Pendahuluan
Matematika secara esensial merupakan proses berpikir
yang melibatkan konstruksi dan
menerapkan abstraksi, serta menghubungkan jaringan ide-ide secara logis
(Rutherford, 1989). Ide-ide tersebut seringkali muncul dari kebutuhan dalam
pemecahan masalah-masalah sains, teknologi, dan kehidupan sehari-hari. Terdapat
hubungan yang sangat erat antara matematika dan sains. Sains menyediakan
masalah-masalah yang perlu diselidiki dan dianalisis dengan matematika,
sementara itu matematika menyediakan alat
yang berguna dalam menganalisis data.
Seringkali pola-pola abstrak yang dipelajari dalam
matematika sangat berguna dalam sains.
Sains dan matematika keduanya mencoba untuk menemukan pola dan
hubungan-hubungan umum. Kebermaknaan konsep-konsep matematika tampak jelas
ketika digunakan dalam memecahkan masalah sains, teknologi dan kehidupan
sehari-hari (Rutherford, 1989). Mengingat hal ini maka dalam pembelajaran
matematika di sekolah, guru harus mengaitkan pelajaran matematika dengan mata
pelajaran lainnya, teknologi, dan kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran matematika
selama ini merupakan pelajaran yang berdiri sendiri (terpisah dari mata
pelajaran lainnya). Pembelajaran matematika di sekolah sangat teoretik dan
mekanistik (Sudiarta, dkk, 2005). Pembelajaran matematika hanya menekankan pada
teori dan konsep-konsep matematika tanpa disertai dengan penerapannya pada
berbagai bidang yang lain seperti ekonomi, sains, teknologi, dan kehidupan
sehari-hari. Pembelajaran yang demikian menyebabkan siswa tidak mengetahui
untuk apa mereka belajar matematika. Dengan kata lain pelajaran matematika
dirasakan kurang bermakna bagi kehidupannya. Tidak jarang hal ini menyebabkan
kurangnya minat siswa terhadap matematika. Untuk membuat pembelajaran
matematika lebih bermakna bagi siswa, maka pengintegrasian mata pelajaran
matematika dengan mata pelajaran yang lain merupakan hal yang sangat penting.
Salah satunya adalah dengan mengembangkan pembelajaran matematika dan sains
terpadu.
Dalam praktik,
pembelajaran matematika biasanya dimulai dengan penjelasan konsep-konsep
disertai dengan contoh-contoh, dilanjutkan dengan latihan soal-soal. Pendekatan
pembelajaran ini didominasi oleh penyajian masalah matematika dalam bentuk
tertutup (closed problem atau highly structured problem) yaitu permasalahan
matematika yang dirumuskan sedemikan rupa, sehingga hanya memiliki satu jawaban
yang benar dengan satu pemecahanannya. Di samping itu, permasalahan tertutup
ini biasanya disajikan secara terstruktur dan eksplisit, mulai dengan yang
diketahui, apa yang ditanyakan, dan konsep apa yang digunakan untuk memecahkan
masalah itu. Ide-ide, konsep-konsep dan pola hubungan matematika serta
strategi, teknik dan algoritma pemecahan masalah diberikan secara eksplisit,
sehingga siswa dengan mudah dapat menebak solusinya. Pendekatan pembelajaran
seperti ini cenderung hanya melatih keterampilan dasar matematika (mathematical
basic skill) secara terbatas dan terisolasi (Sudiarta,dkk, 2005).
Di samping bersifat
tertutup, soal-soal yang disajikan pada kebanyakan buku juga tidak mengaitkan
matematika dengan konteks kehidupan siswa sehari-hari, sehingga pengajaran
matematika menjadi jauh dari kehidupan siswa. Dengan kata lain, pelajaran
matematika menjadi kurang bermakna. Kekurangbermaknaan pelajaran matematika bagi
siswa dapat diduga sebagai penyebab rendahnya minat dan prestasi belajar
matematika siswa.
Menyikapi kenyataan
ini, perlu dilakukan reorientasi pembelajaran matematika dari yang hanya
melatih keterampilan dasar matematika secara terbatas dan terisolasi menjadi
pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat membangun dan mengembangkan ide-ide
dan pemahaman konsep matematika secara luas dan mendalam, memahami keterkaitan
matematika dengan bidang ilmu lainnya, serta mampu menerapkan pada berbagai
persroalan hidup dan kehidupan.
Reorientasi dilakukan
untuk mengembangkan kompetensi matematika siswa antara lain (1) menginvestigasi
dan memecahkan masalah (problem possing and problem solving), (2)
berargumentasi dan berkomunikasi secara matematik (mathematical reasoning and
communication), (3) melakukan penemuan kembali (reinvention) dan membangun
(construction) konsep matematika secara mandiri, (4) berpikir inovatif dan
kreatif, yang melibatkan, instuisi, penemuan (discovery), prediksi
(prediction), dan generalisasi (generalization) melalui pemikiran divergen dan
orisinal, (5) memahami hubungan matematika dengan bidang-bidang ilmu lainnya,
(6) menerapkan konsep-konsep matematika dalam persoalan-persolan sains maupun
persoalan sehari-hari.
Salah satu model
pembelajaran yang dipandang sesuai untuk mencapai kompetensi ini adalah model
pembelajaran Matematika-Sains terpadu berorientasi pemecahan masalah open-ended
argumentatif. Model ini berpotensi mengembangkan meningkatkan penguasaan
konsep, keterampilan berpikir divergen, dan pengembangan pemecahan masalah
(Alit, 2006). Pembelajaran sains dengan pendekatan terpadu dengan mata
pelajaran lainnya (integrated approach) mempunyai beberapa keuntungan.
Pertama, sains akan menjadi body of
knowledge yang lebih koheren, bukan merupakan kumpulan fakta yang tak saling berhubungan
(Keig, dalam Peters & Gega, 2002). Kedua, pendekatan ini secara intrinsik
bersifat kooperatif (Post, et al, dalam Peter & Gega, 2002).
Siswa yang terlibat
dalam pembelajaran dengan pendekatan terpadu akan bekerja dalam kelompok
kooperatif yang dapat meningkatkan interaksi antar siswa. Interaksi ini
berpotensi untuk melibatkan siswa dalam mengklarifikasi, mempertahankan,
mengelaborasi, dan mengevaluasi argumen (Tobin, Trippin, & Gallard, 1994).
Ketiga, metode ini merupakan aplikasi langsung teori multiple intelegensi.
Karena karakteristik peserta didik
(kognitif, afektif, dan psikomotorik) pada umumnya berbeda-beda, maka
penerapan kurikulum yang terintegrasi adalah sangat penting terutama dalam
mengembangkan berbagai pendekatan belajar yang memperhatikan perbedaan
karakteristik individual tersebut. Keempat, pendekatan terpadu akan mendorong
siswa untuk menggunakan berbagai gaya,dan
sumber belajar.
Setiap model
pembelajaran yang diterapkan pada sains haruslah dapat mensinergikan
pengetahuan ilmiah, keterampilan proses, dan sikap ilmiah. Siswa akan
menghargai matematika dan sains apabila
mereka merasa senang belajar
matematika dan sains dalam konteks yang
menarik. Keterpaduan antara matematika dan sains, serta bahasa dan ilmu sosial lainnya yang
diwujudkan dengan pemilihan kegiatan yang kontekstual yang berkaitan dengan
masalah-masalah yang dekat dengan kehidupan siswa akan mendorong sikap positif
siswa terhadap sains dan disiplin ilmu lainnya (Peter & Gega, 2002).
Pengertian
Matematika
Pengertian matematika
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh tim penyusun kamus Pusat Pembinaan dan
Perkembangan Bahasa disebutkan bahwa Matematika adalah ilmu tentang
bilangan-bilangan, hubungan antara bilangan dan prosedur operasional yang
digunakan dalam penyelesaian masalah bilangan (1991:637). Dalam buku Metodik
Matematika, yang diterbitkan oleh Bagian Proyek Pengembangan Mutu Pendidikan
Guru Agama Islam disebutkan bahwa matematika merupakan suatu pengetahuan yang
di peroleh melalui belajar baik yang berkenaan dengan jumlah, ukuran-ukuran,
perhitungan dan sebagainya yang dinyatakan dengan angka-angka atau simbol-
simbol tertentu (1982/1983:31).
Banyak orang yang
mempertukarkan antara Matematika dengan Aritmatika atau berhitung. Padahal,
matematika memiliki cakupan yang lebih luas dari pada aritmatika. Aritmatika
merupakan bagian dari Matematika. Dari berbagai bidang studi yang diajarkan
disekolah, matematika merupakan bidang studi yang dianggap paling sulit oleh
para siswa, baik yang tidak berkesulitan belajar dan lebih-lebih yang mempunyai
kesulitan dalam belajarnya. Menurut Johnson dan Myklebust (1967:244),
Matematika adalah simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan
hubungan kuantitatif dan keruangan yaitu menunjukan kemampuan strategi dalam
merumuskan, menafsirkan dan menyelesaikan model matematika dalam pemecahan
masalah, sedangkan fungsi teoritisnya untuk memudahkan berfikir. Dalam hal ini
menunjukan pemahaman konsep matematika yang dipelajari, mengkominikasikan
gagasan dengan simbol, tabel, grafik, atau diagram untuk menjelaskan keadaan
atau masalah.
Menurut Paling,
matematika adalah suatu cara untuk menemukan suatu jawaban terhadap masalah
yang dihadapi manusia, suatu cara menggunakan pengetahuan tentang menghitung
dan yang paling penting adalah memikirkan dalam manusia itu sendiri dalam
melihat dan menggunakan hubungan-hubungan. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa untuk menemukan jawaban atas tiap masalah yang dihadapinya, manusia
menggunakan: 1) informasi yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi, 2)
pengetahuan tentang bilangan, bentuk dan ukuran, 3) kemampuan untuk menghitung,
dan 4) kemampuan untuk mengingat dan menggunakan hubungan-hubungan.
Dari berbagai pendapat
tentang hakikat matematika yang telah dikemukakan menunjukkan bahwa secara
kontemporer pandangan tentang hakikat matematika lebih ditekankan pada
metodenya dari pada pokok persoalan matematika itu sendiri (Abdurrahman.
2003:252).
Karakteristik
Pelajaran Matematika
Menurut bahasa latin Matematika
berasal dari kata manthanein atau mathema yang berarti pelajar atau hal yang
dipelajari. Sedangkan menurut bahasa Belanda disebut wiskunde atau ilmu pasti
Kemudian menurut istilah, Somardyono mengemukakan bahwa matematika adalah
produk dari pemikiran intelektual manusia. Ciri utama Matematika adalah
penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep atau pernyataan diperoleh
sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya sehingga kaitan antar konsep
atau pernyataan dalam Matematika bersifat konsisten. Namun demikian,
pembelajaran dan pemahaman konsep dapat diawali secara induktif melalui
pengalaman peristiwa nyata atau intuisi. Proses induktif-deduktif dapat
digunakan untuk mempelajari konsep Matematika. Kegiatan dapat dimulai dengan
beberapa contoh atau fakta yang teramati, membuat daftar sifat yang muncul
(sebagai gejala), memperkirakan hasil baru yang diharapkan, yang kemudian
dibuktikan secara deduktif. Dengan demikian, cara belajar induktif dan deduktif
dapat digunakan dan sama-sama berperan penting dalam mempelajari Matematika.
Penerapan cara kerja
Matematika diharapkan dapat membentuk sikap kritis, kreatif, jujur dan
komunikatif pada siswa. Pembelajaran suatu pelajaran akan bermakna bagi siswa
apabila guru mengetahui tentang objek yang diajarkannya sehingga dapat
mengajarkan materi tersebut dengan penuh dinamika dan inovasi dalam proses
pembelajarannya. Demikian halnya dengan pembelajaran matematika di Sekolah
Dasar, guru SD perlu memahami bagaimana karakteristik matematika. Tidak mudah
untuk mencapai kata sepakat diantara ahli matematika untuk mendefinisikan
tentang matematika akan tetapi mereka semua sepakat bahwa sasaran dalam
pembelajaran matematika tidaklah kongkret.
Matematika itu
terorganisasikan dari unsur-unsur yang tidak didefinisikan, definisi-definisi,
aksioma-aksioma dan dalil-dalil yang dibuktikan kebenarannya, sehingga
matematika disebut ilmu deduktif (Russefendi, 1989: 23). Matematika merupakan
pola berfikir, pola mengorganisasikan pembuktian logic, pengetahuan struktur
yang terorganisasi memuat sifat-sifat, teori-teori di buat secara deduktif
berdasarkan unsur yang tidak didefinisikan, aksioma, sifat atau teori yang
telah dibuktikan kebenarannya. (Johnson dan Rising, 1972 dalam Rusefendi, 1988:
2).
Matematika merupakan
telaah tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berfikir, suatu seni,
suatu bahasa dan suatu alat. (Reys, 1984. Dalam Rusefendi, 1988: 2). Matematika
bukan pengetahuan tersendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi
beradanya karena untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai
permasalahan sosial, ekonomi dan alam. (Kline, 1973, dalam Rusefendi, 1988:2).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa matematika merupakan ilmu pengetahuan
yang mempelajari struktur yang abstrak dan pola hubungan yang ada didalamnya.
Ini berarti bahwa belajar matematika pada hakekatnya adalah belajar konsep,
struktur konsep dan mencari hubungan antar konsep dan strukturnya. Ciri khas
matematika yang deduktif aksiomatis ini harus diketahui oleh guru sehingga
mereka dapat membelajarkan matematika dengan tepat, mulai dari konsep-konsep
sederhana sampai yang kompleks.
Matematika yang
merupakan ilmu deduktif, aksiomatik, formal, hirarkis, abstrak, bahasa symbol
yang padat arti dansemacamnya adalah sebuah system matematika. Sistem
matematika berisikan model-model yang dapat digunakan untuk mengatasi
persoalan-persoalan nyata. Manfaat lain yang menonjol adalah matematika dapat
membentuk pola pikir orang yang mempelajarinya menjadi pola piker matematis
yang sistematis, logis, kritis dengan penuh kecermatan. Selain mengetahui
karakteristik matematika, guru SD perlu juga mengetahui taraf perkembangan
siswa SD secara baik dengan mempertimbangkan karakteristik ilmu matematika dan
siswa yang belajar.
Anak usia SD sedang
mengalami perkembangan dalam tingkat berfikirnya. Taraf berfikirnya belum
formal dan relatif masih kongkret, bahkan untuk sebagian anak SD kelas rendah
masih ada yang pada tahap pra-kongkret belum memahami hokum kekekalan, sehingga
sulit mengerti konsep-konsep operasi, seperti penjumlahan, pengurangan,
pembagian, dan perkalian. Sedangkan anak SD pada tahap berfikir kongkret sudah
bisa memahami hokum kekekalan, tetapi belum bisa diajak untuk berfikir secara
deduktif sehingga pembuktian dalil-dalil matematika sulit untuk dimengerti oleh
siswa. Siswa SD kelas atas (lima dan enam, dengan usia 11 tahun ke atas) sudah
pada tahap berfikir formal. Siswa ini sudah bisa berfikir secara deduktif.
Dari uraian di atas
sudah jelas adanya perbedaan karakteristik matematika dan siswa SD. Oleh
karenanya diperlukan adanya kemampuan khusus dari seorang guru untuk
menjembatani antara dunia anak SD yang sebagian besar belum berfikir secara
deduktif untuk mengerti ilmu matematika yang bersifat deduktif. Apa yang
dianggap logis dan jelas oleh para ahli matematika dan apa yang dapatditerima
oleh orang yang berhasil mempelajarinya (termasuk guru). Bisa jadi merupakan
hal yang membingungkan dan tidak masuk akal bagi siswa SD.
Problematika
pembelajaran matematika SD senantiasa menarik diperbincangkan mengingat
kegunaannya yang penting untuk mengembangkan pola piker dan prasyarat untuk
mempelajari ilmu-ilmu eksak lainnya, tetapi masih dirasakan sulit untuk
diajarkan secara mudah oleh guru dan sulit diterima sepenuhnya oleh siswa SD.
Kegunaan matematika bagi siswa SD adalah sesuatu yang jelas yang tidak perlu
dipersoalkan lagi, terlebih pada era pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi dewasa ini. Hal yang terpenting untuk segera dipecahkan dalam masalah
pembelajaran matematika SD adalah bagaimanakah mengajarkan matematika sehingga
guru dan siswa senang dalam proses belajar mengajar?
Pengajaran
Matematika Di SD
Pengajaran matematika
adalah proses membantu siswa mempelajari matematika dengan menggunakan
perencanaan yang tepat, mewujudkannya sesuai kondisi yang tepat pula sehingga
tercapai hasil yang memuaskan. Hasil tersebut merupakan tujuan yang telah
dirumuskan yang merupakan akibat dari interaksi antara guru yang mengajar dan
murid yang belajar matematika (Sudjana. 1998:43). Untuk mencapai tujuan pembelajaran
matematika secara tuntas guru harus bisa merencanakan pembelajaran dengan
tepat, mewujudkannya dalam kondisi yang tepat, metode mengajar yang tepat,
serta didukung oleh media pembelajaran yang tepat pula.
Pendekatan dan strategi
pembelajaran hendaknya mengikuti kaidah pedagogi secara umum, yaitu
pembelajaran diawali dari kongkret ke abstrak, dari sederhana kekompleks, dari
yang mudah kesulit dengan menggunakan berbagai sumber belajar. Belajar akan
bermakna bagi peserta didik apabila mereka aktif dengan berbagai cara untuk
mengkonstruksi atau membangun sendiri pengetahuannya. Dengan demikian, suatu
rumus, konsep atau prinsip dalam matematika, seyogyanya dapat ditemukan oleh
peserta didik dengan bimbingan guru.
Pembelajaran yang
mengkondisikan peserta didik untuk menemukan kembali membuat mereka terbiasa
melakukan penyelidikan dan menemukan
sesuatu. Secara khusus, pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus
dalam pembelajaran matematika. Masalah tak harus tertutup atau mempunyai solusi
tunggal, tetapi dapat terbuka atau dicoba diselesaikan dengan berbagai cara
misalnya dengan mengumpulkan dan menganalisis data, dengan metode coba-coba
atau dengan cara induktif dan deduktif. Masalah matematika dapat
diklasifikasikan kedalam dua jenis, yaitu:
1.
Soal mencari (Problem to find), yaitu
mencari, menentukan atau mendapatkan nilai atau objek tertentu yang tidak
diketahui dalam soal dan memberi kondisi atau syarat yang sesuai dengan soal.
Objek yang ditanyakan atau dicari, syarat-syarat yang memenuhi soal, data atau
informasi yang diberikan merupakan bagian terpenting atau pokok dari sebuah
soal mencari dan harus dipahami serta dikenali dengan baik pada saat awal
memecahkan masalah..
2.
Soal membuktikan (problem to prove),
yaitu prosedur untuk menentukan apakah suatu pernyataan benar atau tidak benar.
Soal membuktikan terdiri atas bagian hipotesis dan kesimpulan. Pembuktian
dilakukan dengan membuat atau memproses pernyataan yang logis dari hipotesis
menuju kesimpulan, sedangkan untuk membuktikan bahwa suatu pernyataan tidak benar cukup diberikan contoh penyangkalnya
sehingga pernyataan tersebut menjadi tidak benar (Departemen Agama RI,
2004:260).
Berbagai ketrampilan
diperlukan untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah antara lain:
1.
Memahami soal: memahami dan mengidentifikasi
apa fakta atau informasi yang diberikan, apa yang ditanyakan, diminta untuk
dicari atau dibuktikan.
2.
Memilih pendekatan atau strategi
pemecahan. Misalnya menggambarkan masalah dalam bentuk diagram, memilih dan
menggunakan pengetahuan aljabar yang diketahui dan konsep yang relevan untuk
membentuk model atau kalimat matematika.
3.
Menyelesaikan model: melakukan operasi
hitung secara benar dalam menerapkan strategi untuk mendapatkan solusi dan
masalah.
4.
Menafsirkan solusi yaitu memperkirakan
dan memeriksa kebenaran jawaban, masuk akalnya jawaban, dan apakah memberikan
pemecahan terhadap masalah semula (Departemen Agama RI, 2004:264).
Dalam pembelajaran, guru dapat
mengkombinasikan berbagai strategi belajar mengajar di dalam kelas, seperti:
1.
Ekspositori dan ceramah, yaitu suatu
metode mengajar dalam penyajian pelajaran yang dilakukan oleh guru dengan
penuturan atau penjelasan lisan secara langsung terhadap siswa. Metode ini
tidak efektif sehingga perlu diimbangi dengan bentuk kegiatan lainnya.
2.
Penyelidikan atau penemuan sendiri
(inquiry), melatih peserta didik untuk menemukan konsep dan menyelesaikan
sendiri berbagai konsep dan pemecahan masalah matematika, misalnya menyelidiki
pola, meyesuaikan soal dengan berbagai cara memecahkan soal-soal yang dibuat sendiri.
3.
Pengelolaan peserta didik, kerja
perseorangan mendorong peserta didik untuk belajar sendiri, kelompok kecil
dapat dilakukan dengan bekerja secara bersama-sama.
4.
Penugasan, misalnya memberi tugas kepada
peserta didik untuk mencari sumber informasi keperpustakaan, memproduksi sumber
belajar sendiri, menerapkan sistem kelompok kerja peserta didik dan menata
bentuk kelas yang sesuai.
5.
Permainan, yaitu mengenalkan atau
menggunakan konsep matematika melalui berbagai bentuk permainan (Departemen
Agama RI, 2004:265).
Metode ini digunakan
agar siswa dalam belajar tidak mengalami kejenuhan. Setiap madrasah mempunyai
ciri khas lingkungan belajar, kelompok peserta didik, dan orang tua (sebagai
anggota masyarakat) yang berbeda-beda. Untuk itu para guru diharapkan mengenali
hal ini untuk bisa menetapkan strategi pembelajaran, organisasi kelas, dan
pemanfaatan sumber belajar yang efektif.
Hambatan
Belajar
Pada saat proses
belajar dan pembelajaran berlangsung pasti ada kalanya seorang individu
terutama siswa mengalami kendala dalam proses penerimaannya. Kendala tersebut
ditimbulkan oleh adanya hambatan baik yang berasal dari luar maupun dari dalam
yang menyebabkan terhambatnya dalam mencapai sutu tujuan. Hambatan adalah suatu
hal yang ikut menyebabkan kesulitan dalam proses belajar dan pembelajaran,
menurut Moru bahwa hambatan adalah sesuatu yang menghalangi pembelajaran siswa.
Pengertian Hambatan adalah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “Hambatan
adalah halangan atau rintangan”. Hambatan memiliki arti yang sangat penting
dalam setiap melaksanakan suatu tugas atau pekerjaan. Suatu tugas atau
pekerjaan tidak akan terlaksana apabila ada suatu hambatan yang mengganggu
pekerjaan tersebut. Hambatan merupakan keadaan yang dapat menyebabkan
pelaksanaan terganggu dan tidak terlaksana dengan baik. Setiap manusia selalu
mempunyai hambatan dalam kehidupan sehari-hari, baik dari diri manusia itu
sendiri ataupun dari luar manusia.
Brousseau mengemukakan
tiga faktor penyebab dari hambatan belajar, yaitu:
1. Hambatan
Ontogeni (kesiapan mental belajar), terjadinya hambatan ontogeni ini karena
adanya pembatasan konsep pembelajaran pada saat perkembangan anak.
2. Hambatan
Didaktis (akibat pembelajaran guru), hambatan didaktis dalam pembelajaran ini
berasal dari pemberian konsep yang salah ataupun pengajaran konsep yang tidak
sesuai dengan anak atau siswa.
3. Hambatan
Epistemologi (pengetahuan siswa yang memiliki konteks aplikasi yang terbatas),
Hambatan
epistemologi ini pada hakekatnya merupakan pengetahuan seseorang yang hanya
terbatas pada konteks tertentu. Dimana jika seseorang dihadapkan pada konteks
yang berbeda, maka pengetahuan yang dimiliki menjadi tidak bisa digunakan atau
mengalami kesulitan untuk menggunakannya, misalnya bila seorang siswa biasa
mengerjakan soal latihan, apanila diberikan soal berbentuk lain siswa akan
mengalami kesulitan mengerjakannya.
Hercovis menjelaskan
bahwa “Hambatan epistimologi muncul sebagai konsekuensi dari sifat konsep itu
sendiri, dimana perkembangan pengetahuan ilmiah seorang individu atau siswa
mengalami kendala kognitif”.21 Cornu juga berpendapat bahwa mempelajari sejarah
perkembangan konsep matematika dapat mengindikasikan adanya hambatan
epistemologi, selain itu menurut Doroux epistemological obstacle pada
hakekatnya merupakan pengetahuan seseorang yang hanya terbatas pada konteks
tertentu, jika orang tersebut atau siswa dihadapkan pada konteks yang berbeda
maka pengetahuan yang dimiliki tidak dapat digunakan, sedangkan Bishop
berpendapat bahwa hambatan epistemologi adalah pengetahuan yang berguna dalam
memecahkan jenis masalah tertentu, akan tetapi jika diaplikasikan pada maslah
yang baru akan muncul sebuah kontradiksi. dari pendapat berbagai alahi diatas
tentang hambatan epistemologi , maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hambatan
epistemologis adalah pengetahuan seseorang yang berguana dalam memecahkan jenis
masalah namun hanya terbatas pada konteks tertentu, dan jika dihadapkan pada
konteks yang berbeda maka akam mengalami kesulitan dalam pengaplikasiannya.
Hambatan epistemologi
memiliki keterkaitan dengan hambatan kognitif, didaktis, dan ontogeni. Hambatan
epistemologi ini dapat menyebabkan stagnasi pengetahuan ilmiah, dan bahkan
penurunan pengetahuan seseorang dimana hambatan ini dapat terjadi karena adanya
lompatan informasi. Terdapat beberapa jenis hambatan epistemologi menurut
Hercovics yang diidentifikasi dari karya Bachelard, yaitu:
1. kecenderungan
untuk mengandalakan pengalaman intuitif yang menipu,
2. kecenderungan
untuk mengeneralisasi, dan
3. hambatan yang
disebabkan oleh pemakaian bahasa alami.
METODE
OBSERVASI
Metode yang
digunakan dalam observasi ini menggunakan metode kualitatif. Observasi
kualitatif dilakukan untuk merumuskan atau menyusun suatu desain didaktis yang
didasarkan pada hasil observasi terhadap learning obstacles siswa dalam
proses pembelajaran yang telah berlangsung sebelumnya dan disesuaikan dengan
karakteristik siswa. Langkah-langkah formal dalam observasi desain didaktis
(Suryadi, 2011) dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan metode deskriptif
ini adalah sebagai berikut.
1.
Analisis situasi didaktis
sebelum pembelajaran yang diwujudkan berupa Desain Hipotesis termasuk ADP.
2.
Analisis metapedadidaktik.
3.
Analisis retrosfektif yakni
analisis yang mengaitkan hasil analisis situasi didaktis hipotesis dengan hasil
analisis metapedadidaktik.
Dalam observasi ini, langkah-langkah
formal tersebut hanya sampai pada langkah formal pertama, yaitu analisis
situasi didaktis (dalam hal ini learning obstacles). Lokasi observasi
bertempat di SDN 3 Mekarsari. Subjek observasi adalah siswa kelas 5 yang berjumlah
18 orang. Penentuan lokasi observasi berdasarkan karakteristik yang telah
ditentukan oleh peneliti. Sedangkan penentuan kelas yang terpilih sebagai
subjek observasi berdasarkan pertimbangan guru dan sekolah yang dijadikan tempat
observasi.
Data utama yang dikumpulkan dalam observasi
ini adalah data dari hasil pelaksanaan tes sehingga soal dan jawaban siswa
merupakan data-data yang dianalisis. Dalam observasi ini, soal-soal yang
disajikan pada saat tes tertulis bukanlah sebagai “perantara” yang
menerjamahkan fakta ke dalam data (angka-angka) sebagaimana dalam observasi
nonkualitatif. Sumber data utama tersebut berasal dari siswa yang mengikuti tes
tertulis. Selain dengan tes tertulis juga dilakukan wawancara terhadap siswa, serta
studi dokumentasi.
Pengumpulan data dilakukan dengan triangulasi. Dalam observasi ini
akan digunakan tiangulasi sumber dan metode, sehingga data yang diperoleh akan
lebih konsisten, tuntas, dan pasti (Sugiyono, 2011: 330).
Teknik pengumpulan data dalam observasi
ini dilakukan dengan triangulasi yaitu gabungan dari tes tertulis, wawancara
dan studi dokumentasi, dengan sumber data siswa, guru dan juga buku ajar.
Analisis data yang dilakukan menggunakan metode perbandingan tetap (constant
comparative method) (Moleong, 2007: 288). Secara umum proses analisis data
tersebut mencakup: reduksi data, kategorisasi data, sintesisasi, diakhiri
dengan hipotesis kerja.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Data ini
diperoleh dari siswa setelah menyelesaikan tes tertulis dari instrumen tes yang
telah disusun, berupa 4 macam materi soal yang yang harus diselesaikan dalam
durasi waktu 120 menit, hasil wawancara dan studi dokumen. Materi soal mengenai
pecahan yang terdiri dari Penjumlahan, Pengurangan, Perkalian dan Pembagian
Pecahan. Data yang diperoleh berupa lembar jawaban tertulis yang merupakan
hasil pengerjaan siswa mengenai soal yang telah diberikan, skrip wawancara
dan hasil studi dokumen. Selanjutnya data ini dianalisis untuk mengetahui
kesulitan-kesulitan yang dialami oleh siswa dengan melihat kesalahan-kesalahan
siswa dalam menyelesaikan soal dan juga berdasarkan hasil waancara dengan guru
serta hasil studi dokumen. Banyaknya siswa yang mangalami kesulitan (tidak
menguasai jenis kemampuan yang diperlukan untuk menjawab soal) akan disajikan
dalam bentuk persentase (%) dari banyaknya siswa yang mengikuti ujian tes
tertulis pada saat dilaksanakan observasi.
Tabel Hasil
Observasi
No
|
Materi Soal
|
Jumlah Benar
|
Persentase Benar
|
1
|
Penjumlahan Pecahan
|
10
|
56%
|
2
|
Pengurangan Pecahan
|
9
|
50%
|
3
|
Perkalian Pecahan
|
12
|
67%
|
4
|
Pembagian Pecahan
|
5
|
28%
|
|
Jumlah
|
36
|
50%
|
Dalam menyelesaikan soal penjumlahan dan
pengurangan dengan penyebut yang sama siswa tidak mengalami kesulitan ketika
diminta menyelesaikannya. Namun siswa mengalami kesulitan ketika menentukan hasilnya
apabila penyebutnya tidak sama. Kesalahan yang umum terjadi ketika menentukan hasil
penjumlahan dan pengurangan, siswa langsung menentukan hasilnya. Peneliti
menduga kesulitan ini terjadi karena kurangnya kesiapan belajar (ontogenic
obstacle), siswa cenderung ceroboh dalam mengerjakan soal seperti ini.
Siswa tidak dapat menyelesaikan soal pecahan
tentang pembagian dengan baik. Kondisi ini terjadi disebabkan oleh beberapa
hal, yaitu: (1) siswa tidak mengetahui konsep apa saja yang diperlukan dalam
menyelesikan soal seperti itu; (2) siswa tidak memahami secara utuh konsep pembagian
pecahan; (3) siswa tidak memahami konsep pecahan; (4) siswa lemah dalam
melakukan operasi hitung aljabar; (5) siswa salah melakukan perhitungan.
Peneliti menduga kesulitan-kesulitan ini disebabkan oleh adanya ontogenic
obstacle yaitu kesulitan belajar yang disebabkan oleh kurangnya kesiapan
belajar atau kurangnya aspek psikologi. Hal ini diperkuat ketika peneliti
melakukan wawancara terhadap beberapa siswa yang tidak bisa menjelaskan konsep
pembagian pecahan dan mereka terlihat bingung ketika ditanya bagaimana cara
menyelesaikan soal. Selain itu peneliti juga menduga adanya epistemological
obstacle, beberapa dari mereka menyatakan bahwa contoh soal atau soal yang
biasa mereka kerjakan tidak berupa soal pembagian pecahan, tetapi hanya perkalian
pecahan.
SIMPULAN
Berdasarkan
hasil penelitian, diperoleh beberapa hal yang dapat disimpulkan tentang
analisis hambatan belajar (learning Obstacle) siswa SD Kelas 5 pada
materi Pecahan. Adapun kesimpulan yang diperoleh yaitu: (1) Siswa tidak
mengalami hambatan belajar untuk memahami penjumlahan dan perkalian pecahan,
tetapi siswa mengalami hambatan ontogenic obstacle dan didactical obstacle
dalam memahami pengurangan dan pembagian; (2) Dalam menyelesaikan
soal penjumlahan dan penguranga, siswa tidak mengalami kesulitan ketika diminta
menentukan hasilnya, namun siswa mengalami ontogenic obstacle ketika
menentukan pembagian pecahan. (3). Siswa mengalami hambatan ontogenic
obstacle, epistemological obstacle dan didactical obstacle dalam
menyelesaikan soal dengan pecahan dalam bentuk campuran.
Dari hasil
observasi terlihat Kelemahan siswa yaitu sulit munculnya
kemampuan belajar yang benar benar berasal dari kemampuan siswa sedangkan Kelebihannya siswa mau belajar karena atas kemampuan
sendiri untuk berprestasi dalam belajar.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman, Mulyono. 2003. Pendidikan Bagi Anak
Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Ahmadi, Abu dan Widodo Supriyono. 2004. Psikologi
Belajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Alit, Mahisa. 2004. Studi Komparatif Tiga Model
Eksperimen terhadap Penguasaan Konsep-Konsep dan Keterampilan Calon Guru. Cirebon:
SDN 1 Bungko
Arifin Martoenoes. 2006. Startegi Dan Model Belajar
Mengajar. Makassar : Badan Penerbit UNM Makassar.
Brosseau, G. 1997. Theory of Didactical Situations
in Mathematics. New York: Kluwer Academic Publisher.
Departemen Agama RI. 2004. Kurikulum 2004 Standar
Kompetensi Matematika Madrasah Aliyah. Jakarta : Direktorat Jenderal
Kelembagaan Agama Islam.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. 1991. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Psikologi Belajar.
Jakarta : Rineka Cipta.
Sudjana,
Nana. 1998. Dasar- dasar Proses Belajar Mengajar Cet. IV. Bandung: Sinar baru
Algesindo.
Suherman,
dkk. 2004. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA
Sukmara.
2003. Implementasi Program Life Skill dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi pada
Jalur Sekolah. Bandung: Mughni Sejahtera.
Sumantri
dan Permana. (1998). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Depdikbud.
Suryadi,
D. 2011. Kesetaraan Didactical Design Research (DDR) Dengan Matematika
Realistik Dalam Pengembangan Pembelajaran Matematika, Makalah pada Seminar
Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011
Suryadi,
D. 2016. Didactical Design Research (DDR): Upaya membangun kemandirian Berpikir
Melalui Penelitian Pembelajaran. Makalah pada Seminar Nasional Matematika dan
Pendidikan Matematika UNSWAGATI, 6 Februari 2016.
Suwangsih,
Erna dan Tiurlina. (2006). Model Pembelajaran Matematika. Bandung: UPI PRESS.
No comments:
Post a Comment