Gaya bahasa adalah teknik pengolahan
bahasa oleh pengarang dalam upaya menghasilkan karya sastra yang hidup dan
indah yang menyangkut kemahiran pengarang mempergunakan bahasa sebagai medium
fiksi. Pengolahan bahasa harus didukung oleh diksi (pemilihan kata) yang tepat.
Namun, diksi bukanlah satu-satunya hal yang membentuk gaya bahasa.
Gaya bahasa merupakan cara pengungkapan
yang khas bagi setiap pengarang. Gaya seorang pengarang tidak akan sama apabila
dibandingkan dengan gaya pengarang lainnya, karena pengarang tertentu selalu
menyajikan hal-hal yang berhubungan erat dengan selera pribadinya dan
kepekaannya terhadap segala sesuatu yang ada di sekitarnya.
Gaya bahasa dapat menciptakan suasana
yang berbeda-beda: berterus terang, satiris, simpatik, menjengkelkan,
emosional, dan sebagainya. Bahasa dapat menciptakan suasana yang tepat bagi
adegan seram, adegan cinta, adegan peperangan dan lain-lain. Gaya bahasa
cenderung dikelompokkan menjadi empat jenis yakni: penegasan, pertentangan,
perbandingan dan sindiran. Masing-masing jenis itu dapat diperinci lebih
lanjut, misalnya metafora, personifikasi, asosiasi, parallel untuk jenis gaya
bahsa perbandingan; ironisme; sarkasme, dan sinisme untuk jenis gaya bahasa
sindiran; plenolisme; repetisi, klimaks, antiklimaks, retoris, dll. Untuk jenis
gaya bahasa pertentangan. Penggunaan jenis gaya bahasa ini membantu pembaca
dalam mengidentifikasikan perwatakan tokoh. Tokoh yang
menggunakan gaya bahasa penegasan dalam ucapannya tentu akan berbeda wataknya
dengan tokoh ynag menggunakan gaya bahasa sindiran atau pertentangan dan
perbadingan.
Gaya bahasa yang digunakan di dalam
novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” menggunakan bahasa melayu. Di dalam novel tersebut juga
sering menggunakan bahasa pergaulan sehari-hari serta kalimat-kalimat yang
sulit dimengerti.
“…jadi adalah dia seorang yang telah mukim di Mekah.”, “saya telah beroleh
seorang sahabat yang mulia dan patut dicontoh.”, “itu senantiasa menjadi soal
kepada saya.”, “…rupanya engkau dalam duka cita yang amat sangat.”, “…karena
yang empunya.”, “…demikian nama jongos tua itu.”, “panggilan Nab, kasihan
awak!”, “jika dia bangun kelak, berilah bubur ini barang sesendok kecil. Baiklah Mak,” kata saya.”, “Bilamana pakansi puasa telah
datang,…”.
a. Gaya bahasa asosiasi
1) ...Merapi dengan kepundannya yang laksana disepuhi emas... (HAMKA, 2010:21).
2) ...setelah melayap laksana satu bayangan, ia pun hilang dan tidak akan kembali lagi...(HAMKA, 2010:39).
3) Bertahun tahun kami hidup laksana beradik berkakak... (HAMKA, 2010:48).
4) ...laksana seorang pendeta pertapa yang benci akan dunia leta ini. (HAMKA, 2010:48).
5) Surat itu saya pandang laksana sehelai azimat untuk penawar hatiku... (HAMKA, 2010:50).
6) Ia laksana setetes embun yang turun dari langit, bersih dan suci. (HAMKA, 2010:51).
7) Saya hidup laksana seorang buangan yang tersisih pada suatu padang belantara yang jauh, laksana seorang bersalah besar yang dibuang ke pulau, tiada manusia menengok, tidak ada kawan yang melihat, ditimpa haus dan dahaga. (HAMKA, 2010:53).
8) ...laksan seekor burung yang terlepas dari sangkarnya sepeninggalan yang empunya pergi. (HAMKA, 2010:56).
9) ...laksana lampu yang kehabisan minyak, bercerailah badanya dengan sukmanya. (hamka, 2010:64).
10) Bukit-bukit yang gundul itu tegak dengan teguhnya laksana pengawal yang menyaksikan dan menjagai orang haji yang berangsur pulang ke kampungnya masing-masing. (HAMKA, 2010:65).
11) ...air mata anakanda yang selama ini banyak tercurah, tidak bagai air yang tenggelam di pasir... (HAMKA, 2010:39).
b. Gaya bahasa hiperbolisme
1) ...terlompatlah air mata ibuku karena suka cita... (HAMKA, 2010:17).
2) ...dan kadang-kadang memberi melarat kepada jiwamu. (HAMKA, 2010:28).
3) ...saya karam dalam permenungan... (HAMKA, 2010:32).
4) ...air matanya kelihatan menggelenggang...(HAMKA, 2010:37).
5) ...saya patahkan hati anaknya yang hanya satu...(HAMKA, 2010:40).
6) ...saya telah karam di dalam khayal... (HAMKA, 2010:48).
7) ...dia telah meninggalkan saya dengan gelombang angan-angan... (HAMKA, 2010:50).
8) Dan kapalku memecahkan ombak dan gelombang menuju Tanah air yang tercinta. (HAMKA, 2010:66).
9) ...karam rasanya bumi ini saya pijakan... (HAMKA, 2010:38).
c. Gaya bahasa antithese
1) ...kita akan bertemu dengan yang tinggi dan yang rendah, kita akan bertemu dengan kekayaan dan kemiskinan, kesukaan dan kedukaan, tertawa dan ratap tangis. (HAMKA, 2010:6).
2) ...di antara kaya dan miskin, mulia dan papa... (HAMKA,2010:27).
3) ...tidak memperbeda-bedakan di antara raja-raja dengan orang minta-minta, tidak menyisihkan orang kaya denganorang miskin, orang hina dengan orang mulia... (HAMKA, 2010:28).
d. Gaya bahasa personifikasi
1) ...tiba-tiba datang ombak yang agak besar, dihapuskannya unggunan yang kami dirikan itu... (HAMKA, 2010:18).
2) ...dicelah-celah ombak yang memecah ke atas pasir... (HAMKA, 2010:32).
3) ...memperhatikan pergulatan ombak dan gelombang... (HAMKA, 2010:48).
e. Gaya bahasa repetisi
1) Masa itu sedang rimbun, bunga sedang kembang dan buah sedang lebat... (HAMKA, 2010:12).
2) ...Engkau tentu memikirkan juga, bahwa emas tak setara dengan loyang, sutra tak sebangsa dengan benang. (HAMKA, 2010:27).
f. Gaya bahasa klimaks
1) Senantiasa saya hitung pertukaran hari ke bulan dan dari bulan ke tahun... (HAMKA, 2010:22).
2) ...mereka itu mendakwakan bersaudara, berkarib, berfamili. (HAMKA, 2010:12).
g. Gaya bahasa euphimisme
1) ...bersama dengan kepergian nyawanya ke dalam alam suci... (HAMKA, 2010:31).
2) Ia telah memnggil orang yang dicintai-Nya kehadirat-Nya. (HAMKA, 2010:61).
h. Gaya bahasa metaphora
1) ...singgalang yang senantiasa diliputi kabut... (HAMKA, 2010:21).
9. Gaya bahasa pleonasme
1) ...badannya kurus lampai... (HAMKA, 2010:7).
No comments:
Post a Comment