Friday, March 3, 2017

Biografi Ismail Marzuki

. Ia lahir di Kwitang, Senen, Batavia, 11 Mei 1914, Ismail Marzuki yang lebih dikenal dengan panggilan Maing ini merupakan salah satu maestro musik legendaris di indonesia, memang memiliki bakat seni yang sulit dicari bandingannya. Sosoknya pun mengagumkan. Ia terkenal sebagai pemuda yang berkepribadian luhur dan tergolong anak pintar. Ismail sejak muda senang tampil necis. Bajunya disetrika licin, sepatunya mengkilat dan ia senang berdasi. Darah seni Ismail mengalir dari ayahnya, Marzuki, yang saat itu seorang pegawai di perusahaan Ford Reparatieer TIO. Pak Marzuki dikenal gemar memainkan kecapi dan piawai melagukan syair-syair yang bernapaskan Islam. Jadi tidak aneh kalau kemudian Ismail sejak kecil sudah tertarik dengan lagu-lagu.
Orang tua Ismail Marzuki termasuk golongan masyarakat Betawa intelek yang berpikiran maju. Ismail Marzuki yang dipanggil dengan nama Ma'ing, sejak bocah sudah menunjukkan minat yang besar terhadap seni musik. Ayahnya berpenghasilan cukup sehingga sanggup membeli piringan hitam dan gramafon yang populer disebut "mesin ngomong" oleh masyarakat Betawi tempo dulu.
Ma'ing disekolahkan ayahnya ke sebuah sekolah Kristen HIS Idenburg, Menteng. Nama panggilannya di sekolah adalah Benyamin. Tapi kemudian ayahnya merasa khawatir kalau nantinya bersifat kebelanda-belandaan, Ma'ing lalu dipindahkan ke Madrasah Unwanul-Falah di Kwitang. Beranjak dewasa, dia dibelikan ayahnya alat musik sederhana. Bahkan tiap naik kelas Ma'ing diberi hadiah harmonika, mandolin, dan gitar. Setelah lulus, Ma'ing masuk sekolah MULO dan membentuk grup musik sendiri. Di situ dia memainkan alat musik banyo dan gemar memainkan lagu-lagu gaya Dixieland serta lagu-lagu Barat yang digandrungi pada masa itu.
Setelah tamat MULO, Ma'ing bekerja di Socony Service Station sebagai kasir dengan gaji 30 gulden sebulan, sehingga dia sanggup menabung untuk membeli biola. Namun, pekerjaan sebagai kasir dirasakan kurang cocok baginya, sehingga ia pindah pekerjaan dengan gaji tidak tetap sebagai verkoper (penjual) piringan hitam produksi Columbia dan Polydor yang berkantor di Jalan Noordwijk (sekarang Jalan Ir. H. Juanda) Jakarta. Penghasilannya tergantung pada jumlah piringan hitam yang dia jual. Rupanya, pekerjaan ini hanya sebagai batu loncatan ke jenjang karier berikutnya dalam bidang musik.
Selama bekerja sebagai penjual piringan hitam, Ma'ing banyak berkenalan dengan artis pentas, film, musik dan penyanyi, di antaranya Zahirdin, Yahya, Kartolo, dan Roekiah (orangtua Rachmat Kartolo). Pada 1936, Ma'ing memasuki perkumpulan orkes musik Lief Jawa sebagai pemain gitar, saksofon, dan harmonium pompa.
Tahun 1934, Belanda membentuk Nederlands Indische Radio Omroep Maatshappij (NIROM) dan orkes musik Lief Java mendapat kesempatan untuk mengisi acara siaran musik. Tapi Ma'ing mulai menjauhkan diri dari lagu-lagu Barat, kemudian menciptakan lagu-lagu sendiri antara lain "Ali Baba Rumba", "Ohle le di Kotaraja", dan "Ya Aini". Lagu ciptaannya kemudian direkam ke dalam piringan hitam di Singapura. Orkes musiknya punya sebuah lagu pembukaan yang mereka namakan Sweet Jaya Islander. Lagu tersebut tanpa pemberitahuan maupun basa-basi dijadikan lagu pembukaan siaran radio NIROM, sehingga grup musik Ma'ing mengajukan protes, namun protes mereka tidak digubris oleh direktur NIROM.
Pada periode 1936-1937, Ma'ing mulai mempelajari berbagai jenis lagu tradisional dan lagu Barat. Ini terlibat pada beberapa ciptaannya dalam periode tersebut, "My Hula-hula Girl". Kemudian lagu ciptaannya "Bunga Mawar dari Mayangan" dan "Duduk Termenung" dijadikan tema lagu untuk film "Terang Bulan". Awal Perang Dunia II (1940) mulai mempengaruhi kehidupan di Hindia-Belanda (Indonesia). Radio NIROM mulai membatasi acara siaran musiknya, sehingga beberapa orang Indonesia di Betawi mulai membuat radio sendiri dengan nama Vereneging Oostersche Radio Omroep (VORO) berlokasi di Karamat Raya. Antene pemancar mereka buat sendiri dari batang bambu.
Tiap malam Minggu orkes Lief Java mengadakan siaran khusus dengan penyanyi antara lain
Annie Landouw. Ma'ing malah jadi pemain musik sekaligus mengisi acara lawak dengan nama samaran "Paman Lengser" dibantu oleh "Botol Kosong" alias Memet. Karena Ma'ing sangat gemar memainkan berbagai jenis alat musik, suatu waktu dia diberi hadiah sebuah saksofon oleh kawannya yang ternyata menderita penyakit paru-paru. Setelah dokter menjelaskan pada Ma'ing, lalu alat tiup tersebut dimusnahkan. Tapi, mulai saat itu pula penyakit paru-paru mengganggu Ma'ing.

Ketika Ma'ing membentuk organisasi Perikatan Radio Ketimuran (PRK), pihak Belanda memintanya untuk memimpin orkes studio ketimuran yang berlokasi di Bandung (Tegal-Lega). Orkesnya membawakan lagu-lagu Barat. Pada periode ini dia banyak mempelajari bentuk-bentuk lagu Barat, yang digubahnya dan kemudian diterjemahkannya ke dalam nada-nada Indonesia. Sebuah lagu Rusia ciptaan R. Karsov diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda menjadi "Panon Hideung". Sebuah lagu ciptaannya berbahasa Belanda tapi memiliki intonasi Timur yakni lagu "Als de orchideen bloeien". Lagu ini kemudian direkam oleh perusahaan piringan hitam His Master Voice (HMV). Kelak lagu ini diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indonesia dengan judul "Bila Anggrek Mulai Berbunga".

Tahun 1940, Ma'ing menikah dengan penyanyi kroncong Bulis binti Empi. Pada Maret 1942, saat Jepang menduduki seluruh Indonesia, Radio NIROM dibubarkan diganti dengan nama Hoso Kanri Kyoku. PRK juga dibubarkan Jepang, dan orkes Lief Java berganti nama Kireina Jawa. Saat itu Ma'ing mulai memasuki periode menciptakan lagu-lagu perjuangan. Mula-mula syair lagunya masih berbentuk puitis yang lembut seperti "Kalau Melati Mekar Setangkai", "Kembang Rampai dari Bali" dan bentuk hiburan ringan, bahkan agak mengarah pada bentuk seriosa.

Pada periode 1943-1944, Ma'ing menciptakan lagu yang mulai mengarah pada lagu-lagu perjuangan, antara lain "Rayuan Pulau Kelapa", "Bisikan Tanah Air", "Gagah Perwira", dan "Indonesia Tanah Pusaka". Kepala bagian propaganda Jepang, Sumitsu, mencurigai lagu-lagu tersebut lalu melaporkannya ke pihak Kenpetai (Polisi Militer Jepang), sehingga Ma'ing sempat diancam oleh Kenpetai. Namun, putra Betawi ini tak gentar. Malah pada 1945 lahir lagu "Selamat Jalan Pahlawan Muda".

Setelah Perang Dunia II, ciptaan Ma'ing terus mengalir, antara lain "Jauh di Mata di Hati Jangan" (1947) dan "Halo-halo Bandung" (1948). Ketika itu Ma'ing dan istrinya pindah ke Bandung karena rumah meraka di Jakarta kena serempet peluru mortir. Ketika berada di Bandung selatan, ayah Ma'ing di Jakarta meninggal. Ma'ing terlambat menerima berita. Ketika dia tiba di Jakarta, ayahnya telah beberapa hari dimakamkan. Kembang-kembang yang menghiasi makam ayahnya dan telah layu, mengilhaminya untuk menciptakan lagu "Gugur Bunga".

Lagu-lagu ciptaan lainnya mengenai masa perjuangan yang bergaya romantis tanpa mengurangi nilai-nilai semangat perjuangan antara lain "Ke Medan Jaya", "Sepasang Mata Bola", "Selendang Sutra", "Melati di Tapal Batas Bekasi", "Saputangan dari Bandung Selatan", "Selamat Datang Pahlawan Muda". Lagu hiburan populer yang (kental) bernafaskan cinta pun sampai-sampai diberi suasana kisah perjuangan kemerdekaan. Misalnya syair lagu "Tinggi Gunung Seribu Janji", dan "Juwita Malam". Lagu-lagu yang khusus mengisahkan kehidupan para pejuang kemerekaan, syairnya dibuat ringan dalam bentuk populer, tidak menggunakan bahasa Indonesia tinggi yang sulit dicerna. Simak saja syair "Oh Kopral Jono" dan "Sersan Mayorku". Lagu-lagu ciptaannya yang berbentuk romantis murni hiburan ringan, walaupun digarap secara populer tapi bentuk syairnya berbobot seriosa. Misalnya lagu "Aryati", "Oh Angin Sampaikan. Tahun 1950 dia masih mencipta lagu "Irian Samba" dan tahun 1957 lagu "Inikah Bahagia" -- suatu lagu yang banyak memancing tandatanya dari para pengamat musik.

Sampai pada lagu ciptaan yang ke 100-an, Ma'ing masih merasa belum puas dan belum bahagia. Malah, lagu ciptaannya yang ke-103 tidak sempat diberi judul dan syair, hingga Ma'ing alias Ismail Marzuki komponis besar Indonesia itu menutup mata selamanya pada 25 Mei 1958.

Karya Lagu
Aryati
Gugur Bunga
Melati di Tapal Batas (1947)
Wanita
Rayuan Pulau Kelapa
Sepasang Mata Bola (1946)
Bandung Selatan di Waktu Malam (1948)
O Sarinah (1931)
Keroncong Serenata
Kasim Baba
Bandaneira
Lenggang Bandung
Sampul Surat
Karangan Bunga dari Selatan
Selamat Datang Pahlawan Muda (1949)
Juwita Malam
Sabda Alam
Roselani
Rindu Lukisan
Indonesia Pusaka

Sejerah Perkembangan Musik Masa Kolonial
Sebelum merdeka negara Indonesia lama sekali di jajah. Penjajahan itu pertam kali di lakukan oleh bangsa Eropa. Bangsa Eropa memasuki wilayah Indonesia karena keadaan alam Indonesia yang sangat kaya. Adalah Alfonso de Albuquerque karena tokoh inilah, yang membuat kawasan Nusantara (Indonesia) waktu itu di kenal oleh orang Eropa dan di mulainya Kolonisasi berabad-abad oleh Portugis bersama bangsa Eropa lain, terutama Inggris dan Belanda.Ketika orang-orang Eropa dating ke Indonesia  pada awal abad ke-16, mereka menemukan beberapa kerajaan yang dengan mudah dapat mereka kuasai demi mendominasi perdagangan rempah-rempah. Portugis pertama kali mendarat di dua pelabuhan Kerajaan Sunda, yaitu Banten dan Sunda Kelapa, tapi dapat diusir dan bergerak ke arah timur dan menguasai Maluku. Pada abad ke-17, Belanda muncul sebagai  negara yang terkuat di antara negara-negara Eropa lainnya, mengalahkan Britania Raya dan Portugal (kecuali untuk koloni mereka, Timor Portugis).Pada masa itulah agama Kristen masuk ke Indonesia sebagai salah satu misi imperialisme lama yang dikenal sebagai 3G, yaitu Gold, Glory, and Gospel Belanda menguasai Indonesia sebagai koloni hingga Perang Dunia II, awalnya melalui VOC, dan kemudian langsung oleh pemerintah Belanda sejak awal abad ke-19.Akibat dari penjajahan ini bangsa Indonesia tertindas dan tersiksa. Mereka di jadikan budak di negeri sendiri. Bangsa eropa bersenang-senang dengan hasil bumi yang telah berhasil mereka rampas. Selama masa penjajahan ini bangsa Indonesia tidak bisa hidup tenang, mereka di cekam rasa ketakutan. Dan karena itu mulailah banyak bermunculan organisasi-organisasi yang ingin memerdekakan tanah air dari tangan bangsa asing (penjajah).

SEJARAH MUSIK
Dari perjalanan sejarah terlihat bahwa perekembangan musik nasional di Indonesia pada masa kolonial Belanda (1908-1942) yaitu periode dalam sejarah pergerakan, bersamaan dengan berdirinya Budi Utomo yang berjuang pada awal periode itu disebut sebagai angkatan perintis kemerdekaan masa kolonialisme.Dalam perjalanan sejarah di Indonesia bangsa Belanda pernah mengajarkan instrumen musik  asal Barat kepada abdi dalem Kesultanan Kraton Yogyakarta dan Kasunanan Kraton Surakarta. Hal ini dilakukan,tujuannya agar dapat memainkan lagu kebangsaan ‘Wilhelmus’ saat upacara kunjungan tamu resmi pejabat dari negeri Belanda. Pada tanggal 26 mei 1923, terbentuklah tradisi musik diatonik yang dikembangkan dengan baik oleh Walter Spies dan beberapa orang Eropa serta seorang Letnan Angkatan Darat Hindia Belanda Dongelman.Pada tanggal 28 Oktober 1928, pemuda Indonesia mengucapkan ikrar sumpah pemuda, yaitu Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa. Sebagai simbol ikrar teks sumpah pemuda tersebut, berkumandanglah lagu ‘Indonesia Raya’ untuk pertama kalinya yang diciptakan Wage Rudolf Supratman ( W.R. Supratman). Diakuinya bahasa melayu sebagai bahasa nasional dan sekaligus diakuinya musik diatonis sebagai musik nasional, disebabkan perlakuan istimewa terhadap lagu ‘Indonesia Raya’ sebagai akibat diakuinya bahasa melayu sebagai bahasa nasional. Hal ini memicu timbulnya konflik para cendekiawan Jawa pada masa itu yang menginginkan lagu ‘Indonesia Raya’ menggunakan musik khas Jawa melalui instrumen pukul gamelan. Upaya telah dilakukan dengan mencoba para empu gamelan pada tahun 1930-an dengan memodernisir gamelan secara praktek maupun teori. Perubahan-perubahan dalam notasi musik diantaranya pernah ditulis dalam buku kecil Muhamad Yamin, bahwa usaha-usaha memainkan lagu ‘Indonesia Raya’ dengan gamelan terbukti mengalami kegagalan, oleh karena secara teknis lagu itu memakai sistem tangganada diatonis, sementara instrumen gamelan memakai sistem tangganada pentatonik.Pada masa pendudukan Jepang dan Orde Lama 1942-1965, yaitu diawali perjuangan revolusi Indonesia, sebagai angkatan pendobrak hingga pasca kolonialisme. Perkembangan musik menjadi isu politik yang beredar, karena perbedaan pendapat di kalangan para pejuang seniman Indonesia. Perkembangan musik berfungsi sebagai salah satu sarana pendidikan nasional mengalir setelah munculnya generasi penerus sesudah W.R. Supratman dan Mochamad Syafei pendiri  INS Kayu Tanam di Sumatera Barat. Di Jawa di kenal generasi berikutnya yaitu Ismail Marzuki, Kusbini, Bintang Sudibyo, R. Soenarjo, H. Mutahar, R.A.J. Soedjasmin dan lain-lain.
PENGARUH MUSIK PADA MASA KOLONIAL (PENJAJAHAN)

Masa kolonial juga membawa pengaruh besar kedalam seni musik Indonesia. Masa kolonial ini dimulai dengan masuknya bangsa Eropa ke Indonesia. Bangsa Eropa yang masuk ke Indonesia dimulai dari bangsa Portugis, Inggris , lalu disusul oleh Belanda. Orang-orang Eropa ini (khususnya Portugis) banyak memperkenalkan alat musik asal Negara mereka. Alat musik tersebut diantaranya biola, selo(cello), gitar, seruling(flute), dan ukulele.  Alat musik ini akhirnya berkembang dengan sangat pesat di daerah Pulau Jawa.Para musisi pun menciptakan musik dengan perpaduan musik barat dan musik Indonesia  yang dikenal dengan  musik keroncong. Keroncong yang dikenal sebagai musik khas daerah Jawa ternyata merupakan keturunan dari musik orang-orang Portugis. Dalam perkembangannya, sejumlah unsur tradisional asli Nusantara (Indonesia), seperti penggunaan seruling dan beberapa komponen gamelan membuat keroncong menjadi khas Nusantara (Indonesia). Dahulu, dalam sejarahnya, keroncong pertama kali dikenalkan oleh para pelaut asal Portugis di abad ke-16. Keroncong itu merupakan sejenis musik yang dikenal dengan sebutan fado oleh bangsa PortugisPada awal tahun 1900 musik keroncong menjadi musik yang jarang diminati dan kadang di anggap musik randahan. Tapi, setelah tahun 1930-an musik keroncong mulai berkembang dan banyak diminati. Ini dapat di lihat dari musik-musik keroncong yang di masukkan ke dalam produksi-produksi film dalam negeri. Pada saat itu, lagu keroncong yang paling popular adalah lagu Bengawan Solo yang di ciptakan oleh Gesang Martohartono. Lagu ini ditulis pada tahun 1940 bersamaan ketika tentara Jepang menguasai pulau Jawa pada Perang Dunia ke II. Saat ini musik keroncong tidak hanya dikenal di dalam negeri melainkan di kenal di mancanegara.Orang-orang Eropa juga membawa sistem solmisasi dalam berbagai karya lagu. Selain itu bangsa eropa juga memiliki peranan dalam memperkenalkan tangga nada diatonis  dan sistem penulisan notasi yang saat ini di gunakan oleh hampir seluruh musisi di Indonesia.

No comments:

Post a Comment

Simbol Bilangan atau Angka

  a. Pengertian Angka Memahami suatu angka dapat membantu manusia untuk melakukan banyak perhitungan mulai dari yang sederhana maupaun y...

Blog Archive