Bagian ini membahas mengenai 1) hakekat dan hubungan antar
kebutuhan-kebutuhan, tujuan umum (goals) dan tujuan khusus (objektives);
2) proses yang mencakup tujuan instruksional khusus; 3) alasan atau argumentasi
mengenai penggunaan tujuan; dan 4) contoh-contoh tujuan umum dan tujuan khusus.
a) Tujuan umum (goals)
Tujuan umum (goals) ini diartikan sebagai pernyataan (statement)
umum yang berkenaan dengan tujuan program dan tujuan yang diturunkan dari
tujuan yang lebih tinggi (aims) yang didasarkan pada kebutuhan bahasa
dan kebutuhan situasi yang dirasakan.
Pada tujuan umum (goals) dalam hubungannya dengan kebutuhan yang
dirasakan, ada empat hal yang harus diingat, yakni bahwa: 1)
tujuan itu adalah satu statement umum dari tujuan program; 2)
tujuan biasanya berfokus pada program apa yang diharapkan untuk penyempurnaan
pada masa yang akan datang, dan apa yang harus dilakukan mahasiswa jika
mereka menunda program tersebut; 3) tujuan (goals) dapat
dianggap sebagai dasar pengembangan bagi tujuan-tujuan khusus (objektives)
yang dapat diamati (observable); 4) Tujuan (goals) harus
dipandang sebagai sesuatu yang permanen.
Dengan demikian, dari keempat hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
tujuan merupakan satu statement sebagai basic (dasar)
pengembangan pendeskripsian secara khusus tentang jenis-jenis prilaku belajar
yang akan diprogramkan. Hal ini dapat disebut juga tujuan instruksional.
b) Tujuan khusus (objektives)
Dalam konteks pengajaran (instruction), instructional objektives
diartikan sebagai satu pernyataan (statement) khusus yang
berkaitan dengan pengetahauan khusus (knowledge), perilaku (behavior),
dan keterampilan (skill), dimana si pembelajar diharapkan
mengetahui atau memahami akhir dari program belajar.
Untuk menjelaskan hal tersebut, berikut ini contoh tujuan khusus (objektives)
sebagai tujuan akademis di sekolah bahasa.
Pada akhir pelajaran, mahasiswa harus dapat :
a. memahami istilah seperti footnotes, bibliografi, halaman judul (title
page) dan lain-lain;
b. mengambil catatan khusus ( hal-hal penting) mengenai kesusasteraan.
c. menjawab pertanyaan-pertanyaan melalui ungkapan lisan.
Menurut Mager (1975) ada komponen pokok dalam merumuskan tujuan khusus yang
didasarkan pada esensi karakteristik yang spesifik, yakni 1) performansi
(tentang apa yang dapat dilakukan oleh si pembelajar), 2) kondisi (
kondisi yang penting mengenai performansi yang akan terjadi), 3) kriteria
( mengenai level atau kulitas performansi yang dapat diterima.
Kriteria yang esensial yang dimaksud oleh Mager adalah tujuan khusus (objectives)
mengenai “apakah mereka (siswa) itu dapat berkomunikasi?” Karena itu menurut
Mager ada tipe tujuan pembelajaran dengan lima unsur pokok yang
berkaitaan dengan pembelajaran bahasa, yakni subject, performance,
conditions, measure dan criterion. Subject merupakan satu
unsur yang sangat penting dalam memikirkan rumusan tujuan khusus. Subject ini
berkaitan dengan siswa (students), pembelajar (learners) atau partisipan (workshop
participants). Performansi berkenaan dengan pertanyaan “apa
yang dapat dilakukan oleh siswa (subject) pada akhir pelajaran?”. Tentu
saja fokus tujuan khusus bahasa harus berkaitan dengan apa yang dapat dilakukan
siswa (learners) dengan bahasa itu. Kata “dapat melakukan (can- do)”
harus menjadi sesuatu fokus dalam pengajaran bahasa. Istilah kondisi
(conditions) di sini dimaksudkan bahwa apa yang dapat dilakukan siswa
adalah berguna (useful), artinya bahwa untuk melakukan (to perform)
sesuatu itu akan terjadi apabila kondisi tersebut menunjang performansi yang
diharapkan. Sementara kunci dalam mengukur bagian dari sebuah tujuan khusus (objectives)
berkenaan dengan bagaimana performansi itu dapat diamati atau diuji. Artinya
bahwa mengukur (measure) adalah bagian dari sebuah tujuan khusus yang
berhubungan dengan bagaimana performansi itu dapat diobservasi. Karena itu alat
ukur yang dapat digunakan adalah berupa tes dengan bentuk tes pilihan berganda
(multiple choice), benar-salah (true-false), isian (matching)
dan lain-lain.
Kriteria pencapaian tujuan khusus ini dapat diambil sekitar 75% dari
seluruh jawaban yang ada. Artinya bahwa tujuan bisa dianggap tercapai apabila
kriterianya mencapai minimal 75 %. Apabila pencapaian tujuan 74%, prosentase
tersebut tidak dianggap kriteria minimal; dengan kata lain tujuan khusus
belum tercapai.
Ide tujuan khusus pembelajaran disusun dari keyakinan bahwa institusi
pendidikan dapat dibuat lebih efektif jika usaha manusia dapat dianalisis
secara ilmiah. Preparasi siswa untuk usaha-usaha yang beragam tersebut dapat
digambarkan secara sistematik dalam kurikulum sekolah. Penspesifikasian
aktivitas sekolah akan menjadi tujuan-tujuan pendidikan (Bobit, 1924).
Sementara Tyler (1949) memperhalus ide ini dengan mengusulkan garis pedoman
dalam mengembangkan tujuan-tujuan. Ia yakin bahwa tujuan pendidikan yang
dirumuskan dengan sangat baik akan merubah perilaku siswa secara baik
pula.
Hambatan yang dihadapi dalam upaya pengembangan kurikulum adalah bahwa
tidak setiap orang dalam bidang pengajaran bahasa sependapat dengan ide tentang
penggunaan tujuan-tujuan pembelajaran; seperti halnya melanjutkan rumusan dari
tujuan pembelajaran yang sangat umum menuju tujuan pembelajaran yang
sangat khusus. Nampaknya ini juga berlanjut pada sikap antara guru-guru bahasa
yang tidak menyukai apa yang disebut dengan tujuan instruksional.
Steiner (1975) berpendapat bahwa kebanyakan para pengembang kurikulum harus
menemukan satu kesepakatan antar hal-hal yang bersifat ekstrim. Keluhan utama
yang muncul dalam hal tujuan adalah 1) tujuan diasosiasikan dengan
psikologi behavior; 2) tujuan merupakan sesuatu yang tak dapat dikuantifikasikan;
3) tujuan mengabaikan pengajaran; 4) tujuan membatasi kebebasan guru, dan 5)
belajar bahasa secara sederhana tidak dapat diekspresikan ke dalam
tujuan-tujuan.
Kelima
hal teresebut menjadi hambatan bagi upaya pengembangan kurikulum yang
sebenarnya memerlukan komitmen yang sepaham dari para pelaksana kurikulum
termasuk di dalamnya para guru.
No comments:
Post a Comment