Wednesday, February 8, 2017

Menanti Keajaiban di Titik Balik


Perekonomian mulai bergerak ke posisi sebelum kenaikan harga minyak. Masih jauh dari ideal.
KETAJAMAN Joni Andela ”membaca angin”, tiga tahun lalu, mulai terlihat hasilnya. Dalam sebulan terakhir, pesanan alat panggang produksinya membanjir tiga kali lipat. Karena itu, tak salah pula keputusan Presiden Direktur PT Almas Metal Industri ini memperluas pabriknya di kawasan Padalarang, Jawa Barat. Dari semula hanya 3.000-an meter persegi kini menjadi 3,5 hektare.
Untuk bulan ini, hampir 80 persen pesanan yang mencapai 150 peti kemas dikirimnya ke Amerika Serikat. Selebih-nya diekspor ke berbagai tujuan seperti Eropa, Australia, dan sejumlah negara Asia. Produk pemanggang baru yang ia luncurkan pada Juni lalu rupanya amat diminati konsumen di negeri-negeri itu.
”Total pemesanan senilai US$ 4,5 juta atau Rp 40 miliar lebih,” katanya pada Rabu pekan lalu. Nilai pesanan itu bahkan sudah jauh lebih besar dari investasinya membeli mesin-mesin pendukung tambahan bagi produk barunya seharga Rp 1,5 miliar. Joni yakin, order masih akan terus berdatangan.
Melihat perekonomian negeri-negeri pasar utamanya, keyakinan Joni cukup beralasan. Sebab, pada kuartal kedua tahun ini, ekonomi Amerika masih tumbuh sekitar 3,5 persen, sedangkan Eropa 2,2 persen. Negeri berekonomi kuat di Asia seperti Jepang juga tumbuh kurang lebih 3 persen, sedangkan angka pertumbuhan Cina tetap fantastis: 10,9 persen. Kalau pola siklus ekonomi berjalan normal, kata kepala peneliti di Institut Riset Danareksa, Purbaya Yudhi Sadewa, ”Tak akan ada resesi sampai 2011 di Amerika.”
Di dalam negeri, meski masih jauh dari harapan, kondisi makroekonomi boleh dibilang juga mulai menunjukkan perbaikan. Seperti disampaikan Presiden Yudhoyono melalui pidato nota keuangan pada Rabu pekan lalu, produk domestik bruto (PDB)—nilai dari seluruh barang dan jasa yang diproduksi di Indonesia—pada kuartal kedua tumbuh 5,2 persen. Angka ini sedikit lebih tinggi dari tiga bulan sebelumnya, yang cuma 4,7 persen.
Angka ini tentu masih jauh dari mengesankan, apalagi bila dibandingkan dengan tekad Yudhoyono saat kampanye dua tahun silam. Ketika itu ia selalu menyatakan, upaya penghapusan kemiskinan dan mengurangi pengangguran di Indonesia mensyaratkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,6 persen per tahun. Itu pun jika diasumsikan setiap pertumbuhan ekonomi satu persen akan mampu menyerap 400-500 ribu angkatan kerja baru, yang tiap tahun bertambah sekitar 2,5 juta orang.
Padahal, seperti kerap diung-kapkan ekonom Universitas Indonesia, Muhammad Chatib Basri—kini staf khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani—elastisitas penyerapan tenaga kerja tak lagi selentur dulu. Setiap persen pertumbuhan kini paling banter menyerap 200-300 ribu tenaga kerja baru. Artinya, diperlukan pertumbuhan yang lebih tinggi jika ingin pengangguran terbuka, yang kini sudah mencapai 10,8 juta orang, bisa dikikis.
Harapan sebetulnya bukan tak ada. Dari sejumlah survei Danareksa, tren perekonomian Indonesia terlihat sudah mengalami titik pembalikan. Salah satu parameternya tergambar dalam indeks kepercayaan konsumen, yang didasarkan pada hasil jajak pendapat 1.700 responden—dengan tingkat penghasilan kurang dari Rp 500 ribu hingga di atas Rp 1,5 juta per bulan. Kepercayaan konsumen di semua lapisan mulai pulih sejak April lalu. ”Ini berarti belanja konsumen akan lebih kencang,” kata Yudhi.
Danareksa juga merekam sentimen para pelaku usaha seperti Joni. Ada 700 pimpinan perusahaan terkemuka di Tanah Air yang dimintai informasi tentang kondisi perusahaan dan pendapatnya. Dari situ bisa diperkirakan gambaran ekonomi dalam enam bulan hingga setahun ke depan.
Setelah anjlok tajam akibat kenaikan harga minyak pada Oktober tahun lalu, indeksnya mulai bergerak naik sebulan kemudian. Ini menandakan kepercayaan para pelaku ekonomi untuk berinvestasi dan melakukan kegiatan produksi kembali meningkat. Dengan sentimen positif ini, ekonomi yang hingga Maret lalu masih loyo mulai bangkit.
Hal itu terlihat antara lain dengan naiknya nilai impor bahan baku 8 persen lebih pada April dan Mei—bahkan hampir 20 persen pada bulan Juni. Peningkatan impor bahan mentah ini menjadi salah satu indikasi mulai berge-raknya mesin industri pengolahan dan manufaktur untuk menambah kapasitas produksinya.
Pabrik alat masak yang dikelola Joni Andela, misalnya, masih harus mendatangkan 70 persen bahan baku dari luar negeri. Alasannya, barang lokal, seperti baja dari PT Krakatau Steel, kelewat mahal. Karena itu, jika bulan ini mereka menambah volume impor baja, dapat dipastikan dua-tiga bulan mendatang produksi dan ekspornya akan meningkat.
Data yang diumumkan Badan Pusat Statistik, Senin pekan lalu, juga memperlihatkan peningkatan ekspor memang lumayan pada kuartal kedua lalu. Peningkatannya mencapai 5 persen dari kuartal sebelumnya. Bila dibanding dengan periode yang sama tahun lalu, ekspor semester pertama ini bahkan melonjak 11,3 persen.
Sektor agrokultur dan komoditas pertambangan merupakan penyumbang utama pertumbuhan ekspor ini. Sebab, harga dua komoditas itu di pasar internasional sedang bagus. Minyak sawit mentah, contohnya, dua pekan lalu harganya naik hingga 26 persen menjadi US$ 474 per ton. Itulah harga tertinggi sejak 2004, menyusul melonjaknya permintaan bahan baku produksi biodiesel. Perang yang berkecamuk di Timur Tengah juga mendongkrak harga logam, seperti tembaga, emas, dan nikel.
Tapi tidak semua peningkatan produksi dan ekspor otomatis mencerminkan membaiknya daya saing riil yang kita punya. ”Produk sepatu salah satunya,” kata Sekretaris Asosiasi Pengusaha Indonesia, Djimanto. Bos perusahaan sepatu merek Piero dan Starmon ini mengatakan, lonjakan pesanan di pabrik-pabrik sebenarnya tak lebih karena ”muntahan” dari Cina dan Vietnam. Dari banyak sisi, kedua negara itu masih jauh lebih memiliki kelebihan kompetitif.
Hanya, saat ini keduanya tak berkutik setelah terkena kebijakan safeguard measure yang diterapkan negara-negara tujuan ekspor di Eropa dan Amerika Serikat dengan pengenaan bea masuk yang sangat tinggi. Kebijakan melindungi para produsen dalam negeri itu diterapkan oleh kedua kawasan itu karena dalam tiga tahun berturut-turut, sepatu asal Cina dan Vietnam masuk ke pasar mereka dalam jumlah amat besar.
Itu sebabnya, pesanan sepatu beralih ke Indonesia, India, Bangladesh, dan Pakistan. Kebetulan Indonesia dan ne-gara-negara yang akhir 2004 lalu menjadi korban tsunami mendapatkan fasilitas pemotongan bea masuk bila mengekspor barang-barangnya ke Eropa. Inilah alasannya kenapa beberapa bulan lalu ada 15 produsen sepatu Cina hendak memindahkan pabriknya ke Indonesia.
Tentu saja investasi ini rawan hengkang lagi dari sini, karena kebijakan safe-guard akan dievaluasi kembali dalam lima tahun. Kenyataannya iklim investasi kita memang belum membaik,” kata Djimanto. Maraknya pungutan liar, birokrasi bertele-tele, dan banyaknya peraturan daerah yang memberatkan investor adalah beberapa di antara faktor penghambat yang sering dikeluhkan.
Perkara semen lain lagi. Komoditas ini galibnya memang tidak untuk dijual ke luar negeri karena ongkos angkutnya mahal. Karena itu, bila ekspor meningkat dalam beberapa bulan terakhir, itu semata karena dipicu oleh remuknya pasar domestik. Sektor properti yang melambat dan proyek infrastruktur yang ngadat membuat produksi semen rata-rata menurun 5 persen dibanding tahun lalu. ”Kami terpaksa jual rugi dengan mengekspornya hingga 30 persen,” kata Erwin Aksa, Direktur Utama Semen Bosowa.
Erwin juga mengaku masih pesimistis, tapi penurunan patokan suku bunga oleh Bank Indonesia—dari 12,25 persen menjadi 11,75 persen—pada awal bulan ini memberi banyak peluang baru. Danareksa bahkan memprediksi, inflasi yang akan kembali ke level satu digit pada akhir tahun akan terus diikuti dengan penurunan tingkat bunga hingga 9,75 persen. ”Sangat mungkin tinggal 7 persen pada akhir tahun depan,” kata Yudhi.
Menurunnya suku bunga kredit biasanya akan mengerek naik tingkat konsumsi. Pasar rumah dan otomotif akan kembali marak. Karena itu, penjualan mobil yang dalam enam bulan pertama tahun ini mengkerut hingga hampir separuhnya dari tahun lalu, ”Agustus ini mungkin sudah akan meningkat lagi,” kata Johny Darmawan, Presiden Direktur Toyota Astra Motor.
Energi cadangan pendongkrak konsumsi juga masih melimpah di kantong pemerintah. Hingga akhir pekan pertama Juli lalu, pemerintah baru menghabiskan 23 persen dari Rp 122 triliun anggaran pembangunan di APBN 2006. Seperti yang sudah-sudah, belanja akan semakin royal di semester kedua.


No comments:

Post a Comment

Deskripsi Tinta Printer

 Deskripsi Umum Tinta Printer Tinta printer adalah cairan berwarna (atau hitam) yang digunakan dalam printer untuk membuat gambar atau teks ...

Blog Archive