Berbagai upaya
yang ditujukan bagi perlindungan dan pemajuan HAM di Indonesia merupakan hal
yang sangat strategis sehingga memerlukan perhatian dari seluruh elemen bangsa.
Untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak diperlukan dukungan
kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin
pelaksanaannya. Berbagai batasan anak dapat ditemukan dalam beberapa peraturan
perundangan yang berlaku di Indonesia, namun pada prinsipnya keragaman batasan
tersebut mempunyai implikasi yang sama yaitu memberikan perlindungan pada anak.
Dari segi regulasi, peraturan terkait perlindungan terhadap hak asasi anak
dimulai dengan Convention on the Rights of the Child/Konvensi tentang
Hak-hak Anak (KHA). Konvensi ini disetujui oleh Majelis Umum PBB pada
tanggal 20 November 1989 dan diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan
Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on The Rights of The
Child (konvensi tentang hak-hak anak) tanggal 25 Agustus 1990. Dalam Convention
on the Rights of the Child terkandung 4 (empat) prinsip dasar yaitu prinsip non-diskriminasi artinya semua
hak yang diakui dan terkandung dalam KHA harus diberlakukan kepada setiap anak
tanpa pembedaan apapun. Prinsip ini merupakan pencerminan dari prinsip
universalitas HAM (Pasal 2 KHA); prinsip
kepentingan yang terbaik bagi anak (best interest of the child)
artinya bahwa di dalam semua tindakan yang menyangkut anak, maka apa yang
terbaik bagi anak haruslah menjadi pertimbangan yang utama (Pasal 3 KHA); prinsip atas hak hidup, kelangsungan dan
perkembangan (the rights to life, survival, and development)
artinya harus diakui bahwa hak hidup anak melekat pada diri setiap anak dan hak
anak atas kelangsungan hidup serta perkembangannya juga harus dijamin (Pasal 6
KHA); serta prinsip penghargaan
terhadap pendapat anak (respect for the views of the child)
artinya bahwa pendapat anak, terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi
kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan (Pasal 12
KHA).
Selanjutnya,
beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan juga mengatur tentang
pentingnya perlindungan terhadap hak asasi anak. Hal ini dapat dilihat dalam UU
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dimana hak asasi anak mendapat tempat tersendiri dalam
Undang-undang ini. Anak merupakan subjek hukum yang sangat rentan dalam proses
penegakan hukum khususnya dalam proses peradilan. Hak anak dalam proses
peradilan menurut Undang-Undang antara lain yaitu:
- Tidak dianiaya, disiksa, atau
dihukum secara tidak manusiawi;
- Tidak dijatuhi pidana mati atau
pidana seumur hidup:
- Tidak dirampas kebebasannya secara
melawan hukum;
- Tidak ditangkap, ditahan atau
dipenjara secara melawan hukum, atau jika sebagai upaya yang terakhir (measure
of the last resort);
- Diperlakukan secara manusiawi
dalam proses peradilan pidana;
- Hak atas bantuan hukum, untuk
membela diri dan memperoleh keadilan di Pengadilan Anak yang bebas dan
tidak memihak.
Perlindungan anak juga diatur dalam Undang-undang tersendiri yaitu
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin
terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya
anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Beberapa
ketentuan yang diatur secara umum dalam Undang-Undang ini antara lain
prinsip-prinsip dasar sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak, Hak dan Kewajiban
Anak, Kewajiban dan Tanggung Jawab Negara dan Pemerintah, Kewajiban dan
Tanggung Jawab Masyarakat, Kewajiban dan Tanggung Jawab Keluarga dan Orang Tua,
Kedudukan Anak, Pengasuhan dan pengangkatan anak, Penyelenggaraan perlindungan
anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
Berkaitan dengan masalah pekerja anak,
pemerintah Indonesia sudah meratifikasi Konvensi tentang Pengakhiran Bentuk
Bentuk Terburuk Pekerja Anak melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang
Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and
Immediate Action for Elimination of The Worst Forms of Child Labour
(Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan
Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak). bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk untuk anak” mengandung pengertian :
- segala bentuk perbudakan atau
praktik-praktik sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan
anak-anak, kerja ijon (debt bondage) dan perhambaan serta kerja
paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak-anak secara paksa atau
wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata;
- pemanfaatan, penyediaan atau
penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk
pertunjukan-pertunjukan porno;
- pemanfaatan, penyediaan atau
penawaran anak untuk kegiatan haram, khususnya untuk produksi dan
perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional
yang relevan;
- pekerjaan yang sifatnya atau
lingkungan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan,
atau moral anak-anak.
Indonesia juga sudah meratifikasi konvensi mengenai usia minimum anak
diperbolehkan bekerja, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO
Convention No. 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment
(Konvensi ILO Mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja). Sebelumnya,
dalam Konvensi No. 5 Tahun 1919 mengenai Usia Minimum untuk sektor Industri,
Konvensi No. 7 Tahun 1920 mengenai Usia Minimum untuk Sektor Kelautan, Konvensi
No. 10 Tahun 1921 mengenai Usia Minimum untuk Sektor Agraria, dan Konvensi No.
33 Tahun 1932 mengenai Usia Minimum untuk Sektor Non Industri, menetapkan bahwa
usia minimum untuk bekerja 14 (empat belas) tahun. Selanjutnya Konvensi No. 58
Tahun 1936 mengenai Usia Minimum untuk Kelautan, Konvensi No. 59 Tahun 1937
mengenai Usia Minimum untuk Sektor Industri, Konvensi No. 60 Tahun 1937
mengenai Usia Minimum untuk Sektor Non Industri, dan Konvensi No. 112 Tahun
1959 mengenai Usia Minimum untuk Pelaut, mengubah usia minimum untuk bekerja
menjadi 15 (lima belas) tahun. Dalam penerapan berbagai Konvensi tersebut di
atas di banyak negara masih ditemukan berbagai bentuk penyimpangan batas usia
minimum untuk bekerja. Oleh karena itu ILO merasa perlu menyusun dan
mengesahkan konvensi yang secara khusus mempertegas
batas usia minimum untuk diperbolehkan bekerja yang berlaku di semua sektor
yaitu 15 (lima belas) tahun.
Perkembangan Perlindungan HAM anak lainnya secara kelembagaan telah
terdapat kementerian yang mempunyai tugas dan kewenangan dalam menangani
masalah anak yaitu Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,
Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 2003 tentang Pembentukan Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) yang tugasnya melakukan sosialisasi seluruh ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak,
mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan
penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
perlindungan anak; memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada
Presiden dalam rangka perlindungan anak.
Berbagai batasan anak dapat ditemukan dalam beberapa peraturan perundangan
yang berlaku di Indonesia, namun pada prinsipnya keragaman batasan tersebut
mempunyai implikasi yang sama yaitu memberikan perlindungan pada anak. Menurut
Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, “Anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas tahun) termasuk anak yang masih dalam
kandungan”. Sedangkan menurut Pasal 1 KHA / Keppres No.36 Tahun 1990 “anak adalah
setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun kecuali berdasarkan UU yang berlaku
bagi yang ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”. Disamping itu
menurut pasal 1 ayat 5 UU No.39 Tahun 1999 Tentang HAM, “anak adalah setiap
manusia yang berusia dibawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang
masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”.
Berbagai pelanggaran terhadap hak-hak anak yang masih sering terjadi,
tercermin dari masih adanya anak-anak yang mengalami abuse, kekerasan,
eksploitasi dan diskriminasi. Hal yang menarik perhatian adalah pelanggaran Hak
Asasi yang menyangkut masalah Pekerja Anak, Perdagangan Anak untuk tujuan
pekerja seks komersial, dan anak jalanan. Masalah pekerja anak merupakan isu
sosial yang sukar dipecahkan dan cukup memprihatinkan karena terkait dengan
aspek sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.
Kekerasan terhadap anak terjadi pada ruang-ruang sosiologis yang sangat
intim dan dekat dengan kehidupan anak. Locus kekerasan tersebut terjadi
pada: Kekerasan terhadap anak di ranah rumah dan keluarga (Violence
against Children in the Home and the Family), Kekerasan terhadap anak
di ranah sekolah (Violence against Children in Schools), Kekerasan
terhadap anak di ranah Institusi (Violence against Children in
Institutions), Kekerasan terhadap anak di ranah tempat bekerja (Violence
against Children in Work Situations), Kekerasan terhadap anak di
ranah komunitas dan jalan (Violence against Children in the Community and on
the Street), Kekerasan terhadap anak di ranah Institusi peradilan
pidana (Violence against Children in Conflict with the Law).
No comments:
Post a Comment