai
dan dibangun pada anak dalam memperlajari bahasa sebagai pembaca yang bebas
sampai kompleks. Seperti berbicara, mendengarkan, membaca, dan menulis dikaji
berulang-ulang dalam konteks yang bermakna. Melalui kegiatan tersebut akan
membangun pengetahuan anak sendiri dalam mempelajari graphophonic.
Keberhasilan anak-anak dalam menggunakan sistem graphophonic yaitu
memiliki penamaan hubungan antara huruf dan bunyi.
Bermain dengan kata-kata, kata bangunan, membuat hubungan kata, dan memanipulasi
huruf untuk membentuk berbagai kata-kata adalah kesempatan penting bagi anak
untuk berlatih. Yang paling efektif dalam praktek phonik adalah untuk membaca
teks pada tingkat yang sesuai dan kegiatan latihan menulis (E. Keene, 2008:
115). Kefasihan graphophonic pada anak dapat diketahui dari kemampuan
anak membunyikan huruf yang tersusun dalam kata dan menuliskannya, misal pada
kata “jas” maka terdapat perbedaan bentuk mulut dalam membunyikan antar huruf
tersebut.
Sistem kedua yaitu sintaksis merupakan hubungan antar kata satu dengan
lainnya. Hal ini sesuai dengan asal usul (bahasa Yunani) kata sintaksis yaitu sun
yang berarti ‘dengan’ dan kata tattein yang berarti ‘menempatkan’.
Jadi secara epistimologis bahwa sintaksis merupakan menempatkan bersama
kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat.
Senada dengan Bromley (Dhieni, 2008: 3.4-3.5) menjelaskan bahwa
Sintaksis berkaitan dengan keteraturan bahasa dan fungsi kata yang didalamnya
terdapat aturan bahasa. Perkembangan ini ditandai dari kemampuan anak
memproduksi kata-kata yang bermakna dan sesuai aturan dalam membentuk kalimat
utuh. Struktur sintaksis terdiri dari susunan subjek (S), predikat (P), objek (O),
dan keterangan (K). Fungsi-fungsi unsur sintaksis merupakan “kotak kosong” atau
“tempat-tempat kosong” yang tidak memiliki arti, sehingga diisi oleh kategori dan
peran tertentu, misal: Dika membaca novel di kamar. Maka peran kategori sesuai
unsur sintaksis pada kalimat tersebut adalah Dika (S), membaca (P), novel (O),
dan kamar (Ket tempat).
Sistem ketiga yaitu semantik yang berkaitan dengan kemampuan anak membedakan
berbagai arti kata. Setiap ucapan seseorang dengan menggunakan bahasa tidak
lepas dari arti ujaran itu (makna). Makna dalam ujaran mengandung aturan-aturan
yang disebut kaidah makna atau tata makna. Sedangkan bidang yang mempelajari
tata makna adalah semantik. Semantik berasal dari kata bahasa Yunani yaitu samanein
yang artinya bermaksud atau berarti (Nurhadi, 1995: 325- 326).
Sependapat dengan Nurhadi, Santrock (Dhieni, 2008: 1.17) menjelaskan
bahwa semantik mengacu pada makna kata dan kalimat. Sistem semantik makna atau
konseptualisasi. Semantik dapat dibagi lagi ke dalam arti dari kata-kata
individu (semantik leksikal) dan makna kalimat.
Perkembangan semantik didukung oleh faktor lingkungan yaitu ada usia
6-9 bulan anak telah mengenal orang atau benda yang berada di sekitarnya.
Leksikal dan pemerolehan konsep berkembang pesat pada masa prasekolah.
Perkembangan semantik bermula saat anak menggunakan kata benda, kata kerja, dan
betahap anak memiliki kata sifat maupun keterangan. Jenis kata yang sifatnya
lebih abstrak, seperti kata depan dan kata penghubung akan muncul di kemudian
waktu (Dhieni, 2008: 3.5). Pemahaman kata bertambah tanpa pengajaran langsung
oleh orang dewasa. Dalam perkembangan kemampuan anak akan terjadi strategi
pemetaan yang cepat sehingga anak dapat menghubungkan suatu kata dengan
rujukannya. Pemetaan yang dikuasai dalam proses ini adalah pemerolehan leksikal,
kemudian secara bertahap anak akan menyampaikan informasi baru melalui
kalimatnya.
Definisi kata benda pada anak usia dini meliputi properti fisik
seperti bentuk, ukuran dan warna, properti fungsi, properti pemakaian, dan
lokasi. Definisi kata kerja anak dini dapat menjelaskan siapa, apa, kapan, di
mana, untuk apa, untuk siapa, dengan apa, dan mereka cenderung belum mampu memahami
pertanyaan bagaimana dan mengapa. Perkembagan kosa kata anak berkembang sejalan
informasi baru yang diperolehnya, sehingga kemampuan mengorganisasikan kosa
kata akan lebih meningkat dan beberapa jaringan semantik akan terbentuk.
Pragmatik berkaitan dengan penggunaan bahasa dalam mengekspresikan minat
dan maksud seseorang untuk mencapai tujuan yang diharapkan (Dhieni, 2008: 3.5).
Kemampuan anak dalam mengungkapkan maksudnya melibatkan diri dalam percakapan.
Hal ini dilihat ketika anak mengucapkan kata sambil mengekspresikan maupun
menggunakan media sebagai pendukung dalam menyampaikan maksudnya.
Berdasarkan karakteristik anak, bahwa anak usia dini berada pada masa egoisentris,
yang mana subyektifitas dirinya selalu dikaitkan pada kegiatan yang dilakukannya.
Sehingga dalam kegiatan kebahasaan, khusunya membaca hendaknya melibatkan
pengalamannya dan sesuai potensi anak dengan cara mengkontruksi pengatahuan dan
pengalamannya melalui benda di sekitar anak.
Kemampuan membaca permulaan anak dapat dikembangkan melalui kegiatan
sebagai berikut (www.familylearning.org.uk, 2012):
a.
Mencocokan
Kemampuan mencocokan melibatkan terhadap bagian-bagian yang kita baca.
Anak memiliki kemampuan mencocok yang dimulai dari mencocokan bentuk, pola, dan
surat-surat, hingga pada kata-kata.
b.
Bersajak
Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki kemampuan berirama
terhadap kata-kata maka anak tersebut memiliki minat membaca dan mengeja.
c.
Keterampilan huruf
Keterampilan ini berawal dari kemampuan mendengarkan terhadap bunyi-bunyi
yang ada di sekitar anak. Dari bunyi-bunyi tersebut dikembangkan secara
bertahap, mulai dari gambar, huruf dan rangkaian huruf.
d. Arahan
Arahan ini berupa pengarahan bahwa media cetak berupa tulisan dimulai dari
kiri ke kanan, sehingga sangat penting bagi anak untuk mengetahui bagaimana
anak mulai membaca, melanjutkan setiap barisan dan mengakhiri membaca.
e.
Konsep media cetak
Konsep ini mengajarkan anak tentang bagaimana menggunakan buku dengan
baik, membolak-balik halaman secara berurutan, mengeksplorasi gambar,
mengetahui terhadap kata-kata yang dibaca pada sebuah cerita.
f.
Kemampuan bahasa
Pengalaman bahasa yang luas pada anak akan memudahkan anak menguasai
kemampuan membaca. Hal ini diperoleh dari keterlibatan anak terhadap
lingkungannya, seperti halnya mendengar, bergabung dalam percakapan (dengan
orang dewasa dan anak-anak), dan mendengarkan cerita dan sebagainya.
Pengajaran membaca permulaan yang tepat pada anak yaitu pengajaran
membaca yang didasarkan pada kebutuhan anak dan mempertimbangkan apa yang telah
dikuasai anak di TK. Beberapa kegiatan yang dilakukan dalam pengajaran membaca
permulaan, yaitu: peningkatan ucapan, kesadaran fonetik, hubungan antara bunyi-huruf,
membedakan bunyi-bunyi, kemampuan mengingat, membedakan huruf, orientasi dari
kiri ke kanan, keterampilan pemahaman dan penguasaan kosakata.
Penelitian terhadap membaca bahwa munculnya konsep membaca anak melalui
bentuk, suara, dan warna. Kemampuan membaca permulaan anak diawali melalui
pengalaman untuk mempertajam persepsinya. Dalam membangun perspektif terhadap
proses membaca anak melalui pengkodean kata-kata yang dirancang untuk
mengetahui makna yang terdapat pada tulisan (Raines and Canady dalam Claudia E
dan Loa J, 2008: 216). Sejak masa kanak-kanak telah menikmati gambar, alfabet,
sajak, buku cerita dan mempunyai keinginan besar terhadap bacaaan, Karena
melalui membaca akan membukan wawasan, memberikan informasi, dan menyenangkan. Anderson
(Akhaidah, 1991: 23) mengemukakan lima ciri-ciri membaca yang dimiliki sebagai
dasar membaca permulaan pada anak adalah sebagai berikut:
a. Membaca adalah proses konstruksi
Tak ada satu tulisan pun yang dapat dipahami dan ditafsirkan tanpa bantuan
latar belakang pengetahuan dan pengalaman membaca
b. Membaca harus lancar
Kelancaran membaca dipengaruhi oleh kesanggupan pembaca mengenali kata-kata.
Artinya pembaca harus dapat menghubungkan tulisan dan maknanya.
c. Membaca harus dilakukan dengan strategi
dengan tepat
Pembaca yang terampil dengan sendirinya akan menyesuaikan strategi membaca
dengan taraf kesulitan tulisan, pengenalannya tentang topik yang dibaca, serta
tujuan membacanya.
d. Membaca memerlukan motivasi
Motivasi yang dibangun untuk menyadarkan pembaca tentang pentingnya
informasi terhadap lingkungannya yang diawali dengan timbulnya kesadaran
membaca sebagai salah satu motivasi dalam memperoleh informasi.
e. Membaca merupakan keterampilan yang
harus dikembangkan secara berkesinambungan.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diketahui bahwa kemampuan membaca
permulaan anak adalah kemampuan anak dalam menginterpretasikan simbol-simbol grafis
yang ada disekitar untuk memperoleh makna maupun informasi. Penginterpretasian
pada kegiatan membaca permulaan pada anak terhadap informasi yang diperoleh
hendaknya didukung dengan simbol maupun gambar serta pengalaman di sekitar anak
agar dapat membantu anak memperoleh makna.
terimakasih tulisannya. bermanfaat sekali.
ReplyDeleteTerima kasih atas perhatiannya. Saran dan kritik saya harapkan untuk perbaikan blog ini
Delete