Tuesday, February 4, 2020

Laporan Observasi Pembelajaran Matematika


Pendahuluan
Matematika  secara esensial merupakan proses berpikir yang melibatkan  konstruksi dan menerapkan abstraksi, serta menghubungkan jaringan ide-ide secara logis (Rutherford, 1989). Ide-ide tersebut seringkali muncul dari kebutuhan dalam pemecahan masalah-masalah sains, teknologi, dan kehidupan sehari-hari. Terdapat hubungan yang sangat erat antara matematika dan sains. Sains menyediakan masalah-masalah yang perlu diselidiki dan dianalisis dengan matematika, sementara itu matematika menyediakan alat  yang berguna dalam menganalisis data.
Seringkali  pola-pola abstrak yang dipelajari dalam matematika  sangat berguna dalam sains. Sains dan matematika keduanya mencoba untuk menemukan pola dan hubungan-hubungan umum. Kebermaknaan konsep-konsep matematika tampak jelas ketika digunakan dalam memecahkan masalah sains, teknologi dan kehidupan sehari-hari (Rutherford, 1989). Mengingat hal ini maka dalam pembelajaran matematika di sekolah, guru harus mengaitkan pelajaran matematika dengan mata pelajaran lainnya, teknologi, dan kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran matematika selama ini merupakan pelajaran yang berdiri sendiri (terpisah dari mata pelajaran lainnya). Pembelajaran matematika di sekolah sangat teoretik dan mekanistik (Sudiarta, dkk, 2005). Pembelajaran matematika hanya menekankan pada teori dan konsep-konsep matematika tanpa disertai dengan penerapannya pada berbagai bidang yang lain seperti ekonomi, sains, teknologi, dan kehidupan sehari-hari. Pembelajaran yang demikian menyebabkan siswa tidak mengetahui untuk apa mereka belajar matematika. Dengan kata lain pelajaran matematika dirasakan kurang bermakna bagi kehidupannya. Tidak jarang hal ini menyebabkan kurangnya minat siswa terhadap matematika. Untuk membuat pembelajaran matematika lebih bermakna bagi siswa, maka pengintegrasian mata pelajaran matematika dengan mata pelajaran yang lain merupakan hal yang sangat penting. Salah satunya adalah dengan mengembangkan pembelajaran matematika dan sains terpadu.
Dalam praktik, pembelajaran matematika biasanya dimulai dengan penjelasan konsep-konsep disertai dengan contoh-contoh, dilanjutkan dengan latihan soal-soal. Pendekatan pembelajaran ini didominasi oleh penyajian masalah matematika dalam bentuk tertutup (closed problem atau highly structured problem) yaitu permasalahan matematika yang dirumuskan sedemikan rupa, sehingga hanya memiliki satu jawaban yang benar dengan satu pemecahanannya. Di samping itu, permasalahan tertutup ini biasanya disajikan secara terstruktur dan eksplisit, mulai dengan yang diketahui, apa yang ditanyakan, dan konsep apa yang digunakan untuk memecahkan masalah itu. Ide-ide, konsep-konsep dan pola hubungan matematika serta strategi, teknik dan algoritma pemecahan masalah diberikan secara eksplisit, sehingga siswa dengan mudah dapat menebak solusinya. Pendekatan pembelajaran seperti ini cenderung hanya melatih keterampilan dasar matematika (mathematical basic skill) secara terbatas dan terisolasi (Sudiarta,dkk,  2005).
Di samping bersifat tertutup, soal-soal yang disajikan pada kebanyakan buku juga tidak mengaitkan matematika dengan konteks kehidupan siswa sehari-hari, sehingga pengajaran matematika menjadi jauh dari kehidupan siswa. Dengan kata lain, pelajaran matematika menjadi kurang bermakna. Kekurangbermaknaan pelajaran matematika bagi siswa dapat diduga sebagai penyebab rendahnya minat dan prestasi belajar matematika siswa.
Menyikapi kenyataan ini, perlu dilakukan reorientasi pembelajaran matematika dari yang hanya melatih keterampilan dasar matematika secara terbatas dan terisolasi menjadi pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat membangun dan mengembangkan ide-ide dan pemahaman konsep matematika secara luas dan mendalam, memahami keterkaitan matematika dengan bidang ilmu lainnya, serta mampu menerapkan pada berbagai persroalan hidup dan kehidupan.
Reorientasi dilakukan untuk mengembangkan kompetensi matematika siswa antara lain (1) menginvestigasi dan memecahkan masalah (problem possing and problem solving), (2) berargumentasi dan berkomunikasi secara matematik (mathematical reasoning and communication), (3) melakukan penemuan kembali (reinvention) dan membangun (construction) konsep matematika secara mandiri, (4) berpikir inovatif dan kreatif, yang melibatkan, instuisi, penemuan (discovery), prediksi (prediction), dan generalisasi (generalization) melalui pemikiran divergen dan orisinal, (5) memahami hubungan matematika dengan bidang-bidang ilmu lainnya, (6) menerapkan konsep-konsep matematika dalam persoalan-persolan sains maupun persoalan sehari-hari.
Salah satu model pembelajaran yang dipandang sesuai untuk mencapai kompetensi ini adalah model pembelajaran Matematika-Sains terpadu berorientasi pemecahan masalah open-ended argumentatif. Model ini berpotensi mengembangkan meningkatkan penguasaan konsep, keterampilan berpikir divergen, dan pengembangan pemecahan masalah (Alit, 2006). Pembelajaran sains dengan pendekatan terpadu dengan mata pelajaran lainnya (integrated approach) mempunyai beberapa keuntungan. Pertama,  sains akan menjadi body of knowledge yang  lebih koheren, bukan merupakan  kumpulan fakta yang tak saling berhubungan (Keig, dalam Peters & Gega, 2002). Kedua, pendekatan ini secara intrinsik bersifat kooperatif (Post, et al, dalam Peter & Gega, 2002).
Siswa yang terlibat dalam pembelajaran dengan pendekatan terpadu akan bekerja dalam kelompok kooperatif yang dapat meningkatkan interaksi antar siswa. Interaksi ini berpotensi untuk melibatkan siswa dalam mengklarifikasi, mempertahankan, mengelaborasi, dan mengevaluasi argumen (Tobin, Trippin, & Gallard, 1994). Ketiga, metode ini merupakan aplikasi langsung teori multiple intelegensi. Karena karakteristik peserta didik  (kognitif, afektif, dan psikomotorik) pada umumnya berbeda-beda, maka penerapan kurikulum yang terintegrasi adalah sangat penting terutama dalam mengembangkan berbagai pendekatan belajar yang memperhatikan perbedaan karakteristik individual tersebut. Keempat, pendekatan terpadu akan mendorong siswa untuk menggunakan berbagai gaya,dan  sumber belajar.
Setiap model pembelajaran yang diterapkan pada sains haruslah dapat mensinergikan pengetahuan ilmiah, keterampilan proses, dan sikap ilmiah. Siswa akan menghargai matematika dan sains apabila  mereka  merasa senang belajar matematika dan  sains dalam konteks yang menarik. Keterpaduan antara matematika dan sains, serta  bahasa dan ilmu sosial lainnya yang diwujudkan dengan pemilihan kegiatan yang kontekstual yang berkaitan dengan masalah-masalah yang dekat dengan kehidupan siswa akan mendorong sikap positif siswa terhadap sains dan disiplin ilmu lainnya (Peter & Gega, 2002).

Pengertian Matematika
Pengertian matematika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh tim penyusun kamus Pusat Pembinaan dan Perkembangan Bahasa disebutkan bahwa Matematika adalah ilmu tentang bilangan-bilangan, hubungan antara bilangan dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah bilangan (1991:637). Dalam buku Metodik Matematika, yang diterbitkan oleh Bagian Proyek Pengembangan Mutu Pendidikan Guru Agama Islam disebutkan bahwa matematika merupakan suatu pengetahuan yang di peroleh melalui belajar baik yang berkenaan dengan jumlah, ukuran-ukuran, perhitungan dan sebagainya yang dinyatakan dengan angka-angka atau simbol- simbol tertentu (1982/1983:31).
Banyak orang yang mempertukarkan antara Matematika dengan Aritmatika atau berhitung. Padahal, matematika memiliki cakupan yang lebih luas dari pada aritmatika. Aritmatika merupakan bagian dari Matematika. Dari berbagai bidang studi yang diajarkan disekolah, matematika merupakan bidang studi yang dianggap paling sulit oleh para siswa, baik yang tidak berkesulitan belajar dan lebih-lebih yang mempunyai kesulitan dalam belajarnya. Menurut Johnson dan Myklebust (1967:244), Matematika adalah simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan kuantitatif dan keruangan yaitu menunjukan kemampuan strategi dalam merumuskan, menafsirkan dan menyelesaikan model matematika dalam pemecahan masalah, sedangkan fungsi teoritisnya untuk memudahkan berfikir. Dalam hal ini menunjukan pemahaman konsep matematika yang dipelajari, mengkominikasikan gagasan dengan simbol, tabel, grafik, atau diagram untuk menjelaskan keadaan atau masalah.
Menurut Paling, matematika adalah suatu cara untuk menemukan suatu jawaban terhadap masalah yang dihadapi manusia, suatu cara menggunakan pengetahuan tentang menghitung dan yang paling penting adalah memikirkan dalam manusia itu sendiri dalam melihat dan menggunakan hubungan-hubungan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk menemukan jawaban atas tiap masalah yang dihadapinya, manusia menggunakan: 1) informasi yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi, 2) pengetahuan tentang bilangan, bentuk dan ukuran, 3) kemampuan untuk menghitung, dan 4) kemampuan untuk mengingat dan menggunakan hubungan-hubungan.
Dari berbagai pendapat tentang hakikat matematika yang telah dikemukakan menunjukkan bahwa secara kontemporer pandangan tentang hakikat matematika lebih ditekankan pada metodenya dari pada pokok persoalan matematika itu sendiri (Abdurrahman. 2003:252).

Karakteristik Pelajaran Matematika
Menurut bahasa latin Matematika berasal dari kata manthanein atau mathema yang berarti pelajar atau hal yang dipelajari. Sedangkan menurut bahasa Belanda disebut wiskunde atau ilmu pasti Kemudian menurut istilah, Somardyono mengemukakan bahwa matematika adalah produk dari pemikiran intelektual manusia. Ciri utama Matematika adalah penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep atau pernyataan diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya sehingga kaitan antar konsep atau pernyataan dalam Matematika bersifat konsisten. Namun demikian, pembelajaran dan pemahaman konsep dapat diawali secara induktif melalui pengalaman peristiwa nyata atau intuisi. Proses induktif-deduktif dapat digunakan untuk mempelajari konsep Matematika. Kegiatan dapat dimulai dengan beberapa contoh atau fakta yang teramati, membuat daftar sifat yang muncul (sebagai gejala), memperkirakan hasil baru yang diharapkan, yang kemudian dibuktikan secara deduktif. Dengan demikian, cara belajar induktif dan deduktif dapat digunakan dan sama-sama berperan penting dalam mempelajari Matematika.
Penerapan cara kerja Matematika diharapkan dapat membentuk sikap kritis, kreatif, jujur dan komunikatif pada siswa. Pembelajaran suatu pelajaran akan bermakna bagi siswa apabila guru mengetahui tentang objek yang diajarkannya sehingga dapat mengajarkan materi tersebut dengan penuh dinamika dan inovasi dalam proses pembelajarannya. Demikian halnya dengan pembelajaran matematika di Sekolah Dasar, guru SD perlu memahami bagaimana karakteristik matematika. Tidak mudah untuk mencapai kata sepakat diantara ahli matematika untuk mendefinisikan tentang matematika akan tetapi mereka semua sepakat bahwa sasaran dalam pembelajaran matematika tidaklah kongkret.
Matematika itu terorganisasikan dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan, definisi-definisi, aksioma-aksioma dan dalil-dalil yang dibuktikan kebenarannya, sehingga matematika disebut ilmu deduktif (Russefendi, 1989: 23). Matematika merupakan pola berfikir, pola mengorganisasikan pembuktian logic, pengetahuan struktur yang terorganisasi memuat sifat-sifat, teori-teori di buat secara deduktif berdasarkan unsur yang tidak didefinisikan, aksioma, sifat atau teori yang telah dibuktikan kebenarannya. (Johnson dan Rising, 1972 dalam Rusefendi, 1988: 2).
Matematika merupakan telaah tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berfikir, suatu seni, suatu bahasa dan suatu alat. (Reys, 1984. Dalam Rusefendi, 1988: 2). Matematika bukan pengetahuan tersendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi beradanya karena untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi dan alam. (Kline, 1973, dalam Rusefendi, 1988:2). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa matematika merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari struktur yang abstrak dan pola hubungan yang ada didalamnya. Ini berarti bahwa belajar matematika pada hakekatnya adalah belajar konsep, struktur konsep dan mencari hubungan antar konsep dan strukturnya. Ciri khas matematika yang deduktif aksiomatis ini harus diketahui oleh guru sehingga mereka dapat membelajarkan matematika dengan tepat, mulai dari konsep-konsep sederhana sampai yang kompleks.
Matematika yang merupakan ilmu deduktif, aksiomatik, formal, hirarkis, abstrak, bahasa symbol yang padat arti dansemacamnya adalah sebuah system matematika. Sistem matematika berisikan model-model yang dapat digunakan untuk mengatasi persoalan-persoalan nyata. Manfaat lain yang menonjol adalah matematika dapat membentuk pola pikir orang yang mempelajarinya menjadi pola piker matematis yang sistematis, logis, kritis dengan penuh kecermatan. Selain mengetahui karakteristik matematika, guru SD perlu juga mengetahui taraf perkembangan siswa SD secara baik dengan mempertimbangkan karakteristik ilmu matematika dan siswa yang belajar.
Anak usia SD sedang mengalami perkembangan dalam tingkat berfikirnya. Taraf berfikirnya belum formal dan relatif masih kongkret, bahkan untuk sebagian anak SD kelas rendah masih ada yang pada tahap pra-kongkret belum memahami hokum kekekalan, sehingga sulit mengerti konsep-konsep operasi, seperti penjumlahan, pengurangan, pembagian, dan perkalian. Sedangkan anak SD pada tahap berfikir kongkret sudah bisa memahami hokum kekekalan, tetapi belum bisa diajak untuk berfikir secara deduktif sehingga pembuktian dalil-dalil matematika sulit untuk dimengerti oleh siswa. Siswa SD kelas atas (lima dan enam, dengan usia 11 tahun ke atas) sudah pada tahap berfikir formal. Siswa ini sudah bisa berfikir secara deduktif.
Dari uraian di atas sudah jelas adanya perbedaan karakteristik matematika dan siswa SD. Oleh karenanya diperlukan adanya kemampuan khusus dari seorang guru untuk menjembatani antara dunia anak SD yang sebagian besar belum berfikir secara deduktif untuk mengerti ilmu matematika yang bersifat deduktif. Apa yang dianggap logis dan jelas oleh para ahli matematika dan apa yang dapatditerima oleh orang yang berhasil mempelajarinya (termasuk guru). Bisa jadi merupakan hal yang membingungkan dan tidak masuk akal bagi siswa SD.
Problematika pembelajaran matematika SD senantiasa menarik diperbincangkan mengingat kegunaannya yang penting untuk mengembangkan pola piker dan prasyarat untuk mempelajari ilmu-ilmu eksak lainnya, tetapi masih dirasakan sulit untuk diajarkan secara mudah oleh guru dan sulit diterima sepenuhnya oleh siswa SD. Kegunaan matematika bagi siswa SD adalah sesuatu yang jelas yang tidak perlu dipersoalkan lagi, terlebih pada era pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini. Hal yang terpenting untuk segera dipecahkan dalam masalah pembelajaran matematika SD adalah bagaimanakah mengajarkan matematika sehingga guru dan siswa senang dalam proses belajar mengajar?

Pengajaran Matematika Di SD
Pengajaran matematika adalah proses membantu siswa mempelajari matematika dengan menggunakan perencanaan yang tepat, mewujudkannya sesuai kondisi yang tepat pula sehingga tercapai hasil yang memuaskan. Hasil tersebut merupakan tujuan yang telah dirumuskan yang merupakan akibat dari interaksi antara guru yang mengajar dan murid yang belajar matematika (Sudjana. 1998:43). Untuk mencapai tujuan pembelajaran matematika secara tuntas guru harus bisa merencanakan pembelajaran dengan tepat, mewujudkannya dalam kondisi yang tepat, metode mengajar yang tepat, serta didukung oleh media pembelajaran yang tepat pula.
Pendekatan dan strategi pembelajaran hendaknya mengikuti kaidah pedagogi secara umum, yaitu pembelajaran diawali dari kongkret ke abstrak, dari sederhana kekompleks, dari yang mudah kesulit dengan menggunakan berbagai sumber belajar. Belajar akan bermakna bagi peserta didik apabila mereka aktif dengan berbagai cara untuk mengkonstruksi atau membangun sendiri pengetahuannya. Dengan demikian, suatu rumus, konsep atau prinsip dalam matematika, seyogyanya dapat ditemukan oleh peserta didik dengan bimbingan guru.
Pembelajaran yang mengkondisikan peserta didik untuk menemukan kembali membuat mereka terbiasa melakukan penyelidikan dan menemukan  sesuatu. Secara khusus, pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran matematika. Masalah tak harus tertutup atau mempunyai solusi tunggal, tetapi dapat terbuka atau dicoba diselesaikan dengan berbagai cara misalnya dengan mengumpulkan dan menganalisis data, dengan metode coba-coba atau dengan cara induktif dan deduktif. Masalah matematika dapat diklasifikasikan kedalam dua jenis, yaitu:
1.      Soal mencari (Problem to find), yaitu mencari, menentukan atau mendapatkan nilai atau objek tertentu yang tidak diketahui dalam soal dan memberi kondisi atau syarat yang sesuai dengan soal. Objek yang ditanyakan atau dicari, syarat-syarat yang memenuhi soal, data atau informasi yang diberikan merupakan bagian terpenting atau pokok dari sebuah soal mencari dan harus dipahami serta dikenali dengan baik pada saat awal memecahkan masalah..
2.      Soal membuktikan (problem to prove), yaitu prosedur untuk menentukan apakah suatu pernyataan benar atau tidak benar. Soal membuktikan terdiri atas bagian hipotesis dan kesimpulan. Pembuktian dilakukan dengan membuat atau memproses pernyataan yang logis dari hipotesis menuju kesimpulan, sedangkan untuk membuktikan bahwa suatu pernyataan tidak  benar cukup diberikan contoh penyangkalnya sehingga pernyataan tersebut menjadi tidak benar (Departemen Agama RI, 2004:260).
Berbagai ketrampilan diperlukan untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah antara lain:
1.          Memahami soal: memahami dan mengidentifikasi apa fakta atau informasi yang diberikan, apa yang ditanyakan, diminta untuk dicari atau dibuktikan.
2.          Memilih pendekatan atau strategi pemecahan. Misalnya menggambarkan masalah dalam bentuk diagram, memilih dan menggunakan pengetahuan aljabar yang diketahui dan konsep yang relevan untuk membentuk model atau kalimat matematika.
3.          Menyelesaikan model: melakukan operasi hitung secara benar dalam menerapkan strategi untuk mendapatkan solusi dan masalah.
4.          Menafsirkan solusi yaitu memperkirakan dan memeriksa kebenaran jawaban, masuk akalnya jawaban, dan apakah memberikan pemecahan terhadap masalah semula (Departemen Agama RI, 2004:264).

Dalam pembelajaran, guru dapat mengkombinasikan berbagai strategi belajar mengajar di dalam kelas, seperti:
1.      Ekspositori dan ceramah, yaitu suatu metode mengajar dalam penyajian pelajaran yang dilakukan oleh guru dengan penuturan atau penjelasan lisan secara langsung terhadap siswa. Metode ini tidak efektif sehingga perlu diimbangi dengan bentuk kegiatan lainnya.
2.      Penyelidikan atau penemuan sendiri (inquiry), melatih peserta didik untuk menemukan konsep dan menyelesaikan sendiri berbagai konsep dan pemecahan masalah matematika, misalnya menyelidiki pola, meyesuaikan soal dengan berbagai cara memecahkan soal-soal yang dibuat sendiri.
3.      Pengelolaan peserta didik, kerja perseorangan mendorong peserta didik untuk belajar sendiri, kelompok kecil dapat dilakukan dengan bekerja secara bersama-sama.
4.      Penugasan, misalnya memberi tugas kepada peserta didik untuk mencari sumber informasi keperpustakaan, memproduksi sumber belajar sendiri, menerapkan sistem kelompok kerja peserta didik dan menata bentuk kelas yang sesuai.
5.      Permainan, yaitu mengenalkan atau menggunakan konsep matematika melalui berbagai bentuk permainan (Departemen Agama RI, 2004:265).

Metode ini digunakan agar siswa dalam belajar tidak mengalami kejenuhan. Setiap madrasah mempunyai ciri khas lingkungan belajar, kelompok peserta didik, dan orang tua (sebagai anggota masyarakat) yang berbeda-beda. Untuk itu para guru diharapkan mengenali hal ini untuk bisa menetapkan strategi pembelajaran, organisasi kelas, dan pemanfaatan sumber belajar yang efektif.

Hambatan Belajar
Pada saat proses belajar dan pembelajaran berlangsung pasti ada kalanya seorang individu terutama siswa mengalami kendala dalam proses penerimaannya. Kendala tersebut ditimbulkan oleh adanya hambatan baik yang berasal dari luar maupun dari dalam yang menyebabkan terhambatnya dalam mencapai sutu tujuan. Hambatan adalah suatu hal yang ikut menyebabkan kesulitan dalam proses belajar dan pembelajaran, menurut Moru bahwa hambatan adalah sesuatu yang menghalangi pembelajaran siswa. Pengertian Hambatan adalah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “Hambatan adalah halangan atau rintangan”. Hambatan memiliki arti yang sangat penting dalam setiap melaksanakan suatu tugas atau pekerjaan. Suatu tugas atau pekerjaan tidak akan terlaksana apabila ada suatu hambatan yang mengganggu pekerjaan tersebut. Hambatan merupakan keadaan yang dapat menyebabkan pelaksanaan terganggu dan tidak terlaksana dengan baik. Setiap manusia selalu mempunyai hambatan dalam kehidupan sehari-hari, baik dari diri manusia itu sendiri ataupun dari luar manusia.
Brousseau mengemukakan tiga faktor penyebab dari hambatan belajar, yaitu:
1.      Hambatan Ontogeni (kesiapan mental belajar), terjadinya hambatan ontogeni ini karena adanya pembatasan konsep pembelajaran pada saat perkembangan anak.
2.      Hambatan Didaktis (akibat pembelajaran guru), hambatan didaktis dalam pembelajaran ini berasal dari pemberian konsep yang salah ataupun pengajaran konsep yang tidak sesuai dengan anak atau siswa.
3.      Hambatan Epistemologi (pengetahuan siswa yang memiliki konteks aplikasi yang terbatas),
Hambatan epistemologi ini pada hakekatnya merupakan pengetahuan seseorang yang hanya terbatas pada konteks tertentu. Dimana jika seseorang dihadapkan pada konteks yang berbeda, maka pengetahuan yang dimiliki menjadi tidak bisa digunakan atau mengalami kesulitan untuk menggunakannya, misalnya bila seorang siswa biasa mengerjakan soal latihan, apanila diberikan soal berbentuk lain siswa akan mengalami kesulitan mengerjakannya.
Hercovis menjelaskan bahwa “Hambatan epistimologi muncul sebagai konsekuensi dari sifat konsep itu sendiri, dimana perkembangan pengetahuan ilmiah seorang individu atau siswa mengalami kendala kognitif”.21 Cornu juga berpendapat bahwa mempelajari sejarah perkembangan konsep matematika dapat mengindikasikan adanya hambatan epistemologi, selain itu menurut Doroux epistemological obstacle pada hakekatnya merupakan pengetahuan seseorang yang hanya terbatas pada konteks tertentu, jika orang tersebut atau siswa dihadapkan pada konteks yang berbeda maka pengetahuan yang dimiliki tidak dapat digunakan, sedangkan Bishop berpendapat bahwa hambatan epistemologi adalah pengetahuan yang berguna dalam memecahkan jenis masalah tertentu, akan tetapi jika diaplikasikan pada maslah yang baru akan muncul sebuah kontradiksi. dari pendapat berbagai alahi diatas tentang hambatan epistemologi , maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hambatan epistemologis adalah pengetahuan seseorang yang berguana dalam memecahkan jenis masalah namun hanya terbatas pada konteks tertentu, dan jika dihadapkan pada konteks yang berbeda maka akam mengalami kesulitan dalam pengaplikasiannya.
Hambatan epistemologi memiliki keterkaitan dengan hambatan kognitif, didaktis, dan ontogeni. Hambatan epistemologi ini dapat menyebabkan stagnasi pengetahuan ilmiah, dan bahkan penurunan pengetahuan seseorang dimana hambatan ini dapat terjadi karena adanya lompatan informasi. Terdapat beberapa jenis hambatan epistemologi menurut Hercovics yang diidentifikasi dari karya Bachelard, yaitu:
1. kecenderungan untuk mengandalakan pengalaman intuitif yang menipu,
2. kecenderungan untuk mengeneralisasi, dan
3. hambatan yang disebabkan oleh pemakaian bahasa alami.


METODE OBSERVASI
Metode yang digunakan dalam observasi ini menggunakan metode kualitatif. Observasi kualitatif dilakukan untuk merumuskan atau menyusun suatu desain didaktis yang didasarkan pada hasil observasi terhadap learning obstacles siswa dalam proses pembelajaran yang telah berlangsung sebelumnya dan disesuaikan dengan karakteristik siswa. Langkah-langkah formal dalam observasi desain didaktis (Suryadi, 2011) dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan metode deskriptif ini adalah sebagai berikut.
1.      Analisis situasi didaktis sebelum pembelajaran yang diwujudkan berupa Desain Hipotesis termasuk ADP.
2.      Analisis metapedadidaktik.
3.      Analisis retrosfektif yakni analisis yang mengaitkan hasil analisis situasi didaktis hipotesis dengan hasil analisis metapedadidaktik.
Dalam observasi ini, langkah-langkah formal tersebut hanya sampai pada langkah formal pertama, yaitu analisis situasi didaktis (dalam hal ini learning obstacles). Lokasi observasi bertempat di SDN 3 Mekarsari. Subjek observasi adalah siswa kelas 5 yang berjumlah 18 orang. Penentuan lokasi observasi berdasarkan karakteristik yang telah ditentukan oleh peneliti. Sedangkan penentuan kelas yang terpilih sebagai subjek observasi berdasarkan pertimbangan guru dan sekolah yang dijadikan tempat observasi.
Data utama yang dikumpulkan dalam observasi ini adalah data dari hasil pelaksanaan tes sehingga soal dan jawaban siswa merupakan data-data yang dianalisis. Dalam observasi ini, soal-soal yang disajikan pada saat tes tertulis bukanlah sebagai “perantara” yang menerjamahkan fakta ke dalam data (angka-angka) sebagaimana dalam observasi nonkualitatif. Sumber data utama tersebut berasal dari siswa yang mengikuti tes tertulis. Selain dengan tes tertulis juga dilakukan wawancara terhadap siswa, serta studi dokumentasi.
Pengumpulan data dilakukan dengan triangulasi. Dalam observasi ini akan digunakan tiangulasi sumber dan metode, sehingga data yang diperoleh akan lebih konsisten, tuntas, dan pasti (Sugiyono, 2011: 330).
Teknik pengumpulan data dalam observasi ini dilakukan dengan triangulasi yaitu gabungan dari tes tertulis, wawancara dan studi dokumentasi, dengan sumber data siswa, guru dan juga buku ajar. Analisis data yang dilakukan menggunakan metode perbandingan tetap (constant comparative method) (Moleong, 2007: 288). Secara umum proses analisis data tersebut mencakup: reduksi data, kategorisasi data, sintesisasi, diakhiri dengan hipotesis kerja.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Data ini diperoleh dari siswa setelah menyelesaikan tes tertulis dari instrumen tes yang telah disusun, berupa 4 macam materi soal yang yang harus diselesaikan dalam durasi waktu 120 menit, hasil wawancara dan studi dokumen. Materi soal mengenai pecahan yang terdiri dari Penjumlahan, Pengurangan, Perkalian dan Pembagian Pecahan. Data yang diperoleh berupa lembar jawaban tertulis yang merupakan hasil pengerjaan siswa mengenai soal yang telah diberikan, skrip wawancara dan hasil studi dokumen. Selanjutnya data ini dianalisis untuk mengetahui kesulitan-kesulitan yang dialami oleh siswa dengan melihat kesalahan-kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal dan juga berdasarkan hasil waancara dengan guru serta hasil studi dokumen. Banyaknya siswa yang mangalami kesulitan (tidak menguasai jenis kemampuan yang diperlukan untuk menjawab soal) akan disajikan dalam bentuk persentase (%) dari banyaknya siswa yang mengikuti ujian tes tertulis pada saat dilaksanakan observasi.
Tabel Hasil Observasi 
No
Materi Soal
Jumlah Benar
Persentase Benar
1
Penjumlahan Pecahan
10
56%
2
Pengurangan Pecahan
9
50%
3
Perkalian Pecahan
12
67%
4
Pembagian Pecahan
5
28%

Jumlah
36
50%

Dalam menyelesaikan soal penjumlahan dan pengurangan dengan penyebut yang sama siswa tidak mengalami kesulitan ketika diminta menyelesaikannya. Namun siswa mengalami kesulitan ketika menentukan hasilnya apabila penyebutnya tidak sama. Kesalahan yang umum terjadi ketika menentukan hasil penjumlahan dan pengurangan, siswa langsung menentukan hasilnya. Peneliti menduga kesulitan ini terjadi karena kurangnya kesiapan belajar (ontogenic obstacle), siswa cenderung ceroboh dalam mengerjakan soal seperti ini.
Siswa tidak dapat menyelesaikan soal pecahan tentang pembagian dengan baik. Kondisi ini terjadi disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: (1) siswa tidak mengetahui konsep apa saja yang diperlukan dalam menyelesikan soal seperti itu; (2) siswa tidak memahami secara utuh konsep pembagian pecahan; (3) siswa tidak memahami konsep pecahan; (4) siswa lemah dalam melakukan operasi hitung aljabar; (5) siswa salah melakukan perhitungan. Peneliti menduga kesulitan-kesulitan ini disebabkan oleh adanya ontogenic obstacle yaitu kesulitan belajar yang disebabkan oleh kurangnya kesiapan belajar atau kurangnya aspek psikologi. Hal ini diperkuat ketika peneliti melakukan wawancara terhadap beberapa siswa yang tidak bisa menjelaskan konsep pembagian pecahan dan mereka terlihat bingung ketika ditanya bagaimana cara menyelesaikan soal. Selain itu peneliti juga menduga adanya epistemological obstacle, beberapa dari mereka menyatakan bahwa contoh soal atau soal yang biasa mereka kerjakan tidak berupa soal pembagian pecahan, tetapi hanya perkalian pecahan.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh beberapa hal yang dapat disimpulkan tentang analisis hambatan belajar (learning Obstacle) siswa SD Kelas 5 pada materi Pecahan. Adapun kesimpulan yang diperoleh yaitu: (1) Siswa tidak mengalami hambatan belajar untuk memahami penjumlahan dan perkalian pecahan, tetapi siswa mengalami hambatan ontogenic obstacle dan didactical obstacle dalam memahami pengurangan dan pembagian; (2) Dalam menyelesaikan soal penjumlahan dan penguranga, siswa tidak mengalami kesulitan ketika diminta menentukan hasilnya, namun siswa mengalami ontogenic obstacle ketika menentukan pembagian pecahan. (3). Siswa mengalami hambatan ontogenic obstacle, epistemological obstacle dan didactical obstacle dalam menyelesaikan soal dengan pecahan dalam bentuk campuran.
Dari hasil observasi terlihat Kelemahan siswa yaitu sulit munculnya kemampuan belajar yang benar benar berasal dari kemampuan siswa sedangkan Kelebihannya  siswa mau belajar karena atas kemampuan sendiri untuk berprestasi dalam belajar.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Mulyono. 2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Ahmadi, Abu dan Widodo Supriyono. 2004. Psikologi Belajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Alit, Mahisa. 2004. Studi Komparatif Tiga Model Eksperimen terhadap Penguasaan Konsep-Konsep dan Keterampilan Calon Guru. Cirebon: SDN 1 Bungko

Arifin Martoenoes. 2006. Startegi Dan Model Belajar Mengajar. Makassar : Badan Penerbit UNM Makassar.

Brosseau, G. 1997. Theory of Didactical Situations in Mathematics. New York: Kluwer Academic Publisher.

Departemen Agama RI. 2004. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Matematika Madrasah Aliyah. Jakarta : Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam.

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta : Rineka Cipta.

Sudjana, Nana. 1998. Dasar- dasar Proses Belajar Mengajar Cet. IV. Bandung: Sinar baru Algesindo.

Suherman, dkk. 2004. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA

Sukmara. 2003. Implementasi Program Life Skill dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi pada Jalur Sekolah. Bandung: Mughni Sejahtera.
Sumantri dan Permana. (1998). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Depdikbud.

Suryadi, D. 2011. Kesetaraan Didactical Design Research (DDR) Dengan Matematika Realistik Dalam Pengembangan Pembelajaran Matematika, Makalah pada Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

Suryadi, D. 2016. Didactical Design Research (DDR): Upaya membangun kemandirian Berpikir Melalui Penelitian Pembelajaran. Makalah pada Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNSWAGATI, 6 Februari 2016.

Suwangsih, Erna dan Tiurlina. (2006). Model Pembelajaran Matematika. Bandung: UPI PRESS.


No comments:

Post a Comment

Mekanisme Kontraksi Otot

  Pada tingkat molekular kontraksi otot adalah serangkaian peristiwa fisiokimia antara filamen aktin dan myosin.Kontraksi otot terjadi per...

Blog Archive