|
Perekonomian
mulai bergerak ke posisi sebelum kenaikan harga minyak. Masih jauh dari
ideal.
|
KETAJAMAN Joni Andela ”membaca
angin”, tiga tahun lalu, mulai terlihat hasilnya. Dalam sebulan terakhir,
pesanan alat panggang produksinya membanjir tiga kali lipat. Karena itu, tak
salah pula keputusan Presiden Direktur PT Almas Metal Industri ini memperluas
pabriknya di kawasan Padalarang, Jawa Barat. Dari semula hanya 3.000-an meter
persegi kini menjadi 3,5 hektare.
Untuk bulan ini, hampir 80
persen pesanan yang mencapai 150 peti kemas dikirimnya ke Amerika Serikat.
Selebih-nya diekspor ke berbagai tujuan seperti Eropa, Australia, dan sejumlah
negara Asia. Produk pemanggang baru yang ia luncurkan pada Juni lalu rupanya
amat diminati konsumen di negeri-negeri itu.
”Total pemesanan senilai US$ 4,5
juta atau Rp 40 miliar lebih,” katanya pada Rabu pekan lalu. Nilai pesanan itu
bahkan sudah jauh lebih besar dari investasinya membeli mesin-mesin pendukung
tambahan bagi produk barunya seharga Rp 1,5 miliar. Joni yakin, order masih
akan terus berdatangan.
Melihat perekonomian
negeri-negeri pasar utamanya, keyakinan Joni cukup beralasan. Sebab, pada
kuartal kedua tahun ini, ekonomi Amerika masih tumbuh sekitar 3,5 persen,
sedangkan Eropa 2,2 persen. Negeri berekonomi kuat di Asia seperti Jepang juga
tumbuh kurang lebih 3 persen, sedangkan angka pertumbuhan Cina tetap fantastis:
10,9 persen. Kalau pola siklus ekonomi berjalan normal, kata kepala peneliti di
Institut Riset Danareksa, Purbaya Yudhi Sadewa, ”Tak akan ada resesi sampai
2011 di Amerika.”
Di dalam negeri, meski masih
jauh dari harapan, kondisi makroekonomi boleh dibilang juga mulai menunjukkan
perbaikan. Seperti disampaikan Presiden Yudhoyono melalui pidato nota keuangan
pada Rabu pekan lalu, produk domestik bruto (PDB)—nilai dari seluruh barang dan
jasa yang diproduksi di Indonesia—pada kuartal kedua tumbuh 5,2 persen. Angka
ini sedikit lebih tinggi dari tiga bulan sebelumnya, yang cuma 4,7 persen.
Angka ini tentu masih jauh dari
mengesankan, apalagi bila dibandingkan dengan tekad Yudhoyono saat kampanye dua
tahun silam. Ketika itu ia selalu menyatakan, upaya penghapusan kemiskinan dan
mengurangi pengangguran di Indonesia mensyaratkan pertumbuhan ekonomi rata-rata
6,6 persen per tahun. Itu pun jika diasumsikan setiap pertumbuhan ekonomi satu
persen akan mampu menyerap 400-500 ribu angkatan kerja baru, yang tiap tahun
bertambah sekitar 2,5 juta orang.
Padahal, seperti kerap
diung-kapkan ekonom Universitas Indonesia, Muhammad Chatib Basri—kini staf
khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani—elastisitas penyerapan tenaga kerja tak
lagi selentur dulu. Setiap persen pertumbuhan kini paling banter menyerap
200-300 ribu tenaga kerja baru. Artinya, diperlukan pertumbuhan yang lebih
tinggi jika ingin pengangguran terbuka, yang kini sudah mencapai 10,8 juta
orang, bisa dikikis.
Harapan sebetulnya bukan tak
ada. Dari sejumlah survei Danareksa, tren perekonomian Indonesia terlihat sudah
mengalami titik pembalikan. Salah satu parameternya tergambar dalam indeks
kepercayaan konsumen, yang didasarkan pada hasil jajak pendapat 1.700
responden—dengan tingkat penghasilan kurang dari Rp 500 ribu hingga di atas Rp
1,5 juta per bulan. Kepercayaan konsumen di semua lapisan mulai pulih sejak
April lalu. ”Ini berarti belanja konsumen akan lebih kencang,” kata Yudhi.
Danareksa juga merekam sentimen
para pelaku usaha seperti Joni. Ada 700 pimpinan perusahaan terkemuka di Tanah
Air yang dimintai informasi tentang kondisi perusahaan dan pendapatnya. Dari
situ bisa diperkirakan gambaran ekonomi dalam enam bulan hingga setahun ke
depan.
Setelah anjlok tajam akibat
kenaikan harga minyak pada Oktober tahun lalu, indeksnya mulai bergerak naik
sebulan kemudian. Ini menandakan kepercayaan para pelaku ekonomi untuk
berinvestasi dan melakukan kegiatan produksi kembali meningkat. Dengan sentimen
positif ini, ekonomi yang hingga Maret lalu masih loyo mulai bangkit.
Hal itu terlihat antara lain
dengan naiknya nilai impor bahan baku 8 persen lebih pada April dan Mei—bahkan
hampir 20 persen pada bulan Juni. Peningkatan impor bahan mentah ini menjadi
salah satu indikasi mulai berge-raknya mesin industri pengolahan dan manufaktur
untuk menambah kapasitas produksinya.
Pabrik alat masak yang dikelola
Joni Andela, misalnya, masih harus mendatangkan 70 persen bahan baku dari luar
negeri. Alasannya, barang lokal, seperti baja dari PT Krakatau Steel, kelewat
mahal. Karena itu, jika bulan ini mereka menambah volume impor baja, dapat
dipastikan dua-tiga bulan mendatang produksi dan ekspornya akan meningkat.
Data yang diumumkan Badan Pusat
Statistik, Senin pekan lalu, juga memperlihatkan peningkatan ekspor memang
lumayan pada kuartal kedua lalu. Peningkatannya mencapai 5 persen dari kuartal
sebelumnya. Bila dibanding dengan periode yang sama tahun lalu, ekspor semester
pertama ini bahkan melonjak 11,3 persen.
Sektor agrokultur dan komoditas
pertambangan merupakan penyumbang utama pertumbuhan ekspor ini. Sebab, harga
dua komoditas itu di pasar internasional sedang bagus. Minyak sawit mentah,
contohnya, dua pekan lalu harganya naik hingga 26 persen menjadi US$ 474 per
ton. Itulah harga tertinggi sejak 2004, menyusul melonjaknya permintaan bahan
baku produksi biodiesel. Perang yang berkecamuk di Timur Tengah juga
mendongkrak harga logam, seperti tembaga, emas, dan nikel.
Tapi tidak semua peningkatan
produksi dan ekspor otomatis mencerminkan membaiknya daya saing riil yang kita
punya. ”Produk sepatu salah satunya,” kata Sekretaris Asosiasi Pengusaha
Indonesia, Djimanto. Bos perusahaan sepatu merek Piero dan Starmon ini
mengatakan, lonjakan pesanan di pabrik-pabrik sebenarnya tak lebih karena
”muntahan” dari Cina dan Vietnam. Dari banyak sisi, kedua negara itu masih jauh
lebih memiliki kelebihan kompetitif.
Hanya, saat ini keduanya tak
berkutik setelah terkena kebijakan safeguard measure yang diterapkan
negara-negara tujuan ekspor di Eropa dan Amerika Serikat dengan pengenaan bea
masuk yang sangat tinggi. Kebijakan melindungi para produsen dalam negeri itu
diterapkan oleh kedua kawasan itu karena dalam tiga tahun berturut-turut,
sepatu asal Cina dan Vietnam masuk ke pasar mereka dalam jumlah amat besar.
Itu sebabnya, pesanan sepatu
beralih ke Indonesia, India, Bangladesh, dan Pakistan. Kebetulan Indonesia dan
ne-gara-negara yang akhir 2004 lalu menjadi korban tsunami mendapatkan
fasilitas pemotongan bea masuk bila mengekspor barang-barangnya ke Eropa.
Inilah alasannya kenapa beberapa bulan lalu ada 15 produsen sepatu Cina hendak
memindahkan pabriknya ke Indonesia.
Tentu saja investasi ini rawan
hengkang lagi dari sini, karena kebijakan safe-guard akan dievaluasi kembali
dalam lima tahun. Kenyataannya iklim investasi kita memang belum membaik,” kata
Djimanto. Maraknya pungutan liar, birokrasi bertele-tele, dan banyaknya
peraturan daerah yang memberatkan investor adalah beberapa di antara faktor
penghambat yang sering dikeluhkan.
Perkara semen lain lagi.
Komoditas ini galibnya memang tidak untuk dijual ke luar negeri karena ongkos
angkutnya mahal. Karena itu, bila ekspor meningkat dalam beberapa bulan
terakhir, itu semata karena dipicu oleh remuknya pasar domestik. Sektor
properti yang melambat dan proyek infrastruktur yang ngadat membuat produksi
semen rata-rata menurun 5 persen dibanding tahun lalu. ”Kami terpaksa jual rugi
dengan mengekspornya hingga 30 persen,” kata Erwin Aksa, Direktur Utama Semen
Bosowa.
Erwin juga mengaku masih
pesimistis, tapi penurunan patokan suku bunga oleh Bank Indonesia—dari 12,25
persen menjadi 11,75 persen—pada awal bulan ini memberi banyak peluang baru.
Danareksa bahkan memprediksi, inflasi yang akan kembali ke level satu digit
pada akhir tahun akan terus diikuti dengan penurunan tingkat bunga hingga 9,75
persen. ”Sangat mungkin tinggal 7 persen pada akhir tahun depan,” kata Yudhi.
Menurunnya suku bunga kredit
biasanya akan mengerek naik tingkat konsumsi. Pasar rumah dan otomotif akan
kembali marak. Karena itu, penjualan mobil yang dalam enam bulan pertama tahun
ini mengkerut hingga hampir separuhnya dari tahun lalu, ”Agustus ini mungkin
sudah akan meningkat lagi,” kata Johny Darmawan, Presiden Direktur Toyota Astra
Motor.
Energi cadangan pendongkrak
konsumsi juga masih melimpah di kantong pemerintah. Hingga akhir pekan pertama
Juli lalu, pemerintah baru menghabiskan 23 persen dari Rp 122 triliun anggaran
pembangunan di APBN 2006. Seperti yang sudah-sudah, belanja akan semakin royal
di semester kedua.
No comments:
Post a Comment