Monday, February 27, 2017

Pengertian Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa


Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan,  “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.  Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Untuk mendapatkan wawasan mengenai arti pendidikan budaya dan karakter bangsa perlu dikemukakan pengertian istilah budaya, karakter bangsa, dan pendidikan. Pengertian yang dikemukakan di sini dikemukakan secara teknis dan digunakan dalam mengembangkan pedoman ini. Guru-guru Antropologi, Pendidikan Kewarganegaraan, dan mata pelajaran lain, yang istilah-istilah itu menjadi pokok bahasan dalam mata pelajaran terkait, tetap memiliki kebebasan sepenuhnya membahas dan berargumentasi mengenai istilah-istilah tersebut secara akademik.
Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya. Sistem berpikir, nilai, moral, norma dan keyakinan itu digunakan dalam kehidupan manusia dan menghasilkan sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, teknologi, seni, dan sebagainya. Manusia sebagai makhluk sosial menjadi penghasil sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan; akan tetapi juga dalam interaksi dengan sesama manusia dan alam kehidupan, manusia diatur oleh sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan yang telah dihasilkannya. Ketika kehidupan manusia terus berkembang, maka yang berkembang sesungguhnya adalah sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, ilmu, teknologi, serta seni. Pendidikan merupakan upaya terencana dalam mengembangkan potensi peserta didik, sehingga mereka memiliki sistem berpikir, nilai, moral, dan keyakinan yang diwariskan masyarakatnya dan mengembangkan warisan tersebut ke arah yang sesuai untuk kehidupan masa kini dan masa mendatang.
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang  terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan  karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam ligkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang berangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial,budaya masyarakat, dan budaya bangsa. Lingkungan sosial dan budaya bangsa adalah Pancasila; jadi pendidikan budaya dan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan kata lain, mendidik budaya dan karakter bangsa adalah mengembangkan nilai-nilai Pancasila pada diri peserta didik melalui pendidikan hati, otak, dan fisik.
Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik. Pendidikan adalah juga suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan. Keberlangsungan itu ditandai oleh pewarisan budaya dan karakter yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan adalah proses pewarisan budaya dan karakter bangsa bagi generasi muda dan juga proses pengembangan budaya dan karakter bangsa untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa di masa mendatang. Dalam proses pendidikan budaya dan karakter bangsa, secara aktif peserta didik mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat.
Atas dasar pemikiran itu, pengembangan pendidikan budaya dan karakter sangat strategis bagi keberlangsungan dan keunggulan bangsa di masa mendatang. Pengembangan itu harus dilakukan melalui perencanaan yang baik, pendekatan yang sesuai, dan metode belajar serta pembelajaran yang efektif. Sesuai dengan sifat suatu nilai, pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah usaha bersama sekolah; oleh karenanya harus dilakukan secara bersama oleh semua guru dan pemimpin sekolah, melalui semua mata pelajaran, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya sekolah

Optimalisasi Hasil Belajar


a.      Arti dan Makna belajar
Perubahan seseorang yang asalnya tidak tahu menjadi tahu merupakan hasil dari proses belajar. Belajar merupakan komponen ilmu pendidikan yang berkenaan dengan tujuan dan bahan acuan interaksi, baik yang bersifat ekspilit maupun implisit (tersembunyi).
Menurut Staton (1978: 9), seharusnya keberhasilan suatu program pembelajaran diukur berdasarkan tingkatan perbedaan cara berfikir, merasa, dan berbuat  para peserta didik sebelum dan sesudah memperoleh pengalaman-pengalaman belajar dalam menghadapi situasi yang serupa. Dengan kata lain, apabila suatu kegiatan pembelajaran telah berhasil. Maka, seharusnya berubah pula lah cara-cara pendekatan peserta didik yang bersangkutan dalam menghadapai tugas-tugas sebelumnya.
                 Untuk menangkap isi dan pesan dalam belajar. Maka, dalam belajar tersebut individu menggunakan kemampuan pada ranah-ranah kognitif, afektif , dan psikomotorik. Kognitif yaitu kemampuan yang berkenaan dengan pengetahuan, penerapan, analysis, sintesis, dan evaluasi. Afektif yaitu kemampuan yang mengutamakan perasaan, emosi, dan reaksi-reaksi yang berbeda dengan penalaran yang terdiri dari kategori penerimaan, partisipasi, penilaian atau penentuan sikap, organisasi, dan pembentukan pola hidup, dan Psikomotorik yaitu kemampuan yang terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks, penyesuaian pola gerakan, dan kreatifitas.
Akibat belajar dari ketiga ranah ini akan bertambah baik. Arthur T. Jersild menyatakan bahwa :
“Belajar adalah “modification of behavior through experience and training” yaitu perubahan atau membawa akibat perubahan tingkah laku dalam pendidikan. Karena, pengalaman dan latihan atau karena mengalami latihan”.
Gagasan yang menyatakan bahwa belajar menyangkut perubahan dalam suatu organisma, berarti belajar juga membutuhkan waktu dan tempat. Belajar disimpulkan terjadi apabila tampak tanda-tanda bahwa perilaku manusia berubah sebagai akibat terjadinya proses pembelajaran. Perhatian utama dalam belajar adalah perilaku verbal dari manusia. Yaitu kemampuan manusia untuk menangkap infomasi mengenai ilmu pengetahuan yang diterimanya dalam belajar (Sagala Syaiful, 2011: 11-14).
Menurut Gagne (1970), belajar terdiri dari tiga komponen penting. Yakni kondisi eksternal yaitu stimulus dari lingkungan dalam acara belajar, kondisi internal yang menggambarkan keadaan internal dan proses kognitif peserta didik, dan hasil belajar yang menggambarkan infomasi verbal, keterampilan intelek, keterampilan motorik, sikap, dan siasat kognitif. Kondisi internal belajar ini berinteraksi dengan kondisi eksternal belajar. Dari interaksi tersebut tampaklah hasil belajar.
Menurut Yana Sudjana, mengungkapkan bahwa :
“Hasil belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar dalam pengertian yang lebih luas menyangkut aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik (http//eprints.unu.ac.id/9829)”.         
                                                                                                                                                                           
                 Skema  tersebut melukiskan hal-hal. Yaitu sebagai berikut : 1. Belajar merupakan interaksi antara “keadaan internal dan proses kognitif peserta didik” dengan “stimulus dari lingkungan”, 2. Proses kognitif tersebut menghasilkan suatu hasil belajar. Hasil belajar tersebut terdiri dari informasi verbal, keterampilan intelek, keterampilan motorik, sikap, dan siasat kognitif.
                 Kelima hasil belajar tersebut merupakan kapabilitas peserta didik. Kapabilitas peserta didik tersebut berupa : 1. Informasi verbal adalah kapabilitas untuk mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis. Pemikiran informasi verbal memungkinkan individu berperanan dalam kehidupan, 2. Keterampilan intelektual adalah kecakapan yang berfungsi untuk berhubungan dengan lingkungan hidup serta mempresentasikan konsep dan lambang. Keterampilan intelek ini terdiri dari diskriminasi jamak, konsep konkret dan terdefinisi, dan prinsip, 3. Keterampilan motorik adalah kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan dan koordinasi sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani, 4. Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak obyek berdasarkan penilaian terhadap obyek tersebut, dan 5. Siasat kognitif adalah kemampuan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri. Kemampuan ini meliputi penggunaan konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah (Dimyati dan Mudjiono, 2009: 11-12).
                 Dengan keberhasilan belajar. Maka, peserta didik akan menyusun program belajar dan tujuan belajar sendiri. Bagi peserta didik, hal itu berarti melakukan emansipasi diri dalam rangka mewujudkan kemandirian.
b.        Tujuan Belajar
                 Dalam usaha pencapaian tujuan belajar perlu diciptakan adanya sistem lingkungan atau kondisi belajar yang lebih kondusif. Tujuan-tujuan belajar yang eksplisit diusahakan untuk dicapai dengan tindakan instruksional, lazim digunakan dengan “instructional effects” yang biasa berbentuk pengetahuan dan keterampilan. Sedangkan tujuan-tujuan yang lebih merupakan hasil sampingan. Yaitu tercapai karena siswa “menghidupi” suatu sistem lingkungan belajar tertentu. Seperti contohnya kemampuan berikir kritis dan kreatif, sikap terbuka dan demokratis, dan menerima pendapat orang lain. Semua itu lazim diberi istilah “nurturant effects”. Jadi, guru dalam pembelajaran harus memiliki rencana dan model pembelajaran untuk mencapai kedua efek dari tujuan belajar tersebut. Apabila ditinjau secara umum, tujuan belajar itu ada tiga jenis. Yaitu : 1. Untuk mendapatkan pengetahuan, 2. Penanaman konsep dan keterampilan, dan 3. Pembentukan sikap (Sardiman, 2010: 25-27).
c.         Prinsip-prinsip Belajar
Prinsip-prinsip belajar dapat mengungkap batas-batas kemungkinan dalam pembelajaran. Dalam melaksanakan pembelajaran, pengetahuan tentang teori dan prinsip-prinsip belajar dapat membantu guru dalam memilih tindakan yang tepat. Banyak teori dan prinsip-prinsip belajar yang dikemukakan oleh para ahli yang satu dengan yang lain memiliki persamaan dan juga perbedaan. Dari berbagai prinsip belajar tersebut terdapat beberapa prinsip yang relatif berlaku umum yang dapat kita pakai sebagai dasar dalam pembelajaran, baik bagi peserta didik maupun bagi guru dalam upaya meningkatkan pembelajaran. Prinsip-prinsip itu berkaitan dengan perhatian dan motivasi, keaktifan, keterlibatan langsung atau berpengalaman, pengulangan, tantangan, balikan dan penguatan, serta perbedaan individual.
Implikasi prinsip-prinsip belajar bagi peserta didik adalah peserta didik sebagai “primus motor” (motor utama) dalam kegiatan pembelajaran. Dengan alasan apa pun tidak dapat mengabaikan begitu saja adanya prinsip-prinsip belajar. Justru para peserta didik akan berhasil dalam pembelajaran jika mereka menyadari implikasi prinsip-prinsip belajar terhadap diri mereka.
Adapun implikasi prinsip-prinsip belajar bagi guru dalah guru sebagai orang kedua dalam kegiatan pembelajaran tidak terlepas dari adanya prinsip-prinsip belajar. Guru sebagai penyelenggara dan pengelola kegiatan pembelajaran terimplikasi oleh adanya prinsip-prinsip belajar ini. Implikasi prinsip-prinsip belajar bagi guru tampak pada rencana pembelajaran maupun pelaksanaan kegiatan pembelajarannya. Implikasi prinsip-prinsip belajar bagi guru terwujud dalam perilaku fisik dan psikis mereka. Kesadaran adanya prinsip-prinsip belajar yang terwujud dalam perilaku guru dapat diharapkan adanya peningkatan kualitas pembelajaran yang diselenggarakan (Dimyati dan Mudjiono, 2009: 41).
d.        Syarat Peserta Didik Berhasil Belajar
Belajar dalam satu bidang tidaklah menjamin dalam bidang yang lain.  Misalnya guru pada suatu kursus memperkembangkan suatu keterampilan pada tingkat yang tinggi dengan membagi-bagi personil dalam kelas-kelas laboratoris atau ruang-ruang kelas, tetapi dia mungkin tidak berminat untuk mengusahakan agar keterampilan ini dilengkapi dengan bagian-bagian belajar itu tidak dapat diperoleh. Belajar tidak terjadi dalam artian yang lebih luas, padahal belajar adalah tentang perubahan kelakuan seorang individu bilamana sedang mengerjakan sesuatu dalam situasi tertentu.

Agar peserta didik dapat berhasil belajar, diperlukan persyaratan tertentu. Antara lain seperti dikemukakan berikut ini : 1. Kemampuan berpikir yang tinggi bagi para peserta didik, hal ini ditandai dengan berpikir kritis. Logis, sistematis, dan objektif (scholastic aptitude test), 2. Menimbulkan minat yang tinggi terhadap mata pelajaran (interest inventory), 3. Bakat dan minat yang khusus, para peserta didik dapat dikembangkan sesuai potensinya (differential aptitude test), 4. Menguasai bahan-bahan dasar yang diperlukan untuk meneruskan pelajaran di sekolah yang menjadi lanjutannya (achievement test),5. Menguasai salah satu bahasa asing, terutama bahasa Inggris (english comprehension test) bagi peserta didik yang telah memenuhi syarat untuk itu, 6. Stabilitas psikis (tidak mengalami masalah penyesuaian diri dan seksual), 7. Kesehatan jasmani, 8. Lingkungan yang tenang, 9. Kehidupan ekonomi yang memadai, dan 10. Menguasai teknik belajar di sekolah dan di luar sekolah (Sagala Syaiful, 202011: 57).

Model CIRC Sebagai Salah Satu Implementasi Model Pembelajaran Inovatif dan Kooperatif

Model Pembelajaran Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) Sebagai Salah Satu Implementasi Model Pembelajaran Inovatif dan Kooperatif
Proses pembelajaran adalah suatu aspek dari lingkungan sekolah yang terorganisir. Lingkungan ini diatur serta diawasi agar kegiatan pembelajaran terarah sesuai dengan tujuan pendidikan. Pengawasan ini turut menentukan lingkungan itu membantu kegiatan pembelajaran. Lingkungan belajar yang baik adalah lingkungan yang menantang dan merangsang para peserta didik untuk belajar, memberikan rasa aman dan kepuasan serta mencapai tujuan yang diharapkan. Salah satu faktor yang mendukung kondisi belajar di dalam suatu kelas adalah “ job description”  merupakan proses pembelajaran yang berisi serangkaian pengertian peristiwa belajar yang dilakukan oleh kelompok-kelompok peserta didik.
Sehubungan dengan hal itu, job description  guru dalam implementasi proses pembelajaran adalah : 1. Perencanaan instruksional. Yaitu alat atau media untuk mengarahkan kegiatan-keggiatan organisasi belajar, 2. Organisasi belajar yang merupakan usaha menciptakan wadah dan fasilitas-fasilitas atau lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan yang mengandung kemungkinan terciptanya proses pembelajaran, 3. Menggerakan peserta didik yang merupakan usaha memancing, membangkitkan, dan mengarahkan motivasi belajar peserta didik. Penggerak atau motivasi di sini pada dasarnya mempunyai makna lebih dari memerintah, mengarahkan, mengaktualkan, dan memimpin, 4. Supervisi dan pengawasan. Yaitu usaha mengawasi, menunjang, membantu, menugaskan, dan mengarahkan kegiatan pembelajaran sesuai dengan perencanaan instruksional yang telah di desain sebelumnya, dan 5. Penelitian yang lebih bersifat penafsiran (assessment) yang mengandung pengertian yang lebih luas dibanding dengan pengukuran atau evaluasi pendidikan (Djamarah dan Aswan Zain, 2010: 29-30).
Proses pembelajaran juga merupakan inti dari kegiatan pendidikan di sekolah. Agar tujuan pendidikan dan pembelajaran berjalan dengan benar, maka perlu pengadministrasian kegiatan-kegiatan pembelajaran yang lazim disebut administrasi kurikulum. Bidang pengadministrasian ini sebenarnya merupakan pusat dari semua kegiatan di sekolah. Berdasarkan alasan tersebut, maka sangatlah penting bagi para pendidik untuk memahami karakteristik materi, peserta didik, dan metodologi pembelajaran, serta model-model pembelajaran modern. Dengan demikian, proses pembelajaran akan variatif, inovatif, dan konstruktif dalam merekonstruksi wawasan pengetahuan dan implementasinya. Sehingga, dapat meningkatkan aktivitas dan kreativitas peserta didik.
Untuk dapat merencanakan proses pembelajaran secara inovatif yang mampu memberikan pengalaman yang berguna bagi peserta didik, kita perlu memperhatikan komponen penting dalam proses pembelajaran. Dari proses komponen pembelajaran tersebut, guru dapat merencanakan kegiatan dan model pembelajaran yang relevan dengan tujuan belajar.
Menurut Gagne (1975) mengemukakan bahwa :
Proses belajar yang baik diawali dari fase motivasi. Jika motivasi tidak ada pada peserta didik, sulit akan diharapkan terjadi proses belajar dalam diri mereka. Dari motivasi ini akan melahirkan harapan-harapan yang tinggi, menurut teori dan berbagai penelitian, ada kemungkinan untuk berhasil dalam belajarnya. Oleh sebab itu, tugas utama guru dalam melakukan inovasi pembelajaran untuk terjadinya hasil belajar yang optimal pada siswa ialah menghidupkan motivasi belajar pada peserta didik (Hamzan dan Nurdin Mohamad, 2012: 304).

Pembelajaran inovatif adalah suatu proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa sehingga berbeda dengan pembelajaran pada umumnya yang dilakukan oleh guru (konvensional). Pembelajaran inovatif lebih mengarah pada pembelajarn yang berpusat pada peserta didik (student centered). Proses pembelajaran dirancang, disusun, dan dikondisikan untuk peserta didik agar belajar. Dalam pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, pemahaman konteks peserta didik menjadi bagian yang sangat penting. Karena, dari sinilah seluruh rancangan proses pembelajarn dimulai. Hubungan antara guru dengan peserta didik menjadi hubungan yang saling membangun. Otonomi peserta didik sebagai pribadi dan subjek pendidikan menjadi titik acuan seluruh perencanaan dan proses pembelajaran. Pembelajaran semacam ini disebut dengan pembelajaran aktif.
Pembelajaran aktif merupakan proses pembelajarn di mana seorang guru harus dapat menciptakan suasana yang sedemikian rupa sehingga peserta didik aktif bertanya, mempertanyakan, dan juga mengemukakan gagasan-gagasannya. Disamping aktif, pembelajaran juga harus menyenangkan. Pembelajaran menyenangkan berkaitan erat dengan suasana belajar yang menyenangkan. Sehingga, peserta didik dapat memusatkan perhatiannya secara penuh pada belajarnya. Keadaan yang aktif dan menyenangkan tidaklah cukup, jika proses pembelajaran tidak efektif. Yaitu menghasilkan apa yang harus dikuasai oleh para peserta didik. Sebab, pembelajaran memiliki sejumlah tujuan yang harus dicapai. Untuk mencapai tujuan dan menghasilkan apa yang harus dikuasai peserta didik. Maka, ada beberapa model pembelajaran inovatif yang dapat di terapkan dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Adapun salah satu dari model pembelajaran inovatif adalah model pembelajaran cooperative integrated reading and composition (CIRC) (Hamzan dan Nurdin Mohamad, 2012: 105-115).
Model pembelajaran cooperative integrated reading and composition (CIRC) atau kooperatif terpadu membaca dan menulis dari Steven dan Slavin (1995) mengatakan bahwa :
“Model pembelajaran untuk melatih kemampuan peserta didik secara terpadu antara membaca dan menemukan ide pokok suatu wacana atau kliping tertentu dan memberikan tanggapan terhadap wacana atau kliping secara tertulis”.
Adapun langkah-langkahnya. Yaitu sebagai berikut : a. Membentuk kelompok yang anggotanya empat orang secara heterogen, b. Guru memberikan wacana atau kliping sesuai dengan topik pembelajaran, c. Peserta didik bekerja sama saling membacakan dan menemukan ide-ide pokok dan memberi tanggapan terhadap wacana atau kliping dan ditulis pada lembar kertas, d. Mempresentasikan atau membacakan hasil kelompok, e. Guru membuat kesimpulan bersama, dan f. Penutup (Komalasari Kokom, 2010: 67).
Model ini dikembangkan untuk meningkatkan kesempatan peserta didik untuk membaca dengan keras dan menerima umpan balik dari kegiatan membaca mereka dengan membuat para peserta didik membaca untuk teman satu timnya dengan melatih mereka mengenai saling merespons kegiatan membaca mereka dan menuliskan ide-ide pokok yang ada di dalam wacana atau kliping atau materi yang diberikan oleh guru. Model tersebut mengutaman kerja sama dalam kelompok atau tim dan saling membantu untuk mencapai tujuan bersama. Kelompok tersebut dibentuk secara heterogen, baik jenis kelamin maupun kemampuan membaca dan menulis peserta didik. Setiap kelompok terdiri dari dua sampai empat orang peserta didik. Pengaturan ruangan tidak diatur secara klasikal tetapi dibagi dalam kelompok-kelompok kecil.
Adapun tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran cooperative integrated reading and composition (CIRC). Yaitu : a. Tahan I, mengidentifikasikan topik dan mengorganisasikan ke dalam kelompok kerja, b. Tahap II, merencanakan kegiatan kelompok, c. Tahap III, melaksanakan pembelajaran, d. Tahap IV, mempersiapkan laporan akhir, e. Tahap V, menyajikan laporan, dan f. Tahap VI, evaluasi.
Keberhasilan di dalam belajar kelompok, baik secara individual maupun secara kelompok (Slavin, 1984). Sehubungan dengan pengertian tersebut, Jhonson, et.al., 1994; Hamid Hasan, 1996 menegaskan bahwa :
“Pembelajaran kooperatif adalah pemanfaatan kelompok kecil, dua sampai lima orang dalam pembelajaran yang memungkinkan peserta didik bekerja sama untuk memaksimalkan belajar mereka dan belajar anggota lainnya dalam kelompok”. (Komalasari Kokom, 2010: 62).

Adapun salah satu model dari pembelajaraan kooperatif adalah cooperative integrated reading and composition (CIRC) yang merupakan kooperatif terpadu membaca dan menulis dari Steven dan Slavin (1995). 

Implementasi Model Pembelajaran


a.        Arti dan Makna Model Pembelajaran
Untuk mengatasi berbagai problematika dalam pelaksanaan pembelajaran, tentu diperlukan model-model pembelajaran yang dipandang mampu mengatasi kesulitan guru melaksanakan pembelajaran dan juga kesulitan belajar peserta didik.
Model dapat diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan kegiatan. Model dapat dipahami sebagai : 1. Suatu tipe atau desain, 2. Suatu deskripsi atau analogi yang dipergunakan untuk membantu proses visualisasi sesuatu yang tidak dapat diamati dengan langsung, 3. Suatu sistem asumsi-asumsi, data-data, dan inferensi-inferensi yang dipakai untuk menggambarkan secara sistematis suatu obyek atau peristiwa, 4. Suatu desain yang disederhanakan secara sistematis dari suatu sistem kerja, suatu terjemahan realitas yang disederhanakan, 5. Suatu deskripsi dari suatu sistem yang mungkin atau imajiner, dan 6. Penyajian yang diperkecil agar dapat menjelaskan dan menunjukkan sifat bentuk aslinya (Komaruddin, 2000: 152).
Model dirancang untuk mewakili realitas yang sesungguhnya, walaupun model itu sendiri bukanlah realitas dari dunia yang sebenarnya. Atas dasar pengertian tersebut. Maka, model pembelajaran dapat dipahami sebagai kerangka konseptual yang mendeskripsikan dan melukiskan prosedur yang sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar dan pembelajaran untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para guru dalam melaksanakan pembelajaran.
Menurut Joyce dan Weil (2000: 13) mengemukakan bahwa model pembelajaran adalah :
Suatu deskripsi dari lingkungan belajar yang menggambarkan perencanaan kurikulum, kursus-kursus, desain unit-unit pembelajaran, perlengkapan belajar, buku-buku pelajaran, buku-buyku kerja, program multimedia, dan bantuan belajar melalui program komputer. Sebab, model-model ini menyediakan alat-alat pembelajaran bagi para peserta didik.

                 Joyce dan Weil (2000) mengemukakan ada empat kategori yang penting diperhatikan dalam model pembelajaran. Yakni model informasi, model personal, model interaksi, dan model tingkah laku. Model pembelajaran yang telah dikembangkan dan dites keberlakuannya oleh para pakar pendidikan dengan mengklasifikasikan model pembelajaran pada empat kelompok. Yaitu 1. Model pemrosesan informasi (infomation processing models), 2. Model personal (personal family), 3. Model sosial (social family), 4. Model sistem perilaku dalam pembelajaran (behavioral model of teaching).
                 Sejalan dengan teori kovergensinya, William Stern mengimplementasikan nya dalam hal pembelajaran telah menyebabkan munculnya berbagai teori-teori belajar dan model pembelajaran. 1. Model behavioral yang terdiri dari belajar tuntas, belajar kontrol diri sendiri, simulasi, dan bahan belajar asertif, 2. Model pemrosesan informasi yang terdiri dari model pembelajaran inquiri, presentase kerangka dasar atau “advance organizer”, dan model pengembangan berfikir, dan 3. Model lainnya yang dapat dijadikan pendekatan yang efektif dalam pembelajaran. Tetapi, model pembelajaran dengan modul, model pembelajaran dengan kaset video, audio, komputer, dan pembelajaran berprogram pelaksanaannya dalam pembelajaran benar-benar harus sesuai dengan yang telah direncanakan dalam perencanaan pembelajaran yang disusun oleh guru.
                 Model pembelajaran akan menjelaskan makna kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh guru selama pembelajaran berlangsung. Setiap guru atau pendidik akan alasan-alasan mengapa dia melakukan kegiatan dalam pembelajaran dengan menentukan sikap tertentu.
                 Rooijakkers (2003: 13) mengemukakan bahwa :
                 Apabila guru atau pendidik tidak mengetahui apa yang sebenarnya yang terjadi dalam pikiran peserta didiknya untuk mengerti sesuatu, berarti dia pun tidak akan dapat memberi dorongan yang tepat kepada mereka yang sedang belajar. Para peserta didik akan mudah melupakan pelajaran yang diterimanya, jika guru tidak memberi penjelasan yang benar dan menyenangkan.

                 Model satuan pelajaran yang disusun dan dijabarkan oleh guru secara umum yang ada dalam kurikulum dan GBPP menjadi tujuan instruksional khusus. Model satuan pelajaran ini guru menentukan dan menyusun alat evaluasi untuk mengukur kemajuan belajar peserta didik, memilih dan merumuskan bahan ajaran, merencanakan proses pembelajaran, serta menentukan media dan alat pembelajaran. Penggunaan model pembelajaran ini selain sederhana, juga tidak menuntut biaya yang tinggi. Karena, disusun oleh guru itu sendiri, baik mengenai isi, media yang digunakan, dan kegiatan pembelajaran. Sedangkan, model pembelajaran dengan kaset video, audio, komputer, dan pembelajaran berprogram disusun oleh tim atau lembaga khusus yang terdiri dari beberapa ahli. Peran guru dalam model ini adalah sebagai pelaksana atau fasilitator belajar. Karena, semua komponen pembelajaran telah disusun secara terpadu dalam pusat teknologi pembelajaran (Sagala Syaiful, 2011: 178).
b.        Problematika dan Kasus Model Pembelajaran
Pengalaman di antara guru atau pendidik dalam proses pembelajaran menunjukkan bahwa ada pada beberapa sekolah. Model pembelajarannya mengkondisikan peserta didik disibukkan oleh kegiatan-kegiatan yang kurang perlu seperti mencatat bahan pelajaran yang sudah ada dalam buku, menceritakan hal-hal yang tidak perlu, dan sebagainya. Sering pula ditemukan waktu kontak antara guru dengan peserta didik tidak dimanfaatkan secara baik.  Guru lebih suka memaksakan kehendaknya dalam belajar peserta didik sesuai keinginannya dan ada juga guru untuk memudahkan kerjanya meminta salah seorang peserta didik untuk mencatat dipapan tulis kemudian peserta didik lainnya mencatat apa yang dicatat dipapan tulis dan kegiatan-kegiatan lainnya yang kurang perlu dan sebagainya. Sedangkan guru yang bersangkutan istirahat di ruang guru atau duduk di kelas asyik dengan kegiatannya sendiri. Model pembelajaran seperti ini tentu saja dipandang tidak mendidik seperti dikemukakan A.S. Neil (1973) menyebutkan bahwa :
“Saya percaya bahwa memaksakan apapun dengan kekuasaan adalah salah. Seorang anak seharusnya tidak melakukan apapun sampai dia mampu berpendapat dengan mengemukakan pendapatnya sendiri” (Hobson dalam Palmer, 2003: 1). Pendapat Neil ini memberikan gambaran bahwa para peserta didik diminta untuk berpikir dan belajar tanpa tekanan. Tetapi, bimbingan dan arahan yang menganut prinsip-prinsip kemerdekaan dan demokrasi.
Masalah lainnya adalah kepala sekolah tidak memanfaatkan kesempatan yang ada untuk melalukan evaluasi tentang program pembelajaran. Kepala sekolah tersebut membiarkan para guru menggunakan model pembelajaran yang telah lama dilaksanakan atau bersifat rutin belaka. Sehingga, kepala sekolah tidak mengetahui mana yang harus diperbaiki dan mana yang dikembangkan dalam program pembelajaran. Seharusnya, kepala sekolah mendorong para guru menggunakan model-model pembelajaran yang dapat memberi jaminan bahwa pembelajaran dilakukan atas dasar prinsip-prinsip pedagogik.

Dukungan kepala sekolah ini diwujudkan dalam bentuk menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk pembelajaran. Sejalan dengan pendapat tersebut, maka pijakatn utama bagi praktek pembelajaran yang bijak dari seorang pendidik yang terlatih menurut kontrol dan rutin serta bantuan nyata sesuai aturan-aturan sosial. Namun, tetap dengan kebebasan pribadi yang luas (Hinshelwood dalam Palmer, 2003: 11). Artinya keterampilan guru dalam menggunakan sarana dan prasarana dalam pembelajaran secara optimal adalah penting.

Caritakeun deui nini Berangantrang, Aki Berangantrang.



“Nini, hade temen impiyan aing, ngimpi kagugun turan manik kacaahan mirah” “Aki, sugan saapan urang meunang kirim pianak-anakeun.”
Isuk-isuk los diteyang, ngagebur kandaga kancana nyorang ka saapan. Tuluy di bawa ku ninina. Ari dibuka, behna murangkalih, endog disileung leumkeun, keris. Tuluy diteundeunkeun murangkalih. Tuluy dirorok, dipangninggurkeun. Lawas-lawas datang ka tegus cangcut. Mangka dibawa moyan ku na kai ayah.
Bwat ciung. “Ayah, nahaeun eta?” “Ngaranna ciung, anaking.” Bot indungna, bwat bapana, bwat anakna. Pur hiber bapana. “Ayah, ka mana eta arahna?” “Piaraheunnana ka daleum dayeuh.”
”Ah, ngaran aing Ciung Manarah.”
Endog tuluy disileungleum keun. Tuluy megar, dingaranan Singarat Taranjang.
Mangka rame di daleum dayeuh nu keur sawungan. “Ayah, aing mah hayang ngadukeun hayam aing.” “Mulah, anaking, bisi eleh marang.” Mengkena murangkalih hayam tuluy dikelek, duhung tuluy disungkelang. Tuluy angkat, ditutur keun ku na ka ayah.
Datang ka Pagelaran, heran ningal urang pagelaran. Katingali ku Patih Hariyang Banga, kahatur ka Sang Ratu. Tuluy di saur ku jogan. Saur Sang Ratu, “Ari eta seuweu saha?” “Kaula, nuhun anak kaula.” “Dipudut ku ngaing, Aki Berangantrang diperedikakeun sabawa kita”. Tuluy mulang Aki Berangantrang bari nangis, melang ka kai seuweu.
Rek mireungeuh ka Sang Ratu, mireungeuh deui ka Patih Hariyang Banga, tuluy mireungeuh ka sarirana ku anjeun. Lila-lila eling carita, hatur ka Sang Ratu, “Kaula anak andika.” Ngareungeuheun bangkeureuheun miresep hatur sakitu. Lila-lila tuluy eling, Sang Ratu dipundut sungkelangna duhung. Ari dibireungeuh sungkelangna duhung, beh pun Naga Lumenggung. Saur Sang Ratu, “Enmya hidep anaking.” Kahatur ka nyai ibuna. Tuluy dirawu dipangku iceungceurikan.
Saur Ciung Manarah, “Rama Ibu, kaula neda waris.” Saur Sang Ratu, “Enggeus beyakeun ku na kai lanceuk, ku Patih Hariyang Banga.” “Aya soteh kari panday domas kurang hiji, eta waris aing ka hidep.” Tuluy disuhunkeun waris.
Sang Ratu tuluy dicalikkeun, dijajarkeun, deung na kai lanceuk, deung Patih hariyang Banga dituluykeunna, jengan Patih Ciung Manarah marentahkeun Nusa Tilu Puluh Tilu. Alamna Ratu Galuh pitung ewu tahun.
Mangka Patih Ciung Manarah karasa nurunkeun panday domas kurang hiji rek nyieun beusi. Kabireungeuh ku Sang ratu, panujueun. Tuluy dihaturkeun nyieun deui bale beusi. Kabireungeuh, panujuen dihaturkeun. Arina nyieun deui konjara wesi. Arina dibireungeuh ku Sang ratu, panujueun, dihaturkeun. Saur Patih Ciung Manarah, “Henteu nyaho ta jerona, Rama” Tuluy dilebetkeun ku Sang ratu. “Hade,” saur Sang Ratu. Jeprak di kancing ku Patih Ciung Manarah, dijingjing ka paseban, diundangkeun ka sadadayeuh. Teu dibere cai, teu dibere sangu, dikemitan ku para seuweu. Lawas-lawas saurna Patih Ciung Manarah, “Sang Ratu lintuh lintuh keneh.” Horenganan dibalangan keupeul ku Patih Hariyang Banga. Mangka bendu Patih Ciung Manara, mesat hateup sirap, dibalang kang raka. Tuluy bendu ka sang raka. Mangka konjara wesi rek diirik. Ku Patih Ciung Manarah direbut. Ku Ratu pagedongan tuluy disusupkeun ka Gunung Kelong.
Tuluy perang, mangka disedekkeun ngetan kang raka. Datang ka Balangbangan, saur kang raka, “Rayi, urang eureun.” “Raka, rampes.” Tuluy eureun teoheun maja, tugna bhwah kalayar. Dicandak ku na kai lanceuk. “Rayi, iyeu bwah naeun?” “Iyeu bwah maja, Raka.” “Ngeunah didahar ?” “Ngeunah, raka.” Arina didahar pait. “Majapait iyeu pingaraneun nagara.”
Disedekkeun deui ngulon kang rayi ku kang raka. Datang Tajigbarat, saur kang rai, “Raka, urang eureun.” “Rayi, rampes.” Eureun teoheun paku tug bwahna. Dicandak ku na kai ais, “Raka, buah naeun iyeu?. “Bwah paku jajat.” “Pakwan Pajajaran ieu ngaran.”
Mangka perang deui. Datang ka Taraban, mangka turun Darmasiksa. “Nya prerang, anaking.” Cipamali nerus gunung, teka nunjang ka sagara halerang godong angsana, na kang raka di Candak ku kai mas dipidwah keun ngulon.
Tuluy dikumpukeun ka Nagara Galuh ku Darmasiksa. Konjara wesi diparanan ku Ratu Maraja sakti, dicipta tuluy lebur jadi cai, turunna ka dayeuh, mana aya Kandangwesi.

Tuluy kumpul deui Nagara Galuh, pada marek ramana neda idin. Mangka matur kang rayi, “Rayi ulang jumeneng ratu ti heula,” Saur Kang Raka, “Suka aing jadi ratu ti heula, da aing kolotna anak putu, rayi ku aing dikawulakeun mo jumeneng nyakrawati lamun teu ngumbara heula”.

DASAR SI KABAYAN


Wawuh Munding
Si Kabayan namu ka dulurna nu aya di Jakarta. Di imah éta dulurna panggih jeung babaturan dulurna anu sarua keur nyémah. Kawasna éta sémah lalaki téh urang Betawi, tuluy nanya ka Si Kabayan
Sémah: ”Apakah Abang kenal dengan yang namanya Bang Midun? Katanya sih rumahnya di sekitar sini.”
Bakat ku hayang diaanggap bisaan ngomong malayu Si Kabayan ngajawab, ”Kalow hapal betul sih kagak. Tapi kalow kenal kerbau mah iyah.” Maksud Si Kabayan mah ka Bang Midun téh ngan ukur wawuh munding.
Dasar Si Kabayan
Si Iteung: ”Kabayan, na enya manéh téh rék nyaah sarta satia ka kami?”
Si Kabayan: ”Puguh wé atuh, Teung.”
Si Iteung: ”Geuning kamari manéh ngabohong ka kami?”
Si Kabayan: ”Éh…ari manéh, atuh rék jeung saha deui urang silih pikanyaah, silih pikaasih, jeung silih…bohongan téh?”

Si Iteung: ”Dasar…!”

SI KABAYAN NGADEUPAAN LINCAR



Si Kabayan jalma miskin taya kaboga. Di sakampung éta mah pangmalaratna baé meureun. Imahna teu béda ti saung butut. Ari pagawéanana, kitu wé buburuh ngoréd.
Béda deui jeung tatangga Si Kabayan, bandar munding anu kacida beungharna. Sawahna lega, kebonna puluhan héktar, imahna gé nya gedé nya agréng.
Sakali mangsa tatangga Si Kabayan téh hajat gedé, ngawinkeun anakna. Ondangana kacida lobana, boh ti nu jauh boh ti nu deukeut. Carék wiwilanganana salembur éta mah diondang kabéh, iwal Si Kabayan.
Si Kabayan jeung pamajikanana teu kira-kira waé nalangsaeunana. Tuluy waé Si Kabayan téh ngalaan baju, kencling indit ka pipir imah nu boga hajat, pék ngadeupaan lincar.
“Sadeupa, dua deupa, tilu deupa, …,” cenah.
Sémah kacida kagéteunana, nénjo kalakuan Si Kabayan kitu téh. Saréréa ngariung nénjokeun Si Kabayan ngadeupaan imah nu boga hajat.
Pribumi ogé norojol; barang ngadéngé rebut-ribut di luar téh, gancang kaluar. Ari rét ka Si Kabayan, manéhna ngajenghok, tuluy nanya ka Si Kabayan.
“Ku naon Kabayan, manéh téh ngadeupaan lincar? Bet éta jeung teu dibaju kitu, kawas budak waé.”
Témbal Si Kabayan, “Wah, mun kolot gé diondang.”
Nu boga hajat pohara éraeunana, rumasa ngabéda-béda jelema. Gancang waé nyarita.
“Kapan ti kamari gé diondang. Manéhna mah sok pohoan. Gancang balik, dibaju heula, engké ka dieu, sakalian bawa pamajikan,” kitu ceuk nu boga hajat téh.

Si Kabayan kacida atoheunana.

Kepuasan Nasabah Terhadap Pelayanan Customer Service


Pelayanan yang baik memungkinkan sebuah perusahaan untuk memperkuat kesetiaan pelanggan dan meningkatkan pangsa pasar (market share), karena itu pelayanan yang baik menjadi hal yang sangat penting dan berpengaruh dalam operasional suatu perusahaan. Berikut ini beberapa pengertian pelayanan menurut beberapa ahli, sebagai berikut :
Menurut Sutopo dan Suryanto, 2003 (dalam Heri Sulistyo), mendefinisikan layanan sebagai kegiatan yang ditawarkan organisasi atau perorangan kepada konsumen yang tidak berwujud (intangiable). Daviddow dan Utal, 1989 (dalam Heri Sulistyo), menerangkan bahwa pelayanan merupakan segala usaha untuk mempertinggi kepuasan pelanggan.
Dalam terminologi lain, pelayanan disebut juga jasa. Kotler, 1994 (dalam Rambat Lupiyoadi) mengemukakan jasa atau service adalah setiap tindakan atau kegiatan yang ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apa pun dan produksinya mungkin berkaitan dengan produk fisik atau tidak.
Pelayanan secara umum menurut Gonroos, 1990 (dalam Heri Sulistyo), dapat dibedakan menjadi tiga bagian utama, yaitu pelayanan inti, pelayanan fasilitasi dan pelayanan pendukung. Pelayanan inti adalah pelayanan terhadap layanan utama yang ditawarkan perusahaan (bank).
Pelayanan fasilitasi adalah pelayanan yang bersifat memfasilitasi proses layanan utama. Sementara layanan pendukung merupakan pelayanan yang bersifat inovatif sebagai pendukung layanan utama. Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pelayanan atau service adalah aktivitas, manfaat yang ditawarkan oleh suatu organisasi/ perorangan, suatu proses membantu kepada orang lain dengan cara-cara tertentu dimana sensitivitas (kepekaan) dan hubungan interpersonal dibutuhkan untuk menciptakan kepuasan dan loyalitas yang ditentukan oleh keakraban, kehangatan, penghargaan, kedermawanan, dan kejujuran yang dilakukan oleh penyedia jasa.
Persyaratan yang harus dipenuhi pelaku (penyedia jasa) agar layanan yang diberikan memuaskan kepada orang atau sekelompok orang yang dilayani, yaitu :
1.    Tingkah laku yang sopan
2.    Cara menyampaikan sesuatu yang berkaitan dengan apa yang seharusnya diterima oleh orang yang bersangkutan.
3.    Waktu menyampaikan yang tepat.
4.    Keramahtamahan.
Setiap bank ingin mempunyai image baik di mata nasabahnya sehingga bank dituntut untuk memberikan pelayanan yang terbaik (sevice excellent) bagi nasabahnya. Sutopo dan Suryanto, 2003 (dalam Heri Sulistyo), mendefinisikan pelayanan prima (service excellent) sebagai pelayanan yang terbaik. Pelayanan yang terbaik sifatnya dapat dibandingkan satu dengan yang lain. Pelayanan yang baik adalah pelayanan yang dilakukan secara ramah tamah, adil, cepat, tepat, dan etika yang baik sehingga memenuhi kebutuhan dan kepuasan bagi yang menerimanya (Hasibuan, 2005).
Beberapa definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pelayanan prima (service excellent) merupakan pelayanan yang dianggap terbaik (bila belum memiliki standar), pelayanan yang sesuai atau melebihi standard (bagi yang sudah memiliki standar), mutlak dibuatkan standar pelayanan sebagai alat ukur dalam menentukan apakah sudah sesuai dengan kriteria pelayanan prima, layanan yang sangat memahami kebutuhan customer, memberikan kepuasan yang lebih daripada yang diharapkan oleh customer, sehingga dapat memenangkan hati pelanggannya.
Menurut Kasmir (2004 : 210), beberapa ciri pelayanan prima yang harus diterapkan oleh Customer Service:
1. Tersedia sarana dan prasarana yang baik.
2. Tersedia karyawan yang baik.
3. Bertanggung jawab kepada setiap nasabah sejak awal hingga selesai.
4. Mampu melayani secara cepat dan tepat.
5. Mampu berkomunikasi.
6. Memberikan jaminan kerahasiaan setiap transaksi.
7. Memiliki pengetahuan dan kemampuan yang baik.
8. Berusaha memahami kebutuhan nasabah.

9. Mampu memberikan kepercayaan kepada nasabah.

Konsep Kepuasan Nasabah


Konsumen memiliki pengetahuan tentang nilai pribadi dan simbolis yang dapat dipenuhi atau dipuaskan oleh suatu produk atau merk. Nilai (values) adalah sasaran hidup yang luas dari masyarakat. Nilai juga melibatkan afeksi sehubungan dengan kebutuhan atau tujuan tersebut. Menyadari bahwa nilai telah terpuaskan atau tujuan utama hidup telah tercapai cenderung tidak nyata dan subyektif. Sebaliknya, konsekunsi fungsional dan psikososial lebih nyata, dan lebih jelas ketika terjadi.
Definisi kepuasan / ketidakpuasan pelanggan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian (disconfirmation) yang dirasakan antara harapan sebelumnya (atau norma kinerja lainnya) dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaiannya. (Tjiptono, 1996)
Kepuasan pelanggan merupakan evaluasi purna beli dimana alternatif yang dipilih sekurang-kurangnya memberikan hasil (outcome) sama atau melampaui harapan pelanggan, sedangkan ketidakpuasan timbul apabila hasil yang diperoleh tidak memenuhi harapan pelanggan.
Kepuasan pelanggan sebagai suatu tanggapan emosional pada evaluasi terhadap pengalaman konsumsi suatu produk atau jasa. Arti dari kepuasan konsumen yaitu tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja/performansi (atau hasil) yang ia rasakan dibandingkan dengan harapannya (Kotler, 2001). Jadi tingkat kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan antara kinerja yang dirasakan dengan harapannya. Apabila kinerja dibawah harapan, maka konsumen akan kecewa. Bila kinerja sesuai dengan harapan, maka konsumen akan puas. Sedangkan bila kinerja melebihi harapan, maka konsumen akan sangat puas. Harapan konsumen dapat dibentuk oleh pengalaman masa lampau, komentar dari kerabatnya serta janji dan informasi pemasar dan saingannya. Konsumen yang puas akan setia lebih lama, kurang sensitif terhadap harga dan memberi komentar yang baik tentang perusahaan.
Perusahaan perlu melakukan pemantauan dan pengukuran terhadap kepuasan pelanggan karena hal ini telah menjadi hal yang esensial bagi setiap perusahaan. Langkah tersebut dapat memberikan umpan balik dan masukan bagi keperluan pengembangan dan implementasi strategi peningkatan kepuasan pelanggan.
Metode-metode yang dapat dipergunakan setiap perusahaan untuk memantau dan mengukur kepuasan pelanggan adalah sebagai berikut: (Kotler, 2001)
1.    Sistem keluhan dan saran / Complain and suggestion system. Organisasi yang berwawasan pelanggan akan membuat pelanggannya memberikan saran atau keluhan, misalnya dengan memberikan formulir bagi pelanggan untuk melaporkan kesukaan atau keluhan, penempatan kotak saran. Alur informasi ini memberikan banyak gagasan balik dan perusahaan dapat bergerak lebih cepat untuk menyelesaikan masalah.
2.    Survey pelanggan / Customer surveys. Kepuasan pelanggan dapat diukur melalui pelanggan atas persepsinya terhadap kepuasannya.
3.    Pembeli bayangan / Ghost shopping. Cara lain untuk mengukur mengenai kepuasan pelanggan adalah dengan menyuruh orang berpura-pura menjadi pembeli dan melaporkan titik-titik kuat maupun lemah yang mereka alami sewaktu membeli produk perusahaan.

4.    Analisa kehilangan pelanggan / Lost customer analysis. Perusahaan seyogyanya menghubungi para pelanggan yang telah berhenti membeli atau yang telah pindah pemasok agar dapat memahami mengapa hal ini terjadi dan supaya dapat mengambil kebijakan perbaikan/penyempurnaan selanjutnya. Bukan hanya exit interview saja yang perlu, tetapi pemantauan customer loss rate juga penting, dimana peningkatan customer loss rate menunjukkan kegagalan perusahaan dalam memuaskan pelanggannya. 

Customer Service

Customer Service merupakan suatu bagian dari unit organisasi yang berada di front office yang berfungsi sebagai sumber informasi dan perantara bagi bank dan nasabah yang ingin mendapatkan jasa-jasa pelayanan maupun produk produk bank. Sesuai dengan fungsinya, Customer Service diharap¬kan dapat melakukan “One Stop Service”, artinya nasabah cukup menghubungi bagian Customer Service saja dalam berhubungan dengan Bank. Selanjutnya Customer Service akan menjelaskan ataupun mengerja¬kan kebutuhan nasabah tersebut dengan menghubungi bagian yang terkait. Hal ini akan meningkatkan kepuasan nasabah karena merasa akan kepentingannya dilaksanakan dengan rasa penuh tanggung jawab dan tidak perlu berhubungan dengan banyak orang untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam kedudukannya sebagai centre & contact point antara bank dengan nasabah, Customer Service harus¬lah mengetahui secara umum dan luas bentuk-bentuk pelayanan jasa dan produk bank dengan baik.
Kesem¬patan berhubungan dengan nasabah yang cukup besar dapat dipergunakan secara efektif untuk menawarkan produk-produk bank lainnya dalam rangka Cross Selling.

(2) Fungsi Customer Service.
Berdasarkan fungsi tersebut diatas fungsi seorang customer service dapat dijabarkan lebih lanjut dalam kesehariaannya sebagai karyawan Bank, yang mana fungsi-fungsi tersebut adalah sebagai berikut:
•           Front Line Officer
Keberadaan bagian customer service berada di bagian depan suatu bank, maka customer service menjadi cerminan penilaian pelayanan suatu bank.
•           Liasson Officer
Customer Service adalah satu aparat yang menjadi perantara antara bank dengan nasabah. Orang pertama yang dihubungi oleh nasabah sewaktu datang ke bank adalah aparat customer service, baik untuk meminta informasi maupun untuk melak¬sanakan transaksi.
•           Information Centre
Customer Service adalah satu-satunya personil yang dengan mudah dihubungi oleh nasabah pada kesempatan pertama maka aparat customer service menjadi pusat dan nara sumber informasi-informasi mengenai produk dan jasa bank. Oleh karenanya dituntut personil yang mempunyai pengetahuan dan wawasan yang cukup baik mengenai industri perban¬kan.
•           Salesman (penjual)
Berfungsi sebagai penjual produk, dengan menjual berbagai produk yang ada pada bank, seperti berbagai jenis tabungan, deposito, kredit serta mengetahui keluhan dan keberatan nasabah.
•           Servicing (pelayanan)
Sesuai dengan fungsinya customer service, atas nama bank penerima dan menyambut baik kedatangan nasabah selanjutnya akan mengerjakan kebutuhan nasabah sampai seluruh transaksinya dapat diram¬pungkan.
•           Advisor/Konsultan
Dalam melayani nasabah tidak jarang pula aparat customer service dengan bekal pengetahuan dan wawasan yang bijak sehubungan dengan perencanaan pengelolaan keuangan nasabah.
•           Maintenance Customer (Pembinaan Nasabah)
Permasalahan pembinaan nasabah baru (solisitasi). Aparat customer service adalah account assistant atau pembina bagi setiap account atau rekening nasabah non kredit. Hal ini merupakan perpanjan¬gan dan pengembangan fungsi kedua yaitu Liasson Officer.
•           Handling Complaint
Unit customer service apabila dalam operasionaln¬ya, nasabah tidak puas, karena terdapat ketidakcocokkan atau kesepakatan, komplain dan lain-lain

sebagainya, maka adalah tepat apabila orang pertama yang dihubungi adalah aparat customer service. Dalam hal ini dituntut tidak saja dapat menangani keluhan akan tetapi juga diharapkan dapat meme¬cahkan masalah dengan baik sebagai “trouble suiter”.

PENDIDIKAN AKHLAK DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF



A.  Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Akhlak.
1.  Agama.
            Kata “agama” bukan lagi sesuatu yang asing didengar, istilah “agama” seakan-akan telah menyatu dalam kehidupan sehari-hari, bahkan dalam kehidupan manusia secara universal. Dan tidak bisa disangkal, bahwa agama memiliki hubungan yang sangat erat dengan pembentukan moral. Dalam praktik kehidupan sehari-hari, motivasi terpenting dan terkuat bagi prilaku moral adalah agama. Setiap agama mengandung ajaran moral yang menjadi pegangan bagi perilaku para penganutnya.[1]
            Ajaran moral yang terkandung dalam Islam tentu berbeda dengan ajaran moral yang terdapat pada agama Kristen ataupun Hindu. Menurut Murtadha Muthahhari, ajaran Hindu bercorak emosional, sebab sandaran akhlak mereka adalah perasaan. Dapat juga dikatakan bahwa sistem akhlak dan etika kristiani bertumpu pada cinta.[2]
            Lantas mengapa ajaran moral dalam suatu agama dianggap sangat penting bagi pemeluknya? Hal tersebut tidak lain karena ajaran itu diyakini berasal dari Tuhan dan mengungkapkan kehendak Tuhan, dengan kata lain dasarnya adalah wahyu. Misalnya seperti “Sepuluh perintah Allah” disampaikan oleh Yahwe kepada Musa, tergoreskan atas dua batu loh (kitab keluaran 31:38). Hal ini diterima karena alsan keimanan.[3]
            Sementara itu setiap muslim meyakini bahwa ajaran moral Islam yang fundamental adalah berasal dari  Al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw, dan pada hakikatnya tujuan dari pengutusan Nabi Muhammad saw ke dunia adalah sebagai penyempurna akhlak. Sehingga untuk memiliki akhlak yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’a setiap muslim harus meneladani perilaku Rasulullah saw, karena akhlak yang dimiliki Rasulullah saw adalah sebuah cerminan Al-Qur’an.
            Dari pemaparan singkat tersebut dapat diketahui bahwa agama sangat berperan dalam membentuk akhlak ataupun kepribadian seseorang. Setiap agama memiliki dasar ajarannya sendiri-sendiri, oleh karena ajaran fundamental agama Islam adalah Al-Qur’an, maka sudah seharusnya setiap Muslim menjadikan ajaran Al-Qur’an sebagai dasar pembentukan akhlak.
2.  Insting.
            Menurut Abdullah, seperti dikutip purwoko insting (ghara’iz) adalah potensi pada diri manusia yang mendorong manusia untuk cenderung terhadap suatu (benda) dan perilaku. Juga dengan potensi ini manusia terdorong untuk meninggalkan sesuatu dan prliaku.[4] Dalam insting terdapat tiga unsur kekuatan yang bersifat psikis, yaitu mengenal (kognisi), kehendak (konasi), dan perasaan (emosi). Unsur-unsur yang seperti ini juga terdapat pada binatang.
            Insting juga berarti naluri, merupakan nafsu yang timbul dalam batin untuk melakukan suatu kecenderungan khusus dari jiwa yang dibawa sejak ia dilahirkan. Para psikolog menjelaskan bahwa insting berfungsi sebagai motivator penggerak yang mendorong lahirnya tingkah laku. Insting merupakan sifat pertama yang membentuk etika. Dalam ilmu etika, insting berarti akal pikiran. Akal dapat memperkuat akidah, tapi harus ditopang oleh ilmu, amal dan taqwa kepada Allah.[5]
3.  Adat/kebiasaan.
            Adat adalah setiap tindakan dan perbuatan seseorang yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama sehingga menjadi kebiasaan. Sebuah adat istiadat yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari selalu menimbulkan dampak positif dan bisa juga dampak negatif, tapi nilai adat tersebut tetap berfungsi sebagai pedoman manusia untuk hidup bersama masyarakat dimana ia tinggal. Apabila adat kebiasaan telah lahir dalam suatu masyarakat ataupun pada diri sesorang, maka sifat dari adat itu sendiri adalah:
a.       Mudah melakukan apapun pekerjaan yang sudah biasa dikerjakan tersebut.
b.      Tidak memakan waktu lama dan perhatian berlebih dari sebelumnya.[6]

4.  Pola Dasar/Bawaan.
                        Dahulu orang beranggapan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan yang sama, baik itu jiwa ataupun bakatnya. Selanjutnya faktor pendidikanlah yang dapat merubah mereka menjadi berlainan antara satu dengan lainnya. Dalam ilmu pendidikan, terdapat perbedaan antar aliran nativisme, empirisme dan korvegensi. Pandangan teori nativisme mengatakan bahwa seseorang itu telah ditentukan (sifatnya) sejak dia lahir. Tidak ada yang dapat merubah perkembangan seseorang, termasuk pendidikan.
                        Hal ini berbeda dengan aliran empirisme yang beranggapan bahwa faktor yang menentukan perkembangan jiwa anak mutlak dipengaruhi oleh pendidikan dan faktor lingkungan. Sementara itu, teori konvergensi berpendapat bahwa faktor dasar/bawaan dan juga faktor ajar/lingkungan sama-sama berperan dalam membina perkembangan jiwa anak. Pola dasar mewarisi beberapa sifat tertentu dari orang tuanya, baik itu jasmaniah ataupun rohaniahnya.[7]
5.  Lingkungan.
            Aspek yang tak kalah penting dalam membentuk kepribadian seseorang adalah lingkungan dimana ia berada. Lingkungan adalah ruang lingkup yang berinteraksi dengan insan dan dapat berwujud benda-benda seperti, air, udara, bumi, langit, dan matahari.[8] Sejak anak dilahirkan, bahkan ketika masih di kandungan ibu si anak mendapatkan pengaruh dari sekitarnya. Macam dan jumlah makanan yang diterimannya, keadaan panas lingkungan dan semua kondisi lingkungan baik yang bersifat membantu pertumbuhan maupun yang menghambat pertumbuhan.[9] Lingkungan dapat dibagi kedalam dua jenis, yaitu:[10]
a.       Lingkungan Alam.
Menurut Ahmad Amin, lingkungan alam sudah sejak lama mendapat perhatian dari para ahli. Karena apabila lingkungan tidak cocok dengan suhu tubuh seseorang, maka ia akan lemah dan mati. Begitupun akal manusia, jika lingkungannya tidak mendukung pada perkembangan manusia, maka akal akan mengalami kemunduran dan berdampak pada kepribadian seseorang.
b.      Lingkungan Sosial.
Lingkungan sosial/masyarakat merupakan tempat tinggal individu untuk berinteraksi. Dalam pergumulan dengan masyarakat, pergaulan akan sangat mempengaruhi prilaku, pola pikir bahkan keyakinan seseorang, karena akan banyak terjadi proses saling memengaruhi antara individu yang satu dengan yang lain. Adapun lingkungan pergaulan ini antara lain:
1)      Lingkungan keluarga.
Keluarga –khususnya orang tua- adalah faktor yang sangat menentukan pembentukan kepribadian anak. Seorang anak lahir dan dibesarkan pertama kali dalam lingkungan keluarga. Maka kedua orang tua harus menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya dan anggota keluarganya.
2)      Lingkungan sekolah.
Lingkungan Sekolah merupakan kelanjutan dari lingkungan keluarga. Sehingga guru dan siswa-siswa harus menunjukan sikap etika Islam yang baik dan menjadi suri tauladan yang baik pula.
3)      Lingkungan pekerjaan.
Lingkungan pekerjaan memberikan pengaruh yang sangat rentan terhadap prilaku dan pikiran seseorang. Jika dalam sebuah lingkungan pekerjaannya bersama orang-orang baik, maka baik pula perangainya. Dan begitu juga akan berlaku kebalikannya.
4)      Lingkungan organisasi.
Orang yang ikut dalam wadah organisasi biasanya teraspirasi oleh apa yang digariskan organisasinya. Dan biasanya tergantung pada AD/ART organisasinya, jika disiplin organisasinya baik, akan berpengaruh positif pada anggota-anggotanya.
5)      Lingkungan jamaah.
Saat ini banyak sekali perkumpulan jamaah-jamaah yang diadakan dalam komunitas masyarakat. Bisa berupa jamaah pengajian, jamaah tabligh, ataupun jamaah mesjid. Fenomena seperti ini mulai banyak dilakukan di kota-kota besar, melalui lingkungan jamaah ini, diharapkan mampu mengubah sifat-sifat tidak baik menjadi lebih positif.
6)      Lingkungan ekonomi.
Semua manusia membutuhkan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga faktor ekonomi berperan dalam menentukan kelakuan manusia, ketika ekonomi sudah dimonopoli oleh satu pihak tertentu, maka sangat rentan menimbulkan  ketimpangan. Sehingga tak jarang menjadikan manusia nekat mencuri, merampok dan melakukan tindak kekerasan. Lingkungan ekonomi akan membawa kesejahtraan jika dikuasai oleh orang-orang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah.
7)      Lingkungan pergaulan bebas/umum.
Pergaulan bebas sering kali menghalalkan segala cara demi memenuhi keinginannya. Pergaulan bebas sangat memuja kenikmatan sesaat, seperti narkoba, minuman keras, seks, judi dan sebagainya. Hal-hal semacan ini tentu menimbulkan dampak yang sangat buruk. Berbeda halnya bergaul bebas dengan para ulama dan dalam kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, maka akan menimbulkan kemuliaan dan mencapai derajat yang tinggi.

B.  Akhlak Perspektif Filsuf
Masalah tentang akhlak (baik dan buruk) tampaknya telah mendapat perhatian yang sangat besar, tidak hanya dalam ajaran Islam sebagaimana dibawa oleh Nabi Muhammad saw, tapi juga telah banyak dikaji oleh para filsuf dari berbagai zaman, baik itu filsuf muslim ataupun non-muslim. Bahkan para filsuf Yunani kuno seperti Aristoteles dan Plato, hingga filsuf modern seperti Immanuel Kant memberikan perhatian yang cukup besar kepada perbuatan baik dan buruk manusia. Terlebih-lebih para filsuf muslim seperti Imam al-Ghazali dan Ibnu Miskaweih.
Pada sub-bab ini penulis akan memaparkan beberapa pendangan filsuf mengenai akhlak. Namun penulis akan membatasi hanya pada dua pandangan, yaitu Aristoteles dan Ibnu Miskaweih. Karena dua filsuf ini memberikan perhatian yang cukup besar terhadap permasalahan baik dan buruk manusia.
1.    Aristoteles.
Aristoteles merupakan salah satu murid Plato. Aristoteles dilahirkan di Stagira,  Macedonia 384 SM.[11] Karya Aristoteles sangatlah mencengangkan, daftar kuno mencatat terdapat tidak kurang dari 170 buku hasil ciptaannya. Bahkan 47 karyanya masih tetap bertahan sampai sekarang.[12]
Dalam kumpulan karya-karya Aristoteles, terdapat tiga risalah tentang etika, namun dua diantaranya dianggap sebagai karya murid-muridnya. Namun risalah yang ketiga, Nichomanean Ethics sebagian besar tidak diragukan keasliannya. Namun tetap saja ada yang berpendapat ada beberapa bagian tertentu, yang merupakan karya murid-murid Aristoteles kemudian digabungkan dalam buku tersebut.[13] Dalam buku Ethic disebutkan bahwa yang baik adalah kebahagiaan, yang merupakan aktifitas jiwa.
Menurut Aristoteles, ada dua macam keutamaan, ialah intelektual dan moral. Keutamaan intelektual berasal dari pengajaran, sedangkan keutamaan moral berasal dari kebiasaan. Dengan dipaksa untuk menerima kebiasaan yang baik, menurut Aristoteles, suatu saat kita akan menemukan kenikmatan dalam menjalankan tindakan-tindakan yang baik itu.[14]
Sedangkan konsep keutamaan Aristoteles, sebagaimana dijelaskan oleh Russell, adalah suatu pertengahan antara dua sisi ekstrim. Seperti sikap keberanian yang merupakan pertengahan antara sikap pengecut dan ugal-ugalan, harga diri adalah pertengahan antara kecongkakan dan kerendahan diri, dan kerendahan hati pertengahan antara sikap malu-malu dan sikap tak kenal malu.[15]
Dalam pandangan Aristoteles kebaikan moral semata-mata berkaitan dengan tindakan-tindakan berdasarkan kehendak, yakni dengan memilih yang benar diantara sejumlah cara bertindak.[16] Individu terbaik dalam konsepsi Aristoteles adalah orang yang sangat berbeda dengan santo Kristiani. Ia hendaknya memiliki harga diri yang sepantasnya, dan tidak merendahkan kelebihannya sendiri. Ia harus merendahkan siapapun yang memang pantas direndahkan. Uraian tentang manusia yang memiliki rasa harga diri atau berbudi luhur sangat menarik sebab menunjukkan perbedaan antara kaum pagan dan kaum Kristen. Bahkan Nietzsche menganggap bahwa Kristianitas sebagai moralitas budak.[17]
2.      Ibnu Miskawaih.
Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Yaqub Miskawaih atau lebih dikenal dengan Ibnu Miskawaih lahir pada tahun 940 M di Rayy, Iran. Ia menghabiskan masa kecil di kota kelahirannya, dan ketika beranjak dewasa ia mulai menuju Baghdad. Ibnu Miskawaih secara tekun melakukan kajian di berbagai bidang, seperti filsafat, sejarah, kedokteran bahkan kimia. Namun kajian yang menjadi fokus utamanya adalah filsafat Yunani dan sejarah. Melalui dua kajian inilah Ibnu Miskawaih menjadi intelektual yang sangat mengagumkan.[18]
Dalam kajian filsafat etika, Ibnu Miskawaih menghasilkan sebuah karya monumental yaitu tahdib al-akhlaq (pembinaan akhlak), dalam kitab ini secara umum ia menjelaskan bagaimana seseorang dapat mencapai kebahagiaan tertinggi melalui moral yang sehat. Dengan kata lain kitab ini menggambarkan bagaimana berbagai bagian jiwa diharmonikan untuk mencapai kebahagiaan. Inilah peran para filsuf moral atau etika untuk memberikan resep bagi kesehatan moral yang berpijak pada kombinasi pengembangan intelektual dan praktik keseharian.[19]
Beberapa ajaran pokok etika Islam Ibnu Miskawaih diantaranya adalah:[20]
a.    Teori Fadlail (Keutamaan)
Ajaran keutamaan etika Islam Ibnu Miskawaih berpangkal pada teori jalan tengah (nadzar al-ausath) yang dirumuskannya. Inti teori ini menyebutkan keutamaan etika Islam secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ektrim kelebihan dan ekstrim kekurangan. Menurut Ibnu Miskawaih posisi jalan tengah tersebut bisa diraih dengan memadukan fungsi syariat dan filsafat. Syariat berfungsi efektif bagi terciptanya posisi tengah dalam jiwa bernafsu dan jiwa berani, sedangkan filsafat berfungsi efektif bagi terciptanya posisi tengah jiwa berfikir.
b.    Teori Kamal (Kesempurnaan)
Ibnu Miskawaih memberikan pengertian khusus kepada masalah hikmah dan ‘adalah dimana terletak kamal khas insani. Kesempurnaan manusia ada dua macam, karena dua hikmah, yaitu nazhariyah (teoritis) dan amaliyah atau khuluqiyah (praktis). Dengan hikmah nazhariyah manusia cenderung kepada berbagai ilmu dan pengetahuan.sedangkan hikmah ‘amaliyah atau khuluqiyah bertujuan untuk membentuk kesempurnaan karakter.
c.       Teori Sa’adah (Kebahagiaan)
Ibnu Miskawaih sangat mengecam pandangan kaum materialis yang hanya memandang bahwa manusia diciptakan denga segala potensinya hanya untuk merealisasikan kenikmatan-kenikmatan material biologis. Bagi Ibnu Miskawaih kebahagiaan di akhirat terletak pada kenikmatan rohani. Sebab kenikamatan di surga itu sempurna, abadi dan terus-menerus.
d.      Teori Khairat (Kebaikan)
Khairat adalah suatu yang terbit dari atau sesuai dengan kamal khas insani yang melekat pada hikmah secara umum, yang meliputi fadilah yaitu, hikmah, iffah, syaja’ah dan ‘adalah.
e.       Teori Mahabbah (Cinta)
Ibnu Miskawaih mengenal dua tingkatan cinta. Pertama, cinta pada sesama makhluk. Kedua, cinta makhluk kepada Khaliqnya. Setelah membahas cinta sesama makhluk dalam lingkup keluarga, Ibnu Miskawaih menunjuk mahabbah dalam masyarakat luas. Lebih jauh ia mendefinisikan kawan (shadiq) sebagai orang lain yang merupakan dirimu sendiri. Namun mahabbah yang paling kekal dan paling tinggi tingkatannya adalah mahabbah terhadap sang Khaliq.
f.       Aspek Sosial
Karena manusia makhluk sosial, maka kebahagiaan kemanusiaannya terletak pada temannya, sedang yang kesempurnaannya terletak pada orang lain. Karena mustahil akan hidup bahagia dalam keadaan hidup menyendiri. Sehingga yang berbahagia adalah mereka yang memiliki banyak teman dan selalu menyebarkan kebaikan pada siapa saja.
C.  Pengertian Pendidikan Akhlak Perspektif Al-Qur’an.
1.    Pengertian Pendidikan dalam Islam.
Dalam khazanah pemikiran Pendidikan Islam, terutama dalam karya-karya ilmiah berbahasa Arab, terdapat berbagai istilah yang digunakan oleh ulama dalam memberikan pengertian tentang “Pendidikan Islam”, dan sekaligus diterapkan dalam konteks yang berbeda-beda.
             Menurut Langgulung, sebagaimana dikutip oleh Muhaimmin, menjelaskan bahwa pendidikan Islam setidak-tidaknya tercakup dalam delapan pengertian, yaitu al-tarbiyah al-diniyah (pendidikan keagamaan), ta’lim al-din (pengajaran agama), al-ta’lim al-diny (pengajaran keagamaan), al-ta’lim al-islamiy (pengajaran keislaman), tarbiyah al-muslimin (pendidikan orang-orang Islam), al-tarbiyah fi al-Islam (pendidikan dalam Islam), al-tarbiyah ‘inda al-muslimin (pendidikan di kalangan orang-orang Islam), dan al-tarbiyah al-Islamiyah (pendidikan Islami).[21]
             Selain delapan istilah pendidikan Islam yang telah dijelaskan oleh Langgulung di atas, ternyata pendidikan Islam juga populer dengan istilah tarbiyah, ta’lim, ta’dib, riyadloh, irsyad, dan tadris. Dari masing-masing istilah tersebut memiliki keunikan makna tersendiri ketika sebagian atau semuanya disebut secara bersamaan. Namun, kesemuanya akan memiliki makna yang sama jika disebut salah satunya, sebab salah satu dari istilah tersebut sebenarnya telah mewakili istilah yang lain. Implikasinya, berbagai literatur Ilmu Pendidikan Islam, semua istilah itu terkadang digunakan secara bergantian dalam mewakili istilah pendidikan Islam.[22]
             Istilah “pendidikan” dalam perspektif Islam diartikan berbeda, terutama antara ta’dib, ta’lim dan tarbiyyah, baik pada tingkat etimologi ataupun terminologi.[23] Namun setelah diadakannya Konfrensi Dunia yang pertama tentang pendidikan Islam di Makkah, yang membahas penggunaan istilah tarbiyyah, ta’dib dan ta’lim dan pada akhirnya memutuskan istilah-istilah tersebut digunakan bersama-sama. Istilah ketiganya digunakan untuk mewakili lingkup pendidikan dalam Islam baik formal ataupun non-formal.[24]
2.    Pengertian Akhlak dalam Al-Qur’an.
        Allah adalah zat yang maha menciptakan (Al-Khaliq) manusia dalam bentuk yang paling sempurna, hal ini dijelaskan sendiri oleh Allah dalam surat At-Tiin:
ôs)s9 $uZø)n=y{ z`»|¡SM}$# þÎû Ç`|¡ômr& 5OƒÈqø)s? ÇÍÈ  
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (Q.S At-Tiin: 4).[25]
  
               Kesempurnaan fisik seseorang harus selaras dengan kesempurnaan akhlaknya, setiap orang mempunyai kewajiban untuk menyempurnakan akhlaknya, upaya memperbaiki akhlak merupakan suatu ibadah sebagaiman misi Rasulullah di utus ke dunia, yakni untuk menyempurnakan akhlak.
               Karena fisik manusia itu ranah sang pencipta (Al-Khaliq). Jadi Al-Khaliq lah yang menciptakan fisik manusia dengan sempurna, sehingga tidak boleh ada seorang pun yang menghina, mencela, merendahkan atau bentuk-bentuk lain terhadap fisik manusia. Dalam tataran fisik, tidak ada sedikitpun ruang kritik atas wujud manusia, tanpa satupun kecuali. Karena menghina fisik seseorang berarti telah menghina zat yang menciptakan, yaitu Allah sebagai Al-Khaliq.[26]
Selanjutnya Said Aqil Siradj mengatakan:
Berbeda dengan ranah khalq (fisik manusia) yang anti kritik, adalah al-khulq (keluhuran budi). Tuntutan untuk berbudi luhur berarti larangan melakukan tindakan yang tercela. Jika seseorang dituntut untuk berbuat baik namun faktanya ia bermoral buruk maka berakibat pada runtuhnya karakteristik ketuhanan dalam dirinya. Ia pun jadi hina dan dihinakan. Ia jadi rendah dan direndahkan. Pada ranah al-khuluq ini terjadi seseorang memuliakan orang lain karena keluhuran budinya. Sebaliknyapun terjadi, seseorang merendahkan orang lain karena perangainya yang buruk.[27]

Maka dari kata al-khuluq inilah, kemudian terbentuk kata akhlaq, yang merupakan bentuk jamak dari khuluq, yang dalam bahasa Indonesia disebut akhlak. Akhlak itu sendiri berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.[28] Sedangkan dalam Kamus Bahasa Indonesia, akhlak diartikan sebagai budi pekerti, tabiat, kelakuan,dan watak. Sehingga berakhlak berarti mempunyai pertimbangan untuk membedakan yang baik dan yang buruk. Sinonim dari kata akhlak adalah etika atau moral.[29]
               Sedangkan secara terminologis, banyak sekali pakar pendidikan yang memberikan pengertian akhlak. Ibnu Miskaweih seperti dikutip Aminuddin, mendefinisikan akhlak sebagai keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melakukan pemikiran dan pertimbangan.[30] Sementara Imam Al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dan tanpa memerlukan dan pertimbangan.[31]
               Sa’adudin mengemukakan bahwa akhlak mengandung beberapa arti, yang diantaranya adalah:
a.       Tabiat, yaitu sifat dalam diri yang terbentuk manusia tanpa dikehendaki dan tanpa diupayakan.
b.      Adat, yaitu sifat yang dalam diri yang diupayakan manusia melalui latihan, yakni berdasarkan keiinginan.
c.       Watak, cakupannya meliputi hal-hal yang menjadi tabiat dan hal-hal yang diupayakan sehingga menjadi adat.[32]
               Sedangkan akhlak islami adalah sesuatau yang sudah melekat pada jiwa manusia. Karena itu suatu perbuatan baru dapat disebut pencerminan akhlak jika sudah memenuhi beberapa syarat. Syarat itu antara lain:
a.       Dilakukan berulang-ulang, karena jika hanya dilakukan sekali saja atau jarang, maka tidak dapat dikatakan akhlak.
b.      Timbul dengan sendirinya, tanpa dipikir-pikir terlebih dahulu atau dipertimbangkan berulang-ulang.[33]
Meskipun banyak yang mengartikan bahwa antara akhlak, etika dan moral adalah sama, yakni membahas baik dan buruk dan prilaku manusia, namun menurut Quraish Shihab, konsep akhlak dalam ajaran Islam tidak dapat disamakan dengan etika. Jika etika dibatasi pada sopan santun antar sesama manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah, akhlak lebih luas maknanya dari pada etika, karena mencakup pula beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriah. Misalnya yang berkaitan dengan sikap batin atau pikiran, akhlak diniah (agama) mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga pada sesama makhluk (manusia, binatang, tumbuhan dan benda mati).[34] Tapi tampaknya masyarakat luas istilah-istilah tersebut disinonimkan dan dipakai silih berganti untuk menunjukan sesuatu yang baik atau buruk



[1]K. Bertens, Etika, cet IX, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal. 35
[2]Murtadha Muthahhari, Falsafah Akhlak, terj. Faruq bin Dahiya, (Jakarta: RausyanFikr, 2012), hal. 75
[3]K. Bertens, Etika.., hal 36.
[4]Saktiyono B. Purwoko, Psikologi Islami; Teori dan Penelitian, (Bandung: Saktiyono WordPress), hal. 40
[5] Istighfarotur Rahmaniyah, Pendidikan Etika, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), hal. 97
[6] Ibid.,  hal. 98-99
[7] Ibid., hal. 99
[8] Ibid., hal. 99
[9]M. Noor Syam, et. all., Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan, cet III, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), hal. 56.
[10]Istighfarotur Rahmaniyyah, Pendidikan Etika..., hal. 97
[11]Wahyu Murtiningsih, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah, (Jogjakarta: Ircisod,, 2012), hal. 54
[12]Ibid., hal. 54
[13]Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko, cet III, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 233
[14] Ibid., hal. 234.
[15] Ibid., hal. 235.
[16] Ibid., hal. 240.
[17] Ibid., hal. 236.
[18] Wahyu Murtiningsih, Para Filsuf..., hal. 263
[19] Ibid., hal. 264.
[20] Istighfarotur Rahmaniyyah, Pendidikan Etika..., hal. 124.
[21]Muhaimmin, et.all., Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, cet V, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hal. 36.
[22]Muhammad Muntahibun Nafis, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Teras, 2011), hal. 1-2.
[23]Ta’dib, lazimnya diterjemahkan dengan pendidikan sopan santun, tata krama, akhlak, moral, budi pekerti dan etika. Ta’lim berasal dari kata “allama” yang berarti mengajar dan menjadikan yakin dan mengetahui. Sedangkan tarbiyyah secara leksikologi tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, namun  terdapat istilah yang seakar dengannya, yaitu al-rabb, rabbayani, nurabbi, yurbi, dan rabbani.
[24]Muhammad Muntahibun Nafis, Ilmu Pendidikan..., hal. 3.
[25] Q.S At-Tiin: 4
[26] Baca Sulton Fatoni dan Wijdan Fr, The Wisdom of Gus Dur;Butir-Butir Kearifan Sang Waskita, (Bandung: Imania, 2014), hal. 4
[27] Ibid., hal. 4
[28]Marzuki, Prinsip Dasar Akhlak Mulia, (Yogyakarta: Debut Wahana Press, 2009), hal. 8.
[29]Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), hal.28
[30]Aminuddin dkk, Pendidikan Agama Islam, cet II, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hal. 152
[31] Ibid., hal. 152
[32]Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hal. 10
[33]Mohamad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Rajagrafindo,2008),  hal. 348
[34]Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2013), hal. 347

Simbol Bilangan atau Angka

  a. Pengertian Angka Memahami suatu angka dapat membantu manusia untuk melakukan banyak perhitungan mulai dari yang sederhana maupaun y...

Blog Archive