A.
PENDAHULUAN
Luasnya negara Indonesia ialah suatu
kelebihan tersendiri. Beraneka ragamnya suku, agama, ras dan golongan (SARA)
mendorong kita belajar untuk lebih menghargai orang lain. Penghargaan inilah
yang akan mendorong persatuan di antara elemen bangsa Indonesia.
Keanekaragaman tersebut tentunya harus bisa optimalkan secara positif demi
berlangsungnya kehidupan yang harmonis.
Apalagi Indonesia adalah negara yang
mayoritas penduduknya muslim, maka rasa toleransi haruslah terwujud sebagai
salah satu bentuk implementasi ajaran Islam itu sendiri. Mengingat beberapa
waktu yang lalu di Indonesia-lihat peristiwa Ambon, Papua dan beberapa pulau di
Indonesia- terjadi konflik antar agama yang menelan tidak sedikit korban jiwa
dan menyertakan Islam di dalamnya.
Pengertian akan peran dan posisi Islam
yang sebenarnya haruslah diselenggarakan dan dipahamkan kepada setiap manusia,
khususnya masyarakat Indonesia. Jalan yang paling tepat ialah melalui
pendidikan. Pendidikan haruslah ditampilkan dengan nuansa multikultural
sehingga tercipta rasa menghargai antar berbagai suku dan agama di Indonesia.
Oleh karena itu, perlu ada suatu pembahasan terkait pendidikan multikultural
itu sendiri dan bagaimana mengimplementasikannya di Indonesia.
B.
PENDIDIKAN ISLAM
Menurut Muhaimin, Pendidikan Islam
adalah sistem pendidikan yang diselenggarakan atau didirikan dengan hasrat dan
niat untuk mengejawantahkan ajaran Islam dan nilai-nilai Islam dalam kegiatan
pendidikannya. Pendidikan Islam tidak hanya
memberikan wawasan yang luas dalam pengetahuan, akan tetapi juga menuntut
adanya realisasi dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, hakikat
pendidikan Islam tercermin dalam:
1.
Pendidikan
yang integralistik, mengandung komponen-komponen kehidupan yang
meliputi: Tuhan, manusia dan alam pada umumnya sebagai suatu yang integral bagi
terwujudnya kehidupan yang baik, serta pendidikan yang menganggap manusia
sebagai sebuah pribadi jasmani-rohani, intelektual, perasaan, individu dan
sosial. Pendidikan Integralistik di harapkan bisa menghasilkan
manusia yang memiliki integritas tinggi. Yang bisa bersyukur dan menyatu dengan
kehendak Tuhannya. Yang bisa menyatu dengan dirinya sendiri (sehingga tidak
memiliki kepribadian yang terbelah) menyatu dengan masyarakatnya (sehingga bisa
menghilangkan disintegrasi). Dan bisa menyatu dengan alam (sehingga
tidak membuat kerusakan).
2.
Pendidikan
yang integralistik, memandang manusia sebagai manusia, yakni
makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu. Sebagai makhluk hidup, ia
harus melangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidup. Sebagai makhluk
batas antara hewan dan malaikat- ia menghargai hak-hak asasi manusia, seperti
hak untuk berlaku dan diperlakukan dengan adil, hak menyuarakan kebenaran, hak
untuk berbuat kasih sayang dan sebagainya.
Pendidikan yang integralistik diharapkan
dapat mengembalikan hati manusia di tempat yang semula, dengan mengembalikan
manusia kepada fitrahnya sebagai sebaik-baik makhluk, khoiru ummah. Manusia
“yang manusiawi” yang dihasilkan oleh pendidikan yag integralistikdiharapkan
bisa berpikir, berasa, dan berkemauan, dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai
luhur kemanusiaan yang bisa mengganti sifat individualistik, egoistik,
egosentrik, dengan sifat kasih sayang kepada sesama manusia, sifat
ingin memberi dan menerima, saling menolong, sifat ingin mencari kesamaan dan
lain-lain.
1.
Pendidikan
yang pragmatik, adalah pendidikan yang memandang manusia sebagai
makhluk hidup yang selalu membutuhkan sesuatu untuk melangsungkan,
mempertahankan dan mengembangkan hidupnya, baik bersifat jasmani, seperti
pangan, sandang papan, seks, kendaraan dan sebagainya; juga yang bersifat
rohani seperti berpikir, merasa, aktualisasi diri, kasih sayang, dan keadilan
maupun kebutuhan sukmawi, seperti dorongan untuk berhubungan dengan yang Adi
Kodrati. Pendidikan yang pragmatik diharapkan dapat mencetak
manusia pragmatik yang sadar akan kebutuhan-kebutuhan hidupnya
peka terhadap masalah-masalah kemanusiaan dan dapat membedakan manusia dari
kondisi dan situasi yang tidak manusiawi.
2.
Pendidikan
yang berakar budaya kuat, yaitu pendidikan yang tidak meninggalkan akar-akar
sejarah, baik sejarah kemanusiaan pada umumnya maupun sejarah kebudayaan suatu
bangsa atau kelompok etnis tertentu. Pendidikan yang berakar budaya kuat di
harapkan dapat membentuk manusia yang mempunyai kepribadian, harga diri,
percaya pada diri sendiri, dan membangun peradaban berdasarkan budayanya
sendiri, yang merupakan warisan monumental dari nenek moyangnya. Tetapi bukan
yang anti kemoderannya, yang menolak begitu saja arus transformasi budaya dari
luar.
Tujuan pendidikan Islam
Pada hakikatnya Pendidikan Islam
bertujuan untuk merealisasikan ubudiyah kepada Allah di dalam
kehidupan manusia, baik individu maupun masyarakat.
Menurut Al Jumbulati, pendidikan Islam
mempunyai dua tujuan yaitu :
1.
Tujuan
Keagamaan : bahwa setiap pribadi orang muslim beramal untuk akhirat atas
petunjuk dan ilham keagamaan yang benar, yang tumbuh dan dikembangkan dari
ajaran-ajaran Islam dan suci. Tujuan keagamaan mempertemukan diri pribadi
terhadap Tuhannya melalui kitab-kitab suci yang menjelaskan tentang hak dan
kewajibannya, sunat dan yang fardhu bagi seseorang mukallaf.
2.
Tujuan
Keduniaan : Tujuan ini seperti yang dinyatakan dalam tujuan pendidikan modern
yang saat ini diarahkan pada pekerjaan yang berguna (pragmatis), atau
untuk mempersiapkan anak menghadapi kehidupan masa depan. Para ahli filsafatpragmatisme lebih
mengarahkan pendidikan pendidikan anak kepada gerakanamaliyah (ketrampilan)
yang bermanfaat dalam pendidikan. Tujuan ini mengambil kebijakan baru yang
lebih menonjolkan kecekatan bekerja yang cepat dalam setiap peristiwa
kehidupan. Dan juga memakai strategi pendidikan seumur hidup. Sedangkan
pendidikan Islam melihat tujuan ini dari aspek dan pandangan baru yaitu
berdasarkanAl Qur’anul karim, yang sangat memusatkan perhatian pada
pengalaman dimana seluruh kegiatan hidup umat manusia harus bertumpu
kepada-Nya.
C.
MULTIKULTURAL
Pengertian
Multikultural
Pengertian multikulturalisme diberikan
oleh para ahli sangat beragam. Mengutip Choirul Mahfud multikulturalisme pada
dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam
berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap
realitas keagamaan yang pluralis dan multikultural yang
ada dalam kehidupan masyarakat. Akar kata multikulturalisme adalah
kebudayaan. Sedangkan secara etimologis, multikulturalisme dibentuk
dari kata multi (banyak), kultur (budaya), isme (aliran/paham). Sedangkan
secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang
hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik.
Tipe-tipe
Masyarakat
Dalam masyarakat sering terjadi
perbedaan antara masalah sakral dan sekuler. Di kalangan sejumlah masyarakat
yang sakral itu dianggap sebagai aspek dalam tingkah laku dan masyarakat yang
lain semakin banyak nilai-nilai manusiawi yang dianggap sebagai hal-hal yang
bersifat sekuler dan dinilai bermanfaat dan diterima secara umum.
Jika kita tidak mempunyai paling tidak
beberapa pengertian tentang perubahan yang umum, beberapa perbedaan tertentu
yang bersifat umum dalam masyarakat . Oleh karena itu kita perlu tahu tentang
tipe-tipe masyarakat. Menurut Nottingham tipe-tipe masyarakat meliputi:
Masyarakat-masyarakat
yang terbelakang dan nilai-nilai sakral
Tipe pertama ini adalah masyarakat yang
kecil, terisolasi dan terbelakang. Tingkat perkembangan teknik mereka rendah
dan pembagian kerja masih kecil. Keluarga adalah lembaga mereka yang paling
penting dan spesial, laju perkembangannya juga masih lambat. Tipe masyarakat
ini cukup kecil jumlah anggotanya, karena sebagian besar adat-istiadatnya
dikenal, masyarakat ini berpendapat bahwa:
1) Agama
memasukkan pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem nilai masyarakat
secara mutlak.
2) Dalam
keadaan lembaga lain, selain keluarga, relatif belum berkembang, agama jelas
menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan dari masyarakat
secara keseluruhan.
Bagi individu, agama memberi bentuk
pada keseluruhan proses sosialisasi. Sosialisasi ditandai oleh upacara-upacara
keagamaan pada peristiwa kelahiran dan saat penting lainnya dalam kehidupan.
Masyarakat-masyarakat
pra-industri yang sedang berkembang
Masyarakat kedua ini tidak begitu
terisolasi, berubah lebih cepat, lebih luas daerahnya dan lebih besar jumlah
penduduknya, serta ditandai dengan tingkat perkembangan teknologi yang lebih
tinggi daripada masyarakat-masyarakat tipe pertama. Ciri-ciri umumnya adalah
pembagian kerja yang luas, kelas-kelas sosial yang beranekaragam serta adanya
kemampuan tulis baca sampai tingkat tertentu, agama tentu saja memberikan arti
dan ikatan kepada sistem nilai dalam tipe masyarakat ini, akan tetapi pada saat
yang sama lingkungan yang sakral dan yang sekuler itu sedikit banyaknya masih
dapat dibedakan. Meskipun demikian, banyak fase-fase kehidupan sosial, misalnya
dalam aktivitas keluarga dan perekonomian, peristiwa-peristiwa musim secara
teratur terjadi itu diisi dengan upacara-upacara tertentu.
Masyarakat-masyarakat
industri-sekuler
Tipe dalam masyarakat kelompok ketiga
ini agak condong kepada masyarakat perkotaan modern di Amerika serikat,
tinggiya sekulerismenya bisa dianggap salah satu contoh yang paling mirip
dengan masyarakat ketiga ini. Masyarakat-masyarakat ini sangat dinamis,
teknologi semakin berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan, sebagian besar
penyesuaian-penyesuaian terhadap alam fisik, tetapi yang paling penting adalah
penyesuaian dalam hubungan-hubungan kemanusiaan mereka sendiri. Pengaruh ilmu
pengetahuan dan teknologi terhadap masyarakat juga mempunyai
konsekuensi-konsekuensi penting bagi agama. Pengaruh inilah yang merupakan
salah satu sebab mengapa keanggotaan masyarakat tersebut semakin lama semakin
terbiasa menggunakan metode-metode empiris berdasarkan penalaran dan efisiensi
dalam menaggapi berbagai masalah kemanusiaan.
Masyarakat
Indonesia yang multikultural
Dibutuhkan beberapa konsep untuk
menciptakan tatanan masyarakat Indonesia yang multikultural agar kuat oleh
kondisi lingkungan. Bagi masyarakat Indonesia, konsep multikultural bukan hanya
sebuah wacana atau sesuatu yang dibayangkan, tetapi konsep ini adalah sebuah
ideologi yang harus diperjuangkan karena dibutuhkan sebagai tegaknya demokrasi
dan kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia terdapat berbagai macam kebudayaan
yang berasal hampir dari seluruh suku bangsa. Dengan demikian, keanekaragaman
ini kita dapat mewujudkan masyarakat multikultural apabila warganya dapat hidup
berdampingan, toleran dan saling menghargai
D.
URGENSI PENDIDIKAN ISLAM DALAM MULTIKULTURALISME
Indonesia adalah salah satu Negara
kepulauan terbesar di dunia, yang mengakibatkan terjadinya beraneka suku,
bahasa, ras, serta agama. Walaupun dalam hal agama, sebagaimana telah diketahui
bahwa Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam.
Hal ini terbukti sejak kelahirannya, peran orang-orang muslim sangat dominan.
Bahkan pada waktu pembuatan dasar negara yaitu Pancasila pada tanggal 22 Juni
1945, dikenal dengan Piagam Jakarta, sila pertama pada waktu itu berbunyi
“Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” karena lebih menghargai agama lain
dengan tidak menyimpangkan arti tauhid sendiri bagi umat Islam. Walau memang
tidak dapat dipungkiri ada pihak yang tetap menolak keputusan tersebut.
Inilah permulaan tantangan Islam di
tengah masyarakat multikultural, khususnya di Indonesia. Bagaimana Islam
meletakkan dirinya di tengah perbedaan, atau dengan kata lain, dapatkah pemeluk
agama Islam menghadirkan Islam sebagai agama yang inklusif terhadap
perubahan sekaligus mampu bersaing dengan perubahan yang terjadi di luar
dirinya. Satu-satunya cara yang terbaik ialah melalui pendidikan, khususnya
pendidikan Islam. Oleh karena itu, penanaman tentang hakikat Islam dan
bagaimana seharusnya Islam bertindak ada di dalamnya.
Pendidikan Islam yang bertujuan untuk
merealisasikan ubudiyah kepada Allah di dalam kehidupan
manusia, baik individu maupun masyarakat, dapat difungsikan sebagai nilai-nilai
instrumental pembangunan yaitu dengan mengembangkan etika dan moralitas
keagamaan untuk dimanfaatkan dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya
manusia yang merupakan pelaku dan pelangsung pembangunan. Mengingat terdapat dua peran penting
agama, yaitu sebagai directive system dan defensive
system, maksudnya agama digunakan sebagai sumber utama dalam proses
perubahan sekaligus sebagai semacam kekuatanresistensial bagi
masyarakat ketika berada dalam persoalan kehidupan yang kompleks. Sehingga
agama tidak hanya bermanfaat bagi pemeluknya saja, tetapi harus berskala
global. Oleh karena itu, pendidikan Islam haruslah dikemas dengan beberapa
prinsip yaitu keterbukaan, toleransi, kebebasan dan otentisitas. Dengan
kata lain, nuansa multikultural haruslah dihadirkan di setiap alur pendidikan
yang lebih dikenal dengan pendidikan multikultural. Yaitu menurut Muhaemin el Ma’hady, pendidikan multikultural sebagai
pendidikan tentang keragaman budaya dalam merespon perubahan demografis dan
kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.
Sedangkan menurut prof. H.A.R Tilaar, pendidikan multikultural berawal dari
berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang multikulturalisme.
Kemunculannya terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM,
diskriminasi dan juga meningkatnya pluralitas.
Pedidikan menjadi sebuah alat untuk
menempuh jalan keselamatan, bukan hanya untuk individu/kelompoknya tetapi
melibatkan kepentingan orang lain.
Oleh karena itu perlu tujuan yang jelas
dalam penyelenggaraannya. Menurut Paulus Mujiran hal yang perlu dibidik
ialah, pertama, pendidikan multicultural menolak pandangan
pandangan yang menyamakan pendidikan dengan persekolahan atau pendidikan
multicultural dengan program-program sekolah formal. Kedua,
pendidikan juga menolak pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok
etnik. Ketiga, pendidikan multicultural meningkatkan kompetinsi dalam beberapa
kebudayaan. Keempat, kemungkinan pendidikan meningkatkan kesadaran mengenai
kompetensi dalam beberapa kebudayaan, akan menjauhkan kita dari konsep
dwibudaya (bicultural) atau dikotomi antara pribumi dan non pribumi.
Sebenarnya pendidikan multicultural
bukanlah hal baru bagi bangsa Indonesia. Pesantren sebagai sekolah khas
Indonesia ialah implementasi dari pendidikan multikultural. Berbagai suku dan
budaya masuk dan di satukan dengan nuansa Islam tanpa mendikotomikan salah
satu. Namun memang, dalam penerapannya, hal yang terpenting ialah rasa
solidaritas yang tinggi. Bagaimana setiap orang di tuntut untuk menyiapkan diri
untuk berjuang dan bergabung dalam perlawanan demi pengakuan perbedaan yang
lain dan bukan demi dirinya sendiri
E.
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa pendidikan Islam sangatlah diharapkan menjadi sebuah alat untuk menempuh
jalan keselamatan bagi umat manusia. Oleh karena itu, dalam menghadapi
multikulturalisme di Indonesia, penyelenggaraan pendidikan haruslah bernuansa
multikultur. Pendidikan harus mampu membuka paradigma peserta didiknya sehingga
berwawasan inklusif. Selain itu, supaya siswa tidak merasa tercerabut dari akar
budayanya sehingga terhindar dari konflik-konflik yang sering terulang di Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Al Jumbulati, Ali dan Abdul Futuh at
Tuwaanisi. 2002. Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Madjid, Nurcholis. 2003. Islam
Agama Kemanusiaan : Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia.
Jakarta: Paramadina.
Mahfud, Choirul. 2008. Pendidikan
Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muhaimin, Haji. 2006. Nuansa Baru
Pendidikan Islam : Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Nottingham. 1985 : 49. Agama
dan Masyarakat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Syamsudin .2000. Etika Agama
dalam Membangun Masyarakat Madani. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.
Http : //
afrikanz.wordpress.com/2008/12/21/multiculturalism
Http :
//www.darussolah.com/?pilih=news&aksi=lihat&id=151
Http :
//www.gusdur.net/opini/detal/?id=71/hi:id/masa-depan-pendidikan
No comments:
Post a Comment